Jumat, 08 Agustus 2014

Skripsi Syariah:LATAR BELAKANG KUA KEC. BURNEH MELANGSUNGKAN PERKAWINAN DI BAWAH UMURDI DESA BETES KEC. BURNEH KAB. BANGKALAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang Masalah  Perkawinan adalah salah satu asas pokok kehidupan yang paling utama  dalam pergaulan masyarakat yang sempurna. Banyaknya ayat Al-Quran dan  h}adi>s| menjadi bukti bahwa perkawinan adalah hal yang sakral. Seperti firman  Allah pada surat An-Nisa> ayat 1: Artinya:  “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah  menciptakan kamu dari seorang diri dan darinyalah Allah menciptakan istrinya,  dan dari keduanya Allah memeperkembangkan keturunan laki-laki dan  perempuan yang banyak….”   Kata Nikahberasal dari bahasa ArabNika>h}unyang merupakan masdaratau  kata asal dari kata kerja  nakah}a.  Sinonimnya  tazawwaja  kemudian  diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan.Kata nikahsering  kita pergunakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia.

  Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya, Mahkota, 1989), h. 114.
 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2000), h. 11.
 Menurut istilah ilmu fikih, nikah berarti suatu akad (perjanjian) yang  mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual dengan memakai kata-kata  (lafaz|) nikah atautazwij.
 Dalam Islam, pembentukan keluarga dimulai dari sebuah ikatan kuat yang  disebut pernikahan. Pernikahan inilah yang menjadi awal dari segala dialektika  kehidupan dalam berumah tangga. Oleh karena itulah dalam al-Quran dan asSunnah banyak teks yang menyebutkan dan menjelaskan persoalan-persoalan  terkait pernikahan, baik pra-nikah, ketikapernikahan sudah berlangsung, ataupun  pada setelah nikah (ketika terjadi perceraian). Hal ini menunjukkan bahwa  persoalan pernikahan bukanlah hal yang main-main dan bersifat kebutuhan  seksual sementara belaka, tapi lebih dariitu, pernikahan merupakan suatu ikatan  yang sangat kuat (mis|aqon goli>z}an) untuk terciptanya kehidupan rumah tangga  yang harmonis, sakinah, mawaddah wa rohmah.
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq yang dimaksud aqad tersebut adalah  untuk selamanya dan seterusnya sampai meninggal dunia, dengan tujuan agar  suami isteri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga sebagai tempat  berlindung, menikmati naungan kasih sayang dan dapat memelihara anakanaknya hidup dalam pertumbuhan yang baik.
 Oleh karena itu Allah sangat membenci perbuatan ketika ada hambanya  yang memutuskan perjanjian suci tersebut atau kata lain bercerai, hal ini   Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam,(Bandung, Pustaka Setia, 2000),  h. 12-  Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid VIII, Penerj. Moh. Thalib, h. 9.
 tercermin dalam salah satu h}adi>s| Nabi dari Ibnu Majah dan disahkan oleh Hakim,  sabda NabiArtinya:  “Dari Ibnu Umar, dari NabiSAW. telah bersabda, sesuatu yang h}alal yang amat  dibenci Allah ialah talaq.”  1.  Perkawinan Di Bawah Umur  Mengenai perkawinan di bawah umur, Imam al-ghazali menekankan  agar seorang istri harus terlepas darihambatan yang menyebabkan tidak halal  untuk di kawini oleh seorang calon suami, yaitu dalam kalimat:  Artinya :  “Seseorang janda yang belum cukup umur (belum dewasa, baligh) dalam  kedewasaannya ini tidak sah nikahnya kecuali setelah baligh”.
 Kalimat ini menjelaskan bahwa al-Ghazali sangat menekankan  pernikahan dilaksanakan ketika seorang calon suami-istri ini harus baligh. alGhazali tidak menentukan batas usia secara jelas akan tetapi hanya   Imam Khafid Abi Dawud Sulaiman Ibn Asy‘as As-Sajastani, Sunan Abi Dawud juz 2, Kitab  Talaq, No. 2178, h. 120.
 Abu hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz II, h. 40.
 memeberikan batasan baligh yaitu ditandai dengan tumbuhnya bulu ketiak  yang merupakan bukti balighnya seseorang.
 Akan tetapi imam Syafi’i yang merupakan pelopor madzhab yang  diikuti al-Ghazali dalam hal ini (batasusia dewasa) membatasi usia baligh  untuk laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun.
 Dari beberapa keterangan tadi dapat diambil benang merah  bahwasanya upaya pendewasaan usia kawin sampai cukup dewasa agar  mencapai kematangan fisik dan psikologiadalah suatu ikhtiyar manusia yang  patut dihargai dan dapat dipertanggung jawabkan, kecuali ada faktor-faktor  lain yang meyebabkan pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang  perempuan harus dipercepat guna memeliharanya dari dosa yang akan  membawa akibat lebih buruk bagi calon suami-istri tersebut.9  2.  Perkawinan di Bawah UmurMenurut Hukum Islam  Perkawinan menurut hukum Islam tidak menyebutkan mengenai  ketentuan batasan usia dewasa untuk kawin. Batasan kedewasaan itu hanya  upaya ulama, itupun terbatas hanya imam Abu Hanifah yang menetapkan  usia dewasa, yakni 15 tahun. Jika usiadewasa dikaitkan dengan kewajiban  untuk melakukan sholat, maka Islam telah menentukan aqil baligh seseorang  perempuan adalah ditandai dengan menstruasi (biasanya diusia 13 tahun)   Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Madzhab, h. 317.
 Ibid, h. 318.
 Nashruddin, Ilmu Perkawinan, h. 22.
 sedang laki-laki dengan ‘mimpi basah’(biasanya 14 tahun), namun kedua  tanda kedewasaan ini bukan isyarat (langsung dimaknai sebagai ketentuan)  yang membolehkan mereka kawin (batas usia kawin). Usia kawin itu terkait  dengan urusan sosial kemasyrakatan. Jadi, mesti dilihat dulu apa saja kaedahkaedah sosial yang berlaku dalam masyarakat.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi