BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sudah menjadi kodrat manusia antara yang satu
dengan yang lainnya saling membutuhkan,
karena manusia makhluk sosial. Sejak dilahirkan manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk senantiasa
hidup bersama orang lain. Naluri untuk
hidup bersama tersebut mengakibatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur.
Demikian pula diantara perempuan
dan laki-laki saling membutuhkan.
Sebagaimana firman Allah dalam
surat ar-Rum, ayat 21 "Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan dijadikannya diantara
kamu rasa kasih sayang, sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” Pada prinsipnya tujuan perkawinan menurut
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia
pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang Departemen Agama, al-Qur’an dan
Terjemahannya, h. 644 1 wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam perkawinan ada hak dan kewajiban suami
isteri. Kewajiban antara suami terhadap
isteri, yaitu kewajiban yang bersifat materi (nafaqoh) dan kewajiban yang tidak bersifat materi
(menggauli isteri secara baik dan patut).
Oleh karena itu, hubungan suami
isteri harus harmonis, penuh kebahagian lahir batin, kebahagiaan rohani dan jasmani, baik
moral, materiil, maupun spiritual, dilandasi
dengan ma'ruf, sakinah, mawaddah, warah}mah.
Menurut Moh. Idris Ramulyo yang
dimaksud dengan ma'ruf, sakinah, mawaddah,
warah} mah,yaitu: Ma'ruf adalah
pergaulan suami dan isteri itu harus saling menghormati, saling menjaga rahasia masing-masing, suami
sebagai top figure, sebagai nahkoda, ibarat kapten kapal yang memimpin
pelayaran mengarungi samudra yang badai
yang maha dahsyat, harus menenagkan gejolak jiwa, baik seluruh penumpang maupun seluruh kru, menjaga
pergaulan yang harmonis baik antara suami
isteri maupun dengan anak-anak.
Sakinahadalah penjabaran lebih
lanjut dari ma’ruf, yaitu agar suasana kehidupan
dalam rumah tangga itu terdapat keadaan aman dan tentram, tidak terjadi perselisihan paham yang prinsipil.
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia
dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Pasal1 ,h. 5 Mawaddah dan roh}mah yaitu agar kehidupan rumah
tangga itu selalu dan harus dijamin,
Saling mencintai dikala masih muda remaja, di pupuk terus agar saling menyantuni dikala tua renta dan kakek
nenek.
Didalam al-Qur’an juga dijelaskan sesuai
dengan firman Allah Q.S. anNisā’, ayat 21: Perkawinan itu adalah sesuatu perjanjian yang
suci.” Begitu kuat dan kokohnya hubungan
antara suami isteri, maka tidak sepantasnya
apabila hubungan tersebut di rusak dan disepelekan. Setiap usaha untuk menyepelekan hubungan pernikahan dan
melemahkannya sangat dibenci oleh Islam,
karena ia merusak kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan antara suami dan isteri.
Hidup dalam perkawinan merupakan sunnah Allah
dan sunnah Rasul. Itulah yang
dikehendaki oleh Islam. Sebaliknya melepaskan diri dari kehidupan perkawinan itu menyalahi kehendak Allah dan
sunnah Rasul. Menyalahai kehendak Allah
menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warra h}mah.
Meskipun demikian, bila hubungan
pernikahan tidak dapat lagi dipertahankan,
dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi kehancuran dan Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam,
h. 225-226 Departemen Agama, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, h. 120 Aminudin, Slamet
Abidin, Fikih Munakahat 2, h. 9-10 kemundaratan.
Islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian. Dengan demikian, pada dasarnya perceraian atau
t}alaqitu adalah sesuatu yang tidak disenangi
(makruh). Adapun ketidaksenangan Nabi itu terlihat dalam hadits Nabi dari Ibnu Majah dan disahkan oleh hakim, sabda
Nabi “Dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW. telah bersabda, sesuatu yang h}alal yang
amat dibenci Allah ialah t}alaq.” Perceraian yang datang baik dari pihak suami
maupun dari pihak isteri terdapat harta
bersama. Hal ini diatur dalam pasal 35 ayat (1) UU. No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta
bersama.” Ini berarti terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat tanggal terjadinya perkawinan
sampai ikatan bubar. Kalau begitu apa saja
yang diperoleh terhitung sejak saatdilangsungkan akad nikah, sampai saat perkawinan pecah, baik oleh salah satu
meninggal atau oleh karena perceraian, seluruh
harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum harta bersama.
Apabila dalam perceraian terjadi perselesihan
tentang harta bersama diantara mereka,
maka pengadilan berwenang menyelesaikan sengketa diantara Ima>m H}afit} Abi> Da>wud Sulaiman
Ibn Asy‘as| As-Sajasta>ni>, Sunan Abi> Da>wud juz 2, Kitab T}ala>q, No. 2178, h. 120 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan
Acara Peradilan Agama, h. 272 mereka.
Dalam hal ini Pengadilan Agama yang berwenang menangani sengketa harta bersama. Hal ini diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 88 berbunyi “Apabila
terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada
Pengadilan Agama.” Sengketa harta
bersama masing-masing pihak harus bisa membuktikan, apakah harta benda tersebut termasuk harta
benda bersama atau harta bawaan.
Adapun asas yang berlaku bahwa
pihak yang mengakui sesuatu hak sebagai dasar bantahan wajib membuktikan.
Di dalam Islam juga di atur bahwa
bukti itu dibebankan kepada penggugat.
menurut riwayat al-Baihaqi dari
hadits Ibnu Abbas yang berbunyi "Bukti itu wajib atas penggugat dan sumpah itu wajib orang yang digugat.”
Berangkat dari keterangan di atas, telah ditemukan suatu perkara tentang
harta bersama yang ada di Pengadilan
Agama Surabaya. Alasan mengajukan gugatan
harta bersama yaitu setelah kedua belah pihak bercerai dan harta yang diperoleh selama perkawinan belum dibagi.
Pada permasalahan ini, obyek
sengketa adalah rumah dan tanah. Dalam putusan
Pengadilan Agama Surabaya tidak menerima gugatan penggugat, Imam Abi Muslim, S}ahih Muslim juz 12, h. 3-4
dikarenakan tidak bisa membuktikan
bahwa tanah yang ditempati tergugat merupakan
harta bersama, karena penggugat tidak dapat menunjukkan bukti autentik (sertifikat tanah) tersebut, dan keterangan
saksi yang diajukan penggugat dianggap
lemah, sebab tidak mengetahui secara langsung proses pembelian tanah. Putusan inilah yang
menjadikan penggugat keberatan dengan putusan
Pengadilan Agama Surabaya, dan mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi