BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Untuk mencapai
tujuan pendidikan yang
berkualitas diperlukan manajemen pendidikan
yang dapat memobilisasi
segala sumber daya
pendidikan. Manajemen pendidikan
itu terkait dengan
manajemen peserta didik
yang isinya merupakan pengelolaan
dan juga pelaksanaannya. Fakta-fakta
dilapangan ditemukan sistem pengelolaan
anak didik masih
menggunakan cara-cara konvensional
dan lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti
yang sempit dan kurang memberi perhatian kepada
pengembangan bakat kreatif
peserta didik. Padahal Kreativitas disamping
bermanfaat untuk pengembangan
diri anak didik
juga merupakan kebutuhan
akan perwujudan diri
sebagai salah satu
kebutuhan paling tinggi
bagi manusia.
Kreativitas
adalah proses merasakan
dan mengamati adanya
masalah, membuat dugaan
tentang kekurangan, menilai
dan meguji dugaan
atau hipotesis, kemudian mengubahnya dan mengujinya lagi
sampai pada akhirnya menyampaikan hasilnya. Dengan
adanya kreativitas yang
diimplementasikan dalam sistem pembelajaran,
peserta didik nantinya
diharapkan dapat menemukan
ide-ide yang berbeda
dalam memecahkan masalah
yang dihadapi sehingga
ide-ide kaya yang progresif
pada nantinya dapat bersaing dalam kompetisi global yang selalu berubah.
Manajemen
Kesiswaan adalah penataan
dan pengaturan terhadap
kegiatan yang berkaitan dengan
peserta didik, mulai masuk sampai dengan keluarnya peserta didik
tersebut dari suatu
sekolah. Manajemen Kesiswaan
bukan hanya berbentuk pencatatan data peserta didik, melainkan
meliputi aspek yang lebih luas yang secara operasional
dapat membantu upaya
pertumbuhan dan perkembangan
peserta didik melalui
proses pendidikan di
sekolah.
Pembinaan
kesiswaan sebagai implementasi permendiknas nomor 39 tahun 2008 tentang
pembinaan kesiswaan.
Siswa
merupakan masukan mentah
(raw input) dalam
manajemen sekolah.
Ketercapaian
tujuan pendidikan dimanifestasikan dalam
perubahan pribadi siswa dengan
segala aspeknya. Oleh karena itu, sebenarnyasemua sumber dana dan daya pada akhirnya bermuara pada kepentingan siswa
itu.
Pada
dasarnya siswa merupakan pusat utama
dalam konsepsi persekolahan, dan kesiswaan itu sendiri juga menempati posisi
strategis dalam administrasi
pendidikan pada tingkat sekolah.
Apapun yang dilakukan sekolah, program apapun yang
dirancang sekolah, ujung-ujungnya adalah untuk kepentingan siswa itu sendiri.
Peran kepala sekolah, guru, dan tenaga
profesional yang lain harus menyadari bahwa
titik pusat tujuan sekolah adalah menyediakanprogram pendidikan yang telah direncanakan untuk memenuhi kebutuhan
kemasyarakatan serta kepentingan individu E. Mulyasa, Manajemen Berbasis
Sekolah(Bandung: Remaja Rosdakarya,2005) hlm Engkoswara. Dasar-dasar Administrasi
Pendidikan. (Jakarta : Dirjen Dikti, Depdikbud, 1987) hlm 26 para siswa.
Para siswa merupakan
klien utama yang
harus dilayani, oleh
sebab itu para siswa harus dilibatkan secara aktif dan
tetap,tidak hanya didalam proses belajar mengajar,
melainkan juga di
dalam kegiatan sekolah. Pembinaan atau
manajemen aktivitas siswa
diartikan sebagai usaha
diartikan sebagai usaha
atau kegiatan memberikan
bimbingan, arahan, pemantapan,
peningkatan, arahan terhadap
pola pikir, sikap
mental, perilaku serta
minat, bakat, melalui
program ekstrakurikuler dalam mendukung keberhasilan program kurikuler.
Pembinaan
kesiswaan merupakan bagian
integral dari kebijakan
pendidikan dan berjalan
searah dengan program
kurikuler pada siswa
yang ditekankan kepada kemampuan
intelektual yang mengacu kepada
kemampuan berpikir rasional, sistemik,
analitik, dan metodis.
Sedang program pembinaan
kesiswaan melalui ekstrakurikuler, para siswa juga dibina kearah
mantapnya pemahaman, kesetiaan dan pengalaman nilai-nilai
keimanan dan ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, watak
dan kepribadian bangsa,
berbudi pekerti luhur,
kesadaran berbangsa dan bernegara, keterampilan
dan kemandirian, olah
raga dan kesehatan,
serta persepsi, apresiasi, dan kreasi seni.
Manusia adalah
makhluk yang tidak
dapat hidup hanya bergantung pada kekuatannya
sendiri. Oleh karena itu manusia disebut dengan makhluk sosial artinya unsur kebersamaan dan bermasyarakat harus ada
dan tertanam pada setiap individu.
Dalam
upaya pembentukanya unsur
kebersamaan dan membangun
relasi yang baik Marno
dan Triyo Supriyatno,Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam,(Malang:
Refika Aditama,2008)hlm 91-92 muncul sebagai ungkapan keberhasilan dalam
membangun relasi dengan diri sendiri.
Keistimewaan
manusia dibandingkan dengan
manusia yang lain
adalah pada sisi keunikanya yang
tersusun dari wujud
materialnya, manusia tampak
sebagai yang terlihat oleh panca indra sehingga yang dapat
dibedakan antara satu dengan yang lain dari wujud
rupanya. Apapun aspek
immaterialnya adalah mengemban
misi hidup yang
sangat mulia yang
dimiliki oleh mahluk
lain sehingga manusia
mampu melakukan hubungan
spiritual.
Begitu beragam dan istimewa manusia, dan
begitu banyak pula sisi-sisi lain yang
belum terkuak. System budaya dan pendidikan di Indonesia selama ini belum begitu
memperhatikan jenis-jenis kecerdasan
selain IQ, padahal
manusia pada dasarnya selalu bersifat terbuka untuk cerdas
sesuai dengan pilihan dan lingkunganya.
Mereka
berpikir dan berimajenasi
merasa dan memaknai
sesuatu realitas dan tindakanya
dengan cara yang tidak mungkin semuanya
sama. Awal abad ke-20 , IQ sangat berkembang.
Kecerdasan intelektual atau
rasional adalah kecerdasan
yang digunakan untuk memecahkan
masalah logika atau strategis. Pada tahun 1990 Daniel Golemon mempopulerkan adanya kecerdasan
Emosional (EQ). EQ memberi kita rasa empati, cinta,
motivasi, dan kemampuan
untuk menanggapi kesedihan
dn kegembiraan secara tepat.
Pada akhir abad ke-20, gambaran untuk
kecerdasan manusia dapat dilengkapi dengan perbincangan
mengenai kecerdasan Spiritual
Quotient (SQ). SQ adalah kecerdasan
untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan makna
dan nilai yaitu Reni Akbar Hawadi, Akselerasi, (Jakarta: PT
Grahasindo Perkara,2004) hlm 204 kecerdasan
untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks hidup makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk
menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dengan yang lain.
Spiritual Quotientadalah landasan yang diperlukan untuk
memfungsikan IQ dan EQ secara
efektif. Dalam usaha mengembangkan SQ dalam dunia
pendidikan, maka kesempatan
terbuka lebar, karena secara alamiah setiap manusia memiliki
potensi tersebut.
Dalam
konteks pendidikan SQ
diupayakan agar bisa
membuat anak didik lebih cerdas
dalam beragama. Dengan
artian bahwa anak
didik tidak menjalankan agama secara fanatik, tetapi mampu
menghubungkan sesuatu yang bersifat lahiriyah dengan
ruh esensial dari
setiap ajaran agama.
Dengan demikian anak
didik akan memahami
ajaran agama secara
lengkap baik wujud
eksoteris maupun esoterisnya.
Dengan adanya kegiatan-kegiatan yang diadakan
oleh kesiswaan membiasakan siswa untuk mengaplikasikan nilai-nilai
spiritual, sehingga dalam
menjalankan kegiatan tidak ada paksaan dan kesadaran diri, jika
siswa memiliki spiritual tinggi, hubungan dengan Tuhan baik, dalam artian siswa senang
serta rajin menjalankan ibadah, dalam bergaul
dengan teman, guru, lingkungan sekitar pun
baik serta memiliki kepribadian yang
luhur.
Dalam
perilaku sehari-hari, manusia
sering dihadapkan pada
sebuah dilema psikologis
dalam menghadapi permasalahan
hidup, baik itu
masalah lingkungan, dengan
orang lain, perbedaan
sudut pandang yang
bermula dari diri
sendiri yang hakekat sebenarnya belum disadari.
Oleh
karena itu kadang-kadang banyak masalah yang
tidak dapat diselesaikan secara tuntas, karenabelum adanya pemahaman yang benar
akan inti permasalahan
tersebut, sehingga banyak
orang yang menganggap selesai suatu masalah, padahal dia hanya
menutupi atau melupakan untuk sementara.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi