Rabu, 20 Agustus 2014

Skripsi Dakwah:KONVERSI AGAMA PADA MUALAF TIONGHOA DI PERSATUAN ISLAM TIONGHOA INDONESIA (PITI) SEMARANG


BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah  Pada  dasarnya  sifat  asal  manusia  adalah  baik  dan  manusia  selalu  ingin  kembali  pada  Kebenaran  Sejati  (Allah).  Salah  satu  konsep  ini  yang  menonjol  berkenaan dengan masalah ini adalah fitrah. Fitrah manusia adalah  mempercayai  dan  mengakui  Allah  SWT  sebagai  Tuhannya.  Setiap  orang  menurut  Islam  pada  dasarnya  telah  dikaruniai  kecenderungan  untuk  bertauhid,  mengesakan  Tuhan,  dalam hal ini Allah SWT. Tegasnya, dalam diri setiap manusia ada kecenderungan  untuk menyakini adanya Allah SWT dan beribadah kepadaNya (Faqih: 2001).
Fitrah manusia teruji dan benar-benar teruji kehandalannya, maka dalam  diri  manusia  juga  dilengkapi  dengan  keresahan-keresahan  dan  godaan-godaan  yang  berlawanan  arus  dengan  fitrah  manusia.  Manusia  juga  dilengkapi  dengan  potensi  untuk  memperoleh  kesenangan,  memperoleh  kekuasaan,  memperoleh  kemenangan, dan sebagainya,  yang semuanya itu dapat membuat fitrah manusia  dalam kegelapan berupa pertarungan dengan sesama manusia, kesombongan, dan  sebagainya.
Masa  modern  banyak  orang  bertuhan  kepada  aliran  materialisme  dalam  anggapan  maupun  perbuatan.  Sadar  atau  tidak  sadar,  mereka  sudah  menyalahgunakan  fitrah  ilahiyyat  yang  mereka  miliki  yang  seharusnya  fitrah  tersebut  dapat  menunjukkan  jalan  menuju  kepercayaan  kepada  Tuhan  yang  bersifat  immaterial.  Hal  ini  terbukti  dalam  agama  primitif  juga  terlihat  bahwa   manusia  sebenarnya  mengakui  sesuatu  yang  ada  diluar  dirinya  yang  memiliki  kekuatan.  Pengakuan  tersebut  terlihat  dalam  keyakinan  mereka  bahwa  bendabenda mati memiliki roh atau jiwa dan memiliki kekuatan magis yang melampaui  kekuatan  manusia  itu  sendiri.  Segala  keraguan  dan  keingkaran  manusia  kepada  Tuhannya  sesungguhnya  muncul  ketika  manusia  menyimpang  dari  fitrahnya.

Manusia  tidak  boleh  dibiarkan  begitu  saja,  tetapi  secara  terus-menerus  manusia  harus  diingatkan  dan  diajak  melakukan  kebaikan  untuk  menyadarkan  manusia  pada sifat (fitrah) aslinya (Faizah: 2006).
Dalil  naqli  menyebutkan  bahwa  secara  kodrati,  manusia  memiliki  fitrah  untuk  beriman  kepada  Allah,  tetapi  karena  faktor  “lingkungan”  maka  fitrah  tersebut bisa tidak dikembangkan sebagaimana mestinya, melainkan menyimpang  ke arah lain, karena faktor lingkungan saja, naluriah dapat berubah, apalagi hasil  dari pengaruh lingkungan (Faqih: 2001). Tercermin dalam hadist sebagai berikut : “Setiap  orang  dilahirkan  ibunya  dalam  keadaan  fitrah,  setelah  itu  ayah  ibunyalah  yang  menjadikannya  Yahudi,  Nasrani,  atau  Majusi.  Maka  jika  orang tuanya Muslim, maka (anak) akan menjadi seorang muslim”.(H.R.
Muslim).
Berbagai  kehidupan  banyak   macam  problem-problem,  diantaranya  problem dalam kehidupan keagamaan. Hampir seluruh ahli psikologi sependapat  bahwa apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan manusia bukan hanya terbatas  pada  kebutuhan  makan,  minum,  pakaian,  ataupun  kenikmatan-kenikmatan  lainnya. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi   kebutuhan  akan  kekuasaan.  Keinginan  akan  kebutuhan  tersebut  merupakan  kebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk mencinta dan dicintai Tuhan. Manusia  ingin mengabdi dirinya kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggapnya sebagai zat  yang  mempunyai  kekuasaan  tertinggi.  Keinginan  itu  terdapat  pada  setiap  kelompok,  golongan  atau  masyarakat  manusia  dari  yang  paling  primitif  hingga  yang paling modern (Syamsul: 2008).
Daradjat (2010), berpendapat bahwa pada diri manusia terdapat kebutuhan  pokok  selain  kebutuhan  jasmani  dan  kebutuhan  rohani,  yakni  kebutuhan  akan  keseimbangan dalam kejiwaan agar tak mengalami tekanan.
Unsur-unsur kebutuhan yang dikemukakan yaitu: 1.  Kebutuhan akan kasih sayang; 2.  Kebutuhan akan rasa aman; 3.  Kebutuhan akan rasa harga diri; 4.  Kebutuhan akan rasa bebas; 5.  Kebutuhan akan rasa sukses; 6.  Kebutuhan akan rasa ingin tahu.
Gabungan  keenam  macam  kebutuhan  tersebut  menyebabkan  seseorang  memerlukan  agama.  Melalui  agama,  kebutuhan-kebutuhan  tersebut  dapat  disalurkan dengan baik (Arifin: 2008).
Manusia  memiliki  naluri  yang  senantiasa  mengajak  untuk  mencari  dan  menemukan hal yang lebih baik dalam kehidupannya. Setiap hari, bahkan setiap  detik,  manusia  berusaha  memperbaiki  hal-hal  yang  dianggap  kurang  pas  dan  mencari alternatif lain yang lebih baik. Manusia dengan akal budinya menjadikan   hidup sebagai proses pencarian yang tidak pernah kunjung usai, mencari kepuasan  dalam  melakukan  segala  hal,  namun  ternyata  kepuasan  tersebut  semakin   tidak  manusia  dapatkan.   Bagian  yang  tak  terpisahkan  dari  manusia,  di  sisi  lain  merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia. Pada titik tertentu, agama  menjadi  sebuah  kebutuhan  yang  mustahil  dilepaskan  dari  segala  partikel  diri  manusia,  material  maupun  non-material.  Sebagian  besar  perjalanannya  atau  bahkan pada hakikatnya, agama telah sangat banyak memberikan kesejukan dan  kehangatan  bagi  spiritual  dan  atau  jiwa  manusia  yang  lapar  dan  haus  akan  kesejahteraan, kemakmuran, dan ketenangan (Darajat: 2005).
Keterbatasan  kemampuan   manusia  kerap  tidak  mampu  menggapai  keistimewaan  tersebut.  Dalam  konteks  ini  manusia  juga  lazim  mengeluh  dan  bahkan  kecewa  akan  kondisi  „psiko-Ilahiyah-nya,  sehingga  merasa  terpanggil  untuk  melakukan  perbaikan-perbaikan  dalam  hal  agama.  Perbaikan-perbaikan  yang demikian merupakan hal  yang sangat manusiawi, sebab hati manusia pada  dasarnya selalu mengarah kepada kebaikan (Gunawan Admiranto: 2003).
Manusia  dalam  mencari  perbaikan-perbaikan,  khususnya  dalam  aspek  agama  berkait  erat  dengan  kondisi  hati  atau  jiwa  seseorang.  Disinilah  peran  psikologi  dalam  menganalisis  kondisi  kejiwaan  seseorang  yang  beragama.
Sebaliknya, sampai saat  ini belum ada metode  yang membidik sasaran pada hal  yang  abstrak,  dalam  konteks  ini  adalah  hati  dan  kondisi  jiwa  manusia,   sebab  itulah  dalam  psikologipun,  objek  penelitian  yang  begitu  diperhatikan  adalah  tingkah  laku  seseorang,  hal  yang  demikian  sedikit  banyak  mencerminkan  bagaimana kondisi jiwanya.
 Perbaikan-perbaikan  semacam  ini  lebih  dikenal  dengan  istilah  konversi,  dalam  psikologi.  Berbagai  macam  wujud  konversi  beragam  kita  jumpai  dalam  kehidupan  sehari-hari,  baik  yang  terjadi  pada  diri  kita  sendiri  dalam  hal  yang  ringan maupun yang terjadi pada orang lain dengan taraf yang berbeda. Salah satu  wujud konversi yang kerap kita lihat adalah perpindahan agama dan atau aliran  pemeluk agama, semisal dalam hal ini, beberapa fenomena sebagian masyarakat  Tionghoa memeluk agama Islam.
Etnis Tionghoa pada umumnya beragama Konghuchu, ada juga beragama  Budha,  Kristen,  atau  Katolik,  mereka  berprinsip,  jangan  sekali-kali  mereka  atau  anggota  keluarga  mereka  beragama  Islam.  Agama  Islam  dalam  pandangan  etnis  Tionghoa  yang  belum  mengenal  Islam  adalah  agama  yang  membuat  orang  menjadi  miskin  dan  terbelakang.  Seseorang  etnis  Tionghoa  dari  keluarga  nonmuslim yang menjadi muallaf (masuk Islam), ada keluarga yang mengucilkannya,  diusir dari rumah, bahkan disiksa (Dyayadi: 2008). Reaksi-reaksi yang diberikan  kepada  muallaf  adalah  bentuk  perkara  yang  tidak  diridhahi   Allah  swt.  Sesuai  dengan  esensi  Dakwah  An-Nahy  an  Al-Munkar  harus  ditegakkan  jangan  sampai  manusia yang menerima dan memeluk agama Islam tertekan seperti itu.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi