Kamis, 21 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:RELASI AGAMA DAN NEGARA DALAM PERSPEKTIF KH.A.WAHID HASYIM DAN RELEVANSINYA DENGAN KONDISI SEKARANG


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Wacana  tentang  relasi  agama  dan  negara,  seolah  tiada  habisnya.
Perbincangan tersebut, senantiasa aktual dan faktual seiring dengan berlakunya konsepsi ajaran agama Islam yang multi interpretasi. Oleh karena itu, meskipun sudah  banyak  uraian  yang  diberikan  tentang  konsepsi  relasi  agama  dan  negara, upaya  untuk  mencari  format  yang  memungkinkan  akan  selalu  layak  untuk diperbincangkan  dan  diperdebatkan. Sebab,  meskipun Islam menekankan keselarasan  kehidupan  di  dunia  dan  akhirat,  namun landasan  teks  keagamaan untuk membentuk sebuah negara masih bisa diperdebatkan. Sehingga munculnya beberapa  kelompok  umat Islam dalam  menafsirkan  ajaran  agamanya  berkaitan dengan sistem politik dan pemerintahan merupakan sesuatu yang bisa dimengerti.
Diskursus relasional itu terus terjadi karena alasan bahwa entitas ini samasama  memiliki  ‘pengikut’  dan  kepentingan  masing-masing.  Kuatnya  arus perdebatan  ini  dikarenakan  agama  memiliki  nilai  sakral,  karena  itu  seringkali diagungkan  dan  diunggulkan  untuk  menjadi  rujukan  bagi  para  pemeluknya.
Sementara  politik,  di  sisi  lain,  adalah  semacam  kekuatan  pemaksa  yang  sangat berpengaruh  dalam  aktivitas  kenegaraan.  Dengan  politik  orang  dapat  mengatur orang lain, karena dia memiliki kekuasaan. Sedangkan negara, dengan model dan  caranya  sendiri  memiliki  kekuatan yang  cukup  dahsyat  dalam  mengatur masyarakatnya sebagai dasar legitimasi kekuasaan politik yang dimiliki.

 Banyaknya  upaya  yang  telah  dilakukan  para  ulama  dalam  rangka pencarian  format  relasi agama dan negara,  pada  dasarnya  mengandung  dua maksud. Pertama, untuk menemukan idealitas Islamtentang negara (menekankan aspek  teoritis  dan  formal),  yaitu  dengan  menjawab  pertanyaan,  “ Bagaimana bentuk negara dalam Islam?”. Pendekatan ini bertolak pada suatu asumsi bahwa Islam memiliki  konsep  tertentu  tentang  negara. Kedua,  untuk  melakukan idealisasi  dari  perspektif Islam terhadap  proses  penyelenggaraan  negara (menekankan  aspek  praktis  dan  substansial),  yakni  mencoba  menjawab pertanyaan, “Bagaimana isi negara menurut Islam?”.
Maka  pertanyaan-pertanyaan  di  atas  pada  akhirnya  melahirkan  tiga kategorisasi pemikiran mengenai hubungan agama dan negara. Dalam perspektif Munawir Sjadzali, setidaknya terdapat tiga aliran dalam relasi agama dan negara.
Pertama, aliran konservatif,  yang tetap mempertahankan integrasi antara agama dan  negara.  Aliran  ini berpendapat  bahwa Islam telah  lengkap  secara  paripurna dalam  mengatur  sistem  kemasyarakatan,  termasuk  di  dalamnya  masalah  politik.
Dalam  paradigma  integralistik,  agama  dan  negara  menyatu.  Karenanya kepala negara  adalah  pemegang  kekuasaan  agama  dan  kekuasaan  politik.
Pemerintahannya  diselenggarakan  atas  dasar  "kedaulatan  Ilahi" (divine soveregnity),karena kedaulatan berasal dan berada di "tangan Tuhan".
 Listiono Santoso, Teologi Politik Gus Dur,h.
 Kedua, aliran  modernis,  aliran  ini  berpendapat  bahwa Islam hanya mengatur  masalah  kemasyarakatan  secara  garis  besarnya  saja,  sedangkan  teknis pelaksanaannya  bisa  saja  mengadopsi  sistem  lain. Dengan  kata  lain,  corak pemikiran  yang  juga  disebut  simbiotik  ini,  agama  memerlukan  negara,  karena dengan  negara,  agama  dapat  berkembang.  Sebaliknya,  negara  juga  memerlukan agama,  karena  dengan  agama  negara  dapat  berkembang  dalam  bimbingan  etika dan moral-spiritual.
Ketiga,  aliran  sekuler,  yang  berusaha  memisahkan  agama  dan  negara.
Menurut  aliran  ini, Islam sebagaimana  agama-agama  lainnya,  tidak  mengatur masalah  keduniaan,  sebagaimana  yang  terdapat  dalam  masyarakat Barat.
 Paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama.
Dari aspek sejarah, hubungan agama, terutama Islam di Indonesia, dengan negara pada sebagaian merupakan cerita antagonisme dan kecurigaan satu sama lain.  Hubungan  yang  kurang  harmonis  ini,  terutama,  tetapi  tidak  seluruhnya merupakan akibat dari perbedaan pandangan founding fathers, mengenai bentuk  Ketiga kategori ini mengikuti pola yang dibuat oleh Munawir Sjadzali yang kemudian diikuti oleh Masykuri Abdillah. Ketiga kelompok itu, yang oleh Munawwir tidak dimasukkan ke dalam term politik  tertentu,  menurut  Masykuri  terbagi  menjadi  tiga;  Konservatif, Modernis  dan  Sekuler.
Sementara Bahtiar Effendi mengelompokkannya dalam dua spektrum pemikiran : formal idealistik dan substansial realistik. Berbeda dengan Munawir, M Din Syamsudin membaginya dalam ke dalam tiga paradigma.  Masing-masing  adalah  integralistik,  simbiotik,  dan  sekularistik.  Baca  Munawir  Sjadzali, Islam  Dan  Tata  Negara;  Ajaran,  Sejarah  Dan  Pemikiran, h.  1-3;  begitu  pula  Masykuri  Abdillah, Demokrasi  di  Persimpangan  Makna: Respon  Intelektual  Muslim  Indonesia  Terhadap  Demokrasi (1966-1993), h. 57; bandingkan dengan Bahtiar Effendi, Islam Dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik di Indonesia, h. 6-15. Bandingkan dengan M. Din Syamsudin, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah pemikiran Politik Islam, dalam Jurnal Ulumul Quran, (Nomor 2, vol IV, th 1992), h 4-7.
 negara Indonesia yang dicita-citakan. Salah satu butir terpenting dalam perbedaan pendapat di atas adalah apakah negara ini bercorak “Islam” atau “nasionalis”.
 Perdebatan  berlangsung  tatkala para founding  fathers yang  tergabung dalam BPUPKI  (Badan Penyelidik Usaha-Usaha  Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Dokuritsu  Zyunbi  Tyoosakai) membahas  bentuk dasar  negara  dan bentuk  pemerintahan.
 Dari  62  anggota  BPUPKI,  terbagi  dua  arus  besar; golongan  nasionalis  sekuler  serta  nasionalis Islami. Namun,  dari  jumlah  itu, hanya 25 % saja yang dianggap mewakili kepentingan Islam, selebihnya mewakili pandangan  nasionalisme  sekuler  yang  dalam  hal  ini  enggan  membawa  agama dalam  masalah  kenegaraan.  Sehingga tampaknya  dukungan  pemerintah pendudukan Jepang kepada Islamtak dapat lagi diharapkan.
 KH.A. Wahid Hasyim salah seorang intelektual muda pesantrendan tokoh NU, termasuk dalam barisan nasionalis Islam dalam BPUPKI bersama Abikusno Tjokrosujoso  (Sarekat Islam),  Kahar  Muzakkir  (Muhammadiyah),  Agus  Salim (PII).  Mereka mempelopori  disahkannya  Piagam Jakarta,  setelah  melalui perdebatan  panjang. Keempat  orang  ini,  secara  ideologis  berseberangan dengan   Kedua  corak  pemikiran  kenegaraan  ini  ini  diungkapkan  oleh  Bahtiar  Effendi.  Lihat  Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, 

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi