Selasa, 04 Maret 2014

Skripsi Ekonomi Pembangunan: ANALISIS PENGARUH PENERIMAAN DALAM NEGERI DAN PENGELUARAN RUTIN PEMERINTAH TERHADAP CICILAN UTANG LUAR NEGERI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan ekonomi suatu negara memiliki arah dan strategi untuk senantiasa mewujudkan masyarakat adil dan makmur secara merata, baik materiil maupun spiritual. Masyarakat seperti ini akan tercapai dengan dihapuskannya kemiskinan lewat peningkatan pendapatan nasional per kapita, perluasan kesempatan kerja dan redistribusi pendapatan yang lebih merata. Hal tersebut menggambarkan, bahwa pembangunan ekonomi itu sendiri bertujuan untuk mencapai tingkat kemakmuran yang lebih baik, tidak terkecuali bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Tujuan pembangunan memerlukan urutan prioritas pembangunan disesuai dengan tersedianya dana dan kebutuhan pembangunan. Prioritas pembangunan tercermin dalam prioritas dalam anggaran negara, sehingga kebijakan anggaran suatu negara disusun sebagai salah satu kebijakan penting dalam usaha mencapai cita-cita pembangunan. Terlebih dikarenakan negara mengambil bagian pokok sebagai pemimpin pembangunan suatu negara.
Strategi pembangunan dan penyediaan modal yang diperlukan Indonesia terbentuk seperti dua sisi mata uang koin. Pembangunan ekonomi negara berkembang disatu sisi memerlukan dana yang relatif besar, sementara disisi lain juga memerlukan usaha untuk pengerahan dana tersebut. Dan proses untuk membiayai pembangunan tersebut yang kerap kali mengalami kendala. Salah satunya kendalanya adalah konsidi anggaran negara.
Pengerahan modal yang dibentuk merupakan wujud kemampuan suatu negara menghimpun dana baik bersumber dari penerimaan ekspor barang ke luar negeri maupun dari masyarakat melalui instrument pajak dan instrument lembaga-lembaga keuangan. Untuk itu diperlukan sebuah pelaksanaan pembangunan yang bertanggung jawab yaitu berupa bagaimana peranan negara dilaksanakan.
Peran pemerintah dalam pembangunan ekonomi akan dapat berjalan lancar, apabila disertai dengan administrasi yang baik. Administrasi dalam pembangunan akan menunjukkan betapa kompleksnya organisasi pemerintah, sistem manajemennya dan proses kegiatan pemerintah yang dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan. Salah satunya adalah melalui politik anggaran dalam struktur perekonomian suatu negara.
Politik anggaran merupakan salah satu alat yang digunakan untuk mempengaruhi stuktur perekonomian suatu negara, karena kegiatan-kegiatan pembangunan suatu negara memang sangat ditentukan oleh tujuan akhir serta dana yang tersedia dalam perekonomiannya, baik yang berada di tangan individu atau swasta maupun pemerintah. Untuk alokasi dana pemerintah Indonesia sendiri, tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bertindak sebagai alat pengatur urutan prioritas pembangunan Indonesia dengan mempertimbangkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai, serta sesuai ketersediaan dana dan kebutuhan pembangunan.
Pemerintah Indonesia sejak zaman Orde Baru menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menggunakan konsep anggaran berimbang, dinamis dan fungsional. Anggaran berimbang dimaksudkan terjadinya
perimbangan antara anggaran pengeluaran dengan anggaran penerimaan. Anggaran dinamis berarti adanya peningkatan secara terus-menerus akan besarnya tabungan pemerintah. Anggaran fungsional tertuju pada pengertian bahwa fungsi dari pinjaman luar negeri adalah untuk membiayai pengeluaran pembangunan (Basri dan Subri, 2005:41).
Walaupun demikian bentuk anggaran seimbang seperti diatas tidak umum, karena keseimbangan dalam anggaran tersebut sebenarnya defisit anggaran yang ditutup dengan aliran dana yang berasal dari bantuan luar negeri. Namun kebijaksanaan anggaran defisit dapat menimbulkan masalah inflasi di luar kewajaran, jika keadaan yang defisit ditutup dengan jalan mencetak uang selain meminjam dana dari masyarakat.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang seimbang seluruh pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan mampu dibiayai hanya dengan mengandalkan penerimaan rutin semata, namun tidak terjadi pada keuangan negara Indonesia. Dapat dikatakan sejak Pelita I hingga tahun pertama Pelita IV kita menempuh anggaran yang defisit, karena seluruh penerimaan dalam negeri (rutin) tidak cukup untuk membiayai seluruh anggaran pengeluaran negara baik anggaran pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Salah satu gambaran yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia adalah pada tahun pertama Pelita IV yaitu T.A 1984/1985 tercatat pengeluaran rutin sebesar Rp 9,429 miliar dan pengeluaran untuk membiayai pembangunan sebesar Rp 9,952 miliar, kemudian dijumlahkan menjadi sebesar Rp 19,381 miliar. Jumlah ini tidak dapat ditutupi oleh penerimaan dalam negeri (rutin) yang hanya sebesar Rp 15,905 miliar untuk itu di tahun yang sama utang luar negeri pemerintah Indonesia
tercatat sebesar US $ 30265,00 juta, jika di konversikan dengan nilai kurs maka utang luar negeri tercatat sebesar Rp 31.021,625 miliar.
Dan uraian diatas juga menggambarkan bahwa komponen anggaran penerimaan pemerintah, anggran pengeluaran pemerintah serta utang sangat berhubungan erat sebagai wujud dari kekuatan anggaran yang dimiliki dalam hal ini negara Indonesia.
Kebijakan pembangunan yang dijalankan oleh negara Indonesia kemudian menghasilkan pengeluaran pembangunan yang selalu besar dan cenderung terus meningkat setiap tahunnya sementara anggaran penerimaan yang mampu dihimpun tidak memadai. Akibatnya selisih dana dari anggaran–anggaran yang rutin dilakukan pemerintah tidak mampu menjamin kelangsungan pembangunan Indonesia. Kekurangan dana mengharuskan pemerintah untuk menggunakan komponene bantuan luar negeri, dengan pertimbangan bantuan yang berasal dari luar negeri dapat mencegah peningkatan inflasi di dalam negeri serta suku bunganya lebih rendah.
Pencapaian konsep anggaran berimbang pemerintah nyatanya hanyalah sebuah konsep defisit anggaran yang diupayakan berimbang. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dianggap berimbang ketika defisitnya anggaran dapat ditutup oleh sumber pembiayaan dari luar negeri. Karena suatu anggaran defisit terjadi apabila terdapat kesenjangan antara pengeluaran pembangunan yang lebih besar daripada tabungan pemerintah yang tersedia (Supriyanto dan Sampurna, 1999:117).
Pada umumnya negara-negara berkembang kurang mampu menciptakan simpanan dari selisih anggaran-anggaran yang rutin dilakukan sebanyak investasi
yang diperlukan untuk pembangunan, oleh karenanya modal luar negeri perlu dikerahkan untuk menutupi kekurangan tersebut. Dalam keadaan ini bantuan luar negeri berfungsi sebagai dana untuk menutupi saving-invesment gap. Bantuan luar negeri memungkinkan negara penerima bantuan melaksanakan penanaman modal (investasi) yang lebih besar sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan.
Perubahan sistem anggaran yang membawa konsekuensi pada politik penerimaan dan pengeluaran pemerintah, seakan memaksa pemerintah untuk membuat anggaran yang lebih bijak tanpa mengesampingkan kepentingan di luar pelunasan utang luar negeri. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) T.A 2007 penerimaan dalam negeri (rutin) sebesar Rp 591,427 miliar dan di T.A 2008 sebesar Rp 679,520 miliar (Bank Indonesia).
Peningkatan penerimaan dalam negeri ini memerlukan pengelolaan yang baik, sehingga dapat digunakan untuk membiayai pembangunan yang selama ini masih didominasi oleh utang luar negeri, walaupun secara riil masih belum maksimal. Penerimaan negara Indonesia merupakan aspek penting dalam pembentukan dana yang akan digunakan sebagai anggaran pembangunan, terutama penerimaan dalam negeri yang terdiri dari penerimaan pajak dan migas. Indonesia belum mampu untuk menciptakan penerimaan dalam negeri secara optimal, dikarenakan Indonesia belum mampu mengolah pontesi alam yang dimiliki serta rendahnya kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak.
Kondisi serupa diharapkan berlaku kepada pengeluaran rutin agar mampu dialokasikan efisien dan tidak akan terkuras hanya untuk memenuhi kewajiban

utang luar negeri. Karena tujuan dari keseluruhannya adalah agar pembangunan dapat terealisasi cepat dan masyarakat mampu menata hidup yang lebih sejahtera.
Indonesia pernah mencapai kondisi yang mulai mampu untuk melepaskan diri dari ketergantungan akan utang luar negeri, yaitu pada tahun 1990-an hingga beberapa tahun sebelum terjadi krisis ekonomi tahun 1998. Saat itu belum terjadi lonjakan nilai tukar mata uang seperti ditahun 1998. Ketidakstabilan politik dalam negeri serta masa transisi pemerintahan orde lama menuju gerakan reformasi, mengakibatkan krisis ekonomi dimana nilai tukar rupiah sangat lemah.
Cicilan utang luar negeri yang harus dibayar pemerintah Indonesua naik sebesar US$ 5,905 miliar atau sebesar Rp 47.487,625 miliar di tahun 1998, yaitu meningkat sebesar Rp 13.554,225 miliar dari tahun sebelumnya yaitu sebesar US$ 7,276 miliar atau sebesar Rp 22,902 miliar tahun 1997. Tahun 1999 pasca krisis ekonomi utang luar negeri terus menunjukkan trend meningkat menjadi US$ 5,800 miliar atau Rp 41.180,000 milliar, merupakan jumlah yang cukup besar dan berlanjut untuk tahun-tahun berikutnya (Sumber: Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, 1997–1999). Pengawasan akan nilai tukar menjadi perlu mengingat depresiasi akan meningkatkan pinjaman luar negeri dalam bentuk rupiah, yang tentunya sangat memberatkan pelunasan utang luar negeri berupa bunga dan cicilan pokok utang luar negeri Indonesia.
Utang luar negeri merupakan hal yang tidak asing dalam kebijakan ekonomi sebuah negara, termasuk di Indonesia. Dalam uraian sebelumnya jelas bahwa pemerintah mengambil kebijakan utang luar negeri untuk membiayai defisit anggaran negara. Namun dalam kenyataannya, setiap tahun rancangan anggaran dan pendapatan negara selalu dalam kondisi defisit sehingga utang luar
negeri merupakan bagian wajib dari kebijakan pembiayaan negara setiap tahunnya. Sebagai gambaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) T.A 1995/1996 lebih dari dua pertiganya adalah anggaran pengeluaran rutin. Artinya kekuatan untuk mengerakkan perekonomian sudah amat kecil. Jika berkelanjutan utang luar negeri bukan lagi menjadi faktor pelengkap tetapi berubah menjadi suatu ketergantungan atau disebut Fisher’s Paradox, yaitu semakin banyak cicilan utang pokok yang dibayar, semakin bertambah tinggi utang yang menumpuk (Arief, 2001:103).
Masalah utang luar negeri masih dianggap berada pada kondisi yang mengkhawatirkan. Dilema yang terjadi terletak pada perlu tidaknya berutang untuk menutupi kesenjangan pembiayaan. Mengingat peranan utang luar negeri masih besar bagi pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Perangkap utang dalam frame bantuan pinjaman akan semakin memojokkan negara-negara pengutang dan memunculkan bentuk intervensi dalam penentuan pengambil kebijaksanaan ekonomi negara pengutang, salah satunya yang disponsori oleh IMF dan Bank Dunia. Dibawah kontrol IMF, Indonesia harus mengetatkan anggaran dengan pengurangan dan pengapusan subsidi, menaikkan harga barang-barang pokok dan pelayanan publik, meningkatkan penerimaan sektor pajak dan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Negara pengutang tetap berada dalam kemiskin karena terus-menerus terjerat utang yang semakin menumpuk dari waktu ke waktu. Di Indonesia sejak pemerintahan Seokarno hingga pemerintahan kini, pengelolaan utang luar negeri Indonesia tidak pernah bisa memakmurkan rakyat. Dengan mengikuti standart
Bank Dunia yakni pendapatan per hari sekitar US $ 2 untuk setiap penduduk yang berpenghasilan menanggung beban utang yang cukup besar. Dan lebih ironisnya lagi bermunculan konsep beban utang luar negeri yang diwariskan kepada generasi berikutnya.
Dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti sejauh mana pengaruh anggaran-anggaran APBN yang rutin setiap tahunnya dianggarkan oleh
pemerintah berupa anggaran penerimaan dalam negeri pemerintah dan anggaran pengeluaran rutin pemerintah terhadap pembayaran cicilan utang luar negeri Indonesia. Oleh karena itu, dalam penulisan skripsi ini penulis mengangkat judul “Analisis Pengaruh Penerimaan Dalam Negeri Dan Pengeluaran Rutin Pemerintah Terhadap Cicilan Utang Luar Negeri”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh penerimaan dalam negeri pemerintah terhadap cicilan utang luar negeri Indonesia?
2. Bagaimana pengaruh pengeluaran rutin pemerintah terhadap cicilan utang luar negeri Indonesia?
1.3 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang ada, dan masih perlu dikaji kebenaranya melalui data yang terkumpul. Berdasarkan permasalahan diatas, maka hipotesisnya adalah sebagai berikut:

1. Penerimaan dalam negeri pemerintah mempunyai pengaruh positif terhadap cicilan utang luar negeri Indonesia, cateris paribus.
2. Pengeluaran rutin pemerintah mempunyai pengaruh positif terhadap cicilan utang luar negeri Indonesia, cateris paribus.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menegetahui bagaimana pengaruh penerimaan dalam negeri pemerintah terhadap cicilan utang luar negeri Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pengeluaran rutin pemerintah terhadap cicilan utang luar negeri Indonesia.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Memberikan bukti empiris mengenai pengaruh variabel penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin pemerintah terhadap cicilan utang luar negeri Indonesia.
2. Sebagai bahan studi dan tambahan literatur bagi mahasiswa/mahasiswi FE USU khususnya bagi jurusan Ekonomi Pembangunan, yang tertarik untuk mengetahui tentang anggaran rutin APBN dan cicilan utang luar negeri Indonesia.

3. Menambah dan melengkapi bahan masukan bagi penulis dan pembaca, sebagai sumbangan pemikiran yang kiranya dapat berguna dikemudian hari.  
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi