BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Wacana tentang
relasi agama dan
negara, seolah tiada
habisnya.
Perbincangan tersebut, senantiasa
aktual dan faktual seiring dengan berlakunya konsepsi ajaran agama Islam yang
multi interpretasi. Oleh karena itu, meskipun sudah banyak
uraian yang diberikan
tentang konsepsi relasi
agama dan negara, upaya
untuk mencari format
yang memungkinkan akan
selalu layak untuk diperbincangkan dan
diperdebatkan. Sebab, meskipun
Islam menekankan keselarasan
kehidupan di dunia
dan akhirat, namun landasan teks
keagamaan untuk membentuk sebuah negara masih bisa diperdebatkan.
Sehingga munculnya beberapa
kelompok umat Islam dalam menafsirkan
ajaran agamanya berkaitan dengan sistem politik dan
pemerintahan merupakan sesuatu yang bisa dimengerti.
Diskursus relasional itu terus
terjadi karena alasan bahwa entitas ini samasama memiliki
‘pengikut’ dan kepentingan
masing-masing. Kuatnya arus perdebatan ini
dikarenakan agama memiliki
nilai sakral, karena
itu seringkali diagungkan dan
diunggulkan untuk menjadi
rujukan bagi para
pemeluknya.
Sementara politik,
di sisi lain,
adalah semacam kekuatan
pemaksa yang sangat berpengaruh dalam
aktivitas kenegaraan. Dengan
politik orang dapat
mengatur orang lain, karena dia memiliki kekuasaan. Sedangkan negara,
dengan model dan caranya sendiri
memiliki kekuatan yang cukup
dahsyat dalam mengatur masyarakatnya sebagai dasar
legitimasi kekuasaan politik yang dimiliki.
Banyaknya
upaya yang telah
dilakukan para ulama
dalam rangka pencarian format
relasi agama dan negara,
pada dasarnya mengandung
dua maksud. Pertama, untuk menemukan idealitas Islamtentang negara
(menekankan aspek teoritis dan
formal), yaitu dengan
menjawab pertanyaan, “ Bagaimana bentuk negara dalam Islam?”.
Pendekatan ini bertolak pada suatu asumsi bahwa Islam memiliki konsep
tertentu tentang negara. Kedua, untuk
melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses
penyelenggaraan negara (menekankan aspek
praktis dan substansial),
yakni mencoba menjawab pertanyaan, “Bagaimana isi negara
menurut Islam?”.
Maka pertanyaan-pertanyaan di
atas pada akhirnya
melahirkan tiga kategorisasi
pemikiran mengenai hubungan agama dan negara. Dalam perspektif Munawir
Sjadzali, setidaknya terdapat tiga aliran dalam relasi agama dan negara.
Pertama, aliran konservatif, yang tetap mempertahankan integrasi antara
agama dan negara. Aliran
ini berpendapat bahwa Islam
telah lengkap secara
paripurna dalam mengatur sistem
kemasyarakatan, termasuk di
dalamnya masalah politik.
Dalam paradigma
integralistik, agama dan
negara menyatu. Karenanya kepala negara adalah
pemegang kekuasaan agama
dan kekuasaan politik.
Pemerintahannya diselenggarakan atas
dasar "kedaulatan Ilahi" (divine soveregnity),karena
kedaulatan berasal dan berada di "tangan Tuhan".
Listiono Santoso, Teologi Politik Gus Dur,h.
Kedua, aliran
modernis, aliran ini
berpendapat bahwa Islam hanya mengatur masalah
kemasyarakatan secara garis
besarnya saja, sedangkan
teknis pelaksanaannya bisa saja
mengadopsi sistem lain. Dengan
kata lain, corak pemikiran yang
juga disebut simbiotik
ini, agama memerlukan
negara, karena dengan negara,
agama dapat berkembang.
Sebaliknya, negara juga
memerlukan agama, karena dengan
agama negara dapat
berkembang dalam bimbingan
etika dan moral-spiritual.
Ketiga, aliran
sekuler, yang berusaha
memisahkan agama dan
negara.
Menurut aliran
ini, Islam sebagaimana
agama-agama lainnya, tidak
mengatur masalah keduniaan, sebagaimana
yang terdapat dalam
masyarakat Barat.
Paradigma sekularistik mengajukan pemisahan
(disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama.
Dari aspek sejarah, hubungan
agama, terutama Islam di Indonesia, dengan negara pada sebagaian merupakan
cerita antagonisme dan kecurigaan satu sama lain. Hubungan
yang kurang harmonis
ini, terutama, tetapi
tidak seluruhnya merupakan akibat
dari perbedaan pandangan founding fathers, mengenai bentuk Ketiga kategori ini mengikuti pola yang
dibuat oleh Munawir Sjadzali yang kemudian diikuti oleh Masykuri Abdillah. Ketiga
kelompok itu, yang oleh Munawwir tidak dimasukkan ke dalam term politik tertentu,
menurut Masykuri terbagi
menjadi tiga; Konservatif, Modernis dan
Sekuler.
Sementara Bahtiar Effendi
mengelompokkannya dalam dua spektrum pemikiran : formal idealistik dan substansial
realistik. Berbeda dengan Munawir, M Din Syamsudin membaginya dalam ke dalam
tiga paradigma. Masing-masing adalah
integralistik, simbiotik, dan
sekularistik. Baca Munawir
Sjadzali, Islam Dan Tata
Negara; Ajaran, Sejarah Dan
Pemikiran, h. 1-3; begitu
pula Masykuri Abdillah, Demokrasi di
Persimpangan Makna: Respon Intelektual
Muslim Indonesia Terhadap
Demokrasi (1966-1993), h. 57; bandingkan dengan Bahtiar Effendi, Islam
Dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik di Indonesia, h. 6-15.
Bandingkan dengan M. Din Syamsudin, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah
pemikiran Politik Islam, dalam Jurnal Ulumul Quran, (Nomor 2, vol IV, th 1992),
h 4-7.
negara Indonesia yang dicita-citakan. Salah
satu butir terpenting dalam perbedaan pendapat di atas adalah apakah negara ini
bercorak “Islam” atau “nasionalis”.
Perdebatan
berlangsung tatkala para
founding fathers yang tergabung dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia,
Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) membahas bentuk dasar
negara dan bentuk pemerintahan.
Dari
62 anggota BPUPKI,
terbagi dua arus
besar; golongan nasionalis sekuler
serta nasionalis Islami.
Namun, dari jumlah
itu, hanya 25 % saja yang dianggap mewakili kepentingan Islam,
selebihnya mewakili pandangan
nasionalisme sekuler yang
dalam hal ini
enggan membawa agama dalam
masalah kenegaraan. Sehingga tampaknya dukungan
pemerintah pendudukan Jepang kepada Islamtak dapat lagi diharapkan.
KH.A.
Wahid Hasyim salah seorang intelektual muda pesantrendan tokoh NU, termasuk
dalam barisan nasionalis Islam dalam BPUPKI bersama Abikusno Tjokrosujoso (Sarekat Islam), Kahar
Muzakkir (Muhammadiyah), Agus
Salim (PII). Mereka mempelopori disahkannya
Piagam Jakarta, setelah melalui perdebatan panjang. Keempat orang
ini, secara ideologis
berseberangan dengan Kedua
corak pemikiran kenegaraan
ini ini diungkapkan
oleh Bahtiar Effendi.
Lihat Bahtiar Effendi, Islam dan
Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi