BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pembangunan
bangsa Indonesia dalam era globalisasi dilaksanakan secara terpadu dan
terencana di segala sektor kehidupan. Pembangunan nasional yang dilaksanakan
saat ini adalah pembangunan berkesinambungan secara bertahap guna meneruskan
cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan
masyarakat dalam rangka mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Pembangunan
adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahtraan rakyat. Oleh karena
itu, hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati seluruh rakyat sebagai
peningkatan kesejahteraan lahir dan batin secara adil dan merata. Sebaliknya,
berhasilnya pembangunan tergantung partisipasi rakyat yang berarti pembangunan
harus dilaksanakan secara merata oleh segenap lapisan masyarakat.[1]
Dalam rangka
mencapai tujuan tersebut, maka pembangunan nasional dilakukan secara berencana,
menyeluruh terpadu, terarah, bertahap dan berlanjut untuk memacu peningkatan
kemampuan nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat
dengan bangsa lain yang lebih maju. Pembangunan nasional Indonesia dilakukan
bersama oleh masyarakat dan pemerintah. Masyarakat adalah pelaku utama dalam
pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengerahkan, membimbing serta
menciptakan suasana yang menunjang.
Bentuk nyata
dari pembangunan yang telah dilakukan oleh pemerintah seperti pembangunan
infrastruktur berupa pembangunan gedung-gedung perkantoran maupun sekolahan,
pembangunan jalan raya hingga pembangunan sektor pertanian berupa waduk dan
saluran irigasinya.
Pelaksanaan
dari pembangunan tersebut disamping dilaksanakan oleh pemerintah tetapi juga
melibatkan masyarakat dalam hal ini pihak swasta atau pengusaha dan kontraktor
atau pemborong. Hubungan kerjasama dalam melaksanakan pembangunan tersebut
lazim dilakukan dalam bentuk pemborongan, karena dengan menggunakan sistem
pemborongan ini dirasakan akan lebih efektif dan efisien untuk mempercepat
dalam mengadakan bangunan yang diperlukan.
Kerjasama
antara pemerintah dengan pihak kontraktor atau pemborong dalam pengadaan bangunan,
diperlukan adanya perjanjian pemborongan dimana pihak pemerintah bertindak
selaku pihak yang memborongkan, sedangkan pihak kontraktor atau pemborong
sebagai pihak pelaksana pemborongan. Perjanjian pemborongan lazim dibuat dalam
bentuk tertulis yang dituangkan dalam bentuk formulir-formulir tertentu
khususnya untuk proyek pemerintah yang disebut dengan perjanjian standard yaitu
pelaksanaan perjanjian yang mendasarkan pada berlakunya peraturan standard yang
menyangkut segi yuridis dan segi tekhnisnya yang ditunjuk dalam rumusan
kontrak. Jadi, pelaksanaan perjanjian pemborongan selain mengindahkan pada
ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata juga pada ketentuan-ketentuan dalam
perjanjian standard (AV tahun 1941) yang menyangkut segi yuridis dan segi tehknisnya
yang ditunjuk dalam rumusan kontrak. Meriam Budiarjo mengatakan bahwa dalam
perjanjian pemborongan yang dilakukan dengan pemerintah, pemerintah dapat
mengadakan perjanjian yang mempunyai sifat yang diwarnai oleh hukum publik.
Perjanjian berorientasi pada kepentingan umum yang bersifat memaksa. Di dalam
kontrak tersebut tidak ada kebebasan berkontrak dari masing-masing pihak.[2]
Karena syarat-syarat yang terdapat dalam perjanjian telah ditentukan oleh
pemrintah berdasarkan syarat-syarat umum dari perjanjian pemborongan bangunan,
karena hal tersebut menyangkut keuangan negara dalam jumlah besar dan untuk
melindungi keselamatan umum.
Seperti telah
dikatakan diatas bahwa dalam perjanjian pemborongan dalam tulisan ini salah
satu pihak adalah pemerintah sebagai pihak yang memberikan pekerjaan atau pihak
yang memborongkan sedangkan pihak lainnya adalah pemborong atau kontraktor
dalam hal ini adalah pihak swasta. Pengertian perjanjian pemborongan pekerjaan
terdapat dalam Pasal 1601b KUH Perdata yang berbunyi :
Perjanjian pemborongan kerja ialah
suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong, mengikatkan diri untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu pemberi tugas, dengan harga
yang telah ditentukan.
Perjanjian pemborongan selain diatur dalam
KUHPerdata, juga diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan barang / jasa pemerintah. Prof Subekti mengatakan
bahwa pihak yang satu menghendaki hasil dari suatu pekerjaan yang disanggupi
oleh pihak yang lainnya untuk diserahkan dalam jangka waktu yang telah
ditentukan, dengan menerima suatu jumlah uang dari hasil pekerjaannya tersebut.[3]
Didalam
perjanjian ini juga terdapat kemungkinan adanya wanprestasi karena
kelalaian atau kegagalan pengusaha atau pemborong dalam melaksanakan kewajiban
atau kontrak perjanjian pemborongan yang merupakan hambatan terhadap waktu
penyelesaian dan timbulnya kerugian. Atau terjadinya overmacht atau
force majeur yaitu seuatu keadaan memaksa diluar kekuasaan manusia, yang
mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut tidak dapat memenuhi
prestasinya seperti adanya banjir dan tanah longsor. Dalam keadaan yang
demikian permasalahan yang akan timbul adalah masalah resiko. Resiko adalah
kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi keadaan memaksa.
Kabupaten
Brebes merupakan salah satu daerah yang rawan dengan adanya banjir dan tanah
longsor. Sehingga banyak pekerjaan pembangunan terutama pembangunan jalan yang
baru saja dibangun bahkan belum selesai pengkerjaannya hancur karena banjir dan
tanah longsor. Seperti terlihat dalam kasus perjanjian pekerjaan peningkatan
jalan Jemasih-Sindangwangi tahap III Kecamatan Bantarkawung antara Pemerintah
Kabupaten Brebes dengan CV. Aji Pamungkas. Dimana Pemerintah Kabupaten Brebes
sebagai pihak pemberi kerja dan CV. Aji Pamungkas sebagai pemborong. Dalam
pelaksanaan perjanjian pekerjaan tersebut yang karena pengkerjaan dilakukan
pada fase musim penghujan sehingga banyak terjadi tanah longsor dan pelaksanaan
perjanjian tersebut menjadi terlambat dan terhambat.
Dari uraian diatas kami tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul ”Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Proyek Peningkatan
Jalan Jemasih-Sindangwangi tahap III Kecamatan Bantarkawung Kabupaten Brebes”.
[1] F.X. Djumialdi, Perjanjian Pemborongan, Bina
Aksara, Jakarta, 1987, hlm 1
[2] Meriam Budiarjo, Aneka Hukum Bisnis, Alumni,
Bandung, 1994, Hlm 66
[3] Subekti, Aneka Perjanjian, Ctkn VII,
Alumni, Bandung, 1985, Hlm 65
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi