BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Upaya memperbaiki
dan meningkatkan mutu
pendidikan seakan tidak pernah berhenti.
Banyak agenda reformasi
yang telah, sedang,
dan akan dilaksanakan,
beragam program inovatif
ikut serta memeriahkan
reformasi pendidikan. Reformasi
pendidikan bisa diartikan
dengan restrukturisasi pendidikan,
yaitu memperbaiki secara
menyeluruh pola hubungan
sekolah dengan lingkungan
masyarakat, orang tua,
peserta didik dan
pemerintah.
Disamping itu
terdapat juga pengembangan
pola rencana strategis sekolah, pengembangan
manajerialnya, pemberdayaan guru,
stakeholders dan restrukturisasi model-model pembelajaran.
Seringkali pendidikan menjadi
fokus perhatian dan sasaran ketidakpuasan.
Hal ini
terjadi karena pendidikan
merupakan salah satu
faktor yang berperan penting
dalam pembangunan bangsa
yang menyangkut hajat
semua orang.
Karena itu pendidikan perlu
perbaikan dan peningkatan sehingga relevan dengan kebutuhan
dan tuntutan masyarakat.
Berarti sekolah sebagai
organisasi yang dirancang
untuk berkontribusi terhadap
peningkatan mutu perlu
adanya sebuah hubungan
kerjasama dalam ruang
lingkup interen sekolah
dan pemberdayaan masyarakat,
sebab pada dasarnya
kekuatan akselerasi peningkatan
mutu akan tercapai
jika dibangun bersama
dalam sebuah organisasi
dan peran serta masyarakat
(stakeholders).
1 Dalam
rangka merespon beberapa
problematika dalam bidang
pendidikan yang terimplikasi
dari kebijakan pemerintah
tentang diberlakukanya otonomi daerah, maka pada tanggal 2 April 2002
pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional No.014/U/2002 melakukan reformasi pada tingkat sekolah.
Melalui keputusan
menteri tersebut dinyatakan,
bahwa badan pembantu penyelenggara pendidikan (BP3) tidak berlaku
lagi. Sebagai gantinya wadah ini diberi nama
“Komite Sekolah”, atas
dasar prakarsa masyarakat,
satuan pendidikan, dan pemerintah
kabupaten/kota.
Madrasah adalah sebuah
pranata sosial yang
bersistem, terdiri atas komponen-komponen yang saling terkait dan saling mempengaruhi.
Komponen utama sekolah
adalah siswa, pendidik
dan tenaga kependidikan
lainnya, kurikulum, serta
fasilitas pendidikan. Selain
itu, pemangku kepentingan (stakeholder)
juga mempunyai pengaruh
yang besar terhadap
proses penyelenggaraan dan
peningkatan mutu pendidikan. Dalam hal ini orang tua dan masyarakat
merupakan pemangku kepentingan
yang harus dapat
bekerja sama secara sinergis dengan sekolah.
Dari berbagai pengamatan dan
analisis, sedikitnya ada tiga indikator
yang menyebabkan mutu
pendidikan tidak mengalami
peningkatan secara merata.
Faktor pertama,
kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan
nasional menggunakan pendekatan education production
function atau input-output analysis yang
tidak dilaksanakan secara
konsekuen. Pendekatan ini
melihat bahwa lembaga
pendidikan berfungsi sebagai
pusat produksi yang
apabila Syaiful Sagala, Manajemen Strategik
Dalam Peningkatan Mutu
Pendidikan, ( Bandung: CV Alfabeta, 2009).Hlm. 240 dipenuhi
semua input yang diperlukan dalam
kegiatan produksi tersebut,
maka lembaga ini
akan menghasilkan output
yang dikehendaki. Pendekatan
ini menganggap bahwa apabila
input pendidikan seperti pelatihan guru,
pengadaan buku dan alat pelajaran, dan
perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya dipenuhi,
maka mutu pendidikan
(output) secara otomatis
akan terjadi. Akan tetapi dalam kenyataanya, mutu pendidikan yang
diharapkan tidak terjadi. Karena selama
ini dalam menerapkan pendekatan education production function terlalu memusatkan
pada input pendidikan
dan kurang memperhatikan
pada proses pendidikan, padahal proses pendidikan sangat
menentukan output pendidikan.
Faktor
kedua, penyelenggaraan pendidikan
nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik sehingga menempatkan
madrasah sebagai penyelenggaraan pendidikan
sangat tergantung pada
keputusan birokrasi yang
mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang
kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi
sekolah setempat. Sekolah/madrasah lebih menjadi
subordinasi dari birokrasi
diatasnya sehingga mereka
kehilangan kemandirian, keluwesan, motivasi,
kreativitas dan inisiatif untuk
mengembangkan dan memajukan lembaganya
termasuk peningkatan mutu
pendidikan sebagai salah
satu tujuan pendidikan nasional.
Faktor ketiga, peran serta warga madrasah
khususnya guru dan peran serta masyarakat,
orangtua siswa pada umumnya, dalam penyelenggaraan pendidikan selama
ini sangat minim.
Partisipasi guru dalam
pengambilan keputusan sering diabaikan, padahal terjadi atau tidaknya
perubahan di madrasah sangat tergantung Artikel
pendidikan, konsep dasar
MPMBS, http:// www.dikdasmen.depdiknas.go.id, (diakses pada: Sabtu 17
April 2010).
Ibid.
pada guru. Dikenalkan pembaharuan apapun jika
guru tidak berubah, maka tidak akan terjadi
perubahan di madrasah
tersebut. Partisipasi masyarakat
selama ini pada
umumnya sebatas pada
dukungan dana, sedang
dukungan-dukungan lain seperti
pemikiran, moral, dan
barang/jasa kurang diperhatikan.
Akuntabilitas madrasah terhadap
masyarakat juga lemah.
Madrasah tidak mempunyai
beban untuk bertanggung jawab
atas hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu
unsur utama yang berkepentingan dengan
pendidikan (stakeholder).
Paradigma
hubungan tri pusat
pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu paradigma lama, paradigma
transisional dan paradigma baru.
Dalam paradigma
lama, hubungan antara
keluarga, sekolah dan
masyarakat dipandang sebagai institusi
yang berbeda-beda. Ketiganya belum berkomunikasi secara efektif. Paradigma lama berpendapat
bahwa keluarga dan masyarakat telah memberikan peran
utama jika mampu
memberikan dukungan finansial
kepada sekolah. Masalah proses
belajar mengajar, pembinaan moral dan segenap urusan yang
lain diserahkan sepenuhnya
kepada sekolah. Orang
tua dan masyarakat hanya ingin tahu bahwa anaknya lulus dengan
nilai yang tinggi.
Dewasa ini, paradigma lama dalam batas-batas
tertentu telah ditinggalkan dan beralih pada paradigma transisional. Dalam
paradigma ini keluarga memiliki hak untuk
mengetahui tentang apa
saja yang diajarkan oleh
guru di sekolah.
Orang tua
siswa memiliki hak
untuk mengetahui dengan
metode apa anak Ibid.
Sri Renani Pantjastuti dkk, Komite Sekolah:
Sejarah dan Prospeknya di Masa Depan (Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2008).
Hlm. 47.
anaknya
diajar oleh guru-guru
mereka. Hubungan keluarga
dan sekolah sudah mulai
terjalin, tetapi masyarakat belum melakukan kontak dengan sekolah.
Sedangkan
dalam paradigma baru (new
paradigme) hubungan keluarga, sekolah, dan masyarakat harus terjalin secara
sinergis untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan,
termasuk untuk meningkatkan
mutu hasil belajar
siswa di sekolah.
Sekolah adalah sebuah
pranata sosial yang
bersistem, terdiri atas komponen-komponen yang
saling terkait dan
pengaruh mempengaruhi.
Komponen utama
sekolah adalah siswa,
pendidik dan tenaga
kependidikan lainnya, kurikulum,
serta fasilitas pendidikan.
Dengan demikian, dalam paradigma baru
ini telah memandang
bahwa pendidikan sekolah adalah
milik bersama.
Mengikutsertakan masyarakat
dalam pengelolaan pendidikan
diharapkan akan menumbuhkan
rasa kepemilikan dalam
diri setiap anggota
masyarakat, sehingga mereka akan
merasa tanggung jawab terhadap mutu dan kelangsungan hidup dari
sekolah yang bersangkutan,
tambahan lagi sekolah-sekolah tersebut, akan
selalu mendapatkan kontrol
dari mereka serta
monitoring dari pemerintah pusat, dengan demikian akuntabilitas akan
lebih terjaga.
Dewan Pendidikan
dan Komite Sekolah merupakan
amanat rakyat yang telah
tertuang dalam UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(Propenas) 2000 – 2004. Amanat
rakyat ini selaras
dengan kebijakan otonomi
daerah, yang telah
memposisikan kabupaten/kota sebagai
pemegang kewenangan dan
tanggung jawab dalam
penyelenggaraan pendidikan.
Ibid. Hlm.
Ibid. Hlm. 50.
Pelaksanaan pendidikan di daerah tidak hanya
diserahkan kepada kabupaten/kota, melainkan juga
dalam beberapa hal
telah diberikan kepada
satuan pendidikan, baik
pada jalur pendidikan
sekolah maupun luar
sekolah. Dengan kata
lain, keberhasilan dalam
penyelenggaraan pendidikan tidak
hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah pusat, melainkan
juga pemerintah propinsi,
kabupaten/kota, dan pihak
sekolah, orang tua, dan masyarakat atau stakeholder pendidikan. Hal ini
sesuai dengan konsep
partisipasi berbasis masyarakat
(community-based participation) dan
manajemen berbasis sekolah (school-based management), yang kini telah mulai dilaksanakan di
Indonesia.
Membangun sinergi antara pengelola
pendidikan di madrasah, masyarakat sekitar
madrasah, dan pemerintah
dalam rangka mengembangkan
kualitas madrasah secara aktif
merupakan hal mutlak yang seharusnya dilakukan. Hal ini sesuai
dengan perubahan paradigma
sistem pemerintahan dari
sentralisasi ke desentralisasi
yang telah membuka
peluang masyarakat untuk
meningkatkan peran sertanya dalam
wujud pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan demi kemajuan madrasah.
Pada hakikatnya
pendidikan itu adalah
tanggung jawab bersama
antara pemerintah, orang
tua, dan masyarakat. Selaras dengan
perkembangan tuntutan terhadap kualitas pelayanan dan hasil
pendidikan, maka sudah selayaknya setiap komponen
melakukan reposisi yang
mengarah kepada aspirasi
dan apresiasi dalam
bentuk partisipasi masyarakat
terhadap penyelenggaraan madrasah
yang berkualitas.
Panduan
Umum Dewan Pendidikan
dan Komite Sekolah. Dokumentasi MAN 3 Malang.
Peningkatan mutu
belajar mengajar sebenarnya
tidak terlepas dari pendekatan
dalam proses belajar
mengajar, karena baik
tidaknya hasil belajar mengajar dapat dilihat dari mutu lulusan, dari
produk yang dikeluarkan. Proses belajar
mengajar dikatakan berhasil
apabila masukan merata,
menghasilkan banyak lulusan
dan bernutu tinggi,
yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, serta memadai, selain itu juga jika dalam
prosesnya menunjukan kegairahan yang tinggi,
semangat bekerja yang besar, dan percaya pada diri sendiri.
Proses
belajar mengajar merupakan
inti dari proses
pendidikan secara keseluruhan
dengan guru sebagai
pemegang peranan utama.
Karena Proses belajar mengajar mengandung
serangkaian perbuatan pendidik/ guru dan
siswa atas dasar hubungan timbal
balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai
tujuan tertentu. Interaksi
atau hubungan timbal
balik antara guru
dan siswa itu merupakan syarat
utama bagi berlangsungnya proses belajar-mengajar.
Interaksi dalam peristiwa belajar
mengajar ini memiliki arti yang lebih luas, tidak sekedar
hubungan antara guru
dengan siswa, tetapi
berupa interaksi semua komponen pendidikan
termasuk komite madrasah.
Dalam hal ini
bukan hanya penyampaian pesan berupa materi pelajaran,
melainkan menanamkan sikap dan nilai
pada diri siswa yang sedang belajar.
Dalam proses
belajar mengajar guru
memegang peranan yang
sangat penting yaitu
sebagai mediator, fasilitator,
motivator, inovator dan dinamisator sehingga untuk menjalankan tugasnya dalam
proses belajar mengajar diperlukan keterampilan dan
kemampuan yang baik.
Untuk dapat melaksanakan
tugas Rusyan Tabrani
dkk. Pendekatan dalam Proses
Belajar Mengajar. (1989,
Bandung :remadja karya). Hlm. 1 mengajar
dengan baik guru
harus memiliki kemampuan
profesional yang meliputi
penguasaan bahan pelajaran
serta konsep-konsep dasar
keilmuan, pengelolaan program
belajar mengajar, penguasaan kelas, penggunaan media dan sumber pembelajaran, penguasaan
landasan-landasan kependidikan, pengelolaan proses belajar mengajar, penilaian prestasi
siswa, pengenalan fungsi dan program bimbingan dan
penyuluhan, pengenalan dan
penyelenggaraan administrasi sekolah,
dan pemahaman prinsip-prinsip dan
pemanfaatan hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan peningkatan mutu
pengajaran.
Menurut
teori fungsi produksi,
jika pendidikan adalah
sebagai proses produksinya,
maka sekolah adalah
pabriknya. Kurikulum, buku
dan fasilitas pendidikan
lainnya adalah mesin
cetaknya. Pekerjanya adalah
para guru dan tenaga
kependidikan lainnya. Semua itu adalah masukan instrumental yang akan mempengaruhi
kualitas keluaran lulusannya.
Oleh
karena itu, perlu
adanya monitoring serta
evaluasi dalam meningkatakan
proses belajar mengajar
dan mutu pendidikan. Apabila mutu
pendidikan dan kulitas PBM hendak diperbaiki, maka
perlu adanya kerjasama
yang berkesinambungan dari
berbagai unsur pendidikan diantaranya meliputi pemerintah, masyarakat,
orang tua, LSM, dan madrasah.
Melalui MBS/MBM
suatu instansi sekolah
atau madrasah memiliki kewenangan
dalam pengambilan keputusan
yang terkait langsung
dengan kebutuhan-kebutuhan
dan peningkatan mutu
pendidikan. Dengan MBM unsur Sukmadinata,
Nana Syaodih. 2004. Pengembangan Kurikulum
Teori dan Praktek.
(Bandung: Remaja Rosdakarya).
Hlm.1 Sri Renani Pantjastuti dkk, Op.cit
.,Hlm. 5.
pokok
sekolah, memegang kontrol
yang lebih besar
pada setiap kejadian
di sekolah. Unsur
pokok sekolah inilah
yang kemudian menjadi
lembaga non struktural
yang disebut dewan sekolah atau komite madrasah yang anggotanya terdiri
dari guru, kepala sekolah,
administrator, orang tua,
anggota masyarakat dan murid. Oleh karena itu, MBM memerlukan
upaya-upaya penyatupaduan atau penyelarasan
sehingga pelaksanaan pengaturan berbagai komponen sekolah tidak tumpang
tindih, berbenturan, saling
lempar tugas dan
tanggung jawab. Tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara
efektif dan efisien.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi