BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tragedi Bom Bali 12 Oktober 2002 yang telah
membunuh ratusan jiwa, membawa dampak
perubahan besar bagi masyarakat Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya. Salah satu dari
perubahan besar itu adalah adanya pengaturan
tentang penduduk pendatang (tamiu).Penduduk pendatang yang bebas kontrol dianggap sebagai salah satu dari
penyebab terjadinya tragedi Bom Bali
tersebut. Maka, sebagai bentuk memperbaiki tatanan masyarakat Bali ke depan dalam rangka mencapai Tri Hita Karana, dibuatlah peraturan tertib administrasi tentang penduduk pendatang
(tamiu).
Fakta-fakta sejarah menunjukkan
bahwa persoalan penduduk pendatang di Bali
sesungguhnya bukanlah suatu hal yang baru, sebab keberadaan mereka di Bali sudah ada sejak lama. Sejarah mencatat,
rombongan Maharsi Markandya telah datang
ke Bali sekitar abad ke-9 untuk membuka hutan dan membangun Desa-Desa Pakraman . Sejarah juga memperlihatkan kedatangan
orang-orang Tri Hita Karana berarti
bahwa kesejahteraan umat manusia didunia ini hanya dapat terwujud bila terjadi keseimbangan hubungan antara
unsur-unsur Tuhan-Manusia-Alam. Tri Hita Karana ini bersumber dari ajaran Hindu, yang secara
tekstual berarti tiga penyebab kesejahteraan (tri=tiga, hita=kesejahteraan, karana=sebab). Tiga unsur
tersebut adalah Sanghyang Jagatkarana(Tuhan Sang Pencipta), Bhuana(alam semesta), dan
Manusa(manusia).
Desa Pakramanadalah "kesatuan masyarakat
hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan
hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun 1 muslim
yang ”diundang” dan dimanfaatkan oleh raja-raja Bali karena keahliannya yang kemudian dilokalisasi di
kawasan tertentu, seperti sekarang dapat
dilihat di Desa Saren (Buda Keling Karangasem), Desa Gelgel (Klungkung)
, Pegayaman (Buleleng), dan Kepaon(Denpasar). Tak luput, dalam Sejarah kepariwisataan Bali juga terdapat
pendatang-pendatang asing pertama yang
datang ke Bali untuk berwisata, mulai dari rombongan Cornelis de Houtman (1597), Van Kol (1902), sampai
kemudian Bali ramai dikunjungi wisatawan
asing setelah beroperasinya kapal perusahan pelayaran milik pemerintah Belanda Koninklijk Paketvart Maatschapij
tahun 1920.
Di masa yang lalu, kehadiran penduduk
pendatang ke Bali belum menjadi suatu
masalah. Karena Bali yang dulu identik dengan keramahan, digambarkan penuh gairah dan pesona. Di mana budaya dan
alamnya saling bertautan erat, tempat
tinggal sebuah masyarakat yang mapan dan harmonis. Bahkan jalinan antara agama Hindu dan kebudayaan Bali telah
mengendap menjadi suatu keyakinan dalam
keseharian orang Bali. Tetapi belakangan ini serbuan penduduk pendatang dengan beragam latar belakang, etnis,
profesi, dan tujuan, telah menjadi
permasalahan tersendiri yang cukup kompleks bagi Bali, terutama di dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan
Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah
tangganya sendiri" (Pasal 1 no urut 4, Perda Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman).
3 Klungkung adalah kota Islam
tertua di Bali. Tepatnya di desa Gelgel inilah pada abad ke sebelas pertama kali kerajaan Majapahit
transit dan menyebarkan ajaran Islam. Bahkan berawal dari Desa Gelgel ini pula penyebaran Islam meluas
hingga sampai ke Nusa Penida. (Majalah Aula, edisi Mei tahun 2007) http://www.e-banjar.com/content/view/299 daerah
perkotaan. Baik penduduk pendatang untuk tujuan menetap atau sekedar datang untuk sementara (musiman) karena
melakukan suatu perjalanan.
Sehingga Bali yang dulu dikenal
dengan damainya bila dibandingkan dengan Bali masa kini seolah menyajikan ketegangan
dualisme yang paradoks.
Berbagai permasalahan
kependudukanpun mulai muncul dan beragam pula.
Seperti kepadatan penduduk yang
terus meningkat, bertambahnya pengangguran, meluasnya kriminalitas, meningkatnya
prostitusi, adanya penyalahgunaan narkoba,
dan sebagainya telah mengganggu kenyamanan dan keajegan masyarakat Bali
sendiri. Hal ini diperparah dengan adanya berbagai permasalahan yang meliputi aspek sosial,
ekonomi, politik, budaya dan agama.
Namun dari sekian permasalahan
yang ada di Bali, masalah kependudukan patut mendapatkan perhatian lebih karena berhubungan
dengan semua aspek kehidupan masyarakat
Bali, baik aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, maupun aspek agama.
Pemerintah sendiri tampaknya
tidak bisa berbuat banyak untuk menghadapi
penduduk pendatang ini. Berbagai langkah telah dilakukan, mulai dari mewajibkan penduduk pendatang mempunyai
kartu identitas khusus bagi penduduk
pendatang (KIPS/STPPTS) dengan biaya yang cukup tinggi sampai langkah-langkah penertiban (inspeksi
mendadak/sidak) pada malam hari yang sudah
sering dilakukan, tetapi persoalan penduduk pendatang masih sulit untuk diatasi.
Melihat kondisi demikian, maka Gubernur Bali
bersama Bupati/Walikota se-Bali
mengeluarkan kesepakatan bersama dalam rangka tertib administrasi penduduk pendatang tersebut. Untuk itu, pada
hari Senin, tanggal 10 Pebruari 2003
lahirlah kesepakatan bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota seBali No.
153 Tahun 2003 tentang pelaksanaan tertib administrasi kependudukan di Propinsi Bali. Kesepakatan bersama yang di
tandatangani oleh seluruh Bupati/Walikota
bersama Gubernur Bali ini bersepakat
untuk melaksanakan kesepakatan bersama
mengenai tertib administrasi kependudukan di masingmasing Kabupaten/Kota dalam
wilayah Propinsi Bali dengan mengacu pada surat Gubernur Bali Nomor 470/7587/B. Tapem, tanggal
14 Nopember 2002 perihal pedoman
pendaftaran penduduk pendatang.
Yang dimaksud penduduk pendatang
dalam kesepakatan ini adalah penduduk
yang datang dari luar Propinsi Bali untuk tinggal menetap atau tinggal sementara di propinsi Bali (pasal 1 ayat a).
Setiap penduduk pendatang dikenai biaya
administrasi sebesar Rp. 50.000,- untuk Kartu Identitas Penduduk Sementara (KIPS) dan Rp. 5.000,- bagi Surat
Tanda Pendaftaran Penduduk Tinggal
Sementara (STPPTS) sesuai dengan pasal 4 ayat (a) dan (b) dalam kesepakatan bersama tersebut.
Diantara pejabat yang menandatangani
kesepakatan tersebut adalah 1. Dewa Beratha (Gubernur Bali), 2. Puspayoga (Walikota
Denpasar), 3. A.A. Ngurah Oka Ratmadi (Bupati Badung), 4. Drs. Putu Bagiada, MM (Bupati Buleleng),
5.I Gede Winasa (Bupati Jembrana), 6. N. Adi Wiryatama, S.Sos (Bupati Tabanan), 7. Tjokorda
Gde Budi Suryawan, SH (Bupati Gianyar), 8. I Nengah Arnawa (Bupati Bangli), 9. Ir. Tjokorda
Gde Ngurah (Bupati Klungkung), 10. I Gede Sumantara Adi Pranata (Bupati
Karangasem). Namun, walaupun dikenai biaya administrasi
yang cukup besar, permasalahan penduduk
pendatang masih cukup sulit untuk diatasi. Bahkan sering ada penentangan dari mereka dengan
melaksanakan aksi turun jalan atau unjuk
rasa untuk menolak besarnya biaya pungutan KIPS yang diberlakukan.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi