BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Seluruh wilayah
Indonesia adalah merupakan suatu kesatuan tanah air Indonesia yang merupakan milik bangsa
Indonesia yang telah dikaruniakan oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Oleh sebab itu bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya mempunyai
hubungan yang abadi dengan bangsa
Indonesia. Bumi, air dan ruang angkasa atau dalam arti sempit disebut dengan tanah, harus benar-benar
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat Indonesia. Bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa adalah bersifat abadi
yang berarti tidak dapat dialihkan kepada
bangsa lain dalam bentuk apapun juga.
Atas dasar prinsip inilah UUPA dalam pasal 9,
menyebutkan bahwa hanya warga negara
Indonesia atau WNI yang boleh mempunyai sepenuhnya bumi, air dan ruang angkasa. Sebagaimana diketahui,
bahwa dalam pasal 16 UUPA disebut macam-macam
hak atas tanah yang dapat diberikan kepada seseorang atau beberapa orang bersama–sama ataupun kepada
badan hukum, hak-hak mana satu sama lain
tidak sama kuatnya. Untuk hak yang paling kuat hanya dapat diberikan kepada WNI dan hak yang paling ringan diberi
kelonggaran kepada WNA.
Sebagai contoh: hak
milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan sebagai hak Chadidjah Dalimunthe, Suatu Tinjauan Tentang
Pemberian Hak Guna Usaha Dalam Rangka
Penanaman Modal Asing, Medan, 1994, halaman .
yang pemakaiannya lebih luas dan lebih lama
(seperti halnya hak milik, hak yang turun
temurun), jangka waktunya telah dibatasi dan untuk hak guna usaha dan hak guna bangunan sampai dengan 25 atau 35 tahun
dan dapat diagunkan Gejala pertambahan kebutuhan akan tanah yang terus
meningkat yang berdampingan dengan
kuantitas luas tanah yang tidak bertambah akan menimbulkan problemaproblema
sosial di masyarakat, seperti yang menyangkut penguasaan dan pemilikan tanah, pemanfaatan atau penggunaan
tanah, pemeliharaan atau pelestarian
tanah dan hubungan-hubungan hukum terhadap tanah akan menjadi fenomena yang penting untuk di telusuri,
karena hak tersebut mau tidak mau akan berbaur
dengan dinamika kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu
semakin cepat roda pembangunan berputar maka semakin luaslah tanah yang dibutuhkan. Dimana wilayah
yang padat penduduknya, secara logis
disitupulalah kegiatan pembangunan yang lebih luas dilaksanakan. Dengan demikian pengambilan tanah-tanah yang sudah
dimiliki/dikuasai oleh masyarakat untuk
kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum harus diatur dengan suatu peraturan agar tidak menimbulkan korban.
Dalam suasana
pembangunan di negara kita khususnya
Kota Sengatta sekarang kebutuhan akan
tanah semakin meningkat. Termasuk pengadaan berbagai proyek perluasan lahan Hak Guna Usaha
yang semuanya memerlukan tanah sebagai
sarana utamanya. PT Kutai Balian Nauli dalam hal ini menambah areal luas lahan Hak Guna Usaha yang telah
mencapai ± 3453 Ha. Sejauh ini pengadaan
tanah oleh PT Kutai Balian Nauli telah mencapai total ± 8053 Ha.
Dalam hal ini
tujuan PT Kutai Balian Nauli melakukan perluasan lahan adalah membantu pencapaian sasaran eksport yang
telah ditargetkan oleh pemerintah dari sub
sector Perkebunan melalui peningkatan produksi dan perbaikan mutu hasil,dan mensejahterahkan rakyat didaerah
sekitar perkebunan PT Kutai Balian Nauli
sesuai cita-cita nasional serta mengurangi banyaknya penganggur an.
Dalam rangka
pembangunan baik untuk kepentingan umum ataupun bukan, yang bersesuaian dengan rencana umum
tata ruang (RUTR), pembangunan nasional/daerah
akan membutuhkan tanah. Jika tanah yang dibutuhkan itu tersedia cukup dan merupakan tanah negara bebas tidak
akan menimbulkan masalah.
Dalam pengertian,
tanahnya bukan tanah adat yang belum didaftar untuk memperoleh suatu hak berdasarkan sistem UUPA
dan belum dikuasai ataupun dipergunakan
oleh seseorang atau badan hukum.
Sikap masyarakat yang cenderung menolak
kegiatan pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum juga menghalangi terlaksananya peraturan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum. Sikap penolakan
tersebut didasari oleh ketidak pahaman masyarakat tentang tujuan dan manfaat kegiatan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum serta keraguan Dalam
penerapannya dilapangan untuk mendapatkan tanah guna pembangunan untuk pembangunan kepentingan umum
sering kali hal-hal yang telah
ditentukan dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 ini tidak dijalankan sebagaimana mestinya, sehingga menimbulkan
permasalahan-permasalahan dalam
pengadaan tanah.
Tampil Anshari Siregar, Mempertahankan Hak
Atas Tanah, Multi Grafik, Medan, 2005, halaman
.
terhadap iktikad baik pemerintah apakah akan
melindungi hak-hak mereka dan jaminan
tingkat sosial yang telah dicapainya.
Peraturan
perundang-undangan dibidang
pertanahan terutama yang menyangkut
ganti rugi tanah baik untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta, kurang akomoditif melindungi pemilik
tanah dan yang membutuhkan tanah (atau
yang berkepentingan dengan tanah), karena belum sebagaimana disebutkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945
dan peraturan hukum yang ada lebih
banyak memperkuat posisi pemerintah dalam melakukan pengadaan tanah tanah.
Tampil Anshari Siregar, Pendalaman Lanjutan
Undang-Undang Pokok Agraria, Pustaka
Bangsa Press, Medan, 2005, halaman 25.
Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban
Kasus-kasus Pertanahan, Pustaka Bangsa
Press, Medan, 2003, halaman.
Pihak-pihak yang
dirugikan dalam kasus-kasus pertanahan khususnya dalam ganti rugi tanah yang berkaitan dengan
pengadaan dan pembebasan tanah baik
untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta adalah suatu persoalan yang menarik dan unik untuk dikaji, karena
sering menimbulkan masalah, sementara
kebutuhan akan tanah cukup tinggi sesuai dengan peningkatan pembangunan nasional.
Peraturan yang
berhubungan dengan ganti rugi tanah saat ini mengacu kepada Keputusan Presiden (Kepres) No. 55
Tahun 1993 dan yang telah dirubah dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 36
Tahun 2005 dan diperbaharui dengan Peraturan
Presiden No. 65 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Ditinjau dari aspek hukum keberadaan Keppres
No.55 Tahun 1993 adalah untuk memberikan
suatu landasan bagi pemerintah dalam mengatasi berbagai kesulitan bidang pertanahan ketika pemerintah
melaksanakan berbagai proyek tertentu,
baik untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta.
Tanah-tanah yang
berada dan dikuasai atau dimiliki oleh orang-perorangan atau masyarakat, belum tentu pemiliknya
bersedia menyerahkan kepada pemerintah
atau swasta untuk pembangunan suatu proyek tertentu, baik untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta.
Kepemilikan tanah
timbul dari kepribadian manusia. Hubungan manusia dengan tanah bersifat abadi, karena manusia
sebagai makhluk sosial sekaligus sebagai
pemilik tanah tidak bisa berbuat semena-mena mempergunakan hak atas tanah tanpa memperhatikan kepentingan orang
lain yang melekat pada haknya yang
berfungsi sosial. Sebagaiman yang telah diatur dalam Pasal 6 UUPA No.5 Tahun 1960 yang menyatakan semua hak atas
tanah mempunyai fungsi sosial, yang
antara lain berarti bahwa kepentingan bersamalah yang harus didahulukan, kepentingan perseorangan harus tunduk pada
kepentingan umum.
Dalam pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Pasal 33 UUD 1945
ini jelas mengandung amanat konsitusional yang sangat mendasar yaitu bahwa penataan dan pengggunaan tanah harus dapat mendatangkan yang sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut diatas kemudian dikaitkan dengan ketentuan pasal 1 ayat (2)
maupun pasal 2 UUPA No.5 Tahun 1960
menyebutkan :bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara. Sedangkan dalam Pasal 2 ayat (2) hak menguasai negara yang dimaksud tersebut dalam
tingkat tertinggi memberikan wewenang
untuk: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya.
b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat
dipunyai atas (bagian dari) bumi, air
dan ruang angkasa itu c. Menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air, dan ruang angkasa.
Dalam banyak hal pengadaan tanah untuk
pembangunan kepentingan umum selalu
menimbulkan “ekses” yang mempunyai dampak cukup besar terhadap stabilitas masyarakat. Berbagai
ketegangan dalam masyarakat timbul karena
adanya ketidaksepakatan antara para pemilik/pemegang hak atas tanah yang tanahnya akan diambil untuk keperluan
proyek-proyek pembangunan dengan pihak
penguasa yang bertugas untuk melakukan/meminta dilakukannya pembebasan tanah dimadsud, baik yang menyagkut
status hak, besar dan bentuk ganti
kerugian ataupun pelaksanaan teknis lainnya.
Pola sengketa
berkisar antara rakyat dan pemerintah atau rakyat dengan swasta (yang didukung oleh orang-orang
pemerintah) mengenai besarnya ganti rugi.
Antara rakyat dengan pihak perkebunan serta kehutanan mengenai tanah A.P. Parlindungan, Komentar Atas
Undang-undang Pokok Agraria, CV. Mandar Maju, Bandung 1993, halaman. 1 garapan, antara rakyat dengan rakyat itu
sendiri mengenai masalah kepemilikan, penggarapan,
warisan dan sewa-menyewa. Bahwa sengketa tersebut diantaranya karena manipulasai pejabat atau
perantara-perantara dan kecilnya ganti rugai atas tanah yang diambil.
a.
Belum adanya penetapan ahli waris (pemilik asli/nama yang tercantum pada
surat keterangan tanah, yang telah meniggal
dunia).
Disamping itu juga,
penguasaan tanah oleh rakyat yang dilakukan tanpa alas hak yang sah dan dokumen kepemilikan
tanah tidak lengkap. Dalam pososi yang
demikian, pihak yang membutuhkan tanah dihadapkan pada keadaan yang dilematis. Keadaan ini dapat melemahkan posisi
yang membutuhkan tanah dan berpotensi
menimbulkan masalah, yaitu rakyat tidak memiliki bukti yang lengkap dan cukup atas tanah yang dimilikinya. Hal ini
terutama terjadi pada tanah-tanah yang
belum bersertifikat, kekurangan itu antara lain : b. Tidak ada surat kuasa untuk melepaskan hak.
Keadaan itu bukan tidak diketahui oleh orang
yang memerlukan tanah, akan tetapi
dengan berbagai alasan untuk melaksanakan proyek yang telah direncanakan tetap dilakukan pembebasan dengan
ganti rugi. Sehingga sulit bagi yang
membutuhkan tanah untuk menentukan kepada siapa ganti rugi yang akan diberikan. Oleh sebab itu banyak dijumpai
pembayaran ganti rugi yang dilakukan pada
orang yang sebenarnya tidak berhak, yang akhirnya menimbulkan sengketa.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi