BAB I .
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Perjalanan Bangsa
Indonesia memberi pelajaran bahwa pemimpin pemerintahan yang kurang demokratis atau
bahkan otoriter cenderung dapat
menyelenggarakan program pembangunan dengan baik sehingga perekonomian meningkat, dan sebaliknya
pemimpin pemerintahan yang mempertahankan aturan main yang demokratis
menghadapi masalah ketidakmampuan
pemerintah dalam mewujudkan tujuan-tujuannya.
Sebagian ilmuwan politik menyetujui pandangan tersebut, sebagian lain ada yang percaya bahwa ada
peluang bagi pemerintah untuk menciptakan
pemerintahan yang efektif dan demokratis.
Dengan demikian akan muncul dua
persoalan, yakni bagaimana menciptakan pemerintahan
yang efektif dan bagaimana pula membuat pemerintahan yang demokratik? Dikaitkan dengan kepemimpinan, pertanyaan itu
diubah
menjadi bagaimana menciptakan kepala pemerintahan yang efektif dan kepala pemerintahan yang demokratik? Dalam
konteks lokal (daerah) pertanyaan
tersebut diubah menjadi bagaimana menciptakan kepala daerah yang efektif dan kepala daerah yang
demokratik? Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya menciptakan kepala
daerah yang efektif dan demokratik
adalah bahwa sistem pemilihan kepala daerah yang digunakan Joko Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi,
Sistem dan Problema.Penerapan di
Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 200.
bersifat tidak langsung sehingga jarak antara
rakyat dan pemimpin pemerintah di daerah
terasa jauh.
Suatu sistem selalu
memiliki sekurangnya tiga sifat. Ketiga sifat itu adalah: terdiri dari banyak bagian-bagian, bagian-bagian
itu saling berinteraksi dan saling
tergantung, dan mempunyai perbatasan yang memisahkannya dari lingkungannya yang juga terdiri dari
sistem-sistem lain.
Sebagai suatu sistem, sistem pilkada langsung
mempunyai bagian-bagian yang merupakan
sistem sekunder (subsystems). Bagian-bagian tersebut adalah electoral regulation, electoral process, dan
electoral law enforcement. Electoral regulation
adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pilkada langsung yang berlaku, bersifat mengingat dan menjadi
pedomanbagi penyelenggara, calon dan pemilih
dalam menunaikan peran dan fungsi masing-masing. Electoral process dimaksudkan
seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pilkada yang merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik
yang bersifat legal maupun bersifat
teknikal. Electoral law enforcement
yaitu penegakan hukum terhadap aturan-aturan
pilkada baik politis, administratif, atau pidana. Ketiga bagian pilkada langsung tersebut sangat menentukan
sejauh mana kapasitas sistem dapat menjembatin
pencapaian tujuan dan proses awalnya. Masing-masing bagian tidak dapat dipisah-pisahkan karena merupakan suatu
kesatuan utuh yang komplementer.
Mohtar Mas’oed dan Colin Mac Andrews,
Pengantar Perbandingan Sistem Politik, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 1991, hal. xii.
Joko Prihatmoko, Op.Cit. hal. 201.
Mekanisme, prosedur, dan tata cara dalam
pilkada langsung merupakan dimensi
electoral regulation. Secara teknis parameter mekanisme, prosedur dan tata cara dalam sistem adalah yang terukur
(measurable). Ben reilly mengonstatasikan
3 ukuran tersebut yang menurutnya juga komplementer dan tak dapat dipisah-pisahkan, yaitu: 1.
sistem pemilihan menerjemahkan jumlah suara yang diperoleh dalam pemilihan menjadi kursi; 2.
sistem pemilihan bertindak sebagai wahana penghubung yang memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung
jawab pemimpin yang mereka pilih; 3.
sistem pemilihan yang memberikan dorongan terhadap pihak-pihak yang saling bersaing pengaruh supaya melakukannya
dengan cara yang tidak sama.
Dengan demikian,
untuk memperoleh hasil pilkada langsung yang demokratis, proses yang dilalui pun harus
demokratis pula, yang didalamnya mengandung
aspek keadilan, keterbukaan, dan kejujuran.
Pemilihan kepala
daerah (pilkada) langsung merupakan salah satu langkah maju dalam mewujudka n demokratisasi
di tingkat lokal.
kebangkitan demokrasi politik di Indonesia yang diawali oleh
pilkada langsung ini merupakan upaya
membangun pondasi demokrasi di Indonesia
(penguatan demokrasi di aras lokal).
Ben Reilly, Reformasi Pemilu di Indonesia:
Sejumlah Pilihan, dalam Almanak Parpol Indonesia,
Yayasan API, Jakarta, 1999, hal. 18-19.
Pelaksanaan pilkada langsung tentunya tidak
lepas dari adanya terobosan politik
dalam pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan UU No. 32 tahun 2004. Pemberian otonomi ini
memiliki korelasi perspektif dengan
teori-teori dasar tentang desentralisasi dan politik lokal.
Desentralisasi
secara umum dapat dilihat dalam dua perspektif yaitu administratif dan politik. Berdasarkan
perspektif administratif, desentralisasi
didefinisikan sebagai the transfer
of administrative responsibilitiy from central to local
government. Artinya dalam perspektif otonomi
daerah yang berlaku di Indonesia, desentralisasi administratif ini diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Sedangkan perspektif politik, Smith mengatakan desentralisasi sebagai the transfer of power,
from top level to lower level, in a territorial hierarchy, which could be one of goverments within a state, or office within a large organization (perpindahan kekuasaan, dari level tertinggi ke level yang lebih rendah,
dalam sebuah daerah hirarki, yang dapat
menjadi sebuah pemerintahan di dalam negara, atau kantor di dalam sebuah organisasi yang besar).
Dalam pandangan yang lain Mawhood mengatakan
bahwa desentralisasi politik adalah devolution of power from central government to local government. Mawhood juga meletakkan konteks
desentralisasi politik sebagai esensi
dasar otonomi bagi daerah yaitu a freedom which is Eko Prasojo, Irfan Ridwan Maksum dan Teguh
Kurniawan, Desentralisasi & Pemerintahan
Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural, Jakarta: DIA
FISIP UI, 2006, hal. 32.
assumed by local government in both making
and implementing its own decision.
Pelaksanaan pilkada langsung yang saat ini
adalah merupakan bentuk penyerahan kewenangan dari pemerintah
pusat kepada daerah untuk memilih secara
langsung kepala daerahnya, sehingga konteks aturan yang berlaku dalam pilkada merupakan
jabaran atau turunan dari aturan yang
berlaku dalam ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Dalam perspektif
desentralisasi politik, dengan adanya
pilkada, maka kekuasaan tidak lagi
terkonsentrasikan pada pemerintah pusat,
tetapi dapat didistribusikan kepada daerah-daerah.
Dengan demikian,
daerah memiliki posisi yang jauh lebih
kuat untuk mengatur dan menentukan
urusan rumah tangganya sendiri sesuai kewenangan
yang dimilikinya tersebut. Dalam perspektif ini pula, maka menjadi hal wajar apabila pemberikan
desentralisasi politik dan pelaksanaan
pilkada ini berada dalam ranah pemerintahan daerah, karena konteks sistemik dari pemberian kekuasaan
kepada daerah untuk memiliki pemimpin
daerah sendiri secara langsung merupakan pemberian dari pemerintah pusat. Selain itu pula dalam
konteks bingkai negara kesatuan Dalam
konteks negara kesatuan, otonomi yang diberikan oleh daerah bukanlah suatu bentuk kebebasan yang
bersifat asli, melainkan merupakan
pemberian dari pemerintah pusat. Konteks pemberian otonomi oleh pemerintah pusat ini sangat terkait
dengan kontruksi bentuk Negara dan
pembagian kekuasaan yang ada di dalamnya.
Eko Prasojo, Op.Cit, hal. 63.
yang dipilih menjadi bentuk negara berdasarkan
konstitusi ini harus tetap menjaga
keterpautan yang kuat antara hubungan pusat dan daerah.
Mengingat
pergolakan arus gerakan antara putaran sentrifugal dan sentripetal yang menarik hubungan daerah ke
dalam lingkaran pusat dan sebaliknya,
harus dijaga dinamisasinya agar tidak saling tertarik terlalu dalam antara salah satu arus tersebut.
Dalam
penyelenggaraan pemerintahan lokal yang telah terjadi di sejumlah negara maupun yang berlaku selama ini
di Indonesia, sebenarnya terdapat tiga
varian model dalam menentukan atau memiliki kepala daerah. Ketiga varian tersebut
adalah pertama kepala daerah dipilih secara langsung, kedua
dipilih secara tidak langsung oleh sebuah dewan atau
council, dan ketiga
ditunjuk oleh pemerintah pusat.
Fitriyah, Sistem dan Proses Pilkada Secara
Langsung, Analisis CSIS, Vol. 34, No. 3, 2005, hal. 41.
Di Indonesia, ketiga varian tersebut sudah pernah
dijalankan berdasarkan ketentuan yang
diatur oleh UU tentang Pemerintah Daerah semenjak berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945,
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948,
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, Undangundang Nomor 18 Tahun 1965,
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1999 sampai UU No. 32 tahun 2004.
Berdasarkan
ketentuan UU No. 32 tahun 2004, Perpu No. 3 tahun 2005, PP No. 6 tahun 2005 dan PP No. 17 tahun 2005,
model penyelenggaraan pilkada langsung
dapat dilihat dari berbagai konteks, meliputi
pertama konteks sistem, kedua
kelembagaan penyelenggara dan pengawasan pilkada,
ketiga aspek kesiapan teknis
pendukung pilkada dan keempat sistem penegakan hukum pilkada.
Hal penting yang
perlu dibahas adalah pertama
calon harus dari partai politik
atau gabungan partai politik, dan
kedua persyaratan pengajuan calon oleh parpol atau gabungan
parpol. Dalam hal pertama berkenaan dengan calon dari parpol, problem
yang muncul saat ini timbul gejala yang
sebenarnya wajar terjadi bahwa partai mendorong pemilih untuk memilih kader partainya saja atau parpol membuka kesempatan
kepada calon non-kader untuk dapat menggunakan kendaraan politik berupa parpol dengan uang sewa kendaraan yang
akan mahal. Tentu sebagai suatu
political cost hal ini wajar
dilihatnya, namun dengan besaran kompensasi politik yang nilainya teramat
besar ini maka akan tercipta wujud
politik oligarki partai atau bahkan
politik uang yang semakin menggila.
Dikhawatirkan dengan beban political
cost yang tinggi ini, sang calon
apabila kelak memenangkan pilkada akan berpikir sedemikian rupa untuk mengembalikan modal politik yang
diberikan ketika pencalonannya tersebut. Kekhawatiran ini nantinya akan berujung
pada performance yang buruk dari kepala
daerah karena konsentrasi kerjanya
diarahkan untuk mengembalikan modal
politik ini dan bukan untuk membangun rakyatnya. Belum lagi kemungkinan korporasi
korupsi yang mungkin terjadi baik yang diperuntukkan untuk mengembalikan modal
politik http://kormonev.menpan.go.id/ebhtml/joomla/index2.php?option=com_content&do_
pdf=1&id=10 65. Diakses pada tanggal 7 Juni 2009.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi