Jumat, 04 Juli 2014

Skripsi Syariah:ANALISIS HUKUM ISLAM DAN UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA TERHADAP SYARAT TINGGI BADAN BAGI PENDAFTAR CALON HAKIM PENGADILAN AGAMA


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang Masalah   Peradilan punya peranan penting dalam sebuah pemerintahan negara  . Dia  berfungsi untuk menata kehidupan hukum masyarakat berbangsa dan bernegara.
Dia sebagai sistem penegakan hukum dan keadilan. Dia menyelesaikan berbagai  permasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat: sengketa,  gugat-menggugat dan dakwa-mendakwa. Negara, tanpa adanya peradilan akan  mengalami banyak kekacauan di mana-mana.
 Islam memerintahkan mendirikan peradilan. Sebagaimana terdapat dalam alQuran:  َ: ­­ ( Artinya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka  dengan apa yang diturunkan Allah”. (Q.S. Al-Ma>’idah: 49)   Menegakkan hukum di tengah masyarakat menggunakan dasar apa yang telah  diturunkan oleh Allah yaitu al-Quran.

 Al-Siddi>qy, Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, h. 3   Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 168  2  Dari perintah ini dapat diketahui bahwa Islam menghendaki keadilan. Dan  setiap orang kedudukannya sama di matahukum. Tidak ada perbedaan antara  satu dengan yang lain. Berbicara tentang keadilan tidak hanya teori tapi yang  lebih penting adalah prakteknya, yaitu mewujudkan keadilan bagi masyarakat.
Oleh sebab itu dalam rangka melaksanakan penegakan keadilan tersebut  dibutuhkan adanya lembaga peradilan. Lembaga peradilan adalah institusi  pelaksana kekuasaan kehakiman. Tugasnyaadalah menerima, memeriksa, dan  mengadili serta memutus perkara-perkara yang diajukan kepadanya.
 Dan dia  tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara dengan dalih  belum ada hukumnya, atau hukum yang mengatur belum jelas, kecuali jika  penolakan itu atas dasar karena keterbatasan kewenangan. Karena setiap  lembaga peradilan mempunyai kewenangan tertentu sebagaimana yang sudah  tetapkan oleh undang-undang.
Salah satu lembaga peradilan di Indonesia adalah lembaga peradilan agama.
Lembaga peradilan agama secara hirarkis terdiri dari pengadilan agama sebagai  pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan  banding, dan mahkamah agung sebagai pengadilan kasasi.
 Adanya susunan  hirarkis lembaga peradilan dalam lingkungan peradilan agama adalah sebagai  pemenuhan kebutuhan akan upaya hukum bagi para pencari keadilan. Sehingga  siapa pun bisa mengupayakan hukum hingga terakhir ke Mahkamah Agung.
 Citrawacana, Undang-Undang RI tentang Peradilan, h. 454   Rasyid, A. Rosihan, Hukum Acara Peradilan Agama, h. 11  3  Pengadilan agama menangani khusus perkaranya orang Islam, dan dalam  perkara-perkara tertentu, yaitu perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,  infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah (ps. 49 UUPA). Dia merupakan pelaksana  syariat Islam di Indonesia.
 Dalam Pengadilan terdapat banyak unsur di dalamnya, salah satunya adalah  hakim. Hakim sangat menentukan keadilanbagi para pencari keadilan. Bahkan  kewibawaan institusi pengadilan berhubungan erat dengan seorang hakim. Jika  hakim pengadilan itu bijaksana dan berwibawa, maka pengadilan akan secara  otomatis menjadi berwibawa. Tapi sekali saja hakim berbuat yang mencederai  keadilan, maka akan hilang kepercayaan masyarakat terhadapnya. Sebenarnya  hakim merupakan unsur inti di dalam lembaga peradilan.
Oleh sebab itu hakim adalah diangkatdari orang yang tepat, yang punya  kapasitas dan integritas sebagai penegak hukum. Di antara pedoman dan kriteria  dalam memilih hakim adalah dari orang yang banyak ilmu, yang takwa kepada  Allah, wara’, adil, dan cerdas.
 Kriteria itu menjadikan hakim yang diangkat oleh  penguasa mempunyai kewibawaan yang tinggi dan mendapakan kepercayaan  penuh dari masyarakat.
Tentang keadilan hakim Syafi’i memasukkannya ke dalam bagian dari syarat  hakim. Menurutnya tidak sah mengangkat hakim kecuali dari orang yang adil.
 Widiana, Wahyu, Penyatuatapan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung dalamPeradilan  Satu Atap dan Profesi Advocat, h. 93   Al-Siddi>qy, Hasbi, Peradilan Islam, h. 17  4  Syafi’i sangat tegas dalam menentukan kriteria adil ini, menurutnya adil tidak  hanya dalam putusannya tapi juga orangnya yang memang dikenal adil. Orang  yang adil lebih menjamin putusan hukum yang adil.
Keadilan memang sulit ditentukan ukurannya. Dalam hal keadilan putusan  hakim ini Islam mempunyai prinsip kebenaran hukum pada yang tampak yaitu  atas dasar keterangan yang dikemukakan oleh masing-masing pihak. Nabi  bersabda Artinya: “Rasul SAW bersabda, kalianmengadukan perkara kepadaku sedang  aku sesunguhnya adalah manusia biasa, mungkin di antara kalian ada yang  lebih pandai berhujjah dari pada yang lain, maka jika aku memutuskan  sesuatu kepada salah satu di antara kalian yang merupakan hak saudaranya,  sesungguhnya aku telah memberinya potongan dari api neraka, maka jangan  mengambilnya sesuatupun.” (HR. At-Tirmi>z}i>)  Dalam hal ini Rosihan Rasyid juga mengatakan bahwa ukuran kebenaran bagi  hakim adalah hanya pada batas kebenaran material menurut kemampuan  manusia.
  At-Tirmi>z|i>, Al-Ja>mi’ al-S}ahi>h, Juz II, h.
 Rasyid, Hukum Acara, h. 10  5   Jika Allah yang menjadi hakim di mukabumi ini, sudah pasti tidak akan ada  ketidakadilan karena Allah pasti mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.
Tetapi Allah bukan manusia melainkan Dzat yang berbeda dengan makhluk  (mukha>lafatu li al-hawa>di>s|i). Jadi mustahil Allah hadir selayaknya manusia  sebagai hakim yang mengadili di tengah-tengah masyarakat. Sehingga yang  menjadi kehendak Allah ialah menjadikanmanusia sebagai khalifah di muka  bumi ini, salah satunya untuk menegakkan hukum dan keadilan. Sebagaimana  dalam al-Quran:  ­ ( Atinya: “Hai Daud, sesugguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa)  di muka bumi, maka berilah keputusan(perkara) di antara manusia dengan  adil”. (Q.S. S}a>d: 26)   Jadi, hakim tidak lain merupakan wakil Allah di bumi untuk menegakkan hukum  dan keadilan-Nya, yang sebenarnya merupakan tugas kepala negara/khalifah.
 Walaupun hanya menentukan kebenaran berdasarkan pada yang tampak,  tetap saja tidak mudah bagi hakim untuk mampu melakukannya. Oleh sebab itu  kemampuan hakim harus ditunjang dengan pengetahuan yang luas khususnya  tentang hukum. Bahkan ada ulama{}{‘ yang mensyaratkan hakim harus mampu   Departemen Agama, Al-Quran, h. 736  6  berijtihad (mujtahi>d). sedangkan mujtahi>dsaat ini sangat jarang ditemukan, atau  bahkan tidak ada lagi seorang mujtahi>dzaman sekarang.
 Kurangnya pengetahuan hakim tentang hukum akan menjerumuskannya pada  kemungkinan besar terjadi kesalahan-kesalahan dalam menghukum. Tentu tidak  diharapkan demikian itu terjadi pada seorang hakim. Maka bagaimana kemudian  difikirkan tentang sebuah cara mengangkat seorang hakim yang berpengetahuan  luas dengan mengadakan semacam tes/ujian sebelum menjadi hakim. Barangkali  tidak cukup pengetahuan saja tetapi meliputi ujian terhadap keseluruhan yang  menjadi tolak ukur kapasitas dan integritas hakim.
 Hukum adalah mencegah. Disebut hakim karena dia mencegah orang berbuat  aniaya terhadap orang lain.
 Apabila kita mengatakan: "hakim telah  menghukumkan begini", maka pengertianya ialah hakim telah meletakkan  sesuatu hak pada tempatnya atau telah mengembalikan hak kepada pemiliknya.
Mencegah yang dilakukan oleh hakim ini dengan memberikan putusan yang adil  dan benar.
Tentang bagaimana seharusnya hakim menghukum, al-Kasyani mengatakan  dalam definisinya tentang qad}a>’  Al-Siddi>qy, Peradilan Islam, h. 34   Ibid, h. 35  7  Artinya: “Menghukum manusia dengan benar atau dengan hukum yang Allah  telah turunkan”.
Al-Kasya>ni mengatakan bahwa hakim menghukum dengan pedoman kebenaran  atau hakim menghukum dengan pedoman hukum-hukum Allah. Definisi di atas  mensiratkan penegasan bahwa hakim harus mampu mewujudkan kebenaran dan  juga harus memahami hukum-hukum Allah.
Jadi hakim merupakan sosok yang  mempunyai peranan penting dalam  penegakan hukum. Dia adalah bagian intidari lembaga peradilan. Dia bertugas  memeriksa, mengadili, dan memutus perkara secara adil. Dia juga dituntut  mampu untuk melakukan tugasnya sebagai hakim, khususnya mampu berijtihad.
Secara umum yang harus melekat pada diri seorang hakim adalah kapasitas dan  integritasnya sebagai penegak hukum.
Untuk menemukan sosok hakim yang tepat, yaitu yang punya kapasitas dan  integritas sebagai penegak hukum, maka penting artinya persyaratan ditetapkan  bagi calon hakim yang hendak diangkat menjadi hakim. Karena persyaratan  menjadi alat penentu dalam memilih hakim yang tepat dan sesuai.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi