BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara defenitif, pada awalnya
pengertian pembangunan ekonomi diberi pemahaman yang sama dengan pertumbuhan
ekonomi (Jhingan, 1988:4-5). Pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan produksi atau
pendapatan per kapita dari suatu negara yang biasanya diukur dengan GNP (total
output barang dan jasa). Dengan pengertian yang seperti ini biasanya untuk mengukur
keberhasilan pembangunan ekonomi digunakan indikator seperti pembentukan modal
dan pendapatan per kapita. Sedangkan strategi umum untuk bisa mencapai tujuan
itu antara lain melalui modal asing (foreign direct
investment) dan
industrialisasi.
Masalah pembangunan khususnya pembangunan ekonomi terus
mengalami perkembangan. Sampai saat ini pun para ahli dari berbagai bidang ilmu
pengetahuan dan badan-badan pemerintahan dari berbagai tingkatan bahkan badan
internasional, memberikan perhatian yang besar terhadap berbagai aspek yang
berkaitan dengan pembangunan ekonomi. Apalagi disadari akan pentingnya arti
pembangunan dimana tanpa adanya pertumbuhan ekonomi maka masalah-masalah sosial
ekonomi yang berat seperti pengentasan kemiskinan, perluasan kesempatan kerja,
dan peningkatan taraf hidup masyarakat, tidak akan dapat dipecahkan.
Ketika akan memulai pembangunan, negara-negara berkembang
menghadapi dua permasalahan fundamental yakni ketergantungan ekonomi dan
ketidakstabilan politik. Diyakini bahwa pada saat pembangunan ekonomi dikerjakan,
stabilitas politik – sebagai conditio sine qua non dapat dilakukannya pembangunan – harus mendapatkan
prioritas untuk diusahakan pencapaiannya. Berdasarkan teori pembangunan oleh WW
Rostow dan Harrod-Domar, untuk bisa mencapai target pembangunan yang telah
ditetapkan, strategi pembangunan adalah kuncinya. Negara harus dapat mencapai
tingkat tabungan dan investasi sebesar 10 sampai 15 persen dari pendapatan
nasional. Apa yang dikemukakan Rostow adalah hasil pengamatannya terhadap
negara-negara maju yang telah melalui lima tahap pembangunan yaitu tahap
masyarakat tradisional, prakondisi tinggal landas, tinggal landas, menuju
kedewasaan, dan konsumsi massa tingkat tinggi. Tahap tinggal landas dianggap
sebagai tahap yang paling kritis (critical period) dalam perjalanan pembangunan ekonomi
suatu negara.
Seperti teori diatas, dapat dikatakan bahwa negara-negara
berkembang menerapkan proses industrialisasi dalam tahap awal pembangunan. Hal
ini dilakukan karena tanpa adanya industrialisasi, sulit diharapkan adanya
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustained economic
groth). Dalam
hal ini, transformasi stuktur dikehendaki karena dipandang sektor pertanian
tidak memiliki value added yang tinggi serta term
of trade yang rendah.
Strategi industrialisasi ini telah menjadi semacam ‘ideologi’
yang dipercaya kemanjurannya. Namun persoalan yang muncul justru ketika
disepakati sektor industri sebagai basis pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan
sektor yang lainnya. Sektor industri dituntut untuk bekerja seproduktif dan
seefisien mungkin sehingga dapat menjadi mesin pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya
sektor yang lain tidak mencapai pertumbuhan yang signifikan karena cenderung
diabaikan. Keyakinan bahwa sektor industri merupakan sektor yang dapat mamacu
pertumbuhan memang dapat dipahami namun dapat pula berlebihan jika sektor
industri tumbuh tanpa didukung oleh sektor lainnya, khususnya bagi negara yang
memiliki endowment factor di sektor pertanian seperti Indonesia. Berdasarkan Teori
Sektor (Sector Theory of growth) oleh Clark-Fisher, kenaikan
pendapatan per kapita akan diikuti oleh penurunan dalam proporsi sumberdaya
yang digunakan dalam sektor pertanian (sektor primer) dan kenaikan dalam sektor
sekunder dan kemudian diikuti oleh sektor jasa (sektor tersier). Laju
pertumbuhan dalam sektor ini mengalami perubahan.
Proses pembangunan di Indonesia sejak awal telah difokuskan
pada pergeseran aktivitas ekonomi dari yang awalnya terpusat pada sektor
pertanian kemudian secara perlahan pindah ke sektor industri dan jasa yang
kemudian dikenal dengan strategi industrialisasi. Melalui
kebijakan-kebijakannya, pemerintah mulai membuka pintu bagi para investor yang
ingin berinvestasi dalam bidang industri.
Dalam waktu yang relatif cepat, proses industrialisasi ini
menunjukkan hasil yang cukup baik. Hal ini terindikasi dari peningkatan
pendapatan per kapita, ekspansi investasi, pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi, dan kesempatan kerja yang semakin luas. Dari perkembangan itulah dapat
dikatakan bahwa Indonesia telah memasuki fase industrialisasi. Adapun
motor-motor penggerak perekonomian Indonesia dari periode ke periode adalah: 1.
Sektor pertanian sepanjang dekade 1970-an.
2. Sektor industri sepanjang dekade 1980-an.
3. Sektor perdagangan dan jasa sepanjang dekade 1990-an.
Berubahnya basis perekonomian negara ini dapat dilihat dari
laporan World Bank dimana struktur perekonomian kota-kota di Indonesia
mengalami pergeseran dari pertanian ke industri. Lembaga ini memperkirakan
kontribusi sektor pertanian berkurang dari 20,2% (1990) menjadi 10,5% (2005).
Sedangkan peranan sektor industri meningkat dari 27,3% menjadi 42,5%.
Perubahan motor perekonomian ini telah menimbulkan ketimpangan
sektoral, dalam hal ini antara sektor industri dan sektor pertanian.
Ketimpangan ini disebabkan perbedaan efisiensi dan produktivitas, yang dalam
penilaian makro menunjukkan ketimpangan pendapatan antara pelaku ekonomi yang
bekerja di sektor industri dengan pelaku ekonomi yang bekerja di sektor
pertanian. Ketimpangan ini dapat saja turun pada proses pembangunan yang
selanjutnya namun penurunan ketimpangan ini bukan disebabkan peningkatan
produktivitas di sektor pertanian melainkan karena menurunnya kinerja sektor
industri.
Setiap daerah yang membangun pasti menimbulkan ketimpangan,
tidak terkecuali Sumatera Utara. Sumut merupakan salah satu wilayah yang
berkembang dan laju pertumbuhan ekonomi Sumut tergolong cepat. Sampai Agustus
2007 ekonomi Sumut telah tumbuh sebesar 9,32% padahal target adalah 7,02% di
akhir tahun (Kompas, 2007). Angka ini merupakan angka yang tertinggi diantara
semua provinsi di Indonesia dan melampaui angka pertumbuhan ekonomi nasional
sebesar 6,3%. Perekonomian yang semakin baik ini juga diikuti dengan
berkurangnya jumlah penduduk miskin dari 1.800,10 juta jiwa (2004) menjadi
1.640 juta jiwa (2006).
Perekonomian masih didominasi sektor pertanian (28,04%),
namun peranan ini cenderung menurunan dan sebaliknya sektor jasa cenderung
meningkat (25,14%).
Dikaitkan ke wilayah Sumatera Utara, Kota Medan dan
Kabupaten Labuhanbatu adalah dua daerah yang dapat menggambarkan peranan sektor
industri dan pertanian dalam perekonomian. Medan adalah daerah yang banyak mengandalkan
sektor industri dan informal dalam pertumbuhannya. Sektor swasta adalah motor
penggerak roda perekonomian Kota Medan dimana sektor ini menyumbangkan 80% dari
total investasi yang ada sedangkan pemerintah melalui kebijakan publiknya hanya
menyumbang 20% (BPS, 2005). Sektor pedagangan sampai sekarang masih menjadi
sektor yang paling berkembang. Pada tahun 1991, sektor ini pertumbuhannya
terbesar (27,90%) diikuti sektor angkutan (18,17%) dan industri (17,84%).
Sedangkan sektor pertanian terus menurun sejak tahun 1991 (15,14%) menjadi
3,79% pada tahun 2006. Dengan jumlah penduduk sebesar 2.036.018 jiwa, sebanyak
36.026 dari total 56.444 tenaga kerja usia produktifnya bekerja di sektor
industri.
Berbeda dengan Kota Medan, perekonomian Kabupaten
Labuhanbatu disokong oleh sektor pertanian. Dengan jumlah penduduk 840.382
jiwa, sebanyak 71,36% dari total penduduknya bekerja di sektor pertanian.
Penggunaan lahannya pun banyak dimanfaatkan untuk sektor ini khususnya
perkebunan. Dari luas daerah 9.223 Km2,
sebanyak 616.497 Ha lahannya dipakai untuk perkebunan, diikuti hutan (143.617
Ha), persawahan (55.900 Ha), dan bangunan, industri, jalan, pendidikan (31.774
Ha). Sektor industri memang memiliki peranan yang cukup besar terhadap PDRB
Kabupaten Labuhanbatu (42%) namun yang perlu diperhatikan bahwa sektor pertanian
khususnya perkebunan menjadi penyokong perekonomian. Tingginya sumbangan sektor
industri terhadap PDRB adalah karena sektor ini berbasis ekspor sehingga
transaksi selalu dilakukan dalam jumlah yang besar.
Kota Medan dan Kabupaten Labuhanbatu adalah dua daerah maju
dengan pola pengembangan wilayah yang berbeda. Kota Medan berbasis
industrialisasi dan Kabupaten Labuhanbatu berbasis Agribisnis. Perbedaan ini
telah menimbulkan ketimpangan dimana ketimpangan ini terjadi akibat pembagian
faktor-faktor produksi seperti modal, lahan dan tenaga kerja yang tidak merata.
Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian guna penyelesaian skripsi dengan judul “Analisis
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perbedaan Ketimpangan Pertumbuhan Antara Medan
dan Labuhanbatu.” 1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan, maka ada rumusan masalah yang dapat
diambil sebagai kajian dalam penelitian yang akan dilakukan. Hal ini bertujuan
untuk mempermudah dalam penulisan skripsi ini. Selain itu, perumusan masalah
ini diperlukan sebagai suatu cara untuk mengambil keputusan dari akhir penulisan
skripsi ini, antara lain: 1. Bagaimana pengaruh modal (investasi) yang ditanam pada
Kota Medan dan Kabupaten Labuhanbatu terhadap terjadinya ketimpangan antar
kedua daerah? 2. Bagaiman pengaruh jumlah tenaga kerja produktif pada Kota
Medan dan Kabupaten Labuhanbatu terhadap terjadinya ketimpangan antar kedua daerah?
3. Bagaimana pengaruh tingkat pendidikan pada Kota Medan dan Kabupaten Labuhanbatu
terhadap terjadinya ketimpangan antar kedua daerah?
1.3 Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara
terhadap permasalahan yang ada dimana kebenaranya masih perlu dikaji dan
diteliti melalui data yang terkumpul.
Berdasarkan perumusan di atas, maka penulis membuat
hipotesis sebagai berikut: 1. Besarnya modal yang ditanam berpengaruh positif
terhadap terjadinya ketimpangan antar kedua daerah.
2. Banyaknya jumlah tenaga kerja berpengaruh positif
terhadap terjadinya ketimpangan antar kedua daerah.
3. Tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap
terjadinya ketimpangan antar kedua daerah.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh jumlah
modal terhadap timbulnya ketimpangan antar kedua daerah.
2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh banyaknya tenaga
kerja terhadap timbulnya ketimpangan antar kedua daerah.
3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh tingkat
pendidikan terhadap timbulnya ketimpangan antar kedua daerah.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Dapat
digunakan sebagai bahan studi atau tambahan literature bagi mahasiswa/i
Fakultas Ekonomi khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan.
2. Menambah, melengkapi sekaligus sebagai pembanding
hasil-hasil penelitian yang sudah ada yang menyangkut topik yang sama.
3. Bagi wilayah yang bersangkutan penelitian ini diharapkan
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan yang bermanfaat untuk mendukung perkembangan
wilayah.
4. Untuk menambah dan memperkaya wawasan ilmiah dalam
disiplin ilmu yang penulis tekuni khususnya mengenai factor-faktor penyebab
perbedaan ketimpangan antara Medan dan Labuhanbatu.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi