BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam sebuah perkawinan yang diwujudkan tentu
ada sesuatu atau poin yang ingin dicapai
oleh masing-masing pasangan kedua belah pihak (suamiisteri) baik itu
ketentraman hati, keturunan, kebutuhan biologis, dan lain-lain.
Semua dapat disimpulkan dalam
simbolperkawinan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Senada dengan hal tersebut dalam
al-Qur'a>n SuratAr-Ru>mayat 21 disebutkan
bahwa adanya fitrah seorang manusia yang membutuhkan kasih serta sayang Artinya;"dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir".
Cita-cita tersebut di atas dapatlah dicapai
dengan kematangan usia, kematangan
emosional, dan kematangan kadar ilmu dalam konteks berumah tangga antara kedua pihak (suami-isteri).
Keserasian kedua belah pihak (calon Departemen
Agama RI, Al-Qur'a<n dan Terjemahnya, h.644 suami/calon isteri) dapat terwujud salah
satunya dengan kesetaraan atau yang lebih
kita kenal dengan kafa'ah. Kafa'ahdalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya
kebahagiaansuami-isteri, dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau
goncangan rumah tangga.
Kafa'ah merupakan kesetaraan atau yang lebih
lanjut pembandingan oleh wali untuk menilik
seorang laki-laki apakah dia pantas atau tidak disandingkan dengan putrinya. Permasalahan tersebutlah yang
menjadi titik awal dari pembahasan pada
penulisan skripsi ini.
Pada masyarakat pesantren di sekitar
Kec.Labang Kab.Bangkalan– Madura, kafa'ahmerupakan tahapan yang wajib sebelum
masuk dalam pernikahan, karena
masyarakat kalangan pesantren di sekitar Kec.Labang Kab.Bangkalan–Madura tersebut mempunyai
penilaian yang baik dengan kemungkinan
seputar permasalahan dalam rumah tangga, semua ini berawal dari ke-kufu' annya seseorang laki-laki atas
keluarga dan khususnya pada anak perempuannya.
Maka wali mengindikasikan bahwa dirinya (seorang wali) yang paling berkuasa atas anaknya dengan hak wali
mujbirditangan sepenuhnya. Ini juga
terkandung pada hadis| Nabi yang diriwayatkan oleh al-Dar Quthni yang berisikan, kawinkanlah perempuan itu dengan
seorang yang sekufu'dan harus dinikahkan
oleh wali, mungkin konsep z{ahirteks dari h{adis| tersebut yang meng- Abd.Rahman
Ghazali, Fiqh Munakahat, h.97 interpretasikan
seorang wali harus mencarikan jodoh yang setara dengan putrinya. Bunyi h{adis| tersebut yaitu : Artinya ;"Janganlah kamu mengawinkan
perempuan kecuali dari yang sekufu dan jangan
mereka dikawinkan kecuali dari walinya".
Sebenarnya kafa'ahsendiri para ulama' mazhab
pun berbeda satu sama lainnya menyangkut
kriteria-kriteria kafa'ah. Tetapi pada konteks ini kafa'ah pada masyarakat
pesantren di sekitar Kec.Labang Kab.Bangkalan–Madura mengartikan kafa'ahlebih ke arah nas}abatau
keturunan yang menjadi poin terpenting.
Seperti h{adis| Nabi Muhammad SAW yang berbunyi
" Artinya:"dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW. Beliau
bersabda: perempuan itu dinikahi karena
empat perkara, karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Lalu
pilihlah perempuan yang beragama niscaya
kamu bahagi. (Muttafaq 'alaih & Imam as Sab'ah)".
Pondok
Pesantren di sekitar Kec.Labang Kab.Bangkalan – Madura ini bisa dibilang jumlahnya relatif banyak, karena
di setiap desa yang ada di Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,h.141 M. Abdul Aziz, Sunan Abi Daud, Juz II, h.85 Abu Bakar M, Terjemah Subulussalam, h.401-402
Kec.Labang ada pesantrennya, meskipun
tidak semuanya tapi bisa dinilai enam puluh
lima persen, dan masyarakat kalangan keluarga pondok pesantren yang satu masih saling ada hubungan dengan keluarga
pesantran lainnya. Hal ini mengindikasikan
bahwa memang sudah berpuluh-puluh tahun perjalanan perkawinan di kalangan mereka hanya
berputar-putar pada antar pesantren saja, terlepas memang ada wali yang menggunakan
hak ijba>r-nya pada anak perempuannya karena kafa'ah
/ kesetaraan, lebih-lebih seputar hal nasab/keturunan di atas.
Sepengamatan penulis selama hampirkurang lebih
lima tahun belakangan ini, ada kesamaan
yang diistilahkan oleh penulis yaitu "derajat"antara pihak calon pengantin laki-laki dan calon pengantin
perempuan yang sama-sama dari kalangan
pesantren, pesantren tersebutletaknya sangat berdekatan. Dari pengamatan di atas ternyata memang dibenarkan
bahwa sebagian banyak wali menggunakan
hak ijba>r nya untuk menikahkan putrinya (sebagai wali mujbir) yang dilatar belakangi oleh kafa'ahatau
kesetaraan.
Ini menjadi kasus yang menarik atau unik
karena kafa'ahseolah-olah menjadi
kriteria dalam pemberlakuan wali mujbir, dan subyek / pelakunya yang muncul adalah dari kalangan masyarakat priyai.
B. Rumusan
Masalah Sesuai dengan latar belakang
masalah di atas, maka yang menjadi rumusan
masalah meliputi hal-hal tersebut di bawah ini : 1.
Bagaimana konsep kafa'ahmenurut masyarakat pesantren di sekitar Kec.Labang Kab.Bangkalan – Madura ? 2.
Bagaimana pengaruh kafa'ahdalam perkawinan terhadap hak ijba>rwali menurut masyarakat pesantren di sekitar
Kec.Labang Kab.Bangkalan – Madura ? 3.
Bagaimana analisis hukum islam terhadap kafa'ahsebagai latar belakang
wali menggunakan hakijba>r nya ?
C. Kajian Pustaka Kajian pustaka pada penelitian ini pada
dasarnya adalah untuk mendapatkan
gambaran hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang mungkin pernah dilakukan oleh
peneliti lain sebelumnya sehingga diharapkan
tidak ada pengulangan materi penelitian secara mutlak.
Sejauh penelitian penulis
terhadap karya-karya ilmiah / skripsi-skrpsi yang telah dahulu khususnya di Fak.Syari'ah
terdapat bahasan tentang hal wali mujbir,
salah satunya tentang konsep wali mujbir menurut Yusuf Qard{awi yang ditulis oleh M.Sugeng Rianto dan beberapa
bahasan tentang kafa'ah, salah satunya
ditulis oleh M.Aklis MZ yang diteliti di bilangan Sidoresmo Kec.Wonocolo - Surabaya. Belum ada
penggabungan bahasan baik antara kafa'ah dan wali mujbirdalam satu bahasan.
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mencapai
tujuan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dasar/kriteria dari
kafa'ahdan wali mujbir 2. Untuk
mengetahui hukum kafa'ahsebagai latar belakang berlakunya hak wali mujbiroleh wali.
3. Untuk memberikan sumbangsih teori keilmuan
"fan munakahat"pada rekan akhwalus
as-sakhsiyah dan kalangan umum.
E. Kegunaan Hasil Penelitian Kegunaan hasil penelitian yang akan dilakukan
ini diharapkan bernilai dan bermanfaat
minimal untuk hal-hal sebagai berikut : 1. Secara Teoritis, berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan pengetahuan khususnya di
bidang fiqh munakahat.
2. Secara Praktis, untuk mengetahui landasan
hukum ditetapkannya kafa'ah sebagai alasan untuk berlakunya wali mujbiroleh
masyarakat kalangan pesantren di sekitar
Kec.Labang Kab.Bangkalan–Madura.
F.
Definisi Operasional Untuk
mempermudah pemahaman terhadap istilah kunci dalam penelitian ini, maka disini dijelaskan maknanya sebagai
berikut : 1. Masyarakat Pesantren :orang-orang yang aktif secara langsung
menjadi Pengasuh, Pelindung, ustadz /
orang yang masuk struktural dalam
pesantren. Atau para Kiyai,/Bindherah.
(masyarakat priyai).
yahber � a a `� �� nya kalau pewaris muslim dan ahli warisnya kafir, maka ahli waris non
muslim tersebut tidak menerima harta warisan.
Diriwayatkan dari ‘Ali bin Ibra>himdari bapaknya dari ibn Abu> Najro>n
dari “’A<s}im bin H{umaid dari
Muh}ammad bin Qaysia berkata: Saya mendengar dari Abu> Ja’far ia berkata: Orang Yahudi dan
Nas}ra>ni tidak mempusakai pewaris muslim tapi muslim mempusakai dari pewaris Yahudi dan
Nas}ra>ni.
Diriwayatkan
oleh ‘Ali ibn Ibra>him dari bapaknya
dari Muh}ammad bin ‘Isa dari Yu>nus dari Zur’ah dari Sima>’ah ia berkata: saya bertanya kepada Abu>
Abdillah tentang seorang muslim apakah ia mewarisi dari pewaris musyrik atau tidak, ya
ia mewarisi daripewaris musyrik dan musyrik
tidak mewarisi dari muslim.
Pendapat
Imam Syafi’i dan Syi>’ah Ima>miyahtersebut dalam satu sisi sangat betentangan, akan tetapi ada kesamaan di
antara keduanya. Imam Syafi’i secara mutlak
mengatakan tidak berhak ahli waris muslim mempusakai dari pewaris yang Ibid., Muhammad bin Ya’qu>b bin Isha>q
al-Kulaini, Alfuru’ Al-Ka>fi, (tt: tt, tt), Ibid., 144 8 beragama
selain Islam, akan tetapi Syi>’ah Ima>miyahmembolehkan ahli waris muslim menerima harta warisan daripewaris non
muslim. Sedangkan keduanya sepakat
mengatakan bahwasanya non muslimtidak berhak menerima harta warisan dari pewaris yang muslim.
Persamaan dan perbedaan itulah yang menjadi
dasar mengapa penulis memilih Imam
Syafi’i dan Syi>’ah Ima>miyahsebagai perbandingan yang akan menjawab bagaimana hukum menerima harta dari pewaris
non muslim. Kajian ini sangat menarik
untuk dikaji lebih mendalam, agar tujuan dari pada pembagian harta warisan tercapai, yakni supaya tidak adanya
pertengkaran dan perselisihan antara ahli
waris serta terciptanya rasa keadilan dan kesejahteraan bagi mereka. Oleh karena itu, Penulis akan mengkaji pembahasan
tersebut dengan mengangkat judul “Studi
Komparatif Antara Imam Syafi’i dan Syi>’ah Ima>miyahtentang Hukum Menerima Harta Warisan dari pewaris non
muslim”.
B.
Identifikasi dan Batasan Masalah Dari latar belakang masalah yang telah
peneliti paparkan di atas, maka identifikasi
masalah yang peneliti peroleh adalah: 9 1. Urgensi mempelajari dan
mengajarkankewarisan Islam kepada umat manusia.
2. Pendapat Jumhu>r‘Ulama tentang hukum
menerima harta warisan dari pewaris non
muslim.
3. Rujukan Jumhu>r‘Ulama dalam memberikan
hukum mengenai penerimaan harta warisan
dari pewaris kepadaahli waris yang beda agama.
4. Pandangan Imam Syafi’i tentang hukum kewarisan
beda agama serta dasar hukumnya.
5. Pandangan Syi>’ah Ima>miyahtentang
hukum kewarisan beda agama dan dasar hukumnya.
6. Persamaan dan perbedaan antara pendapat
Imam Syafi’i dan Syi>’ah Ima>miyahtentang
hukum kewarisan beda agama.
Dari identifikasi masalah tersebut penulis
membatasi pada tiga permasalahan, yaitu:
1. Pandangan Imam Syafi’i dan Syi>’ah
Ima>miyahtentang hukum menerima harta
warisan dari pewaris non muslim.
2. Cara pengambilan hukum menurut Imam Syafi’i
dan Syi>’ah Ima>miyah dalam menanggapi kewarisan beda agama.
10 3.
Persamaan dan perbedaan pandangan Imam Syafi’i dan Syi>’ah Ima>miyah mengenai
kewarisan beda agama tersebut.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi