BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Akad pernikahan dalam Hukum Islam bukanlah
perkara perdata semata, melainkan ikatan
suci (mi>s|a>qangali@z}an) yang terkait dengan keyakinan dan keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada
dimensi ibadah dalam sebuah pernikahan.
Namun, seringkali apa yang menjadi tujuan pernikahan kandas di tengah jalan. Sebenarnya putusnya pernikahan
merupakan hal yang wajar saja, karena
makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat juga dikatakan pernikahan pada dasarnya adalah kontrak.
Dalam konteks keindonesiaan yang notabene
adalah negara hukum, maka segala sesuatu
Permasalahan harus diselesaikan secara hukum. Tak berbeda dengan Permasalahan yang berkaitan dengan
perkawinan. Semuanya telah diatur dan
dituangkan dalam bentuk undang-undang. Seluruh sahabat Nabi SAW menetapkan bahwa di antara hal-hal yang
ditetapkan oleh agama ialah mendirikan
peradilan.
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum
Perdata Islam di Indonesia, h. 206 Mereka
menetapkan peradilan itu adalah “Suatu fard}u yang dikokohkan dan suatu tradisi
yang harus diikuti”.
Lembaga peradilan bertujuan untuk menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan
undang-undang dalam kehidupan bernegara. Karena itu lembaga ini tidak mungkin terlepas dari negara.
Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 dinyatakan: “Kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia”.
Menurut Yahya Harahap, lahirnya Undang-Undang
Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 yang
diundangkan pada tanggal 29 Desember 1989, sepintas telah membawa kejelasan dan
kejernihan fungsi dan kewenangan Peradilan
Agama sebagai salah satu badan peradilan pelaksana kekuasaan kehakiman. Karena bila ditinjau dari segi
tujuan kelahirannya, undang-undang ini bermaksud
mengidentifikasikan serta mempositifkan bidang hukum perdata apa saja yang menjadi kewenangan yurisdiksi
lingkungan Peradilan Agama, terutama berhadapan
dengan lingkungan Peradilan Umum.
Sedangkan menurut Daniel S.
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum
Acara Islam, h. 36- Rifyal Ka’bah,
Penegakan Syariat Islam di Indonesia, h.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman Yahya Harahap,
Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h.v Lev, pengadilan merupakan salah satu simbol
kekuasaan dan Pengadilan Agama Islam
adalah simbol dari kekuasaan Islam.
Dalam sistem peradilan di Indonesia terdapat
saluran yang bisa digunakan oleh
masyarakat agar sengketa bisa diselesaikan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana yang
diamanatkan dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 yaitu melalui lembaga perdamaian (dading). Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg mengatur
mengenai perdamaian. Di dalam pasal
tersebut diaturbahwa pada hari sidang yang ditentukan dan dihadiri oleh para pihak, pengadilan melalui ketua
sidang berusaha untuk mendamaikan sengketa
yang terjadi. Bila perdamaiandisepakati maka dibuatlah akta perdamaian yang mempunyai kekuatan hukum
layaknya putusan, terhadap putusan yang
demikian tidak dapat diupayakan banding.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi