BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Independensi otoritas jasa keuangan dalam melakukan pengawasan perbankan di indonesia
Berjalannya roda
kehidupan suatu negara
sangat dipengaruhi oleh
faktor keuangan, yang
mana perkembangan perekonomian
baik lokal maupun
global membutuhkan perhatian
yang besar dan
serius. Dibutuhkan sistem
keuangan untuk memainkan
peranan penting dalam
meningkatkan pertumbuhan dan kesehatan perekonomian
suatu negara secara
berkelanjutan dan seimbang.
Stabilitas dan
pengembangan sistem keuangan
sangat penting agar
masyarakat meyakini bahwa
sistem keuangan Indonesia
aman, stabil, dan
dapat memenuhi kebutuhan
pengguna jasa keuangan
(http:www.bi.go.id.
Arsitektur Perbankan Indonesia,
diakses tanggal 25
Oktober 2012 pada
pukul 10.00 WIB).
Apabila sistem keuangan
tidak bekerja dengan
baik, maka perekonomian
menjadi tidak efisien
kemudian pertumbuhan ekonomi
yang diharapkan tidak
tercapai serta mengakibatkan terjadinya krisis yang
membutuhkan upaya penyelamatan dengan biaya yang sangat
tinggi. Sistem keuangan
pada dasarnya adalah
tatanan dalam perekonomian
suatu negara yang
memiliki peran terutama
dalam menyediakan fasilitas
jasa-jasa di bidang
keuangan oleh lembaga-lembaga keuangan
dan lembaga-lembaga penunjang
lainnya.
Sistem keuangan
Indonesia dikendalikan oleh
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dan perbankan, Kementrian
Keuangan sebagai otoritas Lembaga Keuangan Bukan
Bank dan Lembaga
Pembiayaan dan Badan
Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM-LK)
sebagai otoritas pengawas
pasar modal. Tetapi
setelah disahkannya Undang-Undang
Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan pada
tanggal 22 November
2011 maka tugas,
fungsi, dan wewenang pembinaan
dan pengawasan atas
sektor jasa keuangan
beralih ke Otoritas
Jasa Keuangan (OJK),
yang mana OJK
akan mengambil alih
sebagian tugas dan wewenang Bank
Indonesia, Pasar Modal,
Ditjen Lembaga Keuangan,
Badan Pengawas Pasar
Modal (Bapepam-LK), dan
institusi pemerintah lain
yang memang mengawasi lembaga
pengelola dana masyarakat.
1 Tujuan
pembentukan OJK ini
agar Bank Indonesia
fokus kepada pengendalian inflasi dan nilai tukar sehingga
tidak perlu mengurusi pengawasan bank karena
bank itu merupakan
sektor utama dalam
perekonomian.
Pembentukan OJK
merupakan kompromi terbaik
demi masa depan
sistem keuangan di Indonesia yang
lebih efektif dan efisien dengan adanya kesatuan atap dalam pengawasan lembaga keuangan mulai dari
bank, pasar modal, dan asuransi.
Selama ini pengawasan bank
dilakukan oleh Bank Indonesia dengan kewenangan yang dimiliki berdasarkan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
telah beberapa kali
diubah terakhir dengan
UndangUndang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2008
tentang Perubahan Keuda
atas UndangUndang Tahun 1999
Nomor 23 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Bank
Indonesia.
Jika dirunut
dari konsep pembentukan
OJK sebenarnya diusulkan
oleh Kementrian Keuangan dengan
penekanan pada pelepasan fungsi pengawasan dari Bank
Indonesia. Karena pada
kenyataannya Pemerintah dan
Bank Indonesia masih belum menemukan titik temu untuk solusi
pelaksanaan sistem pengawasan perbankan (Andika
Hendra Mustaqim, 2010:
8). Pengalihan tugas
pengawasan bank didasarkan
atas pandangan bahwa
antara tujuan menjaga
stabilitas nilai rupiah dengan tugas pengawasan bank dapat
menimbulkan benturan kepentingan.
Oleh karena itu tugas pengawasan
bank harus dipisahkan dari bank sentral.
Dengan dibentuknya OJK memberikan
arahan dan garis besar yang jelas dalam
solusi sistem keuangan
nasional yang masih
belum tertata dengan
baik.
Ada secercah harapan jika OJK
terbentuk, maka akan adanya kekuatan baru yang mampu
menjadi barometer dalam
perlindungan Indonesia terhadap
krisis keuangan. Krisis
keuangan yang bisa
membuat trauma negara
Indonesia, yaitu kriris
keuangan yang memporak-porandakan sistem
keuangan pada tahun 1997.
Bank Indonesia
dianggap tidak dapat
menjalankan tugasnya dengan
efektif sehingga menimbulkan
krisis keuangan yang
parah, maka dari
itu dilakukan berbagai
perombakan-perombakan dalam sistem
keuangan nasional. Tujuannya satu,
yakni menciptakan pondasi
yang kuat sehingga
ekonomi Indonesia tidak mudah
terserang virus goncangan
ekonomi yang meruntuhkan
sendi-sendi perekonomian nasional
(Andika Hendra Mustaqim, 2010:9).
Kasus yang pernah dialami Negara Indonesia
yaitu krisis keuangan pada tahun 1997
yang dipicu oleh
pelaksanaan kebijakan Bank
Indonesia dalam hal inkonsistensi
pelaksanaan tugas pengawasan di bidang perbankan. Salah satunya adalah penerapan beberapa program yang dimulai
dengan program exit policy atau penutupan bank
yang awalnya dilakukan
terhadap (16) enam
belas bank pada bulan November
1997 dikarenakan Indonesia
mulai terkena dampak
atas krisis keuangan
yang terjadi di
Asia (Zaidatul Amina,
2012:3). Kemudian untuk mencegah
semakin terpuruknya sistem perbankan nasional, Bank Indonesia telah memberikan
kredit likuiditas darurat
kepada beberapa bank
yang mengalami kesulitan
likuiditas akibat adanya
penarikan dana secara
besar-besaran oleh sebagian besar anggota masyarakat dalam jangka waktu yang bersamaan karena menurunnya
kepercayaan terhadap sistem
perbankan ditambah dengan ketidakpastian sosial dan kerusuhan sosial (Kusumaningtuti
SS, 2010: 99). Krisis yang
terjadi di Indonesia
menunjukkan lemahnya struktur
ekonomi nasional Indonesia
dalam menghadapi krisis
global dan kurang
optimalnya fungsi yang dijalankan
oleh Bank Indonesia selaku otoritas perbankan.
Kritik terhadap Bank Indonesia
timbul terutama pada kegiatan pemberian bantuan
likuiditas dikaitkan dengan lemahnya pengawasan atas kegiatan pinjaman tersebut.
Kemudian pemberian kredit
likuiditas darurat banyak
dipermasalahkan saat diketahui
kemudian bahwa pengurus dan pemilik bank-bank yang mendapat bantuan
kredit likuiditas darurat
tersebut, melakukan penyimpangan
dalam penggunaannya. Penyimpangan
penggunaan kredit likuiditas
darurat tersebut selain disebabkan oleh lemahnya pengawasan,
budaya hukum (legal culture), juga turut dipengaruhi
oleh dinamika kehidupan
politik, yang masih
sarat dengan praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Atas krisis
ekonomi pada tahun
1997-1998 terjadi permasalahan
ikut campurnya pemerintah
dalam tugas dan
wewenang Bank Indonesia
sebagai lembaga pengawas
perbankan, demikian dikatakan oleh Wimboh Santosa dalam artikelnya yang berjudul “Pemisahan Fungsi
Pengawasan Bank dari Bank Sentral yang Penulis
kutip dalam buku
Hukum Perbankan (Perlindungan
Hukum Terhadap Nasabah
Penyimpan Melalui Pengawasan
Perbankan di Indonesia) karangan Sulistyandari, bahwa penyebab utama
lemahnya pengawasan oleh Bank Indonesia sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia adalah
karena intervensi atau campur tangan pemerintah terhadap kebijakan
yang seharusnya menjadi
wewenang Bank Indonesia (Sulistyandari, 2012:
126). Didik J.
Rachbini dalam bukunya
“Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral” yang Penulis ambil
dalam buku “Hukum Perbankan (Perlindungan Hukum
Terhadap Nasabah Penyimpan
Melalui Pengawasan Perbankan
di Indonesia)” karangan
Sulistyandari, mengatakan bahwa
UndangUndang Bank Indonesia merupakan kerangka hukum formal bagi Bank
Indonesia untuk memainkan
peranan barunya yang
independen dan dapat mempertanggungjawabkan akuntabilitasnya. Undang-Undang
Bank Indonesia merupakan
tonggak sejarah dan
sekaligus menjadi momentum
yang sangat berharga
bagi Bank Indonesia
untuk tampil sebagai
lembaga yang independen, kredibel,
dan mampu berperan
sebagaimana layaknya sebuah
Bank Sentral (Sulistyandari, 2012:127-128).
Atas kasus Bank Century pada
tahun 2008, independensi Bank Indonesia kembali mendapatkan
sorotan, dimana pada
saat itu Bank
Indonesia merekomendasikan bail-out
atau dana talangan
sebesar Rp 6,76 triliun dan menyalurkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP)
terhadap Bank Century terkait fungsinya sebagai lender of the last resort dalam rangka untuk mengatasi terjadinya
resiko sistemik, dan
ternyata bail out
tersebut dipermasalahkan oleh DPR
dan berbuntut panjang sampai sekarang, karena permasalahan melebar tidak hanya masalah
ekonomi, tetapi meluas
menjadi masalah hukum
dan politik sampai sekarang.
Seperti yang telah dijelaskan
dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia
tugas Bank Indonesia
sebagai pengawas perbankan hanya sampai pada tahun 2002, yang
kemudian tugas mengawasi bank akan dilakukan
oleh Lembaga Pengawas
Jasa Keuangan yang
independen dan dibentuk dengan undang-undang, namun dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia yang kemudian diubah lagi dengan UndangUndang Nomor
6 Tahun 2009,
bahwa amanat untuk
membentuk lembaga pengawasan
sektor jasa keuangan
yang independen ditunda
selambat-lambatnya tanggal 31
Desember tahun 2010.
Pengalihan tugas pengawasan
bank ini disebabkan kegagalan Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen dalam
melaksanakan tugas dan
kewenangan untuk melakukan
pengawasan perbankan. Kegagalan
Bank Indonesia dalam
melaksanakan tugasnya disampaikan
oleh Imam Sugema
seorang pengamat ekonomi
yang memberikan wawancaranya kepada Hukum Online tanggal 6
Juni 2008: Pada akhirnya yang paling
penting itu pengawasannya efektif atau tidak.
Karena pada
prinsipnya dibentuk OJK
agar supaya pengawasan
itu menjadi terintegrasi
dan koordinasinya menjadi
lebih mudah sehingga pengawasan
dan regulasinya menjadi
efektif, karena sekarang kecenderungannya perbankan
juga terlibat dalam
berbagai transaksi misalkan
di pasar modal,
industri asuransi, artinya industri
finansial kita sudah terjadi konvergensi, dimana antara
lembaga keuangan itu kemudian melalui berbagai
sinergi. Bank juga
memiliki berbagai anak
perusahaan termasuk di dalamnya
asuransi kemudian lembaga investasi, broker saham, dll. Kebutuhannya memang adalah untuk
menyatukan pengawasan, karena nanti diharapkan
pengawasan ini lebih
terkonsolidasi (Afika Yumya Syahmi,
2008:29).
Mencermati beberapa
kasus dan pertimbangan
diatas maka perlu
adanya lembaga yang
mempunyai kewenangan untuk
melakukan fungsi pengawasan perbankan
di Indonesia yang
bertujuan untuk menghindari
permasalahanpermasalahan terkait dalam bidang perbankan. Miranda Swaray Goeltom, dalam wawancaranya kepada Bisnis Indonesia edisi 5
Maret 2003, mengatakan bahwa: Pembentukan OJK harus dipahami sebagai suatu
challenge yang besar dan memerlukan
beberapa prakondisi atau
prasyarat, seperti: Pertama, perubahan itu tidak dilakukan pada saat sistem
keuangan yang belum kuat.
Semua lembaga keuangan
saling terkait, asuransi,
perbankan dan sebagainya; Kedua, berkaitan dengan bagaimana
pembiayaan lembaga ini (OJK). Kalau
suatu lembaga pengawasan
independen, maka dia
jangan tergantung dengan pihak
yang diawasinya. Memang ada contoh seperti itu.
Di Inggris
Financial Service Authority
(FSA) dibiayai oleh
iuran dari bank-bank, asuransi, dan lembaga keuangan yang
diawasinya.
Tetapi di sana legal infrastructure jelas, peraturan jelas, sehingga sesuatu yang kurang sehat yang membuat FSA tidak bisa
mengawasi dengan benar dapat dihindari;
Ketiga, pada saat koordinasi menjadi luxurious dan mahal, maka
sebetulnya mengeluarkan perbankan
misalnya dari suatu
kebijakan pengawasan bank
sentral, bisa mengurangi
manfaat maksimal yang diperoleh
kalau pengawasan itu ada di dalam bank sentral, sehingga dapat diperoleh informasi yang sangat diperlukan
untuk pengambilan kebijakan moneter. Karena
ini sangat terkait,
pada dasarnya kebijakan
moneter itu terlaksananya
melalui perbankan. Kalau
informasi mengenai kondisi perbankan tidak dapat kita peroleh dengan
segera, maka ada kemungkinan kebijakan
yang dihasilkan terlambat atau salah arah; Keempat, OJK hanya dapat
berjalan dengan baik
kalau sumber daya
manusianya tangguh dan memadai. Untuk
menciptakan SDM yang
tangguh dan memadai memerlukan waktu yang sangat panjang (Afika
Yumya Syahmi, 2008:29).
Berkait dengan
fungsi pengawasan oleh
Bank Indonesia di
bidang perbankan perlu
dikaji lebih lanjut
dalam suatu penulisan
hukum guna mendapatkan
suatu rekomendasi ataupun
pembahasan hukum yang
dapat memberikan kontribusi
di dalam fungsi
lembaga independen dalam
melakukan pengawasan khususnya di
bidang perbankan yang dalam hal ini dibentuknya OJK sesuai
dengan Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Yang mana OJK adalah lembaga dalam fungsinya untuk mengatur dan mengawasi
kegiatan sektor jasa
keuangan dan dalam
melaksanakan tugas serta wewenanganya setiap
pihak dilarang campur
tangan. Maksud dari
larangan campur tangan
pihak lain adalah
untuk menjamin terselenggaranya pengawasan sektor
jasa keuangan khususnya
perbankan yang optimal,
OJK harus dapat bekerja secara
independen dalam membuat
dan menerapkan tugas
dan wewenanganya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Dikarenakan kewenangan OJK dalam
mengatur dan mengawasi perbankan baru akan
beralih pada awal
tahun 2014 yaitu
pada tanggal 1
Januari 2014 sehingga
belum dapat dilihat
bagaimana OJK melaksanakan
tugas dan wewenangnya. Maka dari itu kajian hukum
terkait Otoritas Jasa Keuangan perlu dilakukan guna
memberikan suatu kontribusi
dan saran berkait
dengan pembangunan hukum di
bidang perbankan.
Skripsi Hukum: Independensi otoritas jasa keuangan dalam melakukan pengawasan perbankan di indonesia
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut