BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Persoalan perkawinan adalah persoalan yang
selalu aktual dan selalu menarik untuk
dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi
juga menyentuh suatu lembaga yang luhur
dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusiadan
nilai-nilai akhlaq yang luhur; dan sentral
karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam, yang kelak mempunyai peranan kunci
dalam mewujudkan kedamaian dan
kemakmuran di bumi ini.Menurut Islam Bani Adam lah yang memperoleh kehormatan untuk memikul amanah
Ilahi sebagai khalifah di muka bumi,
sebagaimana firman Allah SWT yang artinya"Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para Malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi". Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka
bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau." Allah berfirman, "Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Al-Baqarah: 30).
Departemen Agama, Al Quran dan Terjemahanya, h. 13 1 Allah
SWT. Meneguhkan iman kita sekalian dengan petunjuk-Nya, bahwa Allah telah menciptakan kita, laki-laki
dan wanita dari satu jiwa yang sama.
Satu jiwa tersebut adalah Adam. Adalah merupakan anugrah Allah, bahwa jenis laki-laki tidak diciptakan secara lepas
dari jenis wanita, juga sebaliknya wanita
tidak diciptakan terlepas dari jenis laki-laki. Seandainya wanita itu dalam keasliannya dicipta secara terpisah dari
laki-laki, seperti misalnya Allah menciptakan
dari unsur lain, yakni bukan dari tanah, atau dari tanah yang lain, niscaya akan terjadi hidup sendiri-sendiridan
jauh satu samalain. (Allah lebih tahu
terhadap masalah ini). Karena itu kenyataanya Hawa dicipta dari salah satu tulang rusuk milik Adam, sebagaimana terdapat
pada hadis yang sahih.
"Saling berpesanlah kalian
untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang
bengkok"(HR. Imam Bukhari) Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa wanita itu pada dasarnya bagian dari laki-laki, oleh sebab itu
laki-laki akan selalu rindu terhadap wanita, sebaliknya wanita sangat ingin berdampingan
dengan laki-laki dan keduanya menyatu.
Kerinduan seseorang pada kampung asalnya yang tidak kunjung reda seperti halnya keinginan seseorang untuk
bergabung pada bangsa yang sangat kuat
menguasai dirinya.
Masdar F. Mas'udi, Islam dan Hak-Hak
Reproduksi Perempuan, h. 48 Ibn Hajar,
Fathul Baari, Juz III, h. 111 Kemudian
termasuk nikmat Allah SWT. Pula bahwa Dia menjadikan pengembang-biakan manusia dari pertemuan
antara jenis laki-laki dan wanita.
Pertemuan keduanya merupakan
curahan hati, sentuhan jiwa yang sempurna.
Karenanya pria dan wanita itu
merupakan dua sisi mata uang yang satu atau dua belahan dari sesuatu yang sama.
Sebagaimana sabda Nabi : ِ
”Wanita itu adalah saudara
kembar/belahan jiwa bagi laki-laki”.(HR. atTurmudzi) Salah satu ayat yang biasanya dikutip dan
dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan
tujuan pernikahan dalam Al-Quran adalah : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu istriistri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih sayang …” (Q.S.30:21).
Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Islam
menginginkan pasangan suami istri yang
telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di
antara suami istri yang saling mengasihi
dan menyayangi itu sehinggamasing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya.
Abdurrahman Abdul Kholiq, Kado Pernikahan
Barokah, h. 641 Departemen Agama,
al-Quran dan Terjemahanya, h. 641 Rumah
tangga seperti inilah yang diinginkan Islam, yakni rumah tangga sakinah, sebagaimana disyaratkan Allah SWT
dalam surat ar-Ru>m(30) ayat 21 di
atas. Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah dalam ayat tersebut, dikaitkan dengan kehidupan rumah tanggayang
ideal menurut Islam, yaitu assaki>nah,
al-mawaddah, dan ar-rahmah. Ulama
tafsir menyatakan bahwa
assaki>nahadalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan
perintah Allah SWT dengan tekun, saling
menghormati, dan saling toleransi.
Islam berbeda dengan Kristen, menurut Islam
perkawinan dan seks tidak antipati
dengan cinta dan ibadat kepada Allah.
Alih-alih menghalang, perkawinan
dianggap sebagai suatu asset meraih kesempurnaan rohani oleh karena itu Islam sangat menganjurkan untuk
melakukan perkawinan bahkan menurut Imam
Daud az-Zhahiri> yang berpendapat bahwa pernikahan hukum asalnya adalah wajib.
Nabi berkata, “ Orang yang kawin telah menjaga
setengah dari agamanya". Oleh karna
itu, ia harus takutkepada Allah untuk yang setengah lainnya. Orang yang dapat memenuhi dorongan
seksnya secara halal lebih sedikit terseleweng
dalam perjalanan rohani.
Selamet Abidin, Fiqih Munakahat, h. 34 Abdurrahman Al Jazairi, Kita>b Fiqh ‘Ala
Maza>hibi Al Arba’ah, h. 122 Sayyid
M. Ridwi, Perkawinan dan Seks Dalam Islam, h. 34 Nafsu seksual pada umumnya telah muncul
sebelum seseorang mendapatkan kemampuan
finansial untuk memasuki jenjang perkawinan. Oleh karena itu, cinta kepada Allah dengan
memperbanyak zikir merupakan motif untuk
menjaga kehormatan. Allah berfirman dalam Al-Quran: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin
hendaklah menjaga kesucian dirinya,
sehingga Allah mampukan mereka dengan karunia-Nya...” (QS An Nur: 33) Rasulullah
SAW juga telah menganjurkan kepada para pemuda muslim dalam sabdanya “Hai para pemuda siapa yang
sanggup memikul beban perkawinan maka hendaklah
kawin dan siapa yang tidak sanggup maka hendaklah berpuasa (menahan diri) maka itu untuk menahan syahwat
dari dosa.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam Islam seks bukan sesuatu yang tabu tapi
baru dianggap sah dalam sebuah ikatan
perkawinan menurut syariah dan undang-undang yang berlaku dalam masyarakat. Seks merupakan suatu
kebutuhan demi prokreasi dan melalui aktifitas
hubungan seks inilah manusia diciptakan (QS. Ath. Thariq 86: 6-7).
Seks merupakan ekspresi cinta
yang tinggi dan merupakan perbuatan fisik dan Departemen Agama, al-Quran dan Terjemahannya,
h. 549 Imam Muslim, Sahih Muslim, jus
IX, h. 147 emosi secara total.
Al-Quran dengan ungkapan yang indah
menyatakan hubungan seksual antara suami
isteri bagaikan pakaian (QS. Al-Baqarah 2:187).
Dimana keduanya saling
membutuhkan dan saling melindungi.
Pada zaman pra Islam dan bahkan
sampaisekarang banyak wanita (isteri) adalah
konco wingking(jawa), atau sekedar lampiran bagi suaminya. Semua keputusan ada ditangan laki-laki sedangkan
wanita hanya tinggal mengikuti, melaksanakan
suka atau tidak suka, atau biasa dikatakan bahwa wanita yang diidamkan oleh pria adalah wanita pasif, yang
artinya memasrahkan dirinya kepada suami
tanpa mengeluh. Ini memungkinkan suami memuaskan hasrat seksualnya sendiri, seakan-akan kehadiran
isteri tidak lebih dari pelengkap suami.
Seorang ulama besar bernama Ibn
Qudamah dari madzab Hanbali berpendapat
dalam kitabnya Al-Mugni yang menyatakan bahwa: “Orang yang tidak mempunyai nafsu birahi, baik
karena lemah syahwat (impotensi) atau
sebenarnya ia mempunyai nafsu birahi tetapi hilang karena penyakit atau karena hal lainnya. Dan mangenai
hal terebut terdapat dua pendapat:
Pertama, ia tetap disunahkan menikah, karena universalitas pendapat kami di atas, yakni perintah nikah secara
umum. Kedua, tidak menikah adalah lebih
baik baginya, karena ia tidak dapat mewujudkan tujuan nikah dan bahkan menghalangi isterinya untuk dapat menikah
dengan laki-laki lain yang lebih memenuhi
syarat.” Ibn Qudamah, Al Mughi>,
jilid VII, h. 5 Kalau kita melihat dan mencermati pendapat
Ibn Qudamah tersebut maka kita akan
menemukan pemikiran yang kontroversi, karena dilihat dari semangat Islam dan dari teknologi kedokteran, Islam
melalui syariatnya melarang umatnya berlaku
membujang dan tidak menikah. Dari aspek hak asasi manusia, nikah merupakan hak setiap orang. Dalam mukadimah
deklarasi hak-hak asasi manusia dinyatakan
bahwa : 1.
Seluruh umat manusia memperoleh
manfaat dari satu jenis harkat kehormatan
dan hak-hak yang inhern dan tidak dapat diganggu gugat.
2. Martabat, kehormatan diri dan hak-hak manusia
yang inhern, bersifat universal dan
meliputi seluruh individu manusia tanpa diskriminasi atau perbedaan.
Kalau kita melihat kembali maka
kita menemukan pernyataan Ibn Qudamah
tidak hanya membahas dariaspek hukumnya saja akan tetapi dipaparkan juga dengan maslahah-maslahahbagi
pengidap impotensi untuk tidak menikah.
Yang dalam skripsi ini akan mengulas lebih
dalam tentang almaslahahitu sendiri dari teori ushul fiqh.
Bila kita lihat dari kacamata
etika normatis di dalam masyarakat, orang yang tidak menikah cenderung disisihkan seolah
mereka telah melakukan penyelewengan
terhadap norma yang berlaku. Nikah bagi mereka adalah Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia 1948, dalam http//www.facebook.com/note.php?note_id=196748898390
(15 Januari 2010) Syaikh Kami Muhammad
Uwaidah, Fiqih Wanita Lengkap, h. 379 kehormatan
dan kematangan dari seorang yang melaksanakan. Ketika itu tidak dilaksanakan, maka hal tersebut hilang
daripadanya Ibn Taimiyah berkata: "setelah
al-Auzai, (seorang pengumpul hadis pertama di Syam) Ulama terkenal di Syuriah adalah Ibn Qudamah. Banyak karya-karya
yang menjadi rujukan bagi Ulama lain,
salah satunya adalah Al Mugni. Dalam kitab inilah ia menuangkan buah pemikiranya tentang keutamaan
at-takhalli>bagi orang yang mengidap impotensi,
apakah pendapat tersebut sudah sesuai dengan spirit agama Islam sebagai ajaran yang rahmatal lil alami>n.
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut, maka penulis
dapat memaparkan rumusan masalah sebagai
berikut : 1. Bagaimana pendapat Ibn Qudamah dan dasar
pemikirannya tentang attakhalli>bagi laki-laki impoten ? 2.
Bagaimana analisis hukum Islam terhadap pendapat Ibn Qudamah tentang at-takhalli>bagi laki-laki impoten dari
aspek al-maslahah ? C. Kajian Pustaka Dalam membahas masalah ini penulis melakukan
penelaahan terhadap kitab al-Mughni
karya Ibn Qudamah ulama besar madzab Hanbali. Dalam rangka menjawab persoalan yang penulis kaji. Kajian
mengenai pendapat Ibn Qudamah tentang
"at-takahlli>bagi laki-laki impoten lebih baik" menimbulkan
berbagai pertanyaan karena tidak sesuai
dengan spirit Islam yang mendorong pelaksanaan sebuah pernikahan. Penulis akan menganalisa
pendapat Ibn Qudamah ini dari segi hukum
Islam dari aspek al-maslahah.
Terlepas dari refrensi-refrensi
dari kitab atau buku yang membahas tentang
at-takhalli>bagi laki-laki impoten, Untuk menghindari kesamaan tema dengan berbagai penelitian yang sudah
dilakukan, maka penulis menyajikan beberapa
karya skripsi yang relevan dengan judul yang penulis teliti, antara lain: Khalimah Muflihah (Mahasiswa Fakultas Syariah
IAIN Sunan Ampel Surabaya Angkatan 2003)
Cerai Gugat Karena Suami Impoten (Studi Kasus Di PA Agama Jombang). Tujuannya untuk mengetahui
dasar hakim dalam memutus perkara cerai
gugat karena suami impoten, dalam hal ini hakim memutus denga dasar pembuktian yaitu pengakuan dan saksi.
Nurul Qalyubi (Mahasiswa Fakultas
Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya
Angkatan 2003) Analisis Terhadap Pemikiran Amina Wadud Tentang Nusyuz Di Tinjau Dari Maslahah Mursalah.
Tujuannya untuk mengetahui dan mendeskripsikan
pemikiran amina wadud tentang nusyuz yang dianalisa dari maslahah mursalah. Kesimpulan skripsi ini
bahwa pemikiran amina wadud nusyuz
ditinjau dari pisau maslahah tidak lagi dimonopoli oleh kaum perempuan sebagai istri akan tetapi juga berlaku bagi
suami.
Dari penulisan ilmiah tersebut di
atas belum ada yang membahas secara komprehensif
pemikiran Ibn Qudamah tentang at-takhalibagi laki-laki impoten yang yang penulis akan meninjaudari hukum
Islam (aspek al-maslahah).
Dengan demikian fokus pembahasan
dalam skripsi yang penulis susun ini merupakan
karya yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, sehingga masih penting mengangkat tema ini ke dalam karya
ilmiah.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi