Sabtu, 19 April 2014

Skripsi Hukum: PENGADAAN TANAH DALAM RANGKA PERLUASAN LAHAN HAK GUNA USAHA

BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Seluruh wilayah Indonesia adalah merupakan suatu kesatuan tanah air  Indonesia yang merupakan milik bangsa Indonesia yang telah dikaruniakan oleh  Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu bumi, air dan ruang angkasa termasuk  kekayaan alam yang terkandung didalamnya mempunyai hubungan yang abadi  dengan bangsa Indonesia. Bumi, air dan ruang angkasa atau dalam arti sempit  disebut dengan tanah, harus benar-benar dipergunakan untuk sebesar-besar  kemakmuran rakyat Indonesia. Bahwa hubungan bangsa Indonesia dengan bumi,  air dan ruang angkasa adalah bersifat abadi yang berarti tidak dapat dialihkan  kepada bangsa lain dalam bentuk apapun juga.

 Atas dasar prinsip inilah UUPA dalam pasal 9, menyebutkan bahwa hanya  warga negara Indonesia atau WNI yang boleh mempunyai sepenuhnya bumi, air  dan ruang angkasa. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam pasal 16 UUPA disebut  macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada seseorang atau  beberapa orang bersama–sama ataupun kepada badan hukum, hak-hak mana satu  sama lain tidak sama kuatnya. Untuk hak yang paling kuat hanya dapat diberikan  kepada WNI dan hak yang paling ringan diberi kelonggaran kepada WNA.
Sebagai contoh: hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan sebagai hak   Chadidjah Dalimunthe, Suatu Tinjauan Tentang Pemberian Hak Guna Usaha Dalam  Rangka Penanaman Modal Asing, Medan, 1994, halaman .
 yang pemakaiannya lebih luas dan lebih lama (seperti halnya hak milik, hak yang  turun temurun), jangka waktunya telah dibatasi dan untuk hak guna usaha dan hak  guna bangunan sampai dengan 25 atau 35 tahun dan dapat diagunkan  Gejala  pertambahan kebutuhan akan tanah yang terus meningkat yang berdampingan  dengan kuantitas luas tanah yang tidak bertambah akan menimbulkan problemaproblema sosial di masyarakat, seperti yang menyangkut penguasaan dan  pemilikan tanah, pemanfaatan atau penggunaan tanah, pemeliharaan atau  pelestarian tanah dan hubungan-hubungan hukum terhadap tanah akan menjadi  fenomena yang penting untuk di telusuri, karena hak tersebut mau tidak mau akan  berbaur dengan dinamika kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu semakin cepat roda pembangunan berputar maka semakin  luaslah tanah yang dibutuhkan. Dimana wilayah yang padat penduduknya, secara  logis disitupulalah kegiatan pembangunan yang lebih luas dilaksanakan. Dengan  demikian pengambilan tanah-tanah yang sudah dimiliki/dikuasai oleh masyarakat  untuk kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum harus diatur dengan suatu  peraturan agar tidak menimbulkan korban.
Dalam suasana pembangunan di negara  kita khususnya Kota Sengatta  sekarang kebutuhan akan tanah semakin meningkat. Termasuk pengadaan  berbagai proyek perluasan lahan Hak Guna Usaha yang semuanya memerlukan  tanah sebagai sarana utamanya. PT Kutai Balian Nauli dalam hal ini menambah  areal luas lahan Hak Guna Usaha yang telah mencapai ± 3453 Ha. Sejauh ini  pengadaan tanah oleh PT Kutai Balian Nauli telah mencapai total ± 8053 Ha.
Dalam hal ini tujuan PT Kutai Balian Nauli melakukan perluasan lahan adalah   membantu pencapaian sasaran eksport yang telah ditargetkan oleh pemerintah dari  sub sector Perkebunan melalui peningkatan produksi dan perbaikan mutu  hasil,dan mensejahterahkan rakyat didaerah sekitar perkebunan PT Kutai Balian  Nauli sesuai cita-cita nasional serta mengurangi banyaknya penganggur an.
Dalam rangka pembangunan baik untuk kepentingan umum ataupun  bukan, yang bersesuaian dengan rencana umum tata ruang (RUTR), pembangunan  nasional/daerah akan membutuhkan tanah. Jika tanah yang dibutuhkan itu tersedia  cukup dan merupakan tanah negara bebas tidak akan menimbulkan masalah.
Dalam pengertian, tanahnya bukan tanah adat yang belum didaftar untuk  memperoleh suatu hak berdasarkan sistem UUPA dan belum dikuasai ataupun  dipergunakan oleh seseorang atau badan hukum.
 Sikap masyarakat yang cenderung menolak kegiatan pengadaan tanah bagi  pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum juga menghalangi  terlaksananya peraturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Sikap  penolakan tersebut didasari oleh ketidak pahaman masyarakat tentang tujuan dan  manfaat kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum serta keraguan  Dalam penerapannya dilapangan untuk mendapatkan tanah guna  pembangunan untuk pembangunan kepentingan umum sering kali hal-hal yang  telah ditentukan dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 ini tidak dijalankan  sebagaimana mestinya, sehingga menimbulkan permasalahan-permasalahan  dalam pengadaan tanah.
 Tampil Anshari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah, Multi Grafik, Medan, 2005,  halaman .
 terhadap iktikad baik pemerintah apakah akan melindungi hak-hak mereka dan  jaminan tingkat sosial yang telah dicapainya.
 Peraturan  perundang-undangan  dibidang pertanahan terutama yang  menyangkut ganti rugi tanah baik untuk kepentingan umum maupun kepentingan  swasta, kurang akomoditif melindungi pemilik tanah dan yang membutuhkan  tanah (atau yang berkepentingan dengan tanah), karena belum sebagaimana  disebutkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan peraturan hukum yang ada  lebih banyak memperkuat posisi pemerintah dalam melakukan pengadaan tanah  tanah.
  Tampil Anshari Siregar, Pendalaman Lanjutan Undang-Undang Pokok Agraria,  Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, halaman 25.
 Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-kasus Pertanahan, Pustaka  Bangsa Press, Medan, 2003, halaman.
Pihak-pihak yang dirugikan dalam kasus-kasus pertanahan khususnya  dalam ganti rugi tanah yang berkaitan dengan pengadaan dan pembebasan tanah  baik untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta adalah suatu persoalan  yang menarik dan unik untuk dikaji, karena sering menimbulkan masalah,  sementara kebutuhan akan tanah cukup tinggi sesuai dengan peningkatan  pembangunan nasional.
Peraturan yang berhubungan dengan ganti rugi tanah saat ini mengacu  kepada Keputusan Presiden (Kepres) No. 55 Tahun 1993 dan yang telah dirubah dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 36 Tahun 2005 dan diperbaharui dengan  Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan  Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
 Ditinjau dari aspek hukum keberadaan Keppres No.55 Tahun 1993 adalah  untuk memberikan suatu landasan bagi pemerintah dalam mengatasi berbagai  kesulitan bidang pertanahan ketika pemerintah melaksanakan berbagai proyek  tertentu, baik untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta.
Tanah-tanah yang berada dan dikuasai atau dimiliki oleh orang-perorangan  atau masyarakat, belum tentu pemiliknya bersedia menyerahkan kepada  pemerintah atau swasta untuk pembangunan suatu proyek tertentu, baik untuk  kepentingan umum maupun kepentingan swasta.
Kepemilikan tanah timbul dari kepribadian manusia. Hubungan manusia  dengan tanah bersifat abadi, karena manusia sebagai makhluk sosial sekaligus  sebagai pemilik tanah tidak bisa berbuat semena-mena mempergunakan hak atas  tanah tanpa memperhatikan kepentingan orang lain yang melekat pada haknya  yang berfungsi sosial. Sebagaiman yang telah diatur dalam Pasal 6 UUPA No.5  Tahun 1960 yang menyatakan semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial,  yang antara lain berarti bahwa kepentingan bersamalah yang harus didahulukan,  kepentingan perseorangan harus tunduk pada kepentingan umum.
Dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh  negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Pasal 33 UUD 1945 ini jelas mengandung amanat konsitusional yang sangat  mendasar yaitu bahwa penataan  dan pengggunaan tanah harus dapat  mendatangkan yang sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut diatas kemudian  dikaitkan dengan ketentuan pasal 1 ayat (2) maupun pasal 2 UUPA No.5 Tahun   1960 menyebutkan :bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara. Sedangkan dalam Pasal 2 ayat (2) hak  menguasai negara yang dimaksud tersebut dalam tingkat tertinggi memberikan  wewenang untuk:  a.  Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan  pemeliharaannya.
b.  Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari)  bumi, air dan ruang angkasa itu c.  Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang  dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang  angkasa.
 Dalam banyak hal pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan  umum selalu menimbulkan “ekses” yang mempunyai dampak cukup besar  terhadap stabilitas masyarakat. Berbagai ketegangan dalam masyarakat timbul  karena adanya ketidaksepakatan antara para pemilik/pemegang hak atas tanah  yang tanahnya akan diambil untuk keperluan proyek-proyek pembangunan  dengan pihak penguasa yang bertugas untuk melakukan/meminta dilakukannya  pembebasan tanah dimadsud, baik yang menyagkut status hak, besar dan bentuk  ganti kerugian ataupun pelaksanaan teknis lainnya.
Pola sengketa berkisar antara rakyat dan pemerintah atau rakyat dengan  swasta (yang didukung oleh orang-orang pemerintah) mengenai besarnya ganti  rugi. Antara rakyat dengan pihak perkebunan serta kehutanan mengenai tanah   A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria, CV. Mandar Maju,  Bandung 1993, halaman. 1  garapan, antara rakyat dengan rakyat itu sendiri mengenai masalah kepemilikan,  penggarapan, warisan dan sewa-menyewa. Bahwa sengketa tersebut diantaranya  karena manipulasai pejabat atau perantara-perantara dan kecilnya ganti rugai atas  tanah yang diambil.
 a.  Belum adanya penetapan ahli waris (pemilik asli/nama yang tercantum pada  surat keterangan tanah, yang telah meniggal dunia).
Disamping itu juga, penguasaan tanah oleh rakyat yang dilakukan tanpa  alas hak yang sah dan dokumen kepemilikan tanah tidak lengkap. Dalam pososi  yang demikian, pihak yang membutuhkan tanah dihadapkan pada keadaan yang  dilematis. Keadaan ini dapat melemahkan posisi yang membutuhkan tanah dan  berpotensi menimbulkan masalah, yaitu rakyat tidak memiliki bukti yang lengkap  dan cukup atas tanah yang dimilikinya. Hal ini terutama terjadi pada tanah-tanah  yang belum bersertifikat, kekurangan itu antara lain : b.  Tidak ada surat kuasa untuk melepaskan hak.

 Keadaan itu bukan tidak diketahui oleh orang yang memerlukan tanah,  akan tetapi dengan berbagai alasan untuk melaksanakan proyek yang telah  direncanakan tetap dilakukan pembebasan dengan ganti rugi. Sehingga sulit bagi  yang membutuhkan tanah untuk menentukan kepada siapa ganti rugi yang akan  diberikan. Oleh sebab itu banyak dijumpai pembayaran ganti rugi yang dilakukan  pada orang yang sebenarnya tidak berhak, yang akhirnya menimbulkan sengketa.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi