xv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari – hari setiap
individu, perusahaan dan masyarakat secara keseluruhan pasti melakukan kegiatan
konsumsi. Kegiatan konsumsi dilakukan karena adanya keinginan untuk memperoleh
barang dan jasa. Kegiatan konsumsi dilakukan dengan tujuan akhir untuk mencapai
tingkat kepuasan atau utilitas maksimum. Berbagai macam barang dikonsumsi oleh
masyarakat sesuai dengan tujuan dan manfaatnya. Mulai dari barang yang bersifat
pokok seperti makanan, baju, rumah sampai pada barang mewah seperti perhiasan
dan mobil. Secara umum dapat dikatakan bahwa persoalan yang dihadapi masyarakat
adalah jumlah kebutuhan yang tidak terbatas. Pada umumnya, seseorang tidak akan
pernah puas dengan barang atau jasa yang telah diperoleh, selalu ada saja alasan
untuk menambah kebutuhan hidup.
Apabila kebutuhan masa lalu telah tercapai maka
kebutuhan baru akan muncul. Masalah yang muncul kemudian adalah sumber daya
untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut jumlahnya terbatas.
Pada saat ini
trend pertumbuhan konsumsi masyarakat mulai bergeser dari kebutuhan pokok yang
seharusnya dipenuhi terlebih dahulu menjadi barang atau jasa yang sebenarnya
tidak mendesak. Saat ini masyarakat lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan
terhadap barang – barang durable (tahan lama) seperti mobil, alat – alat
elektronik, perabot rumah tangga dari pada barang – barang nondurable (tidak
tahan lama) seperti makanan dan kebutuhan pokok lainnya.
xvi
Padahal barang –
barang durable tersebut harganya mahal namun masyarakat tetap
menyanggupi untuk membelinya. Masyarakat pada saat ini sering dikatakan sebagai
masyarakat pertumbuhan, namun masyarakat tidak semakin mendekatkan diri pada
masyarakat yang berkecukupan sebab keinginan masyarakat selalu melampaui
produksi barang dan jasa (Baudrilliard, 1997:19). Kebutuhan masyarakat pada
barang – barang durable tersebut sebenarnya cukup beralasan mengingat
akan tuntutan perkembangan zaman yang mengharuskan seseorang memiliki barang –
barang tersebut seperti mobil atau komputer. Barang – barang ini seolah – oleh
menjadi kebutuhan dasar bagi masyarakat saat ini yang kehidupannya selalu mobile,
berkembang dan dinamis. Yang menjadi permasalahan adalah harga barang – barang
tersebut relatif mahal dan sangat fluktuatif harganya. Masyarakat selalu
mencari cara untuk mendapatkan barang – barang tersebut. Salah satunya dengan
cara mencari sumber dana atau pinjaman dari perbankan. Perbankan adalah
institusi yang memiliki peran sebagai lembaga intermediasi yang artinya
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat
yang membutuhkan. Dana tersebut dihimpun dalam bentuk giro, tabungan, dan
deposito kemudian disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit,
baik kredit modal kerja, kredit investasi dan kredit konsumsi (Kasmir, 2001:8).
Permintaan kredit oleh masyarakat pada dasarnya berasal dari proses
memaksimumkan fungsi utilitas individu berdasarkan preferensi mereka mengenai
konsumsi sekarang dan konsumsi yang akan datang (Insukindro, 1993:115)
xvii
Perkembangan
kredit perbankan sejak awal tahun 2003 semakin meningkat dengan pesat. Hal ini
sejalan dengan keadaan perekonomian yang semakin membaik, usaha pemerintah yang
ingin menggeliatkan perputaran ekonomi masyarakat serta didukung oleh konsumsi
masyarakat yang semakin baik pasca krisis tahun 1997 sampai 1998. Perbankan
memulai ekspansi kreditnya pada tahun 2004 sebesar 559 triliun rupiah, 49 %
dari total dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh bank umum di
Indonesia. Bahkan pada tahun 2010 saat ini Kredit hampir menyamai besar PDB
Indonesia sendiri. Selanjutnya, kredit perbankan tetap menunjukkan trend
kenaikan, karena didukung oleh himpunan dana pihak ketiga yang cukup besar,
permintaan masyarakat akan kredit semakin membaik serta kebijakan pemerintah
untuk mendorong perkembangan kredit agar tingkat investasi pada sektor riil dan
konsumsi masyarakat semakin membaik. Tabel.1 Perkembangan Kredit Modal
Kerja, Investasi dan Konsumsi Pada Bank Umum Di Indonesia Perekonomian
global sepanjang tahun 2008 sangat bergejolak (volatile) yang dipicu
oleh krisis subprime mortgage di Amerika Serikat serta harga minyak
dunia yang tak terkendali. Namun keadaan tersebut mulai menunjukkan kondisi
yang semakin kondusif pada akhir tahun 2009 walaupun masih memiliki potensi
berfluktuasi kembali.
Berdasarkan data
pada Laporan Kebijakan Moneter Triwulan ke 4 tahun 2009, tekanan pada kondisi
ekonomi global berdampak pada kontraksi ekonomi
xviii
makro Indonesia.
Kajian Bank Indonesia pada september 2008 menginformasikan bahwa perlambatan
pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan I/2008 disebabkan, pertama, pertumbuhan
ekonomi daerah yang melambat, dengan penyebab utama menurunnya tingkat konsumsi
dan ekspor tiap – tiap daerah, melemahnya daya beli masyarakat serta menurunnya
permintaan luar negeri seiring dengan perlambatan ekonomi global. Penyebab lain
adalah faktor sektoral yaitu melambatnya kinerja sektor perdagangan sebagai
respon atas melambatnya permintaan domestik karena meningkatnya sebagai dampak
kenaikan harga bahan baku dan bahan bakar minyak. Lonjakan inflasi tahunan (year-on-year)
pada Juni 2008 sebesar 11,03% merupakan yang tertinggi sejak Oktober 2005 hal
ini disebabkan kenaikan harga minyak dunia. Kondisi makro ekonomi pada 2005
walaupun tidak sepenuhnya sama namun bisa dikatakan identik dengan kondisi
tahun 2008 yaitu peningkatan inflasi yang dipicu oleh meningkatnya harga bahan
bakar minyak (BBM) bersubsidi. Pada tahun 2005 harga BBM meningkat 2 kali yaitu
sebesar 30% (BBM 1, Maret 2005)dan sebesar 100% (BBM 2, Oktober 2005) sehingga
inflasi mencapai 17,11% pada Desember 2005. Strategi Bank Indonesia dalam
menekan laju inflasi melalui piranti moneter misalnya BI rate, pengendalian
volatilitas nilai tukar, penyerapan ekses likuiditas, optimalisasi Operasi
Pasar Terbuka (OPT) maupun instrumen lain secara efektif dan simultan. Sejauh
ini melalui BI rate terbukti relatif efektif dalam menekan laju inflasi.
Peningkatan BI rate merupakan pil pahit yang harus ditelan oleh pelaku dunia
usaha agar inflasi tidak berdampak bola salju (snow ball effects) yaitu
semakin memperparah kondisi lingkungan bisnis. Meningkatnya inflasi dan BI rate
akan menekan laju kredit perbankan.
xix
Sektor perbankan
pada tahun 2008 sampai dengan 2009, menunjukkan perkembangan kredit yang belum
sesuai dengan harapan. Selama tahun 2009 pertumbahan kredit baru mencapai 56,8
triliun rupiah (naik 5% dari tahun sebelumnya) menjadi 1.410,4 trilliun, jauh lebih
rendah dari pertambahan kredit pada tahun 2008 sebesar 297,8 trilliun (naik
sebesar 28,5% dari tahun sebelumnya). Semakin menurunnya pertumbuhan kredit ini
sejalan dengan menurunnya kredit baik dalam rupiah dan valas, juga karena
faktor psikologis akibat krisis global yang baru saja terjadi pada awal 2008
lalu. Turunnya permintaan kredit pada tahun awal 2009 sejalan dengan rendahnya
permintaan masyarakat akan barang dan jasa yang tercermin pada turunnya
konsumsi dan investasi pada periode peralihan 2008 ke 2009. Selain itu
lambatnya pertambahan kredit juga sejalan dengan suku bunga kredit yang masih
tinggi saat itu. Kredit yang mencatat pertumbuhan yang cukup besar walaupun
terjadi resesi bahkan selama 6 tahun terakhir mencatat pertumbuhan yang sangat
baik adalah kredit konsumsi. Kredit konsumtif ini adalah pembiayaan untuk
keperluan konsumsi atau non produktif. Kredit ini selama kurun waktu 2001 –
2009 menunjukkan pertumbuhan yang tertinggi dibandingkan kredit modal kerja dan
kredit investasi. Pertambahan kredit konsumsi yang pesat ini seiring dengan
komposisi PDB Indonesia yang masih didominasi dan didorong oleh konsumsi swasta
dalam pertumbuhan ekonomi.
Besarnya
konsumsi tercermin dari PDB yang komposisinya sangat besar dipengaruhi oleh
konsumsi. Dilihat dari distribusinya, pangsa utama PDB tahun 2009 masih
bersumber dari konsumsi swasta dan ekspor. Pangsa konsumsi swasta terhadap PDB
pada tahun 2009 cenderung stabil dibandingkan dengan tahun
xx
2008, sedangkan
pangsa ekspor cenderung menurun. Ekspor Indonesia mengalami penurunan mulai
dari triwulan ke empat tahun 2008 sebesar 8,65% dari triwulan ke tiga sebesar
10,6% dan menjadi minus sepanjang tahun 2009. Penurunan pangsa ekspor terhadap
PDB sehubungan dengan memburuknya pertumbuhan ekspor akibat belum pulihnya
kondisi perekonomian negara mitra dagang di periode pertama tahun 2009. Amerika
serikat yang menjadi negara utama tujuan ekspor Indonesia merupakan inti (core)
dari krisis global tidak mampu menampung kembali ekspor Indonesia dan Indonesia
juga tidak memiliki daerah lain untuk tujuan ekspor selain kawasan di benua
Amerika, Eropa yang rata – rata ikut terkena imbas krisis global. Konsumsi
rumah tangga pada pertengahan tahun 2009 tumbuh membaik diikuti dengan semakin
pulihnya kondisi perekonomian. Selain itu kondisi semakin baiknya pertumbuhan
konsumsi rumah tangga diindikasikan oleh kenaikan pertumbuhan konsumsi barang
tahan lama (durable goods) pada akhir 2009. Masyarakat mulai bergairah
kembali untuk meningkatkan konsumsinya. Pertumbuhan konsumsi juga terlihat dari
transaksi kartu kredit dan kartu debit yang semakin meningkat pada akhir tahun
2009.
Cukup tingginya
konsumsi masyarakat selama tahun 2009 cukup dipengaruhi oleh faktor pengeluaran
pemilu dan kebijakan pemerintah. Pemilu yang diselenggarakan pada tahun 2009
cukup membantu masyarakat untuk menaikkan pendapatan dan meningkatkan konsumsi.
Walaupun belum lama terkena dampak krisis global, masyarakat tidak terlalu
merespon hal tersebut akibat kondisi dalam negeri yang sedang menyelengarakan
pesta demokrasi, dan ditambah lagi dengan naiknya gaji pegawai negeri sipil
sesuai dengan
xxi
pengumuman
pemerintah pada awal januari 2010. Hal – hal tersebut menjadi dorongan
optimisme masyarakat untuk melakukan konsumsi. Dorongan konsumsi yang besar
tersebut ikut juga mendorong kredit konsumtif masyarakat. Kredit konsumtif
sebagai penopang konsumsi masyarakat sangat ekspansif dan begitu pesat
meningkatnya, karena kredit ini tidak begitu terpengaruh akan kondisi makro
ekonomi seperti fluktuasi inflasi dan BI rate. Karena rumah tangga atau
individu tetap meminta kredit konsumtif walaupun kondisi perekonomian sedang
labil. Sejak tahun 2003, peningkatan pertumbuhan kredit ini sangat besar, lebih
besar dari pertumbuhan kredit investasi dan modal kerja. Melihat perilaku
masyarakat dalam kredit jenis ini, tentu saja perbankan tertarik untuk
mengembangkan kredit ini. Beberapa pertimbangan perbankan untuk fokus pada
kredit konsumtif yaitu imbal hasil (yield) yang tinggi bahkan yang
paling tinggi dari yield jenis kredit lain, risiko yang tersebar pada
banyak debitur, proses kredit yang sederhana, dan jaminan (second way out)
yang cenderung terapresiasi (properti).
Beberapa produk
kredit konsumtif seperti : kredit kepemilikan rumah, kartu kredit, kredit
multiguna (kredit tanpa agunan), dan kredit kendaraan bermotor sangat atraktif
ditawarkan oleh pihak bank. Melihat persaingan dalam kredit konsumtif ini,bank
tidak mau kalah dalam persaingan. Bahkan banyak bank menerapkan manajemen
pemasaran yang menyimpang dari kaidah – kaidah pemberian kredit. Seperti tidak
lagi menilai debitur baik dari segi kemampuan keuangannya maupun nilai
jaminannya, bank langsung saja menyetujui pengajuan kredit konsumtif tersebut.
Bahkan pada beberapa kasus tidak disertakan jaminan untuk kredit tersebut.
Sehingga manajemen resiko tidak diperdulikan lagi. Pada
xxii
segmen kartu
kredit, sejak tahun 2003 sampai saat ini, perkembangannya begitu pesat. Hal ini
dapat dilihat dari inovasi kartu kredit itu sendiri mulai dari bunga kredit
yang rendah, batas pengambilan kredit yang semakin besar serta berbagai macam discount
(potongan) ditawarkan oleh bank yang membuat masyarakat semakin konsumtif.
Namun, pada akhirnya banyak dari masyarakat yang tidak mampu membayar kembali
uang pinjaman dari kartu kredit tersebut yang menyebabkan bertambahnya kredit
macet pada perbankan. Hal ini pada mulanya sudah dapat diprediksi akan terjadi
akibat pola penawaran kartu kredit oleh perbankan yang tidak melihat
kredibilitas dan kemampuan membayar kembali nasabah yang ditawarkannya. Lain
lagi dengan produk kredit konsumtif pada segmen perumahan (kredit kepemilikan
rumah). Mulai dari tahun 2004 jenis kredit konsumtif ini merupakan penyumbang
kredit macet (non performing loan) diantara jenis kredit konsumtif
lainnya bahkan juga terbesar dari antara NPL kredit investasi dan modal kerja.
Bahkan di Amerika serikat, macetnya kredit perumahan inilah sebagai awal dari
krisis global yang merambat keseluruh dunia. Kredit perumahan menjadi begitu
berbahaya ketika unit perumahan yang dibeli tidak dapat dibayar cicilannya oleh
pembeli yang berdampak pada pembayaran kredit investasi developer (pengembang)
kepada bank pemberi kredit investasi. Sehingga terjadi efek domino dimana
kerugian sifatnya berantai dan pada akhirnya berimbas pada dunia perbankan
secara nasional.
Salah satu hal
yang mempengaruhi bertumbuhnya kredit konsumtif adalah status nasabah yang
bekerja atau tidak. Sebagian besar segmen nasabah yang meminta kredit konsumtif
dan lalu disetujui oleh pihak bank adalah para pekerja,
xxiii
meskipun ada
juga yang tidak bekerja. Pengajuan kredit tanpa status bekerja akan menjadikan
individu menjadi terkendala kredit karena pihak bank menilai kemampuan individu
membayar kembali cicilan kredit tersebut sangat rendah bahkan terancam macet
akibat ia tidak memiliki pendapatan. Ketika seseorang dipecat dari pekerjaannya
dan tidak bekerja lagi tentu ia akan mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan
kredit dari perbankan. Bahkan kredit yang sedang dijalaninya kemungkinan akan
terancam macet pula. Hal ini pun dapat dilihat dari fenomena yang terjadi di
Indonesia berdasarkan data BPS (badan pusat statistik), ketika pengangguran
naik mulai pada awal 2001 sebesar 8,1% dari angkatan kerja dan mencapai
puncaknya pada tahun 2005 sebesar 10,26% dari angkatan kerja sejalan dengan
meningkatnya non performing loan (NPL) di perbankan yang pada tahun 2005
juga meningkat 3% dari tahun 2004 sebesar 4,5% (25,174 trilliun) menjadi
sebesar 7,56% (52,589 trilliun) pada tahun 2005 dan NPL menurun pada tahun
berikutnya hingga akhir tahun 2008 sebesar 3,2% seiring dengan ikut menurunnya
tingkat pengangguran sebesar 8.39% (9,39 juta penduduk). Nieto (2007), dalam
penelitiannya pada kredit konsumtif di spanyol serta Hadad (2004) menyatakan
bahwa masyarakat terkendala kredit akibat tidak ada atau kehilangan
pekerjaannya. Sehingga pandangan faktor pekerjaan mungkin berpengaruh terhadap
peningkatan kredit konsumtif.
Kredit konsumsi
memberi margin keuntungan yang cukup besar namun memiliki tingkat risiko yang
sangat tinggi dibandingkan kredit lainnya. Bahkan pada tahun – tahun terakhir
ini kredit konsumtif inilah yang menyumbang krisis di dunia perbankan seperti
yang terjadi di Amerika serikat dan akhirnya berdampak di Indonesia. Lalu
ditambah lagi masalah ketika manajemen perbankan dalam
xxiv
menawarkan
kredit ini dengan memberikan berbagai kemudahan dibandingkan jenis kredit lain
menjadikan kredit ini lebih istimewa dibandingkan kredit investasi maupun modal
kerja yang sebenarnya harus diprioritaskan untuk investasi pembangunan negeri.
Hal – hal inilah yang menjadikan kredit konsumtif menjadi lebih menarik untuk
diteliti. Berdasarkan latar belakang di atas serta didukung oleh data dan
beberapa penelitian sebelumnya, penulis mencoba untuk mengkaji fenomena yang
terjadi pada jenis kredit konsumsi baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang dengan pendekatan model koreksi kesalahan dalam kurun waktu tahun 2002
sampai dengan tahun 2009 melalui beberapa variabel ekonomi yang mungkin
mempengaruhi kredit konsumsi tersebut. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dikaji
dan dibahas dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana
pengaruh keseimbangan jangka pendek suku bunga kredit konsumsi terhadap
permintaan kredit konsumsi pada bank umum di Indonesia ?
2. Bagaimana
pengaruh keseimbangan jangka pendek produk domestik bruto satu tahun sebelumnya
terhadap permintaan kredit konsumsi pada bank umum di Indonesia ?
3. Bagaimana
pengaruh keseimbangan jangka pendek jumlah pengangguran terhadap permintaan
kredit konsumsi pada bank umum di Indonesia ?
xxv
4. Bagaimana
pengaruh keseimbangan jangka panjang suku bunga kredit konsumsi terhadap
permintaan kredit konsumsi pada bank umum di Indonesia ?
5. Bagaimana
pengaruh keseimbangan jangka panjang produk domestik bruto satu tahun
sebelumnya terhadap permintaan kredit konsumsi pada bank umum di Indonesia ?
6. Bagaimana
pengaruh keseimbangan jangka panjang jumlah pengangguran terhadap permintaan
kredit konsumsi pada bank umum di Indonesia ?
1.3 Tujuan
Penelitian Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk
mengetahui berapa besar pengaruh jangka pendek suku bunga kredit konsumsi
terhadap permintaan kredit konsumsi pada bank umum di Indonesia.
2. Untuk
mengetahui berapa besar pengaruh jangka pendek produk domestik bruto satu tahun
sebelumnya terhadap permintaan kredit konsumsi pada bank umum di Indonesia.
3. Untuk
mengetahui berapa besar pengaruh jangka pendek jumlah pengangguran terhadap
permintaan kredit konsumsi pada bank umum di Indonesia.
4. Untuk
mengetahui berapa besar pengaruh jangka panjang suku bunga kredit konsumsi
terhadap permintaan kredit konsumsi pada bank umum di Indonesia.
xxvi
5. Untuk
mengetahui berapa besar pengaruh jangka panjang produk domestik bruto satu
tahun sebelumnya terhadap permintaan kredit konsumsi pada bank umum di
Indonesia.
6. Untuk
mengetahui berapa besar pengaruh jangka panjang jumlah pengangguran terhadap
permintaan kredit konsumsi pada bank umum di Indonesia.
1.4 Manfaat
Penelitian Adapun
manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Hasil
penelitian ini diharapkan memberi sumbangan pemikiran bahan studi atau tambahan
ilmu pengetahuan khususnya bagi mahasiswa/i Departemen Ekonomi Pembangunan.
2. Sebagai bahan
tambahan informasi bagi masyarakat dan mahasiswa yang ingin melakukan
penelitian selanjutnya.
3. Sebagai salah
satu syarat bagi Penulis untuk menyelesaikan pendidikan jenjang sarjana.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi