BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dakwah adalah
suatu istilah yang
sangat dikenal dalam
dunia Islam.
Dakwah dan Islam merupakan dua bagian yang tak
terpisahkan satu dengan yang lainnya,
karena Islam tidak akan tumbuh dan
berkembang tanpa adanya dakwah (Nurbini
dkk, t.th: 1).
Di
dalam perkembangan dakwah
Islam, pondok pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam
yang mempunyai peran
dalam mengembangkan aktivitas
dakwah. Hal ini
dapat dilihat dari
dua fungsi utama
pondok pesantren, yaitu sebagai
pusat pendidikan dan penyiaran agama Islam.
Sepanjang
sejarah perjalanan umat
Islam (Indonesia), ternyata
kedua fungsi utama
tersebut telah dilaksanakan
oleh pondok pesantren
(pada umumnya) dengan
baik, walaupun dengan
berbagai kekurangan yang
ada.
Dari pondok pesantren lahir para juru dakwah,
para mualim, ustadz, para kiai pondok pesantren,
tokoh-tokoh masyarakat, bahkan
yang memiliki profesi sebagai
pedagang, pengusaha ataupun
bidang-bidang lainnya (Hafidhuddin, 1998: 121).
Seperti halnya
pondok pesantren Syaikh
Jamilurrahman As-Salafy yang berlokasi di
dusun Sawo desa
Glondong, kecamatan Wirokerten,
kabupaten Bantul, keberadaan
pondok pesantren ini juga
memiliki peran aktif di dalam melakukan
dakwah Islam.
Adapun
yang menjadi prioritas
dakwah pondok pesantren
Syaikh Jamilurrahman
As-Salafy adalah persoalan-persoalan akidah.
Terkait hal tersebut,
Abu Mus’ab (pendiri pondok
pesantren Syaikh Jamilurrahman AsSalafy) menggarisbawahi nilai
pentingnya peninjauan ulang
kesahihan referensi di dalam
memahami akidah. Dalam hal ini pondok pesantren Syaikh Jamilurrahman As-Salafy
berorientasi kepada rujukan
yang bersumber dari pandangan
ulama Salaf (sahabat, tabi’in,
tabi’ut-tabi’in)—yang memberikan batasan
bahwa setiap praktik
beragama harus memiliki
contoh yang jelas.
Tafsir
dan pengembangan yang
tidak didukung dengan
contoh yang jelas dianggap lemah
nilai kebenarannya (wawancara
dengan Abu Mus’ab
pada tanggal 26 Februari 2012
pukul 16.15 WIB).
Berawal
dari hal ini
nampak bahwa pandangan
ulama Salaf menitikberatkan pada pemahaman
agama secara tekstual. Karena itu
praktikpraktik beragama yang
berada di luar
teks dinilai mereka
sebagai penyimpangan.
Persoalannya adalah masyarakat Islam
pada umumnya memahami Islam secara kontekstual,
yang cenderung memberikan
ruang toleransi dalam melakukan adaptasi
dengan perkembangan yang
terjadi. Sebagaimana masyarakat
Islam di Yogyakarta,
dimana pondok pesantren
Syaikh Jamilurrahman
As-Salafy berada, mereka
lebih memahami Islam
secara kontekstual, dengan
mempertimbangkan tradisi yang sudah ada
sebelumnya serta perkembangan kebudayaan
global yang ada. Niscaya, pemahaman
Islam semacam itu tidak sejalan dengan
pandangan ulama Salaf (wawancara dengan Ranang
Aji SP pada tanggal 25 Februari 2012 pukul 13.00 WIB).
Keberadaan
pondok pesantren Syaikh
Jamilurrahman As-Salafy di Yogyakarta yang
merujuk pada pemahaman
ulama Salaf tidak
serta merta bisa diterima oleh masyarakat setempat. Lebih
lagi, dalam hal berpenampilan mereka memiliki kesamaan dengan kelompok Islam
radikal.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pondok pesantren Jamilurrahman AsSalafy dalam
melakukan dakwah masih
mendapatkan hambatan-hambatan antara lain: 1.
Perbedaan pemahaman antara da’i dan mad’u dalam memahami Islam 2. Stigma
masyarakat yang memandang
pondok pesantren Syaikh Jamilurrahman As-Salafy sebagai
kelompok Islam radikal.
Namun
meski banyak hambatan
dalam melakukan dakwah,
pondok pesantren Syaikh
Jamilurrahman As-Salafy ini
masih bertahan hingga sekarang.
1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang
ingin penulis angkat adalah
metode apakah yang
digunakan pondok pesantren
Syaikh Jamilurrahman As-Salafy dalam berdakwah? 1.3. Tujuan dan Manfaat
Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui
metode yang digunakan Pondok Pesantren Jamilurrahman
As-Salafy dalam berdakwah.
1.3.2.
Manfaat Penelitian Secara
teoritis hasil penelitian
ini diharapkan bisa
memperkaya khasanah ilmu dakwah
dan komunikasi dalam
memajukan dakwah islamiyah.
Sedangkan
secara praktis hasil
penelitian ini diharapkan
dapat menjadi sumbangan
bagi para pelaku
dakwah (da’i), baik
secara perorangan maupun kolektif
dalam menggunakan metode dakwah, agar perkembangan
dakwah bisa dicapai secara lebih baik.
1.4. Tinjauan Pustaka Dalam penelitian
ini, penulis merujuk
pada beberapa karya
skripsi sebelumnya yang sudah
pernah ada, antara lain : Penelitian yang dilakukan Kusdaryanto tahun 2003
dengan judul “Peran Dakwah
Pondok Pesantren Tanbilul
Ghofilin dalam Pembinaan
Akhlak Masyarakat Kab.
Banjarnegara”. Skripsi ini menggunakan metode deskriptif dan proses berfikir deduktif. Permasalahan
yang diangkat tentang pembinaan akhlak masyarakat
Kab. Banjarnegara dalam
pondok pesantren Tanbilul Ghofilin. Penelitian ini menghasilkan: 1. Dakwah
yang ada dalam
pondok pesantren Tanbilul
Ghofilin yang disampaikan
sesuai dengan situasi
dan kondisi pada
pembinaan akhlak masyarakat kabupaten Banjarnegara.
2.
Pembinaan akhlak ini
selain pada masyarakat
sekitar pondok pesantren Tanbilul Ghofilin juga pada masyarakat
kabupaten Banjarnegara.
3.
Peran dan sikap
pondok pesantren Tanbilul
Ghofilin dalam dakwahnya dinilai sangat disenangi masyarakat.
Penelitian
yang dilakukan Nurul
Kholisoh tahun 2006
dengan judul “Peran Pondok Pesantren Nurul Ulum Trengguli Wonosalam Demak dalam Upaya
Meningkatkan Mutu Layanan
Santri”. Skripsi ini
menggunakan metode kualitatif dan
proses berfikir induktif yang mengangkat
permasalahan tentang upaya
meningkatkan mutu layanan
santri. Penelitian ini menghasilkan:
1. Santri dapat berfikir dengan pola
religius 2. Supaya santri bisa
mengamalkan nilai-nilai agama Islam 3.
Layanan mutu santri lebih ditingkatkan Penelitian yang dilakukan Gufroni
tahun 1994 dengan judul “Metode dan Strategi
Pengembangan Agama Islam
Pada Lembaga Dakwah
di Kota Madya
Semarang”. Skripsi ini
menggunakan metode kualitatif
yang mengangkat permasalahan
tentang metode dan strategi pengembangan agama Islam
yang dilakukan lembaga
dakwah terhadap masyarakat
kota madya Semarang. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa: 1. Metode dan
strategi dakwah Muhamadiyah
secara keseluruhan dapat dikatakan sesuai
dengan kondisi sosial
masyararakat kota madya Semarang.
2.
Metode yang diterapkan
NU sama halnya
dengan Muhamadiyah, namun strategi yang
diterapkannya lebih ditujukan
pada pembinaan satuan organisasi.
3.
Metode dakwah MDI
tidak sepenuhnya didasarkan
pada kondisi umat, melainkan pada kondisi
organisatorik, strategi dakwahnya
meskipun sebagian besarnya masih
bersifat konseptual, namun telah disusun secara sistematis, rinci, dan terarah pada tujuan.
Demikan beberapa penelitian sebelumnya yang
berhasil penulis himpun, memang tidak
dapat dipungkiri ada berbagai
kesamaan. Diantaranya adalah dalam
penelitian tersebut, mereka
menjadikan pondok pesantren
sebagai objek penelitiannya. hal
inilah yang menjadi
salah satu persamaan
penulis dengan peneliti terdahulu.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi