Jumat, 04 Juli 2014

Skripsi Syariah:PANDANGAN MASYARAKAT PESANTREN TENTANG KAFA'AH UNTUK MENGGUNAKAN HAK IJBAR (STUDI PADA MASYARAKAT PESANTREN DI KEC.LABANG KAB.BANGKALAN – MADURA)


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang Masalah  Dalam sebuah perkawinan yang diwujudkan tentu ada sesuatu atau poin  yang ingin dicapai oleh masing-masing pasangan kedua belah pihak (suamiisteri) baik itu ketentraman hati, keturunan, kebutuhan biologis, dan lain-lain.
Semua dapat disimpulkan dalam simbolperkawinan yang sakinah, mawaddah,  dan rahmah. Senada dengan hal tersebut dalam al-Qur'a>n SuratAr-Ru>mayat 21  disebutkan bahwa adanya fitrah seorang manusia yang membutuhkan kasih serta  sayang  Artinya;"dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan  untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan  merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih  dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat  tanda-tanda bagi kaum yang berfikir".
  Cita-cita tersebut di atas dapatlah dicapai dengan kematangan usia,  kematangan emosional, dan kematangan kadar ilmu dalam konteks berumah  tangga antara kedua pihak (suami-isteri). Keserasian kedua belah pihak (calon   Departemen Agama RI, Al-Qur'a<n dan Terjemahnya, h.644   suami/calon isteri) dapat terwujud salah satunya dengan kesetaraan atau yang  lebih kita kenal dengan kafa'ah. Kafa'ahdalam perkawinan merupakan faktor  yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaansuami-isteri, dan lebih menjamin  keselamatan perempuan dari kegagalan atau goncangan rumah tangga.

 Kafa'ah merupakan kesetaraan atau yang lebih lanjut pembandingan oleh wali untuk  menilik seorang laki-laki apakah dia pantas atau tidak disandingkan dengan  putrinya. Permasalahan tersebutlah yang menjadi titik awal dari pembahasan  pada penulisan skripsi ini.
 Pada masyarakat pesantren di sekitar Kec.Labang Kab.Bangkalan– Madura, kafa'ahmerupakan tahapan yang wajib sebelum masuk dalam  pernikahan, karena masyarakat kalangan pesantren di sekitar Kec.Labang  Kab.Bangkalan–Madura tersebut mempunyai penilaian yang baik dengan  kemungkinan seputar permasalahan dalam rumah tangga, semua ini berawal dari  ke-kufu' annya seseorang laki-laki atas keluarga dan khususnya pada anak  perempuannya. Maka wali mengindikasikan bahwa dirinya (seorang wali) yang  paling berkuasa atas anaknya dengan hak wali mujbirditangan sepenuhnya. Ini  juga terkandung pada hadis| Nabi yang diriwayatkan oleh al-Dar Quthni yang  berisikan, kawinkanlah perempuan itu dengan seorang yang sekufu'dan harus  dinikahkan oleh wali, mungkin konsep z{ahirteks dari h{adis| tersebut yang meng- Abd.Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h.97   interpretasikan seorang wali harus mencarikan jodoh yang setara dengan  putrinya. Bunyi h{adis| tersebut yaitu :  Artinya ;"Janganlah kamu mengawinkan perempuan kecuali dari yang sekufu dan  jangan mereka dikawinkan kecuali dari walinya".
 Sebenarnya kafa'ahsendiri para ulama' mazhab pun berbeda satu sama  lainnya menyangkut kriteria-kriteria kafa'ah. Tetapi pada konteks ini kafa'ah pada masyarakat pesantren di sekitar Kec.Labang Kab.Bangkalan–Madura  mengartikan kafa'ahlebih ke arah nas}abatau keturunan yang menjadi poin  terpenting. Seperti h{adis| Nabi Muhammad SAW yang berbunyi  " Artinya:"dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW. Beliau bersabda: perempuan itu  dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, kedudukannya,  kecantikannya, dan karena agamanya. Lalu pilihlah perempuan yang  beragama niscaya kamu bahagi. (Muttafaq 'alaih & Imam as Sab'ah)".
  Pondok Pesantren di sekitar Kec.Labang Kab.Bangkalan – Madura ini  bisa dibilang jumlahnya relatif banyak, karena di setiap desa yang ada di   Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,h.141   M. Abdul Aziz, Sunan Abi Daud, Juz II, h.85   Abu Bakar M, Terjemah Subulussalam, h.401-402   Kec.Labang ada pesantrennya, meskipun tidak semuanya tapi bisa dinilai enam  puluh lima persen, dan masyarakat kalangan keluarga pondok pesantren yang  satu masih saling ada hubungan dengan keluarga pesantran lainnya. Hal ini  mengindikasikan bahwa memang sudah berpuluh-puluh tahun perjalanan  perkawinan di kalangan mereka hanya berputar-putar pada antar pesantren saja,  terlepas memang ada wali yang menggunakan hak  ijba>r-nya pada anak  perempuannya karena  kafa'ah  / kesetaraan, lebih-lebih seputar hal  nasab/keturunan di atas.
 Sepengamatan penulis selama hampirkurang lebih lima tahun belakangan  ini, ada kesamaan yang diistilahkan oleh penulis yaitu "derajat"antara pihak  calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan yang sama-sama dari  kalangan pesantren, pesantren tersebutletaknya sangat berdekatan. Dari  pengamatan di atas ternyata memang dibenarkan bahwa sebagian banyak wali  menggunakan hak ijba>r nya untuk menikahkan putrinya (sebagai wali mujbir)  yang dilatar belakangi oleh kafa'ahatau kesetaraan.
 Ini menjadi kasus yang menarik atau unik karena kafa'ahseolah-olah  menjadi kriteria dalam pemberlakuan wali mujbir, dan subyek / pelakunya yang  muncul adalah dari kalangan masyarakat priyai.
 B.  Rumusan Masalah  Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi  rumusan masalah meliputi hal-hal tersebut di bawah ini :  1.  Bagaimana konsep kafa'ahmenurut masyarakat pesantren di sekitar  Kec.Labang Kab.Bangkalan – Madura ?  2.  Bagaimana pengaruh kafa'ahdalam perkawinan terhadap hak ijba>rwali  menurut masyarakat pesantren di sekitar Kec.Labang Kab.Bangkalan –  Madura ?  3.  Bagaimana analisis hukum islam terhadap kafa'ahsebagai latar belakang wali  menggunakan hakijba>r nya ?  
C.  Kajian Pustaka  Kajian pustaka pada penelitian ini pada dasarnya adalah untuk  mendapatkan gambaran hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian  sejenis yang mungkin pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya sehingga  diharapkan tidak ada pengulangan materi penelitian secara mutlak.
Sejauh penelitian penulis terhadap karya-karya ilmiah / skripsi-skrpsi  yang telah dahulu khususnya di Fak.Syari'ah terdapat bahasan tentang hal wali  mujbir, salah satunya tentang konsep wali mujbir menurut Yusuf Qard{awi yang  ditulis oleh M.Sugeng Rianto dan beberapa bahasan tentang kafa'ah, salah  satunya ditulis oleh M.Aklis MZ yang diteliti di bilangan Sidoresmo   Kec.Wonocolo - Surabaya. Belum ada penggabungan bahasan baik antara kafa'ah dan wali mujbirdalam satu bahasan.
D. Tujuan Penelitian  Penelitian ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagai berikut :  1.  Untuk mengetahui dasar/kriteria dari kafa'ahdan wali mujbir 2.  Untuk mengetahui hukum kafa'ahsebagai latar belakang berlakunya hak wali  mujbiroleh wali.
3.  Untuk memberikan sumbangsih teori keilmuan "fan munakahat"pada rekan  akhwalus as-sakhsiyah dan kalangan umum.
E.  Kegunaan Hasil Penelitian  Kegunaan hasil penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan bernilai  dan bermanfaat minimal untuk hal-hal sebagai berikut :  1.  Secara Teoritis, berguna bagi  pengembangan ilmu pengetahuan dan  menambah wawasan pengetahuan khususnya di bidang fiqh munakahat.
2.  Secara Praktis, untuk mengetahui landasan hukum ditetapkannya kafa'ah sebagai alasan untuk berlakunya wali mujbiroleh masyarakat kalangan  pesantren di sekitar Kec.Labang Kab.Bangkalan–Madura.
 F.  Definisi Operasional  Untuk mempermudah pemahaman terhadap istilah kunci dalam penelitian  ini, maka disini dijelaskan maknanya sebagai berikut :  1.  Masyarakat Pesantren  :orang-orang yang aktif secara langsung menjadi  Pengasuh, Pelindung, ustadz / orang yang masuk  struktural dalam pesantren. Atau para  Kiyai,/Bindherah. (masyarakat priyai).
yahber � a a `� �� nya kalau pewaris muslim  dan ahli warisnya kafir, maka ahli waris non muslim tersebut tidak menerima harta  warisan. Diriwayatkan dari ‘Ali bin Ibra>himdari bapaknya dari ibn Abu> Najro>n dari  “’A<s}im bin H{umaid dari Muh}ammad bin Qaysia berkata: Saya mendengar dari Abu>  Ja’far ia berkata: Orang Yahudi dan Nas}ra>ni tidak mempusakai pewaris muslim tapi  muslim mempusakai dari pewaris Yahudi dan Nas}ra>ni.
  Diriwayatkan oleh ‘Ali ibn  Ibra>him dari bapaknya dari Muh}ammad bin ‘Isa dari Yu>nus dari Zur’ah dari Sima>’ah  ia berkata: saya bertanya kepada Abu> Abdillah tentang seorang muslim apakah ia  mewarisi dari pewaris musyrik atau tidak, ya ia mewarisi daripewaris musyrik dan  musyrik tidak mewarisi dari muslim.
  Pendapat Imam Syafi’i dan Syi>’ah Ima>miyahtersebut dalam satu sisi sangat  betentangan, akan tetapi ada kesamaan di antara keduanya. Imam Syafi’i secara  mutlak mengatakan tidak berhak ahli waris muslim mempusakai dari pewaris yang   Ibid.,   Muhammad bin Ya’qu>b bin Isha>q al-Kulaini, Alfuru’ Al-Ka>fi, (tt: tt, tt),   Ibid., 144  8  beragama selain Islam, akan tetapi Syi>’ah Ima>miyahmembolehkan ahli waris  muslim menerima harta warisan daripewaris non muslim. Sedangkan keduanya  sepakat mengatakan bahwasanya non muslimtidak berhak menerima harta warisan  dari pewaris yang muslim.
 Persamaan dan perbedaan itulah yang menjadi dasar mengapa penulis memilih  Imam Syafi’i dan Syi>’ah Ima>miyahsebagai perbandingan yang akan menjawab  bagaimana hukum menerima harta dari pewaris non muslim. Kajian ini sangat  menarik untuk dikaji lebih mendalam, agar tujuan dari pada pembagian harta  warisan tercapai, yakni supaya tidak adanya pertengkaran dan perselisihan antara  ahli waris serta terciptanya rasa keadilan dan kesejahteraan bagi mereka. Oleh  karena itu, Penulis akan mengkaji pembahasan tersebut dengan mengangkat judul  “Studi Komparatif Antara Imam Syafi’i dan Syi>’ah Ima>miyahtentang Hukum  Menerima Harta Warisan dari pewaris non muslim”.
 B.  Identifikasi dan  Batasan Masalah  Dari latar belakang masalah yang telah peneliti paparkan di atas, maka  identifikasi masalah yang peneliti peroleh adalah:  9  1. Urgensi mempelajari dan mengajarkankewarisan Islam kepada umat  manusia.
 2. Pendapat Jumhu>r‘Ulama tentang hukum menerima harta warisan dari  pewaris non muslim.
 3. Rujukan Jumhu>r‘Ulama dalam memberikan hukum mengenai penerimaan  harta warisan dari pewaris kepadaahli waris yang beda agama.
 4. Pandangan Imam Syafi’i tentang hukum kewarisan beda agama serta dasar  hukumnya.
 5. Pandangan Syi>’ah Ima>miyahtentang hukum kewarisan beda agama dan dasar  hukumnya.
 6. Persamaan dan perbedaan antara pendapat Imam Syafi’i dan Syi>’ah  Ima>miyahtentang hukum kewarisan beda agama.
 Dari identifikasi masalah tersebut penulis membatasi pada tiga permasalahan,  yaitu:  1. Pandangan Imam Syafi’i dan Syi>’ah Ima>miyahtentang hukum menerima  harta warisan dari pewaris non muslim.
 2. Cara pengambilan hukum menurut Imam Syafi’i dan Syi>’ah Ima>miyah dalam menanggapi kewarisan beda agama.
 10  3. Persamaan dan perbedaan pandangan Imam Syafi’i dan Syi>’ah Ima>miyah mengenai kewarisan beda agama tersebut.
  


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi