Sabtu, 19 April 2014

Skripsi Hukum: CALON INDEPENDEN DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I .
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Perjalanan Bangsa Indonesia memberi pelajaran bahwa pemimpin  pemerintahan yang kurang demokratis atau bahkan otoriter cenderung  dapat menyelenggarakan program pembangunan dengan baik sehingga  perekonomian meningkat, dan sebaliknya pemimpin pemerintahan yang mempertahankan aturan main yang demokratis menghadapi masalah  ketidakmampuan pemerintah dalam mewujudkan tujuan-tujuannya.

 Sebagian ilmuwan politik menyetujui  pandangan tersebut,  sebagian lain ada yang percaya bahwa ada peluang bagi pemerintah untuk  menciptakan pemerintahan yang efektif dan demokratis.  Dengan  demikian akan muncul dua persoalan, yakni bagaimana menciptakan  pemerintahan yang efektif dan bagaimana pula membuat pemerintahan  yang demokratik?  Dikaitkan dengan kepemimpinan, pertanyaan itu  diubah  menjadi bagaimana menciptakan kepala pemerintahan yang efektif  dan kepala pemerintahan yang demokratik? Dalam konteks lokal (daerah)  pertanyaan tersebut diubah menjadi bagaimana menciptakan kepala  daerah yang efektif dan kepala daerah yang demokratik?  Salah satu faktor  yang menyebabkan sulitnya menciptakan kepala daerah yang efektif dan  demokratik adalah bahwa sistem pemilihan kepala daerah yang digunakan   Joko Prihatmoko,  Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistem dan  Problema.Penerapan di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 200.
 bersifat tidak langsung sehingga jarak antara rakyat dan pemimpin  pemerintah di daerah terasa jauh.
Suatu sistem selalu memiliki sekurangnya tiga sifat. Ketiga sifat itu  adalah: terdiri dari banyak bagian-bagian, bagian-bagian itu saling berinteraksi  dan saling tergantung, dan mempunyai perbatasan yang memisahkannya dari  lingkungannya yang juga terdiri dari sistem-sistem lain.
 Sebagai suatu sistem, sistem pilkada langsung mempunyai bagian-bagian  yang merupakan sistem sekunder (subsystems). Bagian-bagian tersebut adalah  electoral regulation, electoral process, dan electoral law enforcement. Electoral  regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pilkada langsung yang  berlaku, bersifat mengingat dan menjadi pedomanbagi penyelenggara, calon dan  pemilih dalam menunaikan peran dan fungsi masing-masing. Electoral process dimaksudkan seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pilkada yang  merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik yang bersifat legal maupun  bersifat teknikal. Electoral law enforcement  yaitu penegakan hukum terhadap  aturan-aturan pilkada baik politis, administratif, atau pidana. Ketiga bagian  pilkada langsung tersebut sangat menentukan sejauh mana kapasitas sistem dapat  menjembatin pencapaian tujuan dan proses awalnya. Masing-masing bagian tidak  dapat dipisah-pisahkan karena merupakan suatu kesatuan utuh yang  komplementer.
  Mohtar Mas’oed dan Colin Mac Andrews, Pengantar Perbandingan Sistem Politik,  Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991, hal. xii.
 Joko Prihatmoko, Op.Cit. hal. 201.
 Mekanisme, prosedur, dan tata cara dalam pilkada langsung merupakan  dimensi electoral regulation. Secara teknis parameter mekanisme, prosedur dan  tata cara dalam sistem adalah yang terukur (measurable). Ben reilly  mengonstatasikan 3 ukuran tersebut yang menurutnya juga komplementer dan tak  dapat dipisah-pisahkan, yaitu:  1.  sistem pemilihan menerjemahkan jumlah suara yang diperoleh dalam  pemilihan menjadi kursi;  2.  sistem pemilihan bertindak sebagai wahana penghubung yang  memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab pemimpin yang  mereka pilih;  3.  sistem pemilihan yang memberikan dorongan terhadap pihak-pihak yang  saling bersaing pengaruh supaya melakukannya dengan cara yang tidak  sama.
Dengan demikian, untuk memperoleh hasil pilkada langsung yang  demokratis, proses yang dilalui pun harus demokratis pula, yang didalamnya  mengandung aspek keadilan, keterbukaan, dan kejujuran.
Pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung merupakan salah satu  langkah maju dalam mewujudka n demokratisasi di tingkat lokal.
kebangkitan  demokrasi politik di Indonesia yang diawali oleh pilkada  langsung ini merupakan upaya membangun pondasi demokrasi di  Indonesia (penguatan demokrasi di aras lokal).
 Ben Reilly, Reformasi Pemilu di Indonesia: Sejumlah Pilihan, dalam Almanak Parpol  Indonesia, Yayasan API, Jakarta, 1999, hal. 18-19.
 Pelaksanaan pilkada langsung tentunya tidak lepas dari adanya  terobosan politik dalam pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan  UU No. 32 tahun 2004. Pemberian otonomi ini memiliki korelasi  perspektif dengan teori-teori dasar tentang desentralisasi dan politik lokal.
Desentralisasi secara umum dapat dilihat dalam dua perspektif  yaitu administratif dan politik. Berdasarkan perspektif administratif,  desentralisasi didefinisikan sebagai  the transfer of  administrative  responsibilitiy from central to local government. Artinya dalam perspektif  otonomi daerah yang berlaku di Indonesia, desentralisasi administratif ini  diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke  pemerintah daerah. Sedangkan perspektif politik, Smith mengatakan  desentralisasi sebagai the transfer of power, from top level  to lower level,  in a territorial hierarchy, which  could be one of goverments within a  state, or office  within a large organization  (perpindahan kekuasaan, dari  level tertinggi ke level yang lebih rendah, dalam sebuah daerah hirarki,  yang dapat menjadi sebuah pemerintahan di dalam negara, atau kantor di  dalam sebuah organisasi yang besar).
 Dalam pandangan yang lain Mawhood mengatakan bahwa  desentralisasi politik adalah  devolution of power from central government  to local government.  Mawhood juga meletakkan konteks desentralisasi  politik sebagai esensi dasar otonomi bagi daerah yaitu a freedom which is   Eko Prasojo, Irfan Ridwan Maksum dan Teguh Kurniawan, Desentralisasi &  Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural, Jakarta: DIA FISIP  UI, 2006, hal. 32.
 assumed by local government in both making and  implementing its own  decision.
 Pelaksanaan pilkada langsung yang saat ini adalah  merupakan  bentuk penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah  untuk memilih secara langsung kepala daerahnya, sehingga konteks  aturan yang berlaku dalam pilkada merupakan jabaran atau turunan dari  aturan yang berlaku dalam ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur  tentang pemerintahan daerah. Dalam perspektif desentralisasi politik,  dengan adanya pilkada,  maka kekuasaan tidak lagi terkonsentrasikan pada  pemerintah pusat, tetapi dapat didistribusikan kepada daerah-daerah.
Dengan demikian, daerah memiliki posisi yang  jauh lebih kuat untuk  mengatur dan menentukan urusan rumah tangganya sendiri sesuai  kewenangan yang dimilikinya tersebut. Dalam perspektif ini pula, maka  menjadi hal wajar apabila pemberikan desentralisasi politik dan  pelaksanaan pilkada ini berada dalam ranah pemerintahan daerah, karena  konteks sistemik dari pemberian kekuasaan kepada daerah untuk memiliki  pemimpin daerah sendiri secara langsung merupakan pemberian dari  pemerintah pusat. Selain itu pula dalam konteks bingkai negara kesatuan  Dalam konteks negara kesatuan, otonomi yang diberikan oleh  daerah bukanlah suatu bentuk kebebasan yang bersifat asli, melainkan  merupakan pemberian dari pemerintah pusat. Konteks pemberian otonomi  oleh pemerintah pusat ini sangat terkait dengan kontruksi bentuk Negara  dan pembagian kekuasaan yang ada di dalamnya.
 Eko Prasojo, Op.Cit, hal. 63.
 yang dipilih menjadi bentuk negara berdasarkan konstitusi ini harus tetap  menjaga keterpautan yang kuat antara hubungan pusat dan daerah.
Mengingat pergolakan arus gerakan antara putaran sentrifugal dan  sentripetal yang menarik hubungan daerah ke dalam lingkaran pusat dan  sebaliknya, harus dijaga dinamisasinya agar tidak saling tertarik terlalu  dalam antara salah satu arus tersebut.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal yang telah terjadi di  sejumlah negara maupun yang berlaku selama ini di Indonesia,  sebenarnya terdapat tiga varian model dalam menentukan atau memiliki  kepala daerah. Ketiga varian tersebut adalah  pertama  kepala daerah  dipilih secara langsung,  kedua  dipilih secara tidak langsung oleh sebuah  dewan atau  council,  dan  ketiga  ditunjuk oleh pemerintah pusat.
  Fitriyah, Sistem dan Proses Pilkada Secara Langsung, Analisis CSIS, Vol. 34, No. 3,  2005, hal. 41.
Di  Indonesia, ketiga varian tersebut sudah pernah dijalankan berdasarkan  ketentuan yang diatur oleh UU tentang Pemerintah Daerah semenjak  berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-undang  Nomor 22 Tahun 1948, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, Undangundang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974,  Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sampai UU No. 32 tahun 2004.
Berdasarkan ketentuan UU No. 32 tahun 2004, Perpu No. 3 tahun 2005,  PP No. 6 tahun 2005 dan PP No. 17 tahun 2005, model penyelenggaraan  pilkada langsung dapat dilihat dari berbagai konteks, meliputi  pertama  konteks sistem,  kedua  kelembagaan penyelenggara dan pengawasan   pilkada,  ketiga  aspek kesiapan teknis pendukung pilkada dan  keempat  sistem penegakan hukum pilkada.
Hal penting yang perlu  dibahas adalah  pertama  calon harus dari  partai politik atau gabungan partai politik, dan  kedua  persyaratan  pengajuan calon oleh parpol atau gabungan parpol. Dalam hal  pertama  berkenaan dengan calon dari parpol, problem yang muncul saat ini timbul  gejala yang sebenarnya wajar terjadi bahwa partai mendorong pemilih  untuk memilih kader  partainya saja atau parpol membuka kesempatan  kepada calon non-kader untuk dapat  menggunakan kendaraan politik  berupa parpol dengan uang sewa kendaraan yang akan  mahal. Tentu  sebagai suatu  political cost  hal ini wajar dilihatnya, namun dengan  besaran  kompensasi politik yang nilainya teramat besar ini maka akan  tercipta wujud politik oligarki  partai atau bahkan politik uang yang  semakin menggila.

 Dikhawatirkan dengan beban  political  cost  yang tinggi ini, sang  calon  apabila kelak memenangkan pilkada akan berpikir sedemikian rupa  untuk mengembalikan modal politik yang diberikan ketika pencalonannya  tersebut.    Kekhawatiran ini nantinya akan berujung pada performance  yang buruk dari kepala daerah  karena konsentrasi kerjanya diarahkan  untuk mengembalikan modal politik ini dan bukan untuk  membangun  rakyatnya. Belum lagi kemungkinan korporasi korupsi yang mungkin  terjadi baik  yang diperuntukkan untuk mengembalikan modal politik  http://kormonev.menpan.go.id/ebhtml/joomla/index2.php?option=com_content&do_ pdf=1&id=10 65. Diakses pada tanggal 7 Juni 2009.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi