BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Otonomi daerah
sebagai salah satu proses desentralisasi di Indonesia mengemukakan kabupaten /
kota dan desa sebagai wilayah – wilayah otonom. Pada negara yang sangat luas
dan terdiri atas pulau – pulau dalam lautan yang lebar, desentralisasi menjadi
konsekuensi yang logis. Diharapkan desentralisasi mampu menumbuhkan wilayah –
wilayah yang semula tertinggal, sehingga dapat mengejar ketertinggalannya dan
dapat mengimbangi daerah – daerah yang telah terlebih dahulu berkembang.
Ketika otonomi
daerah ( otda ) dicanangkan oleh Pemerintah Pusat tanggal 1 Januari 2001,
banyak yang mempertanyakan apakah otomatis akan terjadi perubahan paradigma
yang mendasar dan bersifat struktural. Pasalnya, lagu yang berkumandang di
seluruh provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia adalah sentralisasi atau
control dari pusat yang dominant dalam perencanaan maupun implementasi
pembangunan Indonesia ( Kuncoro dalam Mudrajad Kuncoro, 2004 )
Bersamaan dengan
itu, dikeluarkan pula UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat-Daerah. Yang dimaksud dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah dalam UU No.25 Tahun 1999 adalah suatu sistem pembiayaan pemerintah
dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antardaerah secara proporsional,
demokrartis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan
kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata
acara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan
keuangannya (dalam Saragih,2003).
Perimbangan
keuangan tersebut tercermin dengan adanya dana perimbangan. Dana perimbangan
adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dengan adanya
hak otonomi daerah yang disertai perimbangan keuangan pusat-daerah, diharapkan
tiap daerah mampu mengelola sumber daya yang dimilikinya untuk meningkatkan
perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya. Penerapan otonomi daerah yang
luas saat ini bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi ekonomi yang ada
sehingga dapat memacu peningkatan aktivitas per-ekonomian di daerah yang pada
akhirnya meningkatkan perekonomian nasional.
Selain itu,
pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah kabupaten dan
daerah kota ditandai dengan adanya penyerahan sejumlah kewewenangan (urusan).
Terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah, terjadi melalui proses penyerahan
sejumlah kekuasaan / kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah di
mana implementasi kebijakan desentralisasi memerlukan banyak faktor pendukung.
Salah satu faktor pendukung yang secara signifikan menentukan keberhasilan
pelaksanaan otonomi daerah adalah kemampuan daerah untuk membiayai pelaksanaan
kekuasaan/kewenangan yang dimilikinya, di samping faktor-faktor lain seperti kemampuan
personalia didaerah dan kelembagaan pemerintah daerah.
Tujuan utama
penyelenggaran Otonomi Daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik
(public service) dan memajukan perekonomian daerah. Kebijakan pemberian otonomi
daerah merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama, otonomi
daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa
Indonesia berupa ancaman disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan
pembangunan,
rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya
manusia. Kedua, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan langkah
strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan
memperkuat basis perekonomian daerah.
Adanya pemekaran
wilayah kabupaten / kota di Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2004 telah
menambah jumlah kabupaten / kota menjadi 25 yang terdiri dari 18 kabupaten dan
7 kota, 316 kecamatan dan 5616 desa / kelurahan dengan ibukota propinsinya
Medan. Secara otomatis pemekaran wilayah ini juga telah menimbulkan sistem
pemerintahan daerah yang lebih leluasa dibandingkan sebelumnya karena masing –
masing pemerintah daerah telah dapat menetapkan segala kebijakan yang paling
efisien dan efektif bagi keadaan ekonomi / politik karena tidak perlu lagi
terlalu bergantung pada kebijakan dari pusat. Pemerintah daerah dapat
memutuskan kebijakan yang dianggap paling mewakili kebutuhan masyarakat secara
umum. Hubungan eksekutif dan legislatif juga berjalan dengan baik hal ini
terlihat dari pemilihan kepala derah yang berlangsung secara demokratis.
Dalam
perkembangan perekonomian Sumatera Utara sejak masa krisis sejak tahun 1998
terus mengalami perkembangan yang cukup signifikan dari 4,81 persen tahun 2003
5,48 persen tahun 2005 dan 6,90 persen pada tahun 2007. Hal ini cukup
membuktikan bahwa otonomi daerah yang diberlakukan oleh Sumatera Utara
memberikan hasil yang positif karena dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
Sumatera Utara dari tahun ke tahun dan tentunya hal ini akan berimbas terhadap
sector – sector lainnya dan diharapakan kondisi yang seperti ini akan terus
berlangsung dalam jangka yang panjang serta diikuti dengan perkembangan –
perkembangan yang lain yang akan semakin memperbaiki keadaan ekonomi maupun
politik.
Pembangunan
daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional-pada hakekatnya adalah
upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga tercipta suatu
kemampuan yang handal dan profesional dalam menjalankan pemerintahan serta
memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Pembangunan daerah juga berarti
memampukan daerah untuk mengelola sumber daya ekonominya secara berdaya guna
dan berhasil guna untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Pada umunya
pembangunan ekonomi diartikan sebagai rangkaian usaha dalam suatu perekonomian
untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia,
perusahaan semakin banyak dan semakin berkembang, taraf pendidikan semakin
tinggi, teknologi semakin meningkat. Sebagai implikasi dari perkembangan ini
diharapkan kesempatan kerja akan bertambah, tingkat pendapatan meningkat, dan
kemakmuran masyarakat menjadi sangat tinggi
( Sukirno S,
2007).
Tujuan utama
dari usaha – usaha pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang
setingi – tingginya, harus pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan,
ketimpangan ( disparitas ) pendapatan, dan tingkat pengangguran. Kesempatan
kerja bagi penduduk atau masyarakat akan memberikan pendapatan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya ( Todaro, 2000 ). Sejalan dengan hal tersebut, maka
pembangunan ekonomi daerah menghendaki adanya kerjasama diantara pemerintah,
privat sektor dan masyarakat dalam mengelola sumber daya yang dimiliki oleh
wilayah tersebut dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan
kerja seluas-luasnya. Indikator keberhasilan pembangunan ditunjukkan oleh
pertumbuhan ekonomi dan berkurangnya ketimpangan baik di dalam distribusi
pendapatan penduduk maupun antar wilayah. Perekonomian daerah merupakan
ekonomi yang
lebih terbuka dibandingkan dengan perekonomian negara, dimana pertumbuhan
ekonomi daerah memungkinkan peningkatan mobilitas tenaga kerja maupun modal
adalah menjadi bagian penting bagi terjadinya perbedaan tingkat pertumbuhan
daerah.
Ketimpangan
pembangunan pada prinsipnya merupakan ketimpangan ekonomi yang mengandung makna
kemiskinan dan kesenjangan. Agar ketimpangan dan perkembangan antar suatu
daerah dengan daerah lain tidak menciptakan jurang yang semakin lebar, maka
implikasi kebijaksanaan terhadap daur perkembangan dari pembangunan haruslah
dirumuskan secara tepat (Suryana, 2000).
Secara teoritis,
permasalahan ketimpangan pembangunan antarwilayah mula – mula dimunculkan oleh
Douglas C North dalam analisanya tentang Teori Pertumbuhan Neo – Klasik. Dalam
teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat
pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan ketimpangan pembangunan
antarwilayah. Hipotesa ini kemudian lazim dikenal sebagai Hipotesa Neo –
Klasik yang menarik perhatian para ekonom dan perencana pembangunan daerah.
Menurut Hipotesa
Neo – Klasik pada permulaan proses pembangunan suatu negara, ketimpangan
pembangunan antarwilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai
ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses
pembangunan terus berlanjut maka secara berangsur – angsur ketimpangan pembangunan
antarwilayah tersebut akan menurun. Berdasarkan hipotesa ini, dapat ditarik
suatu kesimpulan sementara bahwa pada negara – negara berkembang umumnya
ketimpangan pembangunan antarwilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan pada
negara maju ketimpangan tersebut akan menjadi lebih rendah. Dengan kata lain,
kurva
ketimpangan pembangunan antarwilayah adalah berbentuk huruf U terbalik (
Reserve U-Shape Curve ).
Tetapi berbicara
mengenai masalah ketimpangan, negara ini sesungguhnya sedang mengalami proses
ketertinggalan. Hal ini antara lain disebabkan oleh semakin banyaknya
ketimpangan, baik itu ketimpangan pendapatan, pendidikan, maupun ketimpangan
kualitas institusi birokrasi di negara ini. Salah satu hasil studi William
Easterly (2006) mengungkapkan bahwa tingkat ketimpangan (disparities) yang
tinggi merupakan penghambat dari kemakmuran, tumbuhnya institusi yang
berkualitas, dan berkembangnya pendidikan yang bermutu tinggi.
Ketimpangan
antarwilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu
daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan
kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada
masing – masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam
mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu, tidaklah
mengherankan bilamana pada setiap daerah biasanya terdapat wilayah maju dan
wilayah terbelakang. Terjadinya ketimpangan anatarwilayah ini membawa implikasi
terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antarwilayah. Karena itu, aspek
ketimpangan antarwilayah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap formulasi
kebijakan pembangunan wilayah oleh Pemerintah Daerah.
Pelaksanaan
otonomi daerah mempunyai konsekuensi selain sebagai pendorong pertumbuhan
ekonomi juga berpotensi memunculkan kesenjangan intra maupun antar daerah dalam
satu kawasan. Dasar pemikiran sederhana berpijak pada teori keunggulan
komparatif yang dibangun oleh Elly Hecksher dan Bertil Ohlin.
Atas dasar teori
itu kalau suatu daerah sudah memiliki SDA yang berlebihan berarti daerah
tersebut memiliki peluang untuk menciptakan produksi yang lebih
banyak
dibandingkan dengan daerah lain yang memilki SDA lebih sedikit. Dengan asumsi
belum ada kemitraan antardaerah maka peluang – peluang pertumbuhan ekonomi yang
tinggi akan berada pada daerah – daerah yang memiliki SDA yang banyak sehingga
konsep otonomi daerah yang digulirkan akan memperbanyak kesempatan daerah –
daerah yang bersangkutan untuk membangun dan mengatur dirinya sendiri. Atas
dasar itu maka terjadinya perbedaan besar kecilnya pendapatan perkapita masing –
masing daerah diakibatkan oleh tersedianya SDA yang tidak merata di setiap
daerah.
Walaupun
Indonesia terkenal sebagai daerah yang kaya akan SDA tetapi persebarannya tidak
merata di seluruh daerah. Masyarakat menginginkan adanya keadilan dalam alokasi
pembangunan di daerahnya. Sebagai daerah yang kaya akan SDA, seharusnya mereka
memperoleh dana bagi hasil yang relatif besar jika dibandingkan daerah lain
yang memiliki SDA yang relatif sedikit. Namun pada kenyataannya tidaklah
demikian, pemerintah memberikan dana bagi hasil yang lebih besar kepada kota –
kota besar. Oleh sebab itu pusat bisnis hanya terkonsentrasi pada kota – kota
besar tersebut walaupun SDA yang dimilikinya terbatas. Fenomena seperti ini
akan berdampak terhadap peningkatan ketimpangan fiskal antar daerah, yang pada
akhirnya melalui kebijakan ekspansi pengeluaran pemerintah daerah dapat
meningkatkan ketimpangan pendapatan antardaerah dan wilayah (Joko, 2007).
Pembangunan
dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu merata. Kesenjangan antarderah
seringkali menjadi permasalahan serius. Beberapa daerah mencapai pertumbuhan
cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. Daerah
– daerah tersebut tidak mengalami kemajuan yang sama disebabkan oleh karena
kurangnya sumber – sumber yang dimiliki ; adanya kecenderungan peranan modal (
investor ) memilih daerah perkotaan atau daerah yang
telah memilki
fasilitas seperti prasarana perhubungan, jaringan listrik, jaringan
telekomunikasi, perbankan, asuransi, juga tenaga kerja yang terampil; di
samping itu adanya ketimpangan redistribusi pembagian pendapatan dari
Pemerintah Pusat kepada daerah.
Pemerataan
pembangunan antardaerah di Sumatera Utara diupayakan dengan lebih menyerasikan
pertumbuhan dan mengurangi kesenjangan, baik dalam tingkat kemajuan
antardaerah, maupun antara perkotaan dan pedesaan. Pembangunan desa dan
masyarakat desa ditingkatkan melalui koordinasi dan keterpaduan yang makin
serasi dalam pembangunan sektoral, pengembangan kemampuan sumber daya manusia,
pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup, serta penumbuhan
iklim yang mendorong tumbuh prakarsa dan swadaya masyarakat Di perkotaan,
penataan penggunaan tanah ditingkatkan dengan lebih memperhatikan hak-hak
rakyat atas tanah, fungsi sosial hak atas tanah, batas maksimum pemilikan
tanah, serta pencegahan penelantaran tanah termasuk upaya mencegah pemusatan penguasaan
tanah yang merugikan kepentingan rakyat.
Demikian juga
halnya dengan Sumatera Utara, persebaran SDA yang tidak merata yang berdampak
terhadap ketimpangan fiscal antarkabupaten / kota telah menyebabkan disparitas
pendapatan antarkabupaten / kota di Sumatera Utara.
Pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan pendapatan perkapita merupakan masalah yang berbeda
dari masalah distribusi pendapatan. Apabila terjadi distribusi pendapatan yang
sempurna, maka tiap orang akan menerima pendapatan yang sama besarnya. Angka
pendapatan perkapita yang ada selama ini merupakan angka rata-rata yang tidak
mencerminkan pendapatan sebenarnya yang diterima oleh tiap-tiap penduduk.
Seberapa yang
diterima oleh tiap penduduk sebenarnya sangat berkaitan dengan masalah merata
atau tidak meratanya distribusi pendapatan tersebut. Oleh karenanya pemerataan
pendapatan adalah masalah yang penting dalam pembangunan, karena akan langsung
berdampak terhadap kesejahteraan penduduk.
Pertumbuhan
ekonomi di Sumatera Utara relative tinggi, tetapi pertumbuhan tersebut diiringi
dengan ketimpangan antarwilayah yang semakin besar. Model pembangunan ekonomi
di Provinsi Sumatera Utara bukan mengacu pada pemerataan pembangunan ekonomi
yang semakin baik ( Sirojuzilam, 2008 ). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
ternyata seringkali menyebabkan bertambah lebarnya ketimpangan antargolongan
masyarakat (yang kaya dan yang miskin) dan kesenjangan atau ketimpangan
antardaerah (yang maju dan yang tertinggal). Ketimpangan yang makin tinggi antargolongan
dan antarwilayah ini dapat memunculkan masalah kecemburuan sosial, kerawanan
disitegrasi wilayah dan disparitas ekonomi yang makin lebar dan tajam.
Ketimpangan
secara alami disebabkan karena proses pembangunan, dan ketidakseimbangan
kebijakan, seperti investasi pemerintah yakni dalam bentuk pengeluaran
pemerintah daerah. Anaman (dalam Noogroho. Y.S dan Soelistianingsih. 2007)
menyatakan bahwa semakin besar pengeluaran pemerintah daearah yang tidak
produktif, semakin kecil tingkat pertumbuhan perekonomian daerah, tetapi pada
umumnya pengeluaran pemerintah membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi.
Menurut Sarjono
HW ( 2006 ) pada konteks mikro, yang menjadi penyebab terjadinya ketimpangan
ekonomi antardaerah antara lain:
a. Keterbatasan
informasi pasar dan informasi teknologi untuk pengembangan produk unggulan.
b. Belum adanya
sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan di
daerah.
c. Belum
optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak kepada petani
dan pelaku swasta.
d. Belum
berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan
pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah.
e. Belum
berkembangnya koordinasi, sinergitas dan kerja sama diantara pelaku – pelaku
pengembangan kawasan, baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah dan
petani serta antara pusat, propinsi dan kabupaten / kota dalam upaya
peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan.
f. Masih
terbatasnya akses petani dan pelaku usaha kecil terhadap modal pengembangan
usaha, input produksi, dukungan teknologi dan jaringan pemasaran dalam upaya
pengembangan peluang usaha dan kerja sama investasi.
g. Keterbatasan
jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi daerah dalam mendukung
pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah.
h. Belum
optimalnya pemanfaatan kerangka kerja sama antardaerah untuk mendukung
peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan.
Sementara pada
aspek makro, Dumairy ( 1996 ), menyatakan bahwa terdapat ada dua faktor yang
layak dikemukakan untuk menerangkan mengapa ketimpangan pembangunan dan hasil –
hasilnya dapat terjadi. Faktor pertama ialah karena ketidaksetaraan
anugerah awal ( initial endowment )diantara pelaku – pelaku ekonomi . Sedangkan
faktor kedua karena strategi pembangunan yang tidak tepat cenderung
berorientasi pada pertumbuhan. Ketidaksetaraan anugerah awal yang dimaksud
adalah
adanya
kesenjangan antara bekal resources yang dimilki oleh para pelaku
ekonomi. Yang meliputi, sumberdaya alam, kapital, keahlian / keterampilan,
bakat / potensi atau sarana dan prasarana. Sedangkan pelaku ekonomi adalah
perorangan, sektor ekonomi, sektor wilayah. Sumber daya alam yang dimilki tidak
sama antardaerah, (pra) sarana ekonomi yang tersedia tidak sama antardaerah,
begitu pula yang lain – lainnya seperti kapital, keahlian / keterampilan serta
bakat atau potensi. Secara objektif, ketimpangan pembangunan yang selama ini
berlangsung dan khususnya pada negara berkembang adalah dalam berbagai bentuk ,
aspek atau dimensi. Bukan saja ketimpangan hasil – hasilnya, misalnya dalam hal
pendapatan perkapita tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan
itu sendiri. Bukan pula semata – mata berupa ketimpangan spasial atau
antardaerah, yakni antara daerah pedesaan dan daerah pekotaan. Akan tetapi juga
berupa ketimpangan regional, misalnya dapat dilihat berdasarkan perbedaan
mencolok dalam aspek – aspek seperti penyerapan tenaga kerja, alokasi dana
perbankan, investasi dan pertumbuhan.
Secara makro
ketimpangan pembangunan yang terjadi di berbagai daerah, tentunya karena lebih
disebabkan oleh aspek strategi pembangunan yang kurang tepat. Strategi
pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan misalnya, ternyata tidak mampu
mengatasi persoalan – persoalan yang terjadi di daerah, malah sebaliknya hanya
memperkaya pelaku – pelaku ekonomi tertentu yang dekat dan mudah mendapatkan
akses pembangunan secara gratis.
Oleh karena itu,
untuk dapat menghasilkan pembangunan ekonomi yang sebenar – benarnya dapat
dirasakan oleh semua masyarakat, harus ada keberanian dari pemerintah daerah
untuk mengubah cara pandang dan strategi pembangunan ekonominya ke arah yang
lebih sehat dan kompetitif. Kue – kue pembangunan harus dapat dinikmati dan
dirasakan oleh semua masyarakat yang menjadi tanggung jawab
pemerintah
daerah, jangan sampai hanya dinikmati oleh segelintir kelompok atau golongan
tertentu saja yang dekat dengan kekuasaan dan mudah mendapatkan akses
pembangunan secara gratis.
Terkonsentrasinya
kegiatan ekonomi hanya di suatu daerah tertentu, secara langsung berdampak
terhadap disparitas pendapatan daerah yang sangat bervariasi. Daerah yang satu
mampu memberikan pendapatan yang tinggi sementara daerah lain memberikan
pendapatan yang relative rendah. Pada gilirannya, semua itu akan berimbas
terhadap kemampuan regional untuk tumbuh dan berkembang di masa yang akan
datang.
Ketimpangan
memiliki peran yang sangat besar dalam hubungan antara kemiskinan dan
pertumbuhan karena ketimpangan mempengaruhi baik pertumbuhan maupun kemiskinan.
Tingkat
disparitas pendapatan antarwilayah dapat diukur dengan berbagai macam
pendekatan, seperti Indeks Theil, Koefisien Gini, Kurva Lorents dan Indeks
Williamson. Dalam penelitian ini penulis menggunakan Indeks Williamson dengan
alasan indeks ini cukup mampu menjelaskan sejauh apa ketimpangan yang terjadi
anatardaerah, cukup mudah menginterpretasikan angka ketimpangan yang diperoleh,
praktis dan cukup lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan
antarwilayah. Jika semakin kecil indeksnya maka ketimpangan daerah tersebut
juga semakin kecil dan sebaliknya apabila indeksnya semakin besar maka
ketimpangan antardaerah yang terjadi semakin besar.
Dasar
perhitungan Indeks Williamson ini menggunakan PDRB per kapita dalam kaitannya
dengan jumlah penduduk per daerah. Pada dasarnya Indeks Williamson merupakan
koefisien persebaran (coefficient of variation) dari rata-rata nilai sebaran
dihitung berdasarkan estimasi dari nilai-nilai PDRB dan penduduk di
daerah-daerah
yang berada pada ruang lingkup wilayah yang di kaji dan dianalisis, dalam hal
ini adalah wilayah kabupaten / kota di Sumatera Utara.
Dalam usaha
menekan laju ketimpangan ini, maka harus ditentukan kebijakan yang tepat.
Pemilihan kebijakan yang tepat akan menciptakan stabilitas pertumbuhan ekonomi
yang cukup baik sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemerintah dan
masyarakat. Oleh karena itu keterlibatan semua pelaku ekonomi dalam pembangunan
daerah harus dilaksanakan dengan sebaik – baiknya.
Dalam penelitian
ini, perbedaan pendapatan perkapita antarkabupaten / kota juga mempengeruhi
disparitas pendapatan antarwilayah. Diperlukan berbagai usaha agar pendapatan perkapita
masing – masing daerah dapat meningkat sehingga dapat memperkecil disparitas
antardaerah. Selain itu, jumlah penduduk juga salah satu factor yang
menyebabkan terjadinya ketimpangan. Manusia yang berkualitas merupakan salah
satu factor penting dalam proses pertumbuhan ekonomi. Tingkat pembangunan
manusia yang tinggi akan mempengaruhi perekonomian melelui produktifitas dan
kreativitas. Oleh sebab itu, pembangunan manusia perlu dilakukan dalam rangka
memacu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi disparitas pendapatan antarkabupaten
/ kota. Selain itu, pengeluaran pemerintah juga merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi disparitas pendapatan antarkabupaten / kota di Sumatera
Utara. Semakin besar pengeluaran pemerintah untuk membiayai program pembangunan,
berarti semakin tinggi tingkat pembangunan ekonomi di wilayah tersebut. Semakin
besar pembangunan wilayah berati semakin besar pula kegiatan ekonominya. Hal
ini akan memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah
tersebut.
Berdasarkan
uraian di atas, maka penulis ingin mengetahui lebih lanjut sejauh mana
ketimpangan yang terjadi khususnya disparitas pendapatan antarkabupaten / kota
di Sumatera Utara, sehingga penelitian ini diberi judul :
“ Analisis
Disparitas Pendapatan 25 Kabupaten / Kota Di Sumatera Utara “.
1.2 Perumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian di atas, maka perumusan masalah yang dapat diambil sebagai dasar dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana
disparitas pendapatan antarkabupaten / kota di Sumatera Utara?
2. Bagaimana
pengaruh jumlah penduduk terhadap disparitas pendapatan antar kabupaten / kota
di Sumatera Utara?
3. Bagaimana
pengaruh PDRB perkapita terhadap disparitas pendapatan antar kabupaten / kota
di Sumatera Utara?
4. Bagaimana
pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap disparitas pendapatan antar kabupaten/
kota di Sumatera Utara.
1.3 Hipotesis
Hipotesis
merupakan jawaban sementara atau kesimpulan sementara terhadap permasalahan
yang menjadi objek penelitian, yang kebenarannya masih harus diuji atau
dibuktikan secara empiris. Dari rumusan masalah di atas, maka penulis membuat
hipotesis sebagai berikut:
1. Jumlah
penduduk berpengaruh positif terhadap disparitas pendapatan antar kabupaten /
kota di Sumatera Utara.
2. Jumlah PDRB
perkapita berpengaruh positif terhadap disparitas pendapatan antar kabupaten /
kota di Sumatera Utara.
3. Pengeluaran
pemerintah berpengaruh positif terhadap disparitas pendapatan antar kabupaten /
kota di Sumatera Utara.
1.4 Tujuan
Penelitian
Sesuai dengan
pokok permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan dari penulisan
skripsi ini adalah:
1. Untuk
mengetahui bagaimana pengaruh jumlah penduduk terhadap disparitas pendapatan
antarkabupaten / kota di Sumatera Utara.
2. Untuk
mengetahui bagaimana pengaruh PDRB perkapita terhadap disparitas pendapatan
antarkabupaten / kota di Sumatera Utara.
3. Untuk
mengetahui bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap disparitas
pendapatan antarkabupaten / kota di Sumatera Utara.
1.5 Manfaat
Penelitian
Adapun manfaat
yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Menambah,
melengkapi sekaligus sebagai pembanding hasil-hasil penelitian yang sudah ada
yang menyangkut topik yang sama.
2. Sebagai
informasi dan bahan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya dengan
topik yang sama.
3. Diharapkan
hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi mahasiswa fakultas
ekonomi, khususnya mahasiswa Departemen Ekonomi Pembangunan.
4. Sebagai
tambahan wawasan bagi penulis untuk mengetahui bagaimana disparitas
pendapatanantar kabupaten / kota di Sumatera Utara.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi