BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah sunnatulla>h, hukum alam
di dunia. Perkawinan dilakukan oleh
manusia, hewan, bahkan olah tumbuh-tumbuhan.
Pernikahan dalam Islam merupakan anjuran bagi kaum
muslimin. Dapatlah dipahami bahwa nikah
merupakan suatu ikatan perjanjian yang sakral dan kekal antara seorang lelaki (calon suami) dengan seorang
perempuan (calon istri) untuk bersama-sama
sepakat saling mengikat diantara keduanya, hidup bersama dalam membentuk lembaga keluarga(rumah tangga)
agar memperoleh kedamaian hati,
ketentraman jiwa, dan cinta kasih.
Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam surat
ar-Ru>mayat 21 : َ Artinya : Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan
Islam), h.
Didi Jubaedi Ismail, Membina Rumah Tangga Islami
di Bawah Ridha Ilahi, h. 64 Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.(Q.S. ar-Ru>m : 21).
Serta dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dinyatakan bahwa: “Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang wanita dan seorang pria sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.” Sementara itu, dalam Kompilasi Hukum Islam
pasal 2 disebutkan bahwa “perkawinan
yang sah menurut hukum Islam merupakan pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mis|a>qan
gali>d}anuntuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.” Dan yang dimaksud istilah Kompilasi Hukum
Islam adalah sebuah buku yang berisi
kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah atau garis-garis hukum Islam sejenis, yakni mengenai hukum
perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum
perwakafan yang disusun secara sistematis.
Sesuai dengan fitrahnya, bahwa manusia tidak
dapat hidup sendiri, dalam arti ia
memiliki sifat ketergantungan dan saling membutuhkan.
Demikian halnya antara pria dan
wanita, mereka sama-sama saling membutuhkan.
Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa hidup berpasangpasangan, hidup berjodoh adalah
nalurisegala makhluk Allah, termasuk Depag
RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.
Depag RI, Bahan Penyuluhan Hukum (UU no.1
tahun 1974),pasal 1, h.
Depag RI, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia,
pasal 2, h.
Depag RI, Bahan Penyuluhan Hukum, h. 38 manusia.
Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT
berpasangpasangan inilah Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi
berikutnya,sebagaimana tercantum dalam
surat an-Nisa>’ayat 1 Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada
Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu
dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan
yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. an-Nisa>’ : 1).
Agar hubungan antara pria dan wanita ini dapat
terjalin secara harmonis dan lebih
langgeng, maka Islam mengaturnya melalui ketentuanketentuan hukum tata cara
hidup berumah tangga, yang lebih dikenal dengan fiqih muna>kah}at(hukum perkawinan).
Agama Islam mengisyaratkan nikah
sebagai satu-satunya bentuk hidup secara
pasangan yang dibenarkan yang kemudian dianjurkan untuk dikembangkan dalam pembentukan keluarga.
Melalui lembaga nikah, kebutuhan
naluriah manusia (yang mengharuskan dan mendorong adanya Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, h.
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 114 hubungan antara pria dan wanita) tersalurkan
secara terhormat sekaligus memenuhi
panggilan watak kemasyarakatan dari kehidupan manusia itu sendiri dan panggilan moral yang ditegakkan
oleh agama.
Nikah adalah satu asas atau pokok
yang terutama untuk hidup dalam pergaulan
yang sempurna, bukan saja perkawinan itu satu jalan yang amat mulia untuk teraturnya kehidupan rumah tangga
dan turunan, tetapi ia pun sebagai satu
pintu untuk berkenalan antara satu kaum dengan yang lain, yang mana perkenalan itu akan menjadi jalan buat
menyampaikan kepada tolong menolong
antara satu dengan yang lainnya.
Dalam hukum Islam, untuk dapat
melakukan perkawinan secara sah, harus
dilakukan sesuai rukun dan syarat perkawinan. Tanpa terpenuhinya syarat maupun rukun-rukun yang dimaksud, maka
perkawinan dinyatakan batal. Hukum Islam
mamasukan adanyawali bagi mempelai perempuan sebagai salah satu rukun perkawinan. Suatu
perkawinan yang dilangsungkan tanpa
wali, atau wali bukanlah orang yang berhak, maka perkawinan tersebut menjadi batal (tidak sah).
Dalam prakteknya tidak sedikit adanya hubungan
muda-mudi yang tidak direstui orang
tuanya sehinggamengambil jalan pintas dengan cara menikah tanpa wali. Dalam kaitan ini ada
hadits yang menegaskan sebagai berikut :
Slamet Abidin dkk, Fiqih Munakahat, h.
100 Dalam riwayat Abi> Burda>h
ibn Abu> Musa> dari Rasulullah SAW, beliau bersabda Artinya : “tidak ada nikah sama sekalikecuali
dengan adanya seorang wali” (H.R
Kelompok Imam lima kecuali an-Nasa>’i).
Dari hadits di atas menunjukkan
bahwa adanya wali merupakan bagian yang
mutlak untuk sahnya pernikahan. Akan tetapi adanya keberanian muda-mudi melakukan nikah tanpa walibukan
tidak berdasar, melainkan karena adanya
sebagian ulama yangmembolehkan wanita gadis menikah tanpa wali. Salah seorang di antaranya adalah
Ahmad Hassan yang menegaskan : Keterangan-keterangan itu tak dapat dijadikan
alasan untuk mewajibkan perempuan
menikah harus disertai wali, karena berlawanan dengan beberapa keterangan dari al-Qur'an,
Hadits dan riwayatnya yang sahih dan
kuat. Dengan tertolaknya keterangan-keterangan yang mewajibkan wali itu, berarti wali tidak perlu, artinya
tiap-tiap wanita boleh menikah tanpa
wali. Jika sekiranya seorang wanita tidak boleh menikah kecuali harus ada wali, tentunya al-Qur'an menyebutkan
tentang itu.
Pernyataan Ahmad Hassan diatas menarik untuk
dikaji dari sisi pertama, bahwa dia
adalah tokoh panutan dari satu organisasi sosial keagamaan yang sangat banyak pengikutnyayakni
Persatuan Islam (PERSIS) dan kedua,
bahwa pernyataan ini keluaratau berbedea dengan pendapat yang Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai
Masalah Agama, h. 386 diyakini oleh
mayoritas ulama. Darisinilah maka perlu dikaji secara mendalam, bagaimana metode istinbath hukum
yang dugunakan Ahmad Hassan dan
bagaimana pandangan ulama lain tentang hal tersebut. Masalah menarik lainnya yang mungkin dibahas adalah
apakah pendapat Ahmad Hassan ini
mengandung dampak positifataukah negatif dalam kontek hubungannya dengan arti penting peran dan
kedudukan seorang wali dalam pernikahan.
Bertolak dari ini mendorong peneliti mengangkat tema ini dengan judul : “STUDI ANALISIS TENTANG SAHNYA
WANITA MENIKAH TANPA WALI MENURUT PENDAPAT AHMAD HASSAN”
B. Rumusan Masalah Sesuai dengan gambaran latar belakang masalah
di atas, penulis dapat mengemukakan
rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apa dasar Ahmad Hassan menyatakan sahnya
pernikahan wanita tanpa wali ? 2.
Bagaimana metode istinba>t} hukum Ahmad Hassan tentang sahnya wanita menikah tanpa wali ? 3. Bagaimana pandangan ulama lain terhadap
pendapat Ahmad Hassan tentang sahnya
wanita menikah tanpa wali ?
C. Kajian Pustaka Adapun beberapa kitab atau buku yang
mengungkapkan tentang kedudukan wali
dalam pernikahan antara lain dapat disebutkan di bawah ini : 1.
Fiqih Muna>kah}at disusun oleh Abd.Rahman Ghazaly, dalam buku ini dijelaskan kedudukan wali dalam pernikahan
adalah rukun dari perkawinan dan ini
menentukan sah dan tidaknya suatu ibadah (perkawinan).
2. Soal
Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama disusun oleh Ahmad Hassan dalam buku ini diungkapkan bahwa
membolehkan wanita menikah tanpa wali.
Menurutnya, keterangan-keterangan yang mensyaratkan
adanya wali dalam pernikahan itu tak dapat dijadikan alasan untuk mewajibkan perempuan menikah
harus disertai wali, karena berlawanan
dengan beberapa keterangan dari al-Qur'an, Hadits dan riwayatnya yang sahih dan kuat.
3.
Fikhus Sunnahdisusun oleh Sayyid Sabiq dalam buku ini dijelaskan panjang lebar tentang masalah pernikahan.
Dalam hubungannya dengan wali bahwa wali
merupakan suatu ketentuan hukum yang dapat
dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya.
Wali ada yang umum dan ada yang
khusus. Yang khusus ialah Abd. Rahman
Ghazaly, Fiqih Munakahat, h.
A. Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah
Agama, h. 370 berkenaan dengan manusia
dan harta benda. Di sini yang dibicarakan wali terhadap manusia, yaitu masalah perwalian
dalam perkawinan.
4.
Fiqih Wanitahasil karya Ibrahim Muhammad al-Jamal. Dalam buku ini diungkapkan pula beberapa hadits yang
menegaskan tidak sahnya nikah jika tanpa
wali.
5.
Fiqih Tujuh Madzhabyang dikarang oleh Mahmud Syalthut. Dalam buku itu diungkapkan bahwa nikah tanpa wali
terdapat perbedaan pendapat yaitu ada
yang menyatakan boleh secara mutlak, tidak boleh secara mutlak, bergantung secara mutlak, dan
ada lagi pendapat yang menyatakan boleh
dalam satu hal dan tidak boleh dalam hal lainnya.
Sedangkan penelitian saat ini yangdijadikan
tokoh analisis adalah Ahmad Hassan yang
pendapatnya dianggap bertentangan dengan hukum positif di Indonesia. Dari perbedaan yang
tegas dan jelas tersebut, maka tidak mungkin
ada upaya penjiplakan atau pengulangan kembali.
D. Tujuan Penelitian Dengan melihat rumusan masalah di atas, tujuan
dari penelitian ini adalah : Sayyid Sabiq, Fihkus Sunnah, jil 2, h.
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqih Wanita, terj.
Ansori Umara Sitanggal, h. 34\ Mahmud
Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, h. 121 1.
Untuk mengetahui apa dasar pendapat Ahmad Hassan tentang sahnya pernikahan wanita tanpa wali 2.
Untuk mengetahui metode istimbath hukum Ahmad Hassan tentang bolehnya wanita menikah tanpa wali 3.
Untuk mengetahui bagaimana pandangan ulama lain terhadap pendapat Ahmad Hassan tentang sahnya wanita menikah
tanpa wali.
E. Kegunaan Hasil Penelitian Hasil penelitian ini diharapakan dapat
bermanfaat, dan berguna serta minimal
dapat digunakan untuk dua aspek, yaitu : 1.
Teoritis a. Sebagai sumbangan pemikiran dalam rangka
meningkatkan mutu serta prestasi di
bidang hukum, baik hukum Islam maupun Hukum Positif.
b. Sebagai acuhan referensi bagi peneliti
selanjutnya dan bahan tambahan pustaka
bagi siapa saja yang membutuhkan, khususnya di bidang kekeluargaan Islam yang terkait dengan
masalah wali dalam pernikahan.
2. Praktis a.
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat.
b. Sebagai bahan kajian dan sumber pemikiran
bagi Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Ampel
Surabaya yang merupakan lembaga pendidikan tinggi formal dalam mempersiakanmahasiswanya
sebagai calon professional dalam kajian
Hukum Islam
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi