BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Pada
dasarnya sifat asal
manusia adalah baik
dan manusia selalu
ingin kembali pada
Kebenaran Sejati (Allah).
Salah satu konsep
ini yang menonjol berkenaan dengan masalah ini adalah fitrah.
Fitrah manusia adalah mempercayai dan
mengakui Allah SWT
sebagai Tuhannya. Setiap
orang menurut Islam
pada dasarnya telah
dikaruniai kecenderungan untuk
bertauhid, mengesakan Tuhan, dalam hal ini Allah SWT. Tegasnya, dalam diri
setiap manusia ada kecenderungan untuk
menyakini adanya Allah SWT dan beribadah kepadaNya (Faqih: 2001).
Fitrah manusia teruji dan
benar-benar teruji kehandalannya, maka dalam diri
manusia juga dilengkapi
dengan keresahan-keresahan dan
godaan-godaan yang berlawanan
arus dengan fitrah
manusia. Manusia juga
dilengkapi dengan potensi
untuk memperoleh kesenangan,
memperoleh kekuasaan, memperoleh kemenangan, dan sebagainya, yang semuanya itu dapat membuat fitrah
manusia dalam kegelapan berupa
pertarungan dengan sesama manusia, kesombongan, dan sebagainya.
Masa modern
banyak orang bertuhan
kepada aliran materialisme
dalam anggapan maupun
perbuatan. Sadar atau
tidak sadar, mereka
sudah menyalahgunakan fitrah
ilahiyyat yang mereka
miliki yang seharusnya
fitrah tersebut dapat
menunjukkan jalan menuju
kepercayaan kepada Tuhan
yang bersifat immaterial.
Hal ini terbukti
dalam agama primitif
juga terlihat bahwa manusia
sebenarnya mengakui sesuatu
yang ada diluar
dirinya yang memiliki kekuatan.
Pengakuan tersebut terlihat
dalam keyakinan mereka
bahwa bendabenda mati memiliki
roh atau jiwa dan memiliki kekuatan magis yang melampaui kekuatan manusia
itu sendiri. Segala
keraguan dan keingkaran
manusia kepada Tuhannya
sesungguhnya muncul ketika
manusia menyimpang dari
fitrahnya.
Manusia tidak
boleh dibiarkan begitu
saja, tetapi secara
terus-menerus manusia harus
diingatkan dan diajak
melakukan kebaikan untuk
menyadarkan manusia pada sifat (fitrah) aslinya (Faizah: 2006).
Dalil naqli
menyebutkan bahwa secara
kodrati, manusia memiliki
fitrah untuk beriman
kepada Allah, tetapi
karena faktor “lingkungan”
maka fitrah tersebut bisa tidak dikembangkan sebagaimana
mestinya, melainkan menyimpang ke arah
lain, karena faktor lingkungan saja, naluriah dapat berubah, apalagi hasil dari pengaruh lingkungan (Faqih: 2001).
Tercermin dalam hadist sebagai berikut : “Setiap orang
dilahirkan ibunya dalam
keadaan fitrah, setelah
itu ayah ibunyalah
yang menjadikannya Yahudi,
Nasrani, atau Majusi.
Maka jika orang tuanya Muslim, maka (anak) akan menjadi
seorang muslim”.(H.R.
Muslim).
Berbagai kehidupan
banyak macam problem-problem, diantaranya problem dalam kehidupan keagamaan. Hampir
seluruh ahli psikologi sependapat bahwa
apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan manusia bukan hanya terbatas pada
kebutuhan makan, minum,
pakaian, ataupun kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kebutuhan ini melebihi
kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan mengatasi kebutuhan
akan kekuasaan. Keinginan
akan kebutuhan tersebut
merupakan kebutuhan kodrati,
berupa keinginan untuk mencinta dan dicintai Tuhan. Manusia ingin mengabdi dirinya kepada Tuhan atau
sesuatu yang dianggapnya sebagai zat yang mempunyai
kekuasaan tertinggi. Keinginan
itu terdapat pada
setiap kelompok, golongan
atau masyarakat manusia
dari yang paling
primitif hingga yang paling modern (Syamsul: 2008).
Daradjat (2010), berpendapat
bahwa pada diri manusia terdapat kebutuhan pokok
selain kebutuhan jasmani
dan kebutuhan rohani,
yakni kebutuhan akan keseimbangan
dalam kejiwaan agar tak mengalami tekanan.
Unsur-unsur kebutuhan yang
dikemukakan yaitu: 1. Kebutuhan akan
kasih sayang; 2. Kebutuhan akan rasa
aman; 3. Kebutuhan akan rasa harga diri;
4. Kebutuhan akan rasa bebas; 5. Kebutuhan akan rasa sukses; 6. Kebutuhan akan rasa ingin tahu.
Gabungan keenam
macam kebutuhan tersebut
menyebabkan seseorang memerlukan
agama. Melalui agama,
kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat disalurkan
dengan baik (Arifin: 2008).
Manusia memiliki
naluri yang senantiasa
mengajak untuk mencari
dan menemukan hal yang lebih baik
dalam kehidupannya. Setiap hari, bahkan setiap detik,
manusia berusaha memperbaiki
hal-hal yang dianggap
kurang pas dan mencari
alternatif lain yang lebih baik. Manusia dengan akal budinya menjadikan hidup sebagai proses pencarian yang tidak
pernah kunjung usai, mencari kepuasan dalam melakukan
segala hal, namun
ternyata kepuasan tersebut
semakin tidak manusia
dapatkan. Bagian yang
tak terpisahkan dari
manusia, di sisi
lain merupakan suatu hal yang
sangat penting bagi manusia. Pada titik tertentu, agama menjadi
sebuah kebutuhan yang
mustahil dilepaskan dari
segala partikel diri manusia, material
maupun non-material. Sebagian
besar perjalanannya atau bahkan
pada hakikatnya, agama telah sangat banyak memberikan kesejukan dan kehangatan
bagi spiritual dan
atau jiwa manusia
yang lapar dan
haus akan kesejahteraan, kemakmuran, dan ketenangan (Darajat:
2005).
Keterbatasan kemampuan
manusia kerap tidak
mampu menggapai keistimewaan
tersebut. Dalam konteks
ini manusia juga
lazim mengeluh dan bahkan kecewa
akan kondisi „psiko-Ilahiyah-nya‟, sehingga
merasa terpanggil untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam
hal agama. Perbaikan-perbaikan yang demikian merupakan hal yang sangat manusiawi, sebab hati manusia
pada dasarnya selalu mengarah kepada
kebaikan (Gunawan Admiranto: 2003).
Manusia dalam
mencari perbaikan-perbaikan, khususnya
dalam aspek agama
berkait erat dengan
kondisi hati atau
jiwa seseorang. Disinilah
peran psikologi dalam
menganalisis kondisi kejiwaan
seseorang yang beragama.
Sebaliknya, sampai saat ini belum ada metode yang membidik sasaran pada hal yang
abstrak, dalam konteks
ini adalah hati
dan kondisi jiwa
manusia, sebab itulah
dalam psikologipun, objek
penelitian yang begitu
diperhatikan adalah tingkah
laku seseorang, hal
yang demikian sedikit
banyak mencerminkan bagaimana kondisi jiwanya.
Perbaikan-perbaikan semacam
ini lebih dikenal
dengan istilah konversi, dalam
psikologi. Berbagai macam
wujud konversi beragam
kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari,
baik yang terjadi
pada diri kita
sendiri dalam hal
yang ringan maupun yang terjadi
pada orang lain dengan taraf yang berbeda. Salah satu wujud konversi yang kerap kita lihat adalah
perpindahan agama dan atau aliran pemeluk
agama, semisal dalam hal ini, beberapa fenomena sebagian masyarakat Tionghoa memeluk agama Islam.
Etnis Tionghoa pada umumnya
beragama Konghuchu, ada juga beragama Budha, Kristen,
atau Katolik, mereka
berprinsip, jangan sekali-kali
mereka atau anggota
keluarga mereka beragama
Islam. Agama Islam
dalam pandangan etnis Tionghoa yang
belum mengenal Islam
adalah agama yang
membuat orang menjadi
miskin dan terbelakang.
Seseorang etnis Tionghoa
dari keluarga nonmuslim yang menjadi muallaf (masuk Islam),
ada keluarga yang mengucilkannya, diusir
dari rumah, bahkan disiksa (Dyayadi: 2008). Reaksi-reaksi yang diberikan kepada
muallaf adalah bentuk
perkara yang tidak
diridhahi Allah swt.
Sesuai dengan esensi
Dakwah An-Nahy an
Al-Munkar harus ditegakkan
jangan sampai manusia yang menerima dan memeluk agama Islam
tertekan seperti itu.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi