BAB I .
PENDAHULUAN .
A. Latar Belakang Masalah .
Zakat termasuk salah satu rukun Islam, Zakat mulai
disyari’atkan pada bulan Syawal tahun ke
2 Hijriah sesudah pada bulan Ramadhannya diwajibkan zakat fitrah. Jadi mula-mula
diwajibkan zakat fitrah, baru kemudian
diwajibkan zakat mal atau kekayaan. Zakat diwajibkan atas orang Islam yang
mempunyai kekayaan yang cukup nishab,
yaitu jumlah minimal harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Jika kurang dari itu kekayaan
belum dikenai zakat. Adapun saat haul ialah waktu wajib mengeluarkan zakat yang telah
memenuhi nishabnya (dimiliki cukup dalam
waktu setahun).
Di dalam al-Qur’an, Allah SWT telah
menyebutkan tentang zakat dan shalat
sejumlah 82 ayat. Dari sini dapat disimpulkan secara deduktif bahwa setelah shalat, zakat merupakan rukun
Islam terpenting. Zakat dan Zakat
menurut asal kata, zakat yang berasal dari kata ةﺎآز
berarti berkah, bersih, baik dan
meningkat. Ahmad Warson Munawir, Kamus Al Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya : Pustaka Progresif, 1997, hlm. 577;
zakat secara bahasa juga diartikan dengan berarti nama’ (kesuburan), thaharah
(kesucian), barakah(keberkahan),
dan berarti juga tazkiyah (mensucikan).
Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Pedoman Zakat, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, Cet. ke-10, 2006, hlm. 3;
Sedangkan dalam lingkup pengertian istilah, terjadi perbedaan penafsiran di antara ulama. Meskipun
para ulama didalam menafsirkannya berbedabeda akan tetapi semuanya mengarah
pada satu arti yaitu mengeluarkan sebagian harta benda untuk diberikan kepada fakir miskin sesuai
dengan aturan-aturan yang telah ditentukan dalam alQur’an, sebagai pembersih
serta penghapus kesalahan-kesalahan manusia. Lihat dalam Fazlur Rahman, Economic Doktrines of Islam. Terj
Suroyo Nastangin “ Doktrin Ekonomi
Islam”, Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1996, hlm. 235.
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Dirjen
Bimas Islam Dan Penyelenggara Haji Depag
RI, Pedoman Zakat, 2003, 108.
Ibid.,hlm. 117.
1 2 shalat
dalam al-Qur’an dan al-Hadist dijadikan sebagai perlambang keseluruhan ajaran Islam. Pelaksanaan shalat
melambangkan baiknya hubungan seorang
dengan Tuhannya, sedang zakat adalah lambang harmonisnya hubungan antara sesama manusia.
Oleh karena itu zakat dan shalat
merupakan pilar-pilar berdirinya bangunan Islam. Jika keduanya hancur, Islam sulit untuk bertahan.
Zakat menurut asal kata, zakat yang berasal
dari kata ةﺎآز berarti berkah, bersih, baik dan meningkat.
Sedangkan secara bahasa, berarti nama’ (kesuburan), thaharah (kesucian), barakah(keberkahan), dan berarti
juga tazkiyah(mensucikan).
Penjelasan makna secara harfiah tersebut
mengerucut pada pengertian zakat sebagai
prosespembersihan diri yang didapatkan setelah
pelaksanaan kewajiban membayar zakat.
Para pemikir ekonomi Islam kontemporer
menyatakan bahwa zakat dialokasikan
untuk memenuhi kebutuhan delapan golongan yang telah ditentukan dalam al-Qur’an.
Dalam Q.S. at-Taubah ayat 60, yang merupakan dasar hukum distribusi zakat, memang tidak
disebutkan secara langsung mengenai
zakat sebagai hak delapan golongan penerimanya. Namun dalam firman yang lain, Allah telah memberikan
penjelasan mengenai hak golongangolongan atas sedekah (zakat) yang dikeluarkan
oleh umat Islam.
Muhammad, Zakat Profesi: Wacana Pemikiran
Dalam Fiqh Kontemporer, Jakarta: Salemba
Diniyah, 2002, hlm. 12.
Ahmad Warson Munawir, op. cit., hlm. 577.
Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, op. cit.,
hlm. 3.
Fazlur Rahman, op. cit., hlm. 235.
Nuruddin Mhd. Ali, Zakat sebagai Instrumen
Kebijakan Fiskal, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, Cet. ke-1, 2006, hlm. 7.
3 Dari penjelasan di atas dapat diketahui dan
diperkuat bahwa zakat merupakan hak bagi
golongan penerimanya. Konsekuensinya, setelah zakat diberikan kepada delapan golongan, maka hak
penggunaan tergantung kepada keinginan
dari delapan golongan penerima tersebut yang pada dasarnya berhubungan dengan upaya pemenuhan kebutuhan
golongan penerima. Pada intinya, melalui
syariat zakat, kehidupan orang-orang fakir, miskin, dan orangorang menderita
lainnya, akan terperhatikan dengan baik.
Zakat sebagai salah satu ibadah bagi umat
Islam memiliki perkembangan
pelaksanaannya. Pada awalmula munculnya syari’at zakat, belum ada ketentuan mengenai besarnyazakat dan
waktu pelaksanaannya. Hal ini terjadi
pada saat periode perkembangan awal Islam di Mekkah (sebelum hijrah). Zakat pada saat itu hanya bentuk
ibadah yang diperuntukkan bagi umat
Islam yang kaya dan diperuntukkan bagi umat Islam yang kekurangan (kurang mampu) dan biaya jihad. Sedangkan pada
masa perkembangan Islam di Madinah,
zakat sudah memiliki ketentuan mengenai jenis harta, batasan harta, besarnya zakat, dan distribusi kepada
para penerimanya.
Pendistribusian zakat merupakan penyaluran
atau pembagian dana zakat kepada mereka
yang berhak. Distribusi zakat mempunyai sasaran dan tujuan. Sasaran di sini adalah pihak-pihak
yang diperbolehkan menerima zakat,
sedangkan tujuannyaadalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian
Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002, hlm.
12.
Terkait dengan praktek zakat pada awal
perkembangan Islam dapat dilihat dalam Yusuf Qardawi, “Fiqhus Zakat”, Terj. Salman Harun,
et.al., Hukum Zakat, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, Cet. ke-10, 2007.
4 dalam bidang perekonomian sehingga dapat
memperkecil kelompok masyarakat yang
kurang mampu, yang pada akhirnya akan meningkatkan kelompok muzaki.
Ada dua pendekatan yang digunakan dalam
pendistribusian zakat ini, Pertama:
pendekatan secara parsial, dalam hal ini ditujukan kepada orang yang miskin dan lemah serta dilaksanakan
secara langsung dan bersifat insidentil.
Dengan cara ini masalah kemiskinan mereka dapat diatasi untuk sementara.
Kedua: pendekatan secara struktural, cara seperti ini lebih mengutamakan pemberian pertolongan secara
berkesinambungan yang bertujuan agar
mustahiq zakat dapat mengatasi masalah
kemiskinan dan diharapkan nantinya
mereka menjadi muzaki.
Pendistribusian zakat kepada para mustahiq
dalam bentuk apa adanya untuk digunakan
secara konsumtif itu cocok apabila sasaran pendistribusian ini adalah orang-orang jompo, anak yatim, ibn
sabilatau fakir miskin yang memerlukan
bantuan dengan segera atau untuk hal-hal yang bersifat darurat, pemenuhan kebutuhan fakir miskin dengan dana
zakat itu hanya sebatas ia tidak akan
terlantar lagi di hari depannya. Kemudian bagi mereka yang kuat bekerja, memiliki keterampilan dan mau
berusaha, dapat diberi modal usaha baik
berupa uang ataupun barang, serta dengan cara perorangan atau secara kelompok. Pemberian modal ini harus
dipertimbangkan secara matang oleh amil.
Apakah seseorang yang diberi dana itu mampu mengelolanya apa tidak, Mursyidi, Akuntansi Zakat Kontemporer,
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2003, hlm.
169.
Ahmad M. Syaifudin, Ekonomi dan Masyarakat
Dalam Perspektif Islam, Jakarta : Rajawali,
1987, hlm. 51.
5 sehingga pada suatu saat orang tersebut tidak
menggantungkan hidupnya kepada pihak
lain. Dana zakat akan lebih berdaya guna jika dikelola menjadi sumber dana yang penggunaannya sejak dari awal
sebagai pelatihan atau untuk modal usaha
dan hal ini diharapkan dapat mengentaskan seseorang dari kemiskinan.
Bahtsul Masail Diniyah Maudluiyyah atau
pembahasan masalah keagamaan penting
dalam Muktamar ke-28 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta,
pada 25-28 November 1989 memberikan
arahan bahwa dua hal diatas diperbolehkan dengan maksud untuk meningkatkan kehidupan ekonomi para
mustahiq zakat. Namun, ada persyaratan
penting bahwa para calon mustahiq itu sendiri sebelumnya harus mengetahui bahwa harta zakat yang sedianya
mereka terima akan disalurkan secara
produktif atau didayagunakan dan mereka memberi izin atas penyaluran zakat dengan cara seperti itu.
Pendistribusian zakat yang dilakukan oleh
lembaga amil zakat diarahkan pada
program-program yang memberi manfaat jangka panjang untuk perbaikan kesejahteran mustahiq menjadi
muzaki, melalui peningkatan kualitas
sumber daya manusia dan pemberdayaan sosial serta pengambangan ekonomi, seperti program pengembangan ekonomi
umat, program beasiswa, A. Qodri
Azizizi, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 149.
Produktifitas dan Pendayagunaan Harta Zakat,
www.nu.orid. 2 Nopember 2011.
6 program pelayanan sosial dan kemanusiaan, dan
program dakwah masyarakat.
Distribusi zakat pada masasekarang
menggabungkan antara pembagian dengan
fungsi konsumtif dan fungsi produktif. Banyak lembagalembaga amil zakat yang
menerapkan keduanya, termasuk juga Badan Pengelola Urusan Zakat Muhammadiyah
(Bapelurzam) Daerah Kendal.
Dalam penerapannya, Bapelurzam
lebih menekankan pada pembagian zakat secara
produktif. Hal ini, jika disandarkan pada hasil yang diperoleh, memang tidak begitu mengecewakan. Sebab keberadaan zakat produktif yang diterapkan oleh Bapelurzam Daerah Kendal untuk
sementara waktu telah berhasil menjadi
solusi pengentasan mustahik menjadi muzakki. Indikator dari keberhasilan tersebut adalah adanya
peningkatan jumlah muzakki yang berasal dari
para mustahik yang sebelumnya menjadi kelompok penerima zakat produktif.
Peningkatan pengentasan mustahik menjadi
muzakki memang menjadi suatu hal yang
menggembirakan. Namun demikian, distribusi zakat secara konsumtif juga harus menjadi perhatian
bagi Bapelurzam Daerah Kendal. Pada
hakekatnya, distribusi zakat konsumtif di Bapelurzam Daerah Kendal memiliki persentase yang kecil jika
dibandingkan dengan distribusi zakat
produktif. Selain itu, distribusi zakat konsumtif di Bapelurzam Daerah Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf
Dirjen Bimas Islam Dan Penyelenggara Haji
Depag RI, op. cit., hlm. 110.
Pada tahun 2011, jumlah peningkatan muzakki
sebanyak 249 orang. “Daftar Himpunan Zakat
dan Hak Tasharuf Atasan dari Cabang Bapelurzam Daerah Kendal Tahun Zakat 1431
H”, Arsip Laporan Zakat Bapelurzam
Daerah Kendal Tahun 1431 H , Bapelurzam Daerah Kendal, 2011.
7 Kendal juga masih diberlakukan dalam wilayah
Muhammadiyah Daerah Kendal, yakni pada
keluarga pengurus maupun anggota Muhammadiyah Daerah Kendal saja.
Fenomena di atas pada satu sisiakan
memperlihatkan keberhasilan Bapelurzam
Daerah Kendal dalam mendistribusikan zakat produktif. Namun di sisi lain mengindikasikan belum maksimalnya
distribusi zakat konsumtif karena hanya
berkutat pada wilayah internal Muhammadiyah semata. Hal itu tentu dilakukan oleh Bapelurzam bukan tanpa
sebab dan dasar hukum. Oleh sebab itu,
maka penulis bermaksud untuk mengadakan penelusuran yang berhubungan dengan praktek pembagian zakatdi
Bapelurzam Daerah Kendal, khususnya yang
berhubungan dengan pembagian zakat konsumtif dan produktif. Penelitian tersebut
akandilaksanakan dengan judul ”Pembagian Zakat Konsumtif dan Produktif BagiMustahik
Zakat (Studi Kasus Pembagian Zakat di
Bapelurzam Daerah Kendal)”.
B. Rumusan Masalah .
Untuk memfokuskan analisa serta
membatasi lingkup kajian, maka dalam
makalah ini penulis memusatkan pada permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana pembagian zakat konsumtif di Bapelurzam Kabupaten Kendal? 2.
Bagaimana pembagian zakat produktif di Bapelurzam Kabupaten Kendal? 3.
Bagaimana tinjauan hokum Islam terhadap pembagian zakat di Bapelurzam Kabupaten Kendal? Mengenai jumlah dana dan jumlah penerima
dapat dilihat dalam “Tasharuf Zakat Bapelurzam
Daerah KendalTahun Zakat 1431 H”, Ibid.
8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menjawab permasalahan yang telah
diajukan dalam penelitian ini. Jaditujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: .
1. Untuk mengetahui pelaksanaan pembagian zakat
konsumtif di Bapelurzam Kabupaten Kendal.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan pembagian zakat
produktif di Bapelurzam Kabupaten Kendal.
3. Untuk mengetahui tinjauan hokum Islam
terhadap pembagian zakat di Bapelurzam
Kabupaten Kendal Sedangkan manfaat
penelitian ini adalah: .
1. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat
sebagai tolok ukur dari wacana keilmuan
yang selama ini penulis terima dan pelakari dari institusi pendidikan tempat penulis belajar,khususnya di
bidang pendidikan dan wacana tentang
zakat.
2. Dari khazanah keilmuan, hasil penelitian ini
bermanfaat sebagai penambah ataupun
pembanding teori-teori yang telah ada yang berkaitan dengan zakat konsumtif dan produktif.
D. Kajian Pustaka .
Untuk menghindari adanya asumsi
plagiasi dalam penelitian ini, maka berikut
ini akan penulis paparkan beberapa karya ilmiah yang memiliki kemiripan dengan obyek masalah yang akan
penulis teliti.
9 Pertama, buku karya Sayyid Sabiq yang berjudul
Fiqhus Sunnahyang diterjemahkan oleh
Mahyuddin Syaf dengan judul “Fiqih Sunnah 3”. Dalam buku ini dijelaskan tentang mustahik zakat.
Dalam penjelasannya disebutkan tentang
khilafiyah pendapat di kalangan fuqaha mengenai bagian-bagian mustahik dan proritas mustahik.
Kedua, buku karya Saifuddin Zuhri
yang berjudul Zakat Kontekstual.
Dalam buku ini dijelaskan
bahwasanya telah terjadi peralihan fungsi zakat namun tidak mematikan fungsi sebelumnya, yakni
dari fungsi konsumtif menjadi fungsi
produktif.
Selain pustaka dalam bentuk buku,
dalam kajian pustaka ini juga akan dipaparkan
beberapa kepustakaan yang merupakan hasil penelitian lapangan.
Sepanjang penelusuran penulis,
telah ada penelitian sebelumnya yang menjadikan
Bapelurzam sebagai lokasi penelitian. Hasil-hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, hasil penelitian Kamal Yusuf,
mahasiswa Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang yang berjudul Tinjauan Hukum Islam terhadap Pendistribusian Zakat Produktif Sebagai
Pinjaman Bagi Faqir Miskin (Studi Di Bapelurzam
Cabang Weleri Daerah Kendal). Penelitian ini dipusatkan pada permasalahan mengenai bagaimana
pendistribusian zakat di Bapelurzam Cabang
Weleri Daerah Kendal dan tinjauan hukum Islam terhadap pendistribusian zakat produktif dalam bentuk
pemberian hutang. Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa pendistribusian zakat di Bapelurzam Cabang Weleri Daerah Kendal didistribusikan
dalam dua jenis pendistribusian 10 yakni melalui zakat konsumtif dan zakat
produktif. Pendistribusian zakat konsumtif
dengan memberikan kepada fakir miskin sebesar Rp. 30.000,00 setiap mustahik. Sedangkan pendistribusian
zakat produktif diberikan dalam bentuk
pemberian hutang (pinjaman) untuk modal usaha. Tinjauan hukum Islam terhadap pendistribusian zakat produktif
melalui pemberian hutang menurut
penelitian ini adalah tidak terjadi pertentangan dengan syari’at Islam dan bahkan lebih cenderung berkesesuaian
dengan kaidah maslahah mursalah.
Kedua, hasil penelitian yang
dilaksanakan oleh Dwi Kristiono, mahasiswa
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dengan judul Sistem Pengelilaan Zakat Amwal Studi Analisis
Terhadap Badan Pelaksana Urusan Zakat
Muhammadiyah (Bapelurzam) Cabang Weleri Daerah Kendal.
Rumusan masalah yang diajukan
dalam penelitian ini terkait dengan normatifitas
pengelolaan zakat dan praktek pengelolaan zakat di Bapelurzam Cabang Weleri Daerah Kendal. Hasil temuan
dalam penelitian ini adalah yang dimaksud
dengan zakat amwal berbeda dengan zakat mal. Zakat amwal adalah zakat yang dihitung berdasarkan keseluruhan
pendapatan melalui perhitungan pendapatan
kotor (bruto) dikurangi beban hutang (bruto-hutang). Pengelolaan zakat amwal dilakukan dengan cara amil
menjemput zakat di tempat muzakki.
Hasil zakat dari masyarakat
Weleri tidak seluruhnya disalurkan kembali oleh Bapelurzam Cabang Weleri melainkan hanya 85%
dari total pendapatan zakat, sedangkan
sisanya yakni 10%untuk Pengurus Daerah Kendal dan 5% untuk Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah di
Semarang.
11 Ketiga, hasil penelitian Ahmad Mustahal yang
berjudul Analisis Terhadap Penghilangan
Nishab Zakat Penghasilan (Studi Analisis Di Badan Pelaksana Urusan Zakat Muhammadiyah
{BAPELURZAM} PDAM Kendal).
Penelitian ini memusatkan kajian
padapelaksanaan zakat penghasilan yang dilaksanakan
oleh BAPERLURZAM.
Berdasarkan hasil
penelitian-penelitian di atas dapat diketahui bahwa memang ada penelitian yang hampir memiliki
kesamaan dengan penelitian yang penulis
laksanakan. Penelitianyang dimaksud tidak lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Kamal Yusuf
tentang zakat produktif di Bapelurzam
Cabang Weleri Daerah Kendal. Kesamaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang penulis laksanakan
adalah sama-sama memfokuskan pada
permasalahan zakat konsumtif dan produktif di Bapelurzam Daerah Kendal. Meski demikian, terdapat perbedaan
mendasar antara penelitian yang penulis
laksanakan dengan penelitian terdahulu yakni: 1.
Penelitian terdahulu berlokasi di Bapelurzam Cabang Weleri sedangkan penelitian yang penulis laksanakan berlokasi
di Bapelurzam Daerah Kendal. Artinya,
secara wilayah berbeda karena penelitian
ini dilaksanakan di wilayah
kepengurusandaerah Muhammadiyah sedangkan pada penelitian terdahulu di wilayah
kepengurusan cabang Muhammadiyah.
2. Penelitian terdahulu memusatkan padakajian
hukum Islam terkait dengan pendistribusian
zakat dalam bentuk pemberian hutang sedangkan penelitian yang penulis laksanakan memusatkan
pada kajian hukum Islam 12 terkait dengan aspek wilayah pembagian dan
hakekat konsumtifitas dan produktifitas
zakat dalam ranah sosial.
Sedangkan dengan kedua penelitian
terdahulu lainnya jelas sekali terdapat
perbedaan dengan penelitianyang penulis laksanakan. Perbedaan tersebut mencakup aspek pusat kajian dan
lokasi penelitian. Dengan demikian, belum
ada penelitian yang memusatkan kajian pembagian zakat konsumtif dan produktif di Bapelurzam Daerah Kendal dalam
tinjauan hukum Islam perspektif fungsi
ekonomi sosial. Tidak adanya kesamaan antara penelitian yang akan penulis laksanakan dengan
penelitian-penelitian terdahulu. Oleh sebab
itu, penulis menganggap bahwa penelitian yang akan penulis laksanakan akan “aman” dari asumsi plagiasi.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi