BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah salah
satu negara yang sedang berkembang, salah satu cirinya adalah pembangunan di berbagai bidang.
Perkembangan dalam bidang usaha sangat
pesat yang berdampak pada masyarakat. Pada masyarakat yang masih sederhana, kegiatan usaha cukup
dijalankan secara perseorangan. Namun seiring
dengan perkembangan masyarakat, maka timbul kebutuhan untuk mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam
menjalankan kegiatan usaha.
Misalkan Perseroan
Terbatas yang menawarkan saham pada masyarakat sehingga jumlah kerja sama dapat mencapai ratusan
bahkan ribuan orang. Dalam berbagai aspek kehidupan kita
dipengaruhi oleh korporasi, apabila pengaruhnya
positif tentu tidak perlu dirisaukan, akan tetapi justru banyak dari pengaruh tersebut yang merugikan individu dan
masyarakat secara luas.
Korporasi tersebut
bukanlah barang baru melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan. Tidak ada yang dapat
menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan peradapan dan teknologi
turut disertai dengan perkembangan
tindak kejahatan beserta kompleksitasnya. Persoalan yang mengundang perdebatan adalah bagaimana
menerapkan pertanggungjawaban Hamzah
Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (strict liability dan vicarius liability), PT.
Raja Grafindo Persada,Jakarta, 1996, hal. 28 pada tindak pidana korporasi atau corporate
liability, mengingat di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Indonesia pada Pasal 59 yang dianggap sebagai subjek hukum pidana hanyalah orang
perseorangan dalam konotasi biologis
yang alami (naturlijkee person).
Korupsi merupakan
persoalan hukum dan ekonomi suatu bangsa yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik di
negara maju, maupun di negara berkembang.Perkembangan
masalah korupsi di Indonesia saat ini sudah sedemikian parah, yang mana sering
diidentikkan dengan pejabat atau pegawai negeri yang menyalahgunakan keuangan negara,
dalam perkembangan saat ini masalah
korupsi juga melibatkan anggota legislatif dan yudikatif, para bankir dan konglomerat, serta juga korporasi. Hal ini
berdampak membawa kerugian yang sangat
besar bagi keuangan negara.
Sistem hukum pidana di Indonesia pada dasarnya
hanya menganut sistem pertanggungjawaban
berdasarkan kesalahan dan bersifat individual, yang artinya bahwa pertanggungjawaban pidana itu hanya
dapat dikenakan terhadap seseorang yang
benar-benar melakukan tindak pidana. Namun, berhubung dengan adanya perkembangan dalam hukum pidana yang telah
menentukan korporasi sebagai subjek
hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, maka timbul suatu kebutuhan mendesak terhadap perubahan
sistem dalam hukum pidana itu sendiri,
karena sebelumnya hukum pidana di Indonesia hanya menentukan manusia alamiah sebagai subjek hukum.
Perubahan ini, pada dasarnya didasarkan Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Berikut Studi Kasus, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal.
pada kompleksitas dunia usaha yang semakin
rumit dan berkembang, dimana eksistensi
korporasi sudah mulai dikenal luas dan aktivitasnya sudah mulai meresahkan dan mengganggu kepentingan
masyarakat dan negara, bahkan sudah mulai
merugikan keuangan negara.
Perubahan
Undang-Undang 31 Tahun No.1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 sebagai pengganti Undang-Undang No.
3 Tahun 1971 terdapat perkembangan baru
dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam hal ini dimasukkannya korporasi sebagai subjek hukum
tindak pidana korupsi yang dapat dikenanakan
sanksi pidana.
Sebagai contoh tindak pidana yang bermotif
ekonomi (economic crimes) seperti
kejahatan korporasi. Untuk bisa menentukan apakah semata-mata suatu perbuatan bersifat perdata atau kriminal harus
diteliti benar-benar apakah dalam perbuatan
tersebut terdapat elemen-elemen kecurangan (deceit), penyesatan (misrepresentation), penyembunyian kenyataan
(concealment of facts), manipulasi,
pelanggaran kepercayaan (breach of trust), akal-akalan (subterfuge) atau pengelakan peraturan (ilegal
circumvention).
Dengan menempatkan
korporasi sebagai subyek tindak pidana
akan memberikan harapan serta optimisme bagi upaya pengusutan korupsi secara tuntas dan efektif mungkin.
Permasalahan akan segera muncul sehubungan
dengan pertanggungjawaban pidana dari
korporasi, karena asas utama dari pertanggungjawaban pidana adalah harus ada kesalahan (schuld) pada pelaku, sehingga bagaimanakah
harus Ibid Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan
Bisnis, Prenada Media, Jakarta Timur, 2003,
hal. xiii mengkonstruksikan kesalahan
dari suatu korporasi, serta bagaimana pertanggungjawaban
pidana dan unsur kesalahan pada korporasi, apakah tetap dapat dipertahankan seperti halnya pada
manusia. Konsekuensi dari persoalan tersebut
menjadikan peraturan perundang-undangan yang tidak spesifik merumuskan prinsip pertanggungjawaban pidana
korporasi sulit untuk diaplikasikan
sehingga memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.
Pertanggungjawaban
korporasi meliputi, perumusan perbuatan yang dilarang (dalam hal apa dan bagaimana suatu
kejahatan dikatakan sebagai kejahatan
korporasi) dan penentuan kesalahan pelaku masih kurang jelas, begitu juga dalam menentukan siapa-siapa yang dapat
melakukan tindak pidana tersebut.
Penentuan kesalahan
korporasi, yang merupakan urat nadinya hukum pidana juga sangat sulit, karena kesalahan yang
dilimpahkan kepada korporasi bukanlah korporasi
secara pribadi, sebab pada hakikatnya yang melakukan tindak pidana adalah orang (pengurus korporasi). Begitu juga
masalah sanksi pidana yang ada dalam
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pertanggungjawaban korporasi, belum tertata
secara jelas mana yang pidana pokok,
pidana tambahan serta tindakan. Akibat dari ketidak jelasan tersebut akan terjadi keragu-raguan pada majelis hakim untuk
menjatuhkan sanksi pidana, sehingga
kecil kemungkinan terealisasinya kepastian hukum dan peraturan hukum yang ideal.
Berdasarkan uraian
diatas, penulis mengangap perlu meneliti bagaimana ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Jo. Undang UndangNo. 20 Tahun
2001 terhadap Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi.
B . Perumusan
Masalah Adapun yang menjadi permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan karya
ilmiah ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana
korporasi dalam tindak pidana korupsi
dalam UU No.31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? 2.
Bagaimana kajian Hukum Pidana dalam hal pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam analisis putusan Mahkamah
Agung Nomor 1384 K/Pid B/2005? C. Tujuan
dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan
Penulisan Dalam penulisan karya ilmiah ini ada tujuan yang menjadi sasaran pencapaian dari apa yang akan dipaparkan oleh
penulis. Adapun tujuan yang akan dicapai
dari karya ilmiah ini adalah sebagai berikut 1.
Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana tindak pidana korupsi sebagaimana
dirumuskan dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001.
2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana
korporasi KDI ditinjau dari dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi melalui faktafakta dalam kasus tersebut dan analisis fakta dari
kasus.
2. Manfaat
Penulisan Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk memperkaya khasanah Ilmu Pengetahuan,
menambah dan melengkapi perbendaharaan
koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi
pemikiran bagi perkembangan hukum kedepan terkhusus menyangkut pertanggungjawaban korporasi.
2. Untuk memberikan kontribusi dalam sosialisasi
tentang Korupsi yang dilakukan oleh
korporasi kepada masyarakat dan aparat penegak hukum serta memberikan pemahaman tentang efektivitas berbagai
perundangundangan agar lembaga yang berwenang dapat meningkatkan upaya penerapan Undang-undang tersebut untuk lebih
efektif.
D. Keaslian
Penulisan Mengenai keaslian penulisan,
karya ilmiah ini dibuat sendiri oleh penulis dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik
melalui literatur maupun pengumpulan
data-data yang dihimpun dari berbagai sumber seperti buku-buku juga melalui media elektronik seperti
internet, sekaligus dari hasil pemikiran penulis sendiri.
Berdasarkan
peninjauan yang dilakukan penulis di perpustakaan Fakultas Hukum Sumatera Utara belum pernah ada yang
membuat karya ilmiah ini dan oleh
karenanya karya ilmiah ini dapat saya pertanggungjawabkan secara moral, dan apabila ternyata terdapat judul dan
permasalahan yang sama saya bertanggungjawab
sepenuhnya.
E. Tinjauan
Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah
tindak pidana merupakan salah satu terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “ Het Strafbare feit” yang dalam bahasa
Indonesia diterjemahkan berarti: a.
Perbuatan yang dapat atau boleh dihukum b. Peristiwa pidana c. Perbuatan pidana dan d. Tindak pidana Istilah ini terdapat dalam Wvs
Belanda, dengan demikian juga Wvs Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan
resmi tentang apa yang dimaksud dengan
strafbaar feit itu. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu, sayangnya
sampai kini belum ada keseragaman pendapat.
1.
Simons Beberapa pendapat para ahli hukum mengenai istilah “ Het Strafbare feit” antara lain: Menurut
Simons “ Een Strafbaar feit” adalah satu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang
,yang bertentangan dengan Adami
Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal hukum dilakukan dengan kesalahan oleh
seseorang yang mampu bertangggungjawab.
Yang kemudian dibagi dalam dua golongan unsur, yaitu: unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang
dilarang atau diharuskan, akibat keadaan
atau masalah tertentu , dan unsur subjektif yang berupa kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab dari petindak.
Simons menyatakan bahwa delik adalah
suatu tindakan melawan hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat
dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang
telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum.
Adapun alasan
Simons apa sebabnya delik itu harus dirumuskan seperti yang disebutkan diatas karena : 1. Untuk adanya delik syaratnya harus terdapat
suatu tindakan yang dilarang ataupun
yang diwajibkan oleh undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban tersebut
telah dinyatakan sebagai suatu tindakan
yang dapat dihukum.
2. Agar suatu tindakan itu dapat dihukum, maka
tindakan tersebut harus memenuhi semua
unsur dalam delik sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang.
3. Setiap delik sebagai pelanggaran terhadap
larangan atau kewajiban menurut undang-undang
itu, pada hakekatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum.
P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana
Indonesia, Citra Aditya Abadi, Bandung, 1997,
hal. 1 Sampai saat ini masih ditemukan
adanya perbedaan pendapat mengenai ajaran
sifat melawan hukum dalam kajian hukum pidana antara sifat melawan hukum formil
(formiele wederrechtelijkheid)
dan melawan hukum materil (materiele
wederrechtelijkheid).
a)
Sifat melawan hukum formil.
Berikut ini akan
dijelaskan lebih mendetail mengenai
perbadaan keduanya Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum secara formil adalah
apabila perbuatan itu bertentangan
dengan ketentuan undang-undang (hukum tertulis).
Berdasarkan
pengertian ini, maka suatu perbuatan bersifat melawan hukum adalah apabila telah dipenuhi semua unsur yang
disebut di dalam rumusan delik. Dengan demikian,
jika semua unsur tersebut telah terpenuhi, maka tidak perlu lagi diselidiki apakah perbuatan itu menurut
masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang
tidak patut dilakukan.
Hal ini sebagaimana
yang dikemukakan oleh D. Schaffmeister bahwa sifat melawan huku m dalam arti formil bermakna
bahwa suatu perbuatan telah memenuhi
semua rumusan delik dari undang-undang. Dengan kata lain terdapatnya melawan hukum secara formil
apabila semua bagian yang tertulis dari rumusan
suatu tindak pidana itu telah terpenuhi.
Para penganut ajaran ”sifat melawan hukum
formil” menyatakan bahwa pada setiap
pelanggaran delik, maka sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum. Dengan demikian bila suatu
delik tidak tegas menyatakan Roeslan
Saleh, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hal.
D.Schaffmeister et.al. Hukum
Pidana.Yogyakarta, Liberti, 2004, hal.
bersifat melawan hukum sebagai unsur delik,
maka sifat melawan hukumnya tidak perlu
dibuktikan. Sedangkan pencantuman sifat melawan hukum secara tegas dalam suatu delik, maka sifat melawan
hukumnya harus dibuktikan terlebih dahulu,
barulah seseorang dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana.
b)
Sifat melawan hukum materil Sedangkan dalam pengertian melawan hukum
secara materil, suatu perbuatan disebut
sebagai perbuatan melawan hukum tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan ketentuan hukum tertulis
saja. Di samping memenuhi syaratsyarat formil, yaitu memenuhi semua unsur yang
disebut dalam rumusan delik, perbuatan
haruslah benar-benar dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan. Dengan
demikian suatu perbuatan dikatakan sebagai
melawan hukum adalah apabila perbuatan tersebut dipandang tercela dalam suatu masyarakat.
Sifat melawan hukum
materiil berarti suatu tindak pidana itu telah melanggar atau membahayakan kepentingan umum
yang hendak dilindungi oleh pembentuk
undang-undang dalam rumusan tindak pidana tertentu.
Bersifat melawan hukum materiil bahwa tidak hanya
bertentangan dengan hukum yang tertulis,
tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis.
Ukuran untuk mengatakan suatu perbuatan
melawan hukum secara materil sebagaimana
dikatakan Loebby Logman, bukan didasarkan pada ada atau tidaknya ketentuan dalam suatu undang-undang, akan
tetapi ditinjau dari nilai yang ada S.R.
Sianturi (1983). Tindak Pidana di KUHP
Berikut Uraiannya, Jakarta,Alumni AHM-PTHM,1983,
hal. 146.
D. Schaffmeister et.al., Op.Cit, hal.
Roeslan Saleh, Op.Cit, hal. 7.
dalam masyarakat. Pandangan yang menitik
beratkan melawan hukum secara formil
cenderung melihatnya dari sisi objek atau perbuatan pelaku. Artinya, apabila perbuatannya telah cocok dengan rumusan tindak
pidana yang didakwakan, maka tidaklah
perlu diuji apakah perbuatan itu melawan hukum secara materil atau tidak.
Sebaliknya secara
materil, merupakan pandangan yang menitik beratkan melawan hukum dari segi subyek atau pelaku. Dari sisi
ini, apabila perbuatan telah cocok dengan
rumusan tindak pidana yang didakwakan, maka tindakan selanjutnya adalah perlu dibuktikan ada atau tidaknya
perbuatan melawan hukum secara materil
dari diri si pelaku.
Loebby Loqman, Beberapa Ikwal di Dalam
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,1991, Datacom, Jakarta, hal.
Parameter untuk
mengatakan suatu perbuatan telah melawan hukum secara materil, bukan didasarkan pada ada atau
tidaknya ketentuan dalam suatu perundang-undangan,
melainkan ditinjau dari rasa kepantasan di dalam masyarakat. Roeslan Saleh menyatakan bahwa
dalam hubungannnya melawan hukum
materiil ini perlu diingat bahwa aturan-aturan hukum pidana Indonesia sebagian besar telah dimuat dalam KUHP dan
undang-undang tertulis lainnya.
Ajaran melawan
hukum secara materil hanya mempunyai arti dalam mengecualikan perbuatan-perbuatan yang
meskipun termasuk dalam rumusan undang-undang
dan karenanya dianggap sebagai tindak pidana. Dengan kata lain, suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang
dapat dikecualikan oleh aturan hukum
tidak tertulis sehingga tidak menjadi tindak pidana. Hal ini disebut sebagai fungsi negatif dari ajaran melawan hukum
materil.
Sedangkan fungsi positif ajaran sifat melawan
hukum secara materil, yaitu walaupun
suatu perbuatan itu tidak dilarang oleh undang-undang, namun masyarakat memandangnya sebagai perbuatan
tercela sehingga terkategori dalam tindak
pidana. Fungsi positif dari ajaran melawan hukum formil ini tidak mungkin dilakukan mengingat Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang
memuat asas legalitas.
Banyak pakar
sepakat bahwa dalam sistem hukum pidana Indonesia, penerapan ajaran melawan hukum materil ini dalam fungsi
yang negatif, yaitu dalam hal pertanggung
jawaban pidana. Seseorang bisa saja dilepaskan dari tuntutan pidana apabila perbuatannya tidak melawan hukum
secara materil. Dengan kata lain, fungsi negatif dari ajaran melawan hukum materill ini
digunakan sebagai alasan pembenar.
Syarat-syarat yang
harus dipenuhi dalam hal dapat dihukumnya suatu perbuatan pidana, yaitu harus terpenuhinya
unsur-unsur tindak pidana itu sendiri.Unsur-unsur
tindak pidana ini terbagi atas dua macam yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Adapun yang
termasuk kedalam unsur-unsur subjektif
adalah : 1. Kesengajaan (dolus) Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada tiga
bentuk kesengajaan yaitu : a.
kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (opzet alsoogmerk) b.
kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn) c. kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij
mogelijkheidsbewustzijn) disebut juga dengan dolus eventualis 2. Kelalaian (culpa) Kalau dilihat dalam undang-undang tidak
disebutkan arti dari kealpaan, dalam
Ilmu pengetahuan hukum pidana kealpaan mempunyai ciri-ciri yaitu: a. Sengaja melakukan suatu tindakan yang
ternyata salah, karena menggunakan
ingatan/otaknya secara salah, seharusnya ia menggunakan ingatan dengan benar, tetapi tidak digunakan,
dengan kata lain ia telah melakukan
tindakan dengan kurang kewaspadaan yang diperlukan atau tidak berhati-hati.
b. Pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan
terjadi, tetapi merasa dapat mencegahnya,
sekiranya akibatnya dapat terjadi, tetapi ia lebih suka untuk tidak melakukan tindakan yang akan menimbulkan
akibat itu, tetapi tidak ia lakukan
sehingga merugikan orang lain.
c. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan
seperti yang dimaksud dalam Pasal 53
KUHP.
d. Macam-macam maksud atau Oogmeek yang terdapat dalam kejahatan pencurian, penipuan, perampasan, dan lain-lain.
e. Merencanakan lebih dahulu seperti pada
pembunuhan berencana f. Perasaan takut
seperti yang terdapat dalam pasal 308 KUHP.
Sedangkan yang dimaksud dengan unsur objektif
adalah unsur yang terdapat diluar diri
si pelaku.Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah : a.
Perbuatan yang melanggar hukum O.C.
Kaligis, Kumpulan Kasus Menarik Jilid 2, 2007,O.C. Kaligis & Associates
Jakarta, hal. 85-87.
b.
Akibat yang ditimbulakan dari perbuatan tersebut dapat membahayakan kepentingan orang lain c. Keadaan-keadaan tertentu d. Kausalitas atau hubungan sebab-akibat 2. Pompe Pompe
merumuskan “Strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran kaidah (pelanggaran ketertiban umum), terhadap pelaku
mempunyai kesalahan untuk mana
pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum.
2.Pengertian
Pertanggungjawaban pidana Menurut kamus
besar bahasa Indonesia “Tanggung Jawab” adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau
terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan,
diperkarakan dan sebagainya).
Pidana adalah kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan dan sebagainya) Pertangggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (verwijtbaarheid) yang objektif terhadap
perbuatan yang dinyatakan sebagai Selanjutnya
pertangungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban dan pidana, merupakan ungkapan-ungkapan yang
terdengar dan digunakan dalam kehidupan
sehari-hari, dalam moral, agama dan hukum. Tiga hal ini berkaitan dengan yang lain, dan berakar pada suatu
keadaan yang sama, yaitu adanya suatu pelanggaran
terhadap suatu pelanggaran dan suatu sistem aturan-aturan.
Pertanggungjawaban
pidana berkaitan dengan persoalan keadilan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua,
Balai Pustaka, Jakarta,1991, hal.1006 Ibid,
hal.7 tindak pidana berdasarkan hukum
pidana yang berlaku, yang secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi persyaratan untuk
dapat dikenai pidana karena perbuatan tersebut. Dasar dari adanya tindak pidana
adalah asas legalitas, sedangkan dasar
dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan
dipidanaya jika ia mempunyai kesalahan
dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak
pidana tersebut, merupakan hal menyangkut
masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana melakukan tindak pidana,
dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat
dicela oleh karena perbuatan tersebut.
1.
kesengajaan Kesalahan dalam
pengertian seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana,
di dalamnya terkandung makna dapat
dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi apabila dikatakan orang bersalah melakukan sesuatu tindak
pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela
atas perbuatannya.
Kesalahan dalam
arti bentuk kesalahan (schuldvorm) dapat juga dikatakan kesalahan dalam arti yurisis, yang berupa: 2. kealpaan Unsur-unsur kesalahan (dalam arti
yang seluas-luasnya), ialah: a. adanya
kemampuan bertanggungjawab si pembuat; keadaan jiwa si pembuat harus normal
Penjelasan Pasal 31 RUU KUHP 1999-2000,hal.
b.
hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya , yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaaan (culpa);
ini disebut bentuk-bentuk kesalahan, c. tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan
atau tidak adanya alasan pemaaaf.
Pertanggungjawaban pidana, ada suatu
pandangan, yaitu pandangan monistis dan pandangan yang dualistis. Pandangan
yang monistis antara lain dikemukakan oleh Simons yang merumuskan
strafbaar feit sebagai perbuatan yang
oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang
itu dianggap bertanggungjawab atas
perbuatannya. Menurut aliran monisme unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur-unsur perbuatan, yang lajim disebut
unsur objektif, maupun unsurunsur pembuat, yang lajim dinamakan unsur
subjektif. Oleh karena dicampur antara
unsur perbuatan dan pembuat, maka dapat disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat
penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap
bahwa kalau terjadi strafbaar feit maka pasti pelakunya dipidana.
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni,
Bandung,1985, hal.
Muladi, Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban
Korporasi Dalam Hukum Pidana, Sekolah
Tinggi Bandung, Bandung, 1991, hal. 50 Penganut
pandangan monistis tentang strafbaar feit atau criminal act berpendapat, bahwa
unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik yang meliputi: a. kemampuan
bertanggungjawab b. kesalahan dalam arti luas, sengaja dan atau kealpaan c. tidak ada alasan pemaaf Pandangan
dualistis yang pertama
menganutnya adalah Herman Kontorowicz,
dalam tahun 1933 dalam bukunya dengan judul “Tut und Schuld” dimana beliau menentang kebenaran pendirian
mengenai kesalahan (Schuld) yang ketika
itu berkuasa, yang oleh beliau dinamakan”Objektive Schuld”, oleh karena kesalahan dipandang sebagai sifat dari pada kelakuan. Untuk adanya Strafvoraussetzungen (syarat-syarat dari penjatuhan pidana
terhadap pembuat) diperlukan lebih
dahulu adanya pembuktian adanya
Strafbare Handlung (perbuatan
pidana), lalu sesudahnya itu dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif pembuat.
Pandangan dualistis ini memudahkan dalam
melakukan suatu sistematika unsur-unsur
mana dari suatu tindak pidana yang masuk dalam perbuatan dan yang masuk ke dalam pertanggungjawaban pidana
(kesalahan). Sehingga hal ini mempunyai
dampak positif dalam menjatuhkan suatu putusan dalam proses pengadilan (Hukum Acara Pidana).
1.
sifat melawan hukum (unrecht); Masalah pertanggungjawaban pidana
berkaitan erat dengan unsur kesalahan,
menurut Sauer, ada tiga pengertian dasar dalam hukum pidana, yaitu: 2. kesalahan (schuld); 3. pidana (strafe) A.Z Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana,
Pradnya Paramita,Jakarta,1983, hal.
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan
Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana,Bina Aksara,Jakarta,1983, hal.
Muladi, Dwidja Priyatno,Op.Cit, hal.
Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa untuk
adanya pertanggungjawaban pidana harus
jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.
Ini berarti harus dipastikan dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana
tertentu.
Dalam KUHP sendiri
tidak memberikan batasan, KUHP hanya merumuskannya
secara negatif yaitu mempersyaratkan kapan seseorang dianggap tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatan
yang dilakukan menurut ketentuan Pasal
44 ayat (1) KUHP seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan
karena dua alasan yaitu: a. karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan b. jiwanya
terganggu karena penyakit.
Orang dalam keadaan
dimikian, bila melakukan tindak pidana tidak boleh dipidana .Berdasarkan keterangan diatas, maka
dapat kita tarik kesimpulan mengenai
pengertian pertanggungjawaban pidana yaitu kemampuan seseorang baik secara mental maupun jasmani untuk
menanggung konsekuensi dari perbuatan
yang dilakukannnya sesuai dengan undang-undang.
3.Pengertian
Korupsi Korupsi berasal dari bahasa
Latin “Corruptus” atau “Corruptio” yang kemudian
dalam bahasa Inggris dan bahasa Prancis “Corruption” dalam bahasa Belanda “Korruptie” dan selanjutnya dalam
bahasa Indonesia dengan sebutan “Korupsi”.
Pengertiannya adalah gejala dimana pejabat, badan-badan negara menyalah gunakan wewenang dengan terjadinya
penyuapan, pemalsuan serta ketidak
beresan lainnya.
Istilah korupsi hadir dalam khasanah hukum
Indonesia adalah pada Peraturan Peguasa
Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 Tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kemudian dimasukkan
juga dalam Undang-Undang Nomor
24/Prp/19660 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini kemudian
dicabut dan diganti dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian sejak tanggal 16
Agustus 1999 diganti dengan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 dan kemudian
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001(selanjutnya disebut
Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi) 1. Korupsi penyelewengan atau penggelapan ( uang
negara atau perusahaan dan sebagainya)
untuk kepentingan pribadi dan orang lain.
Secara harfiah
korupsi merupakan suatu yang busuk, jahat dan merusak,menyangkut segi-segi moral, sifat dan
keadaan yang busuk, jabatan dalam
instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan dalam pemberian, faktor ekonomi dan politik,
serta penempatan keluarga dalam kedinasan
dibawah kedinasan jabatannya. Jadi dapat ditari suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki
arti yang sangat luas.
Sudarto, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
dalam Hukum dan Hukum Pidana, Alumni,Bandung,2005,hal.122
Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi,PT. Sinar Bakti,Bandung,2002,hal.
2.
Korupsi: busuk; rusak;suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya
untuk kepentingan pr ibadi) Dalam
Webster’s New American Dictionary, kata “corruption” diartikan sebagai “decay” (lapuk), “contamination”
(kemasukan sesuatu yang merusak) dan”impurity”
(tidak murni). Sedangkan kata “corrupt” dijelaskan sebagai” to become rotten or putrid” (menjadi busuk, lapuk
atau buruk ), juga” to induce decay in
something originally clean and sound” (memasukkan sesuatu yang busuk, atau yang lapuk ke dalam sesuatu yang
semula bersih dan bagus).
Pengertian Korupsi
dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 tahun 1999 Jo. 20 tahun 2001,
tidak hanya perbuatan yang merugikan
keuangan negara atau perekonomian saja, tetapi juga menyangkut perbuatan lain, seperti: penyuapan, penggelapan,
pemalsuan, merusak barang bukti, atau pemerasan dalam jabatan,
gratifikasi.
Pasal 2 ayat 1 dan
2 Undang-undang No.31 tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa
yang dapat dihukum adalah setiap orang atau korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Pasal (1) Setiap orang secara melawan hukum
memperkaya diri atau orang lain atau
suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipenjara minimal 4
(empat) tahun dan maksimal 20 (dua
puluh) tahun dan denda minimal 200(dua ratus) juta rupiah dan maksimal 1 (satu) milyar rupiah; Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar
Grafika,Jakarta,2005,hal (2) Dalam hal
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan.
Dalam keadaan
tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila
tindak pidana itu dilakukan pada waktu negara
dalam keadaan bahaya, bencana alam, kerusuhan sosial, krisis ekonomi dan moneter, dan penangulangan Tindak Pidana
Korupsi dapat dijatuhkan pidana mati.
Pasal Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri
atau orang lain atau korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana, yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
seumur hidup atau penjara minimal
1(satu) tahun atau maksimal 20 (dua puluh) tahun dan atau denda minimal 50 (lima puluh) juta rupiah maksimal 1
(satu) Milyar rupiah; Beberapa sarjana memberikan pendapat mereka mengenai
istilah korupsi, antara lain: a. David M. Chalmer menguraikan pengertian
korupsi dalam berbagai bidang, antara
lain menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, yang menyangkut
kepentingan umum.
b. Fockema Andrea menyataka kata korupsi
tersebut berasal dari kata asal corrumpere,
suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa, seperti Inggris, yaitu
corruption, di Perancis dikenal istilah
corruption, dan di Belanda dikenal dengan istilah corruptie.
Istilah dari bahasa Belanda inilah yang turun
ke dalam bahasa Indonesia yang kita
kenal dengan korupsi.
c.
Huntington menyebutkan bahwa korupsi adalah perilaku menyimpang dari public official atau para pegawai dari
norma-norma yang diterima dan dianut
masyarakat dengan tujuan memperoleh
keuntungan-keuntungan pr ibadi.
d.
Alatas mengemukakan pengertian korupsi dengan menyebutkan benang merah yang menjelujuri dalam aktivitas
korupsi, yaitu suborbinasi kepentingan
umum dibawah kepentingan-kepentingan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan
kesejahteraan umum serta dibarengi
dengan kerahasiaan, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat-akibat yang
dirasakan masyarakat.,yang berarti bahwa
penyalahgunaan amanat untuk kepentingan pribadi.
e.
Suyatno, mengatakan korupsi merupakan tindakan desosialiasai yakni suatu
tindakan yang tidak memperdulikan
hubungan-hubungan dalam sistem sosial.
Makna korupsi terus berkembang dari waktu ke
waktu sebagai pencerminan kehidupan
bermasyarakat dari sisi negatif. Semula istilah korupsi banyak digunakan dalam ilmu politik, akan
tetapi kemudian menjadi sorotan Andi
Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada,Jakarta,
hal.
Chairudin dkk, Strategi Pencegahan dan
Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika
Aditama,Bandung 2008, hal.
Ibid Suyatno,
Korupsi Kolusi Nepotisme, Pustaka Sinar Harapan,Jakarta,2005, hal.
berbagai disiplin ilmu. Beberapa ahli hukum
memberikan arti umum tentang korupsi
dari berbagai sumber dengan klasifikasi, antara lain: a.
Rumusan korupsi dari sisi pandang teori pasar Jacob van Klaveren
menyatakan bahwa seorang pengabdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor
administrasinya sebagai perusahaan
dagang, dimana pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin.
b.
Rumusan yang menekankan pada titik berat jabatan pemerintahan 1. L. Bayle, perkataan korupsi dikaitkan dengan
perbuatan penyuapan yang berkaitan
dengan penyalah gunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang
jabatan bagi keuntungan pr ibadi.
2. M.Mc
Mullan menyatakan seorang pejabat pemerintahan dikatakan “korup” apabila ia menerima uang sebagai dorongan
untuk melakukan sesuatu yang ia bisa
lakukan dalam tugas jabatannya padahal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Atau dapat
berarti menjalankan kebijaksanaannya
secara sah untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum. Yang
menyalahgunakan kewenagan dan kekuasaan.
3. J.S.
Nye menyatakan korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran
instansi pemerintah, karena Martiman
Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi, Mandar Maju,Bandung,2001, hal.
Ibid , hal.
Ibid , hal.
Ibid kepentingan
pribadi, demi mengejar status dan gengsi atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari
pengaruh bagi kepentingan pr ibadi.
c.
Rumusan korupsi dengan titik berat pada kepentingan umum Carl. J.
Friesrich, mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seseorang memegang kekuasaan yang
berwenang untuk melakukan halhal tertentu seperti seorang pejabat yang
bertanggungjawab melalui uang atau semacam
hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang, membujuk untuk mengambil langkah yang menolong
siapa saja yang menyediakan hadiah dan
dengan demikian benar-benar membahayakan kepentinan umum.
d.
Rumusan korupsi di bidang politik Theodore M. Smith, dalam tulisannya
“Corruption Tradition and Channge” menyatakan
secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik daripada masalah ekonomi. Ia
menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah
di mata generasi muda, kaum elite
terdidik dan pegawai pada umumnya.
Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat profinsi dan kabupaten.
Rumusan-rumusan rumusan pengerian korupsi pada
dasarnya dapat memberi warna pada
korupsi dalam hukum positif,oleh karena itu rumusan pengertian korupsi tidak ada yang sama pada
setiap negara, tergantung pada Ibid Ibid , hal.
Ibid tekanan
atau titik beratnya yang diambil oleh pembentuk undang-undang. Dari rumusan korupsi tersebut tercermin bahwa
korupsi menyangkut segi moral, sifat dan
keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintahan, penyelewengan kekuasaan karena pemberian,
faktor ekonomi dan politik serta penempatan
keluarga, golongan, ke dalam dinas di bawah jabatannya.
4. Pengertian Korporasi Korporasi merupakan istilah yang biasa
digunakan oleh ahli hukum para ahli
hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai
badan hukum, atau dalam bahasa Belanda
disebut rechtspersoon atau dalam bahasa
Inggris dengan istilah legal person atau
legal body, pada mulanya dikembangkan pada hukum Romawi, lebih daari seribu tahun yang lalu, tetapi
hingga abad VIII, tidak mengalami perkembangan.
Konsep badan hukum itu sebenarnya bermula dari
konsep hukum perdata yang tumbuh akibat perkembangan masyarakat.
Pengertian korporasi dalam hukum pidana
Indonesia lebih luas dari pengertian badan hukum sebagaimana dalam konsep hukum perdata. Menurut beberapa
peraturan perundang-undangan hukum
pidana Indonesia dinyatakan bahwa pengertian korporasi itu adalah kumpulan teroganisasi dari orang dan atau
kekayaan baik merupakan badan hukum
maupun bukan.
H.Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis
Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi
dalam Hukum Pidana Indonesia, Bayumedia Publishing,Malang,2005,hal.
Remy Syahdeini, Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi,Grafitipers,Jakarta,2006, hal.43
Korporasi dapat dibagi berdasarkan
macamnya, badan hukum (korporasi) dapat
dibedakan badan hukum yang orisinil (murni,asli), dan badan hukum yang tidak orisinil. Menurut jenisnya, badan hukum
dapat dibagi menjadi badan hukum (korporasi)
publik, dan badan hukum privat. Sedangkan menurut sifatnya, badan hukum dapat dibedakan menjadi korporasi
(corporatie) dan yayasan (stichting).
Menurut Subekti dan
Tjitrosudiro, yang dimaksud dengan korporasi, adalah: “suatu perseroan yang merupakan badan hukum”.
Senada dengan pendapat tersebut, Utrecht
dan M. Soleh Djindang, mengemukakan bahwa: “ korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam
pergaulan hukum bertindak bersamasama sebagai suatu personifikasi .” Korporasi
adalah badan hukum yang beranggota,
tetapi mempunyai hak dan kewajiban tersendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing.
Menurut Moenaf H. Regar korporasi adalah
:”badan usaha yang keberadaan dan status
hukumnya disamakan denga manusia (orang), tanpa melihat bentuk orgnisasinya. Korporasi dapat
memiliki kekayaan dan utang, mempunyai
kewajiban dan hak dan dapat bertindak menurut hukum, melakukan gugatan, dan dapat dituntut di depan
pengadilan. Oleh karena korporasi adalah buatan manusia yang tidak sama dengan manusia,
maka harus dijalankan oleh manusia, yang
disebut pengelola atau pengurus. Suatu korporasi biasanya mempunyai 3 (tiga) organ yaitu RUPS, Dewan
Komisaris, dan Dewan Direksi Chaidir
Ali, Badan Hukum ,Alumni,Bandung,1987, hal.
(misalnya Perseroan Terbatas). Batas umur
korporasi itu ditentukan dalam anggran
dasarnya, pada saat korporsi itu mengakhiri kegiatannya dan bubar.
5.
Pengertian Pertanggungjawaban Korporasi Perkembangan pertanggungjawaban
pidana di Indonesia, ternyata yang dapat
dipertanggungjawabkan tidak hanya manusia, tetapi juga korporasi. Khusus mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam
hukum pidana, ternyata terdapat bermacam-macam
cara perumusannya yang ditempuh oleh pembuat undangundang. Berkenaan dengan
pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, terdapat 3 (tiga) sistem yaitu : 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan
penguruslah yang bertanggungjawab.
2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus
bertanggungjawab.
3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagiai
pembuat dan juga sebagai yang
bertanggungjawab.
Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat
dan penguruslah yang bertanggungjawab,
kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu
sebenarnya adalah adalah kewajiban dari korporasi.
Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana.
Sehingga dalam
sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Sedangkan dasar pemikirannya adalah: korporasi itu
sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan
terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu Moenaf H. Regar, Dewan Komisaris, Peranannya
sebagai Ogan Perseroan, Bumi Aksara,Jakarta,2000,
hal.
Muladi,Op. Cit, hal.
penguruslah yang melakukan delik itu. Dan
karenanya penguruslah yang diancam pidana
dan dipidana.
Sebagai dasar
pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan
kelakuannya yang dapat dipidana serta berdasarkan
kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuanya itu. Dengan kata lain, hanya dengan hubungan batin inilah
maka perbuatan yang dilarang itu dapat
dipertanggungjawabkan pada si pelaku.
Dalam kebanyakan
rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang terpenting.
Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan
ini, maka apabila didalam suatu rumusan tindak
pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini
menguasai atau meliputi semua unsur lain
yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan.
Sengaja berarti
juga adanya ‘kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu’. Maka berkaitan
dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan
sengaja, terkandung pengertian
‘menghendaki dan mengetahui’ atau biasa disebut dengan ‘willens en wetens’.
Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi
rumusan willens atau haruslah ‘menghendaki
apa yang ia perbuat’ dan memenuhi unsur wettens atau haruslah ‘mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat’.
Disini dikaitkan
dengan ‘teori kehendak’ yang dirumuskan oleh Von Hippel maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan
dengan ‘sengaja’ adalah ‘kehendak
membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu’ atau ‘akibat dari
perbuatannya itu yang menjadi maksud dari
dilakukannya perbuatan itu’.
Menurut Suprapto bahwa korporasi dapat
memiliki kesalahan, seperti apa yang
dikemukannya, yaitu badan-badan bisa didapat kesalahan, bila kesengajaan Jika unsur ‘kehendak’ atau ‘menghendaki dan
mengetahui’ dalam kaitannya dengan unsur
‘kesengajaan’ tidak dapat dibuktikan dengan jelas secara materiil karena memang maksud dan kehendak seseorang
itu sulit untuk dibuktikan secara materiil-
maka pembuktian ‘adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga perbuatannya
itu dapat dipertanggungjawabkan kepada
si pelaku’ seringkali hanya dikaitkan dengan ‘keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu
ia melakukan perbuatan melanggar hukum’
yang dituduhkan kepadanya tersebut. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf
untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban
pidana.
Berdasarkan hal
tersebut, jelas bahwa asas kesalahan merupakan asas yang mutlak ada dalam hukum pidana yaitu sebagai
dasar untuk menjatuhkan pidana.
Yang menjadi
permasalahannya ialah bagaimanakah pengaruh asas kesalahan apabila suatu korporasi dituntut untuk suatu
tindak pidana? Sebab bagaimanapun juga
badan hukum tidak terdapat dalam jiwa manusia (menselijke psyche) dan unsur-unsur psychis (de psychische
bestanddelen) dapat dikatakan memiliki kesalahan.
Ibid , hal atau kelalaian terdapat pada orang-orang
yang menjadi alat-alatnya. Kesalahan itu tidak bersifat individuil, karena itu mengenai
badan sebagai suatu kolektivitet.
Dapatlah kiranya
kesalahan itu disebut kesalahan kolektif, yang dapat dibebankan kepada pengurusnya. Selain dari pada itu cukup
alasan untuk menganggap badan mempunyai
kesalahan dan karena itu harus menanggungnya dengan kekayaannya, karena ia misalnya menerima keuntungan yang
terlarang. Hukuman denda yang setimpal
dengan pelanggaran dan pencabutan keuntungan tidak wajar yang dijatuhkan pada pribadi seseorang, karena
mungkin hal itu melampaui kemampuannya.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana ini
ada pandangan baru dari para ahli yang
mengatakan bahwa dalam hal pertanggungjawaban badan hukum (korporasi) khususnya untuk pertanggungjawaban
pidana dari badan hukum asas kesalahan
tidak mutlak berlaku. Sebenarnya apa yang dinyatakan sebagai “pandangan baru” di atas tidaklah asing di
dalam doktrin tentang pertanggungjawaban
pidana ialah keharusan adanya kesalahan, yang di negaranegara Anglo Saxon
dikenal asas mens rea. Namun demikian
syarat umum adanya kesalahan itu doktrin
yang dianut di beberapa negara dikecualikan untuk tindak pidana tertentu, yaitu apa yang dikenal dengan “strict liability”
dan “vicarious liability”.
Berdasarkan uraian tersebut diatas bahwa dalam
masalah pertanggungjawaban pidana
korporasi, asas kesalahan masih tetap dipertahankan, tetapi dalam perkembangan bidang hukum,
khususnya bidang hukum pidana yang Ibid
, hal Ibid , hal. 1 menyangkut pertanggungjawaban pidana asas
kesalahan atau “asas tiada pidana tanpa
kesalahan” tidak mutlak berlaku. Pada pandangan baru ini cukuplah fakta yang menderitakan si korban dijadikan dasar
untuk menuntut pertanggungjawaban pidana
pada sipelaku sesuai dengan adigum “res apsa loquitur”, fakta sudah berbicara sendiri.
1.
Tindak pidana tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh personil
korporasi yang didalam struktur
organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi, yaitu personil
yang memiliki kewenangan sah untuk
melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang mengikat korporasi tanpa harus mendapat persetujuan dari
atasannya.
Sementara itu
mengenai pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi atas tindak pidana yang dilakukan
oleh seseorang haruslah juga didasarkan
pada syarat-syarat yang telah ditentukan. Adapun syarat-syarat ataupun unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam
hal dibebankannya pertanggungjawaban
pidana korporasi atas seseorang yaitu : Pertanggungjawaban
korporasi hanya dapat diberlakukan dalam tindak pidana: a.
Dilakukan oleh pengurus, yaitu mereka yang menurut anggaran dasar secara formal menjalankan kepengurusan
korporasi, dan atau b. Dilakukan oleh
mereka yang sekalipun menurut anggaran dasar korporasi bukan pengurus, tetapi secara resmi
memiliki Ibid kewenangan untuk melakukan perbuatan yang
mengikat korporasi secara hukum
berdasarkan: 1) Pengangkatan oleh
pengurus untuk memangku suatu jabatan dengan
pemberian kewenangan untuk mengambil keputusan sendiri dalam batas ruang lingkup tugas dan
kewajiban yang melekat pada jabatannya
bitu untik melakukan perbuatan yang secara
hukum mengikat korporasi, atau 2)
Pemberian kuasa oleh pengurus atau oleh mereka sebagaimana disebut diatas untuk dapat melakukan perbuatan
yang secara hukum mengikat korporasi.
c. Diperintahkan oleh mereka yang tersebut dalam
huruf a dan b diatas, agar dilakukan
oleh orang lain.
2. Tindak pidana yang dilakukan dalam rangka
maksud dan tujuan korporasi.
Kerugian tersebut
berupa kerugian intravires yaitu kegiatan yang sesuai dengan maksud dan tujuan yang ditentukan dala
anggaran dasarnya.
3. Tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku
atau atas pemberi perintah dalam rangka
tugasnya dalam korporasi. Artinya apabila apabila tindak pidana itu dilakukan tidak berkaitan dengan
tugas pelaku atau tugas pemberi perintah
didalam korporasi tersebut, sehingga karena out personil tidak berwenang melakukan perbuatan yang mengikat
korporasi, maka korporasi tidak dapat
diharuskan untuk memikul pertanggungjawaban pidana.
4. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan
maksud memberikan manfaat bagi korporasi.
Manfaat dapat berupa keuntungan finansial atau non finansial atau dapat menghindarkan atau mengurangi
kerugian fiskal maupun non finansial
bagi korporasi.
5. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki
alsan pembenar atau alasan pemaaf untuk
dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.
6. Bagi tindak pidana yang mengharuskan adanya
unsur perbuatan (actus reus) dan unsur
kesalahan (mens rea), kedua unsur tersebut tidak harus terdapat pada satu orang saja. Artinya orang yang
melakukan actus reus tidak perlu harus
memiliki sendiri mens rea yang mejadi dasar tujuan dilakukan actus reus tersebut, asalakan dalam hal orang itu
melakukan actus reus yang dimaksud
adalah menjalankan perintah atau suruhan orang lain yang memiliki sikap kalbu yang mengkehendaki
dilakukannya mens rea tersebut oleh
orang yang disuruh. Dengan gabungan antara actus reus yang dilakukan
oleh pelaku yang tidak memiliki mens rea (tidak memiliki sikap kalbu yang salah) dan mens rea
yang dimiliki oleh orang yang memerintahkan
atau menyuruh actus reus itu dilakukan, maka secara gabungan (agregasi) terpenuhi unsur-unsur
(actus reus dan mens rea) yang diperlukan
bagi pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi.
Hal ini
memungkinkan pelaku actus reus melakukan perbuatannya hanya berdasarkan sikap kalbu untuk menjalankan
perintah atasannya, tetapi tidak menyadari
latar belakang yang sesungguhnya dari tindak pidana yang dilakukannya, dalam hal demikian, maka yang
bersangkutan tidak harus memikul beban
tanggungjawab pidana atas actus reus yang dilakukannya karena tidak memiliki mens rea yang
dipersyaratkan. Akan tetapi, korporasi tetap harus bertanggungjawab atas tindak
pidana yang dilakukan karena terpenuhi
syarat adanya actus reus dan adanya mens
rea sebagi hasil agregasi (gabungan) dari beberapa orang
(pelaku).
Korporasi tidak dapat melakukan perbuatan
sendiri, tetapi harus melalui manusia
yang memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan itu atas nama korporasi.
F. Metode
Penelitian Dalam penulisan skripsi ini,
penulis menggunakan metode penelitian: 1.
Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif
yaitu dengan melakukan analisis terhadap
asas-asas hukum dengan mengacu pada norma-norma
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang tentunya mempunyai hubungan dengan judul
karya ilmiah yaitu Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384K/PID/2005).
2. Sumber Data Data
yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder.
Adapun data
sekunder yang dimaksudkan adalah sebagai berikut: Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan
Kepidanaan, Penerbit PT.Sofmedia, 2009,
hal.
a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen
peraturan yang mengikat dan ditetapkan
oleh pihak yang berwenang, yakni berupa Undangundang, Peraturan Pemerintahan.
b. Bahan hukum
sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh
korporasi seperti seminar hukum,majalah, karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh korporasi
dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.
c. Bahan hukum
tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsepkonsep yang mendukung bahan
hukum primer dan sekunder, seperti kamus,
ensiklopedia, biografi dan lain-lain.
3. Metode
Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini, maka metode yang digunakan adalah
metode kepustakaan (library research).
Yakni metode yang menggunakan data
sekunder yang tertulis sebagai pedoman. Dan selain buku ilmiah, maka penulis juga mengumpulkan data-data dari
bahan-bahan referensi yang berasal dari
mass media, seperti surat kabar dan juga bahan-bahan dari internet.
4. Analisis Data Data
sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu semaksimal mungkin memakai
bahan-bahan yang ada yang berdasarkan
asa-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan yang ada
tersebut.
G. Sistematika
Penulisan Penulisan Karya ilmiah ini secara garis besar terdiri dari VI (empat)
Bab, dimana masing-masing berisikan
tentang : BAB I : Membicarakan tentang
latar belakang, rumusan masalah,keaslian
penulisan, manfaat,dan tujuan penelitian,tinjauan
pustaka (yang terdiri dari pengertian tindak pidana, pengertian pertanggungjawaban,
pengertian korupsi, pengertian
korporasi, pengertian pertanggungjawaban korporasi,), metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II : Membahas mengenai pertanggungjawaban pidana
korporasi dalam tindak pidana korupsi
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi yang mana dalam Bab ini akan
dibahas lebih rinci mengenai bentuk-bentuk tindak pidana korupsi dan bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi.
BAB III : Pembahasan dan analisis pertanggungjawaban
pidana korporasi terhadap putusan MA
(Mahkamah Agung) mengenai pertanggungjawaban
korporasi BAB IV : Berisi mengenai kesimpulan dari permasalahan
yang dibahas serta saran-saran yang
dapat dijadikan acuan dalam penyelesain terhadap
permasalahan yang timbul.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi