Kamis, 21 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:STUDI ANALISIS SIYASAH SYAR‘IYAHTERHADAP PUNGUTAN DANA KRAMA TAMIUBAGI PENDUDUK PENDATANG DI KEC. KLUNGKUNG KAB. KLUNGKUNG – BALI


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang Masalah  Tragedi Bom Bali 12 Oktober 2002 yang telah membunuh ratusan jiwa,  membawa dampak perubahan besar bagi masyarakat Bali khususnya dan  Indonesia pada umumnya. Salah satu dari perubahan besar itu adalah adanya  pengaturan tentang penduduk pendatang (tamiu).Penduduk pendatang yang  bebas kontrol dianggap sebagai salah satu dari penyebab terjadinya tragedi Bom  Bali tersebut. Maka, sebagai bentuk memperbaiki tatanan masyarakat Bali ke  depan dalam rangka mencapai Tri Hita Karana,  dibuatlah peraturan tertib  administrasi tentang penduduk pendatang (tamiu).
Fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa persoalan penduduk pendatang di  Bali sesungguhnya bukanlah suatu hal yang baru, sebab keberadaan mereka di  Bali sudah ada sejak lama. Sejarah mencatat, rombongan Maharsi Markandya  telah datang ke Bali sekitar abad ke-9 untuk membuka hutan dan membangun  Desa-Desa Pakraman  . Sejarah juga memperlihatkan kedatangan orang-orang   Tri Hita Karana berarti bahwa kesejahteraan umat manusia didunia ini hanya dapat terwujud  bila terjadi keseimbangan hubungan antara unsur-unsur Tuhan-Manusia-Alam. Tri Hita Karana ini  bersumber dari ajaran Hindu, yang secara tekstual berarti tiga penyebab kesejahteraan (tri=tiga,  hita=kesejahteraan, karana=sebab). Tiga unsur tersebut adalah Sanghyang Jagatkarana(Tuhan Sang  Pencipta), Bhuana(alam semesta), dan Manusa(manusia).

 Desa Pakramanadalah "kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai  satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun  1   muslim yang ”diundang” dan dimanfaatkan oleh raja-raja Bali karena  keahliannya yang kemudian dilokalisasi di kawasan tertentu, seperti sekarang  dapat dilihat di Desa Saren (Buda Keling Karangasem), Desa Gelgel  (Klungkung)  , Pegayaman (Buleleng), dan Kepaon(Denpasar). Tak luput, dalam  Sejarah kepariwisataan Bali juga terdapat pendatang-pendatang asing pertama  yang datang ke Bali untuk berwisata, mulai dari rombongan Cornelis de  Houtman (1597), Van Kol (1902), sampai kemudian Bali ramai dikunjungi  wisatawan asing setelah beroperasinya kapal perusahan pelayaran milik  pemerintah Belanda Koninklijk Paketvart Maatschapij tahun 1920.
 Di masa yang lalu, kehadiran penduduk pendatang ke Bali belum menjadi  suatu masalah. Karena Bali yang dulu identik dengan keramahan, digambarkan  penuh gairah dan pesona. Di mana budaya dan alamnya saling bertautan erat,  tempat tinggal sebuah masyarakat yang mapan dan harmonis. Bahkan jalinan  antara agama Hindu dan kebudayaan Bali telah mengendap menjadi suatu  keyakinan dalam keseharian orang Bali. Tetapi belakangan ini serbuan penduduk  pendatang dengan beragam latar belakang, etnis, profesi, dan tujuan, telah  menjadi permasalahan tersendiri yang cukup kompleks bagi Bali, terutama di  dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta  kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri" (Pasal 1 no urut 4, Perda Provinsi  Bali No 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman).
3 Klungkung adalah kota Islam tertua di Bali. Tepatnya di desa Gelgel inilah pada abad ke  sebelas pertama kali kerajaan Majapahit transit dan menyebarkan ajaran Islam. Bahkan berawal dari  Desa Gelgel ini pula penyebaran Islam meluas hingga sampai ke Nusa Penida. (Majalah Aula, edisi  Mei tahun 2007)  http://www.e-banjar.com/content/view/299    daerah perkotaan. Baik penduduk pendatang untuk tujuan menetap atau sekedar  datang untuk sementara (musiman) karena melakukan suatu perjalanan.
Sehingga Bali yang dulu dikenal dengan damainya bila dibandingkan dengan  Bali masa kini seolah menyajikan ketegangan dualisme yang paradoks.
Berbagai permasalahan kependudukanpun mulai muncul dan beragam pula.
Seperti kepadatan penduduk yang terus meningkat, bertambahnya pengangguran,  meluasnya kriminalitas, meningkatnya prostitusi, adanya penyalahgunaan  narkoba, dan sebagainya telah mengganggu kenyamanan dan keajegan masyarakat Bali sendiri. Hal ini diperparah dengan adanya berbagai  permasalahan yang meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama.
Namun dari sekian permasalahan yang ada di Bali, masalah kependudukan patut  mendapatkan perhatian lebih karena berhubungan dengan semua aspek  kehidupan masyarakat Bali, baik aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, maupun  aspek agama.
Pemerintah sendiri tampaknya tidak bisa berbuat banyak untuk  menghadapi penduduk pendatang ini. Berbagai langkah telah dilakukan, mulai  dari mewajibkan penduduk pendatang mempunyai kartu identitas khusus bagi  penduduk pendatang (KIPS/STPPTS) dengan biaya yang cukup tinggi sampai  langkah-langkah penertiban (inspeksi mendadak/sidak) pada malam hari yang  sudah sering dilakukan, tetapi persoalan penduduk pendatang masih sulit untuk  diatasi.
 Melihat kondisi demikian, maka Gubernur Bali bersama Bupati/Walikota  se-Bali mengeluarkan kesepakatan bersama dalam rangka tertib administrasi  penduduk pendatang tersebut. Untuk itu, pada hari Senin, tanggal 10 Pebruari  2003 lahirlah kesepakatan bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota seBali No. 153 Tahun 2003 tentang pelaksanaan tertib administrasi kependudukan  di Propinsi Bali. Kesepakatan bersama yang di tandatangani oleh seluruh  Bupati/Walikota bersama Gubernur Bali  ini bersepakat untuk melaksanakan  kesepakatan bersama mengenai tertib administrasi kependudukan di masingmasing Kabupaten/Kota dalam wilayah Propinsi Bali dengan mengacu pada surat  Gubernur Bali Nomor 470/7587/B. Tapem, tanggal 14 Nopember 2002 perihal  pedoman pendaftaran penduduk pendatang.
Yang dimaksud penduduk pendatang dalam kesepakatan ini adalah  penduduk yang datang dari luar Propinsi Bali untuk tinggal menetap atau tinggal  sementara di propinsi Bali (pasal 1 ayat a). Setiap penduduk pendatang dikenai  biaya administrasi sebesar Rp. 50.000,- untuk Kartu Identitas Penduduk  Sementara (KIPS) dan Rp. 5.000,- bagi Surat Tanda Pendaftaran Penduduk  Tinggal Sementara (STPPTS) sesuai dengan pasal 4 ayat (a) dan (b) dalam  kesepakatan bersama tersebut.
 Diantara pejabat yang menandatangani kesepakatan tersebut adalah 1. Dewa Beratha  (Gubernur Bali), 2. Puspayoga (Walikota Denpasar), 3. A.A. Ngurah Oka Ratmadi (Bupati Badung),  4. Drs. Putu Bagiada, MM (Bupati Buleleng), 5.I Gede Winasa (Bupati Jembrana), 6. N. Adi  Wiryatama, S.Sos (Bupati Tabanan), 7. Tjokorda Gde Budi Suryawan, SH (Bupati Gianyar), 8. I  Nengah Arnawa (Bupati Bangli), 9. Ir. Tjokorda Gde Ngurah (Bupati Klungkung), 10. I Gede  Sumantara Adi Pranata (Bupati Karangasem).    Namun, walaupun dikenai biaya administrasi yang cukup besar,  permasalahan penduduk pendatang masih cukup sulit untuk diatasi. Bahkan  sering ada penentangan dari mereka dengan melaksanakan aksi turun jalan atau  unjuk rasa untuk menolak besarnya biaya pungutan KIPS yang diberlakukan.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi