BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pembangunan
ekonomi suatu negara memiliki arah dan strategi untuk senantiasa mewujudkan
masyarakat adil dan makmur secara merata, baik materiil maupun spiritual.
Masyarakat seperti ini akan tercapai dengan dihapuskannya kemiskinan lewat
peningkatan pendapatan nasional per kapita, perluasan kesempatan kerja dan
redistribusi pendapatan yang lebih merata. Hal tersebut menggambarkan, bahwa
pembangunan ekonomi itu sendiri bertujuan untuk mencapai tingkat kemakmuran
yang lebih baik, tidak terkecuali bagi negara-negara berkembang seperti
Indonesia.
Tujuan
pembangunan memerlukan urutan prioritas pembangunan disesuai dengan tersedianya
dana dan kebutuhan pembangunan. Prioritas pembangunan tercermin dalam prioritas
dalam anggaran negara, sehingga kebijakan anggaran suatu negara disusun sebagai
salah satu kebijakan penting dalam usaha mencapai cita-cita pembangunan.
Terlebih dikarenakan negara mengambil bagian pokok sebagai pemimpin pembangunan
suatu negara.
Strategi
pembangunan dan penyediaan modal yang diperlukan Indonesia terbentuk seperti
dua sisi mata uang koin. Pembangunan ekonomi negara berkembang disatu sisi
memerlukan dana yang relatif besar, sementara disisi lain juga memerlukan usaha
untuk pengerahan dana tersebut. Dan proses untuk membiayai pembangunan tersebut
yang kerap kali mengalami kendala. Salah satunya kendalanya adalah konsidi
anggaran negara.
Pengerahan modal
yang dibentuk merupakan wujud kemampuan suatu negara menghimpun dana baik
bersumber dari penerimaan ekspor barang ke luar negeri maupun dari masyarakat
melalui instrument pajak dan instrument lembaga-lembaga keuangan. Untuk itu
diperlukan sebuah pelaksanaan pembangunan yang bertanggung jawab yaitu berupa
bagaimana peranan negara dilaksanakan.
Peran pemerintah
dalam pembangunan ekonomi akan dapat berjalan lancar, apabila disertai dengan
administrasi yang baik. Administrasi dalam pembangunan akan menunjukkan betapa
kompleksnya organisasi pemerintah, sistem manajemennya dan proses kegiatan
pemerintah yang dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan. Salah satunya
adalah melalui politik anggaran dalam struktur perekonomian suatu negara.
Politik anggaran
merupakan salah satu alat yang digunakan untuk mempengaruhi stuktur perekonomian
suatu negara, karena kegiatan-kegiatan pembangunan suatu negara memang sangat
ditentukan oleh tujuan akhir serta dana yang tersedia dalam perekonomiannya,
baik yang berada di tangan individu atau swasta maupun pemerintah. Untuk
alokasi dana pemerintah Indonesia sendiri, tercermin dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
bertindak sebagai alat pengatur urutan prioritas pembangunan Indonesia dengan
mempertimbangkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai, serta sesuai ketersediaan
dana dan kebutuhan pembangunan.
Pemerintah
Indonesia sejak zaman Orde Baru menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) menggunakan konsep anggaran berimbang, dinamis dan fungsional. Anggaran
berimbang dimaksudkan terjadinya
perimbangan
antara anggaran pengeluaran dengan anggaran penerimaan. Anggaran dinamis
berarti adanya peningkatan secara terus-menerus akan besarnya tabungan
pemerintah. Anggaran fungsional tertuju pada pengertian bahwa fungsi dari
pinjaman luar negeri adalah untuk membiayai pengeluaran pembangunan (Basri dan
Subri, 2005:41).
Walaupun
demikian bentuk anggaran seimbang seperti diatas tidak umum, karena
keseimbangan dalam anggaran tersebut sebenarnya defisit anggaran yang ditutup
dengan aliran dana yang berasal dari bantuan luar negeri. Namun kebijaksanaan
anggaran defisit dapat menimbulkan masalah inflasi di luar kewajaran, jika
keadaan yang defisit ditutup dengan jalan mencetak uang selain meminjam dana
dari masyarakat.
Dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang seimbang seluruh pengeluaran rutin
dan pengeluaran pembangunan mampu dibiayai hanya dengan mengandalkan penerimaan
rutin semata, namun tidak terjadi pada keuangan negara Indonesia. Dapat
dikatakan sejak Pelita I hingga tahun pertama Pelita IV kita menempuh anggaran
yang defisit, karena seluruh penerimaan dalam negeri (rutin) tidak cukup untuk
membiayai seluruh anggaran pengeluaran negara baik anggaran pengeluaran rutin
maupun pengeluaran pembangunan. Salah satu gambaran yang dipublikasikan oleh
Bank Indonesia adalah pada tahun pertama Pelita IV yaitu T.A 1984/1985 tercatat
pengeluaran rutin sebesar Rp 9,429 miliar dan pengeluaran untuk membiayai
pembangunan sebesar Rp 9,952 miliar, kemudian dijumlahkan menjadi sebesar Rp
19,381 miliar. Jumlah ini tidak dapat ditutupi oleh penerimaan dalam negeri
(rutin) yang hanya sebesar Rp 15,905 miliar untuk itu di tahun yang sama utang
luar negeri pemerintah Indonesia
tercatat sebesar
US $ 30265,00 juta, jika di konversikan dengan nilai kurs maka utang luar
negeri tercatat sebesar Rp 31.021,625 miliar.
Dan uraian
diatas juga menggambarkan bahwa komponen anggaran penerimaan pemerintah,
anggran pengeluaran pemerintah serta utang sangat berhubungan erat sebagai
wujud dari kekuatan anggaran yang dimiliki dalam hal ini negara Indonesia.
Kebijakan
pembangunan yang dijalankan oleh negara Indonesia kemudian menghasilkan
pengeluaran pembangunan yang selalu besar dan cenderung terus meningkat setiap
tahunnya sementara anggaran penerimaan yang mampu dihimpun tidak memadai.
Akibatnya selisih dana dari anggaran–anggaran yang rutin dilakukan pemerintah
tidak mampu menjamin kelangsungan pembangunan Indonesia. Kekurangan dana
mengharuskan pemerintah untuk menggunakan komponene bantuan luar negeri, dengan
pertimbangan bantuan yang berasal dari luar negeri dapat mencegah peningkatan
inflasi di dalam negeri serta suku bunganya lebih rendah.
Pencapaian
konsep anggaran berimbang pemerintah nyatanya hanyalah sebuah konsep defisit
anggaran yang diupayakan berimbang. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) yang dianggap berimbang ketika defisitnya anggaran dapat ditutup oleh
sumber pembiayaan dari luar negeri. Karena suatu anggaran defisit terjadi
apabila terdapat kesenjangan antara pengeluaran pembangunan yang lebih besar
daripada tabungan pemerintah yang tersedia (Supriyanto dan Sampurna, 1999:117).
Pada umumnya
negara-negara berkembang kurang mampu menciptakan simpanan dari selisih
anggaran-anggaran yang rutin dilakukan sebanyak investasi
yang diperlukan
untuk pembangunan, oleh karenanya modal luar negeri perlu dikerahkan untuk
menutupi kekurangan tersebut. Dalam keadaan ini bantuan luar negeri berfungsi
sebagai dana untuk menutupi saving-invesment gap. Bantuan luar negeri
memungkinkan negara penerima bantuan melaksanakan penanaman modal (investasi)
yang lebih besar sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan.
Perubahan sistem
anggaran yang membawa konsekuensi pada politik penerimaan dan pengeluaran
pemerintah, seakan memaksa pemerintah untuk membuat anggaran yang lebih bijak
tanpa mengesampingkan kepentingan di luar pelunasan utang luar negeri. Dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) T.A 2007 penerimaan dalam negeri
(rutin) sebesar Rp 591,427 miliar dan di T.A 2008 sebesar Rp 679,520 miliar
(Bank Indonesia).
Peningkatan
penerimaan dalam negeri ini memerlukan pengelolaan yang baik, sehingga dapat
digunakan untuk membiayai pembangunan yang selama ini masih didominasi oleh
utang luar negeri, walaupun secara riil masih belum maksimal. Penerimaan negara
Indonesia merupakan aspek penting dalam pembentukan dana yang akan digunakan
sebagai anggaran pembangunan, terutama penerimaan dalam negeri yang terdiri
dari penerimaan pajak dan migas. Indonesia belum mampu untuk menciptakan
penerimaan dalam negeri secara optimal, dikarenakan Indonesia belum mampu
mengolah pontesi alam yang dimiliki serta rendahnya kesadaran masyarakat
sebagai wajib pajak.
Kondisi serupa
diharapkan berlaku kepada pengeluaran rutin agar mampu dialokasikan efisien dan
tidak akan terkuras hanya untuk memenuhi kewajiban
utang luar
negeri. Karena tujuan dari keseluruhannya adalah agar pembangunan dapat
terealisasi cepat dan masyarakat mampu menata hidup yang lebih sejahtera.
Indonesia pernah
mencapai kondisi yang mulai mampu untuk melepaskan diri dari ketergantungan
akan utang luar negeri, yaitu pada tahun 1990-an hingga beberapa tahun sebelum
terjadi krisis ekonomi tahun 1998. Saat itu belum terjadi lonjakan nilai tukar
mata uang seperti ditahun 1998. Ketidakstabilan politik dalam negeri serta masa
transisi pemerintahan orde lama menuju gerakan reformasi, mengakibatkan krisis
ekonomi dimana nilai tukar rupiah sangat lemah.
Cicilan utang
luar negeri yang harus dibayar pemerintah Indonesua naik sebesar US$ 5,905
miliar atau sebesar Rp 47.487,625 miliar di tahun 1998, yaitu meningkat sebesar
Rp 13.554,225 miliar dari tahun sebelumnya yaitu sebesar US$ 7,276 miliar atau
sebesar Rp 22,902 miliar tahun 1997. Tahun 1999 pasca krisis ekonomi utang luar
negeri terus menunjukkan trend meningkat menjadi US$ 5,800 miliar atau Rp
41.180,000 milliar, merupakan jumlah yang cukup besar dan berlanjut untuk
tahun-tahun berikutnya (Sumber: Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, 1997–1999).
Pengawasan akan nilai tukar menjadi perlu mengingat depresiasi akan
meningkatkan pinjaman luar negeri dalam bentuk rupiah, yang tentunya sangat
memberatkan pelunasan utang luar negeri berupa bunga dan cicilan pokok utang
luar negeri Indonesia.
Utang luar
negeri merupakan hal yang tidak asing dalam kebijakan ekonomi sebuah negara,
termasuk di Indonesia. Dalam uraian sebelumnya jelas bahwa pemerintah mengambil
kebijakan utang luar negeri untuk membiayai defisit anggaran negara. Namun
dalam kenyataannya, setiap tahun rancangan anggaran dan pendapatan negara
selalu dalam kondisi defisit sehingga utang luar
negeri merupakan
bagian wajib dari kebijakan pembiayaan negara setiap tahunnya. Sebagai gambaran
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) T.A 1995/1996 lebih dari dua
pertiganya adalah anggaran pengeluaran rutin. Artinya kekuatan untuk
mengerakkan perekonomian sudah amat kecil. Jika berkelanjutan utang luar negeri
bukan lagi menjadi faktor pelengkap tetapi berubah menjadi suatu ketergantungan
atau disebut Fisher’s Paradox, yaitu semakin banyak cicilan utang pokok
yang dibayar, semakin bertambah tinggi utang yang menumpuk (Arief, 2001:103).
Masalah utang
luar negeri masih dianggap berada pada kondisi yang mengkhawatirkan. Dilema
yang terjadi terletak pada perlu tidaknya berutang untuk menutupi kesenjangan
pembiayaan. Mengingat peranan utang luar negeri masih besar bagi pembiayaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Perangkap utang dalam frame
bantuan pinjaman akan semakin memojokkan negara-negara pengutang dan
memunculkan bentuk intervensi dalam penentuan pengambil kebijaksanaan ekonomi
negara pengutang, salah satunya yang disponsori oleh IMF dan Bank Dunia.
Dibawah kontrol IMF, Indonesia harus mengetatkan anggaran dengan pengurangan
dan pengapusan subsidi, menaikkan harga barang-barang pokok dan pelayanan
publik, meningkatkan penerimaan sektor pajak dan privatisasi Badan Usaha Milik
Negara (BUMN).
Negara pengutang
tetap berada dalam kemiskin karena terus-menerus terjerat utang yang semakin
menumpuk dari waktu ke waktu. Di Indonesia sejak pemerintahan Seokarno hingga
pemerintahan kini, pengelolaan utang luar negeri Indonesia tidak pernah bisa
memakmurkan rakyat. Dengan mengikuti standart
Bank Dunia yakni
pendapatan per hari sekitar US $ 2 untuk setiap penduduk yang berpenghasilan
menanggung beban utang yang cukup besar. Dan lebih ironisnya lagi bermunculan
konsep beban utang luar negeri yang diwariskan kepada generasi berikutnya.
Dari uraian
diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti sejauh mana pengaruh
anggaran-anggaran APBN yang rutin setiap tahunnya dianggarkan oleh
pemerintah
berupa anggaran penerimaan dalam negeri pemerintah dan anggaran pengeluaran
rutin pemerintah terhadap pembayaran cicilan utang luar negeri Indonesia. Oleh
karena itu, dalam penulisan skripsi ini penulis mengangkat judul “Analisis
Pengaruh Penerimaan Dalam Negeri Dan Pengeluaran Rutin Pemerintah Terhadap
Cicilan Utang Luar Negeri”.
1.2 Perumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang
dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
pengaruh penerimaan dalam negeri pemerintah terhadap cicilan utang luar negeri
Indonesia?
2. Bagaimana
pengaruh pengeluaran rutin pemerintah terhadap cicilan utang luar negeri
Indonesia?
1.3 Hipotesis
Hipotesis
merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang ada, dan masih perlu
dikaji kebenaranya melalui data yang terkumpul. Berdasarkan permasalahan
diatas, maka hipotesisnya adalah sebagai berikut:
1. Penerimaan
dalam negeri pemerintah mempunyai pengaruh positif terhadap cicilan utang luar
negeri Indonesia, cateris paribus.
2. Pengeluaran
rutin pemerintah mempunyai pengaruh positif terhadap cicilan utang luar negeri
Indonesia, cateris paribus.
1.4 Tujuan
Penelitian
Adapun yang
menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk
menegetahui bagaimana pengaruh penerimaan dalam negeri pemerintah terhadap
cicilan utang luar negeri Indonesia.
2. Untuk
mengetahui bagaimana pengaruh pengeluaran rutin pemerintah terhadap cicilan
utang luar negeri Indonesia.
1.5 Manfaat
Penelitian
Adapun manfaat
penelitian ini adalah:
1. Memberikan
bukti empiris mengenai pengaruh variabel penerimaan dalam negeri dan
pengeluaran rutin pemerintah terhadap cicilan utang luar negeri Indonesia.
2. Sebagai bahan
studi dan tambahan literatur bagi mahasiswa/mahasiswi FE USU khususnya bagi
jurusan Ekonomi Pembangunan, yang tertarik untuk mengetahui tentang anggaran
rutin APBN dan cicilan utang luar negeri Indonesia.
3. Menambah dan
melengkapi bahan masukan bagi penulis dan pembaca, sebagai sumbangan pemikiran
yang kiranya dapat berguna dikemudian hari.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi