Rabu, 10 Desember 2014

Skripsi Hukum: Independensi otoritas jasa keuangan dalam melakukan pengawasan perbankan di indonesia

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Masalah.
 Skripsi Hukum: Independensi otoritas jasa keuangan dalam melakukan pengawasan perbankan di indonesia
Berjalannya  roda  kehidupan  suatu  negara  sangat  dipengaruhi  oleh  faktor  keuangan,  yang  mana  perkembangan  perekonomian  baik  lokal  maupun  global  membutuhkan  perhatian  yang  besar  dan  serius.  Dibutuhkan  sistem  keuangan  untuk  memainkan  peranan  penting  dalam  meningkatkan  pertumbuhan  dan  kesehatan  perekonomian  suatu  negara  secara  berkelanjutan  dan  seimbang.

Stabilitas  dan  pengembangan  sistem  keuangan  sangat  penting  agar  masyarakat  meyakini  bahwa  sistem  keuangan  Indonesia  aman,  stabil,  dan  dapat  memenuhi  kebutuhan  pengguna  jasa  keuangan  (http:www.bi.go.id.
Arsitektur  Perbankan  Indonesia,  diakses  tanggal  25  Oktober  2012  pada  pukul  10.00  WIB).  Apabila  sistem  keuangan  tidak  bekerja  dengan  baik,  maka  perekonomian  menjadi  tidak  efisien  kemudian  pertumbuhan  ekonomi  yang  diharapkan  tidak  tercapai  serta  mengakibatkan terjadinya krisis yang membutuhkan upaya penyelamatan dengan  biaya  yang  sangat  tinggi.  Sistem  keuangan  pada  dasarnya  adalah  tatanan  dalam  perekonomian  suatu  negara  yang  memiliki  peran  terutama  dalam  menyediakan  fasilitas  jasa-jasa  di  bidang  keuangan  oleh  lembaga-lembaga  keuangan  dan  lembaga-lembaga penunjang lainnya.
Sistem  keuangan  Indonesia  dikendalikan  oleh  Bank  Indonesia  sebagai  otoritas moneter dan perbankan, Kementrian Keuangan sebagai otoritas Lembaga  Keuangan  Bukan  Bank  dan  Lembaga  Pembiayaan  dan  Badan  Pengawas  Pasar  Modal  (BAPEPAM-LK)  sebagai  otoritas  pengawas  pasar  modal.  Tetapi  setelah  disahkannya  Undang-Undang  Nomor  21  Tahun  2011  tentang  Otoritas  Jasa  Keuangan  pada  tanggal  22  November  2011  maka  tugas,  fungsi,  dan  wewenang  pembinaan  dan  pengawasan  atas  sektor  jasa  keuangan  beralih  ke  Otoritas  Jasa  Keuangan  (OJK),  yang  mana  OJK  akan  mengambil  alih  sebagian  tugas  dan  wewenang  Bank  Indonesia,  Pasar  Modal,  Ditjen  Lembaga  Keuangan,  Badan  Pengawas  Pasar  Modal  (Bapepam-LK),  dan  institusi  pemerintah  lain  yang  memang mengawasi lembaga pengelola dana masyarakat.
1    Tujuan  pembentukan  OJK  ini  agar  Bank  Indonesia  fokus  kepada  pengendalian inflasi dan nilai tukar sehingga tidak perlu mengurusi pengawasan  bank  karena  bank  itu  merupakan  sektor  utama  dalam  perekonomian.
Pembentukan  OJK  merupakan  kompromi  terbaik  demi  masa  depan  sistem  keuangan di Indonesia yang lebih efektif dan efisien dengan adanya kesatuan atap  dalam pengawasan lembaga keuangan mulai dari bank, pasar modal, dan asuransi.
Selama ini pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia dengan kewenangan  yang dimiliki berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank  Indonesia  sebagaimana  telah  beberapa  kali  diubah  terakhir  dengan  UndangUndang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti  Undang-Undang  Nomor  2  Tahun  2008  tentang  Perubahan  Keuda  atas  UndangUndang Tahun 1999 Nomor 23 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang  untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Bank Indonesia.
Jika  dirunut  dari  konsep  pembentukan  OJK  sebenarnya  diusulkan  oleh  Kementrian Keuangan dengan penekanan pada pelepasan fungsi pengawasan dari  Bank  Indonesia.  Karena  pada  kenyataannya  Pemerintah  dan  Bank  Indonesia  masih belum menemukan titik temu untuk solusi pelaksanaan sistem pengawasan  perbankan  (Andika  Hendra  Mustaqim,   2010:  8).  Pengalihan  tugas  pengawasan  bank  didasarkan  atas  pandangan  bahwa  antara  tujuan  menjaga  stabilitas  nilai  rupiah dengan tugas pengawasan bank dapat menimbulkan benturan kepentingan.
Oleh karena itu tugas pengawasan bank harus dipisahkan dari bank sentral.
Dengan dibentuknya OJK memberikan arahan dan garis besar  yang jelas  dalam  solusi  sistem  keuangan  nasional  yang  masih  belum  tertata  dengan  baik.
Ada secercah harapan jika OJK terbentuk, maka akan adanya kekuatan baru yang  mampu  menjadi  barometer  dalam  perlindungan  Indonesia  terhadap  krisis  keuangan.  Krisis  keuangan  yang  bisa  membuat  trauma  negara  Indonesia,  yaitu  kriris  keuangan  yang  memporak-porandakan  sistem  keuangan  pada  tahun  1997.
Bank  Indonesia  dianggap  tidak  dapat  menjalankan  tugasnya  dengan  efektif  sehingga  menimbulkan  krisis  keuangan  yang  parah,  maka  dari  itu  dilakukan  berbagai  perombakan-perombakan  dalam  sistem  keuangan  nasional.  Tujuannya  satu,  yakni  menciptakan  pondasi  yang  kuat  sehingga  ekonomi  Indonesia  tidak    mudah  terserang  virus  goncangan  ekonomi  yang  meruntuhkan  sendi-sendi  perekonomian nasional (Andika Hendra Mustaqim, 2010:9).
Kasus  yang pernah dialami Negara  Indonesia  yaitu krisis keuangan pada  tahun  1997  yang  dipicu  oleh  pelaksanaan  kebijakan  Bank  Indonesia  dalam  hal  inkonsistensi pelaksanaan tugas pengawasan di bidang perbankan. Salah satunya  adalah penerapan beberapa program yang dimulai dengan program exit policy atau  penutupan  bank  yang  awalnya  dilakukan  terhadap  (16)  enam  belas  bank  pada  bulan  November  1997  dikarenakan  Indonesia  mulai  terkena  dampak  atas  krisis  keuangan  yang  terjadi  di  Asia  (Zaidatul  Amina,  2012:3).  Kemudian  untuk  mencegah semakin terpuruknya sistem perbankan nasional, Bank Indonesia telah  memberikan  kredit  likuiditas  darurat  kepada  beberapa  bank  yang  mengalami  kesulitan  likuiditas  akibat  adanya  penarikan  dana  secara  besar-besaran  oleh  sebagian besar anggota  masyarakat dalam jangka waktu  yang bersamaan karena  menurunnya  kepercayaan  terhadap  sistem  perbankan  ditambah  dengan  ketidakpastian sosial dan kerusuhan sosial (Kusumaningtuti SS, 2010: 99).  Krisis  yang  terjadi  di  Indonesia  menunjukkan  lemahnya  struktur  ekonomi  nasional  Indonesia  dalam  menghadapi  krisis  global  dan  kurang  optimalnya  fungsi  yang  dijalankan oleh Bank Indonesia selaku otoritas perbankan.
Kritik terhadap Bank Indonesia timbul terutama pada kegiatan pemberian  bantuan likuiditas dikaitkan dengan lemahnya pengawasan atas kegiatan pinjaman  tersebut.  Kemudian  pemberian  kredit  likuiditas  darurat  banyak  dipermasalahkan  saat diketahui kemudian bahwa pengurus dan pemilik bank-bank yang mendapat  bantuan  kredit  likuiditas  darurat  tersebut,  melakukan  penyimpangan  dalam  penggunaannya.  Penyimpangan  penggunaan  kredit  likuiditas  darurat  tersebut  selain disebabkan oleh lemahnya pengawasan, budaya hukum (legal culture), juga  turut  dipengaruhi  oleh  dinamika  kehidupan  politik,  yang  masih  sarat  dengan  praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Atas  krisis  ekonomi  pada  tahun  1997-1998  terjadi  permasalahan  ikut  campurnya  pemerintah  dalam  tugas  dan  wewenang  Bank  Indonesia  sebagai  lembaga pengawas perbankan, demikian dikatakan oleh Wimboh Santosa dalam  artikelnya yang berjudul “Pemisahan Fungsi Pengawasan Bank dari Bank Sentral    yang  Penulis  kutip  dalam  buku  Hukum  Perbankan  (Perlindungan  Hukum  Terhadap  Nasabah  Penyimpan  Melalui  Pengawasan  Perbankan  di  Indonesia)  karangan Sulistyandari, bahwa penyebab utama lemahnya pengawasan oleh Bank  Indonesia  sebelum  berlakunya  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  1999  tentang  Bank Indonesia adalah karena intervensi atau campur tangan pemerintah terhadap  kebijakan  yang  seharusnya  menjadi  wewenang  Bank  Indonesia  (Sulistyandari,  2012:  126).  Didik  J.  Rachbini  dalam  bukunya  “Bank  Indonesia  Menuju  Independensi Bank Sentral” yang Penulis ambil dalam buku “Hukum Perbankan  (Perlindungan  Hukum  Terhadap  Nasabah  Penyimpan  Melalui  Pengawasan  Perbankan  di  Indonesia)”  karangan  Sulistyandari,  mengatakan  bahwa  UndangUndang Bank Indonesia merupakan kerangka hukum formal bagi Bank Indonesia  untuk  memainkan  peranan  barunya  yang  independen  dan  dapat  mempertanggungjawabkan  akuntabilitasnya.  Undang-Undang  Bank  Indonesia  merupakan  tonggak  sejarah  dan  sekaligus  menjadi  momentum  yang  sangat  berharga  bagi  Bank  Indonesia  untuk  tampil  sebagai  lembaga  yang  independen,  kredibel,  dan  mampu  berperan  sebagaimana  layaknya  sebuah  Bank  Sentral  (Sulistyandari, 2012:127-128).
Atas kasus Bank Century pada tahun 2008, independensi Bank Indonesia  kembali  mendapatkan  sorotan,  dimana  pada  saat  itu  Bank  Indonesia  merekomendasikan  bail-out  atau  dana  talangan  sebesar  Rp  6,76  triliun  dan  menyalurkan  Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) terhadap  Bank Century  terkait fungsinya sebagai  lender of the last resort  dalam rangka untuk mengatasi  terjadinya  resiko  sistemik,  dan  ternyata  bail  out  tersebut  dipermasalahkan  oleh  DPR dan berbuntut panjang sampai sekarang, karena permasalahan melebar  tidak  hanya  masalah  ekonomi,  tetapi  meluas  menjadi  masalah  hukum  dan  politik  sampai sekarang.
Seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23  Tahun  1999  tentang  Bank  Indonesia  tugas  Bank  Indonesia  sebagai  pengawas  perbankan hanya sampai pada tahun 2002, yang kemudian tugas mengawasi bank  akan  dilakukan  oleh  Lembaga  Pengawas  Jasa  Keuangan  yang  independen  dan  dibentuk dengan undang-undang, namun dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun    2004  tentang  Perubahan  Atas  Undang-Undang  Republik  Indonesia  Nomor  23  Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diubah lagi dengan UndangUndang  Nomor  6  Tahun  2009,  bahwa  amanat  untuk  membentuk  lembaga  pengawasan  sektor  jasa  keuangan  yang  independen  ditunda  selambat-lambatnya  tanggal  31  Desember  tahun  2010.  Pengalihan  tugas  pengawasan  bank  ini  disebabkan kegagalan Bank  Indonesia sebagai lembaga negara  yang independen  dalam  melaksanakan  tugas  dan  kewenangan  untuk  melakukan  pengawasan  perbankan.  Kegagalan  Bank  Indonesia  dalam  melaksanakan  tugasnya  disampaikan  oleh  Imam  Sugema  seorang  pengamat  ekonomi  yang  memberikan  wawancaranya kepada Hukum Online tanggal 6 Juni 2008: Pada akhirnya  yang paling penting itu pengawasannya efektif atau tidak.
Karena  pada  prinsipnya  dibentuk  OJK  agar  supaya  pengawasan  itu  menjadi  terintegrasi  dan  koordinasinya  menjadi  lebih  mudah  sehingga  pengawasan  dan  regulasinya  menjadi  efektif,  karena  sekarang  kecenderungannya  perbankan  juga  terlibat  dalam  berbagai  transaksi  misalkan  di  pasar  modal,  industri  asuransi,  artinya  industri  finansial  kita  sudah terjadi konvergensi, dimana antara lembaga keuangan itu kemudian  melalui  berbagai  sinergi.  Bank  juga  memiliki  berbagai  anak  perusahaan  termasuk di dalamnya asuransi kemudian lembaga investasi, broker saham,  dll. Kebutuhannya memang adalah untuk menyatukan pengawasan, karena  nanti  diharapkan  pengawasan  ini  lebih  terkonsolidasi  (Afika  Yumya  Syahmi, 2008:29).
Mencermati  beberapa  kasus  dan  pertimbangan  diatas  maka  perlu  adanya  lembaga  yang  mempunyai  kewenangan  untuk  melakukan  fungsi  pengawasan  perbankan  di  Indonesia  yang  bertujuan  untuk  menghindari  permasalahanpermasalahan terkait dalam bidang perbankan.  Miranda Swaray Goeltom, dalam  wawancaranya kepada Bisnis Indonesia edisi 5 Maret 2003, mengatakan bahwa: Pembentukan OJK harus dipahami sebagai suatu challenge  yang besar dan  memerlukan  beberapa  prakondisi  atau  prasyarat,  seperti:  Pertama,  perubahan itu tidak dilakukan pada saat sistem keuangan yang belum kuat.
  Semua  lembaga  keuangan  saling  terkait,  asuransi,  perbankan  dan  sebagainya; Kedua, berkaitan dengan bagaimana pembiayaan lembaga ini  (OJK).  Kalau  suatu  lembaga  pengawasan  independen,  maka  dia  jangan  tergantung dengan pihak yang diawasinya. Memang ada contoh seperti itu.
Di  Inggris  Financial  Service  Authority  (FSA)  dibiayai  oleh  iuran  dari  bank-bank, asuransi, dan lembaga keuangan yang diawasinya.
Tetapi di sana  legal infrastructure  jelas, peraturan jelas, sehingga sesuatu  yang kurang sehat yang membuat FSA tidak bisa mengawasi dengan benar  dapat dihindari; Ketiga, pada saat koordinasi menjadi luxurious dan mahal,  maka  sebetulnya  mengeluarkan  perbankan  misalnya  dari  suatu  kebijakan  pengawasan  bank  sentral,  bisa  mengurangi  manfaat  maksimal  yang  diperoleh kalau pengawasan itu ada di dalam bank sentral, sehingga dapat  diperoleh informasi yang sangat diperlukan untuk pengambilan kebijakan  moneter.  Karena  ini  sangat  terkait,  pada  dasarnya  kebijakan  moneter  itu  terlaksananya  melalui  perbankan.  Kalau  informasi  mengenai  kondisi  perbankan tidak dapat kita peroleh dengan segera, maka ada kemungkinan  kebijakan yang dihasilkan terlambat atau salah arah; Keempat, OJK hanya  dapat  berjalan  dengan  baik  kalau  sumber  daya  manusianya  tangguh  dan  memadai.  Untuk  menciptakan  SDM  yang  tangguh  dan  memadai  memerlukan waktu yang sangat panjang (Afika Yumya Syahmi, 2008:29).
Berkait  dengan  fungsi  pengawasan  oleh  Bank  Indonesia  di  bidang  perbankan  perlu  dikaji  lebih  lanjut  dalam  suatu  penulisan  hukum  guna  mendapatkan  suatu  rekomendasi  ataupun  pembahasan  hukum  yang  dapat  memberikan  kontribusi  di  dalam  fungsi  lembaga  independen  dalam  melakukan  pengawasan khususnya di bidang perbankan yang dalam hal ini dibentuknya OJK  sesuai  dengan  Undang-Undang  Nomor  21  Tahun  2011  tentang  Otoritas  Jasa  Keuangan. Yang mana OJK adalah lembaga dalam fungsinya untuk mengatur dan  mengawasi  kegiatan  sektor  jasa  keuangan  dan  dalam  melaksanakan  tugas  serta  wewenanganya  setiap  pihak  dilarang  campur  tangan.  Maksud  dari  larangan  campur  tangan  pihak  lain  adalah  untuk  menjamin  terselenggaranya  pengawasan  sektor  jasa  keuangan  khususnya  perbankan  yang  optimal,  OJK  harus  dapat  bekerja  secara  independen  dalam  membuat  dan  menerapkan  tugas  dan  wewenanganya  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  2  ayat  (2)  Undang-Undang  Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Dikarenakan kewenangan OJK dalam mengatur dan mengawasi perbankan  baru  akan  beralih  pada  awal  tahun  2014  yaitu  pada  tanggal  1  Januari  2014  sehingga  belum  dapat  dilihat  bagaimana  OJK  melaksanakan  tugas  dan  wewenangnya. Maka dari itu kajian hukum terkait Otoritas Jasa Keuangan perlu  dilakukan  guna  memberikan  suatu  kontribusi  dan  saran  berkait  dengan  pembangunan hukum di bidang perbankan.

 Skripsi Hukum: Independensi otoritas jasa keuangan dalam melakukan pengawasan perbankan di indonesia

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus

pesan skripsi