BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Hubungan sesama manusia merupakan
manifestasi dari hubungan dengan pencipta. Jika
baik hubungan dengan
manusia lain, maka
baik pula hubungan dengan penciptanya. Karena itu hukum Islam
sangat menekankan kemanusiaan.
Hukum
Islam (Syari‟ah) mempunyai
kemampuan untuk berevolusi
dan berkembang dalam menghadapi
soal-soal dunia Islam masakini. Semangat dan prinsip umum hukum Islam
berlaku di masa lampau, masakini, dan akan tetap berlaku di masyarakat.
Setiap
manusia memerlukan harta
untuk mencukupi segala
kebutuhan hidupnya. Karenanya,
manusia akan selalu berusaha memperoleh harta kekayaan itu.
Salah satunya dengan
bekerja, sedangkan salah
satu dari ragam
bekerja adalah berbisnis.
Dengan landasan iman,
bekerja untuk mencukupi
kebutuhan hidup dalam
pandangan Islam dinilai
sebagai ibadah yang
di samping memberikan
perolehan material, juga
insya Allah akan
mendatangkan pahala.
Banyak sekali
tuntunan dalam Al-Qur‟an
yang mendorong seorang
muslim untuk bekerja.
Rasulullah SAW bersabda : Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam,
Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 1997, hal.
Muhammad
Abdul Mannan, Teori
dan Praktek Ekonomi
Islam, PT Dana
Bhakti Wakaf, Yogyakarta: 1995, hal.
Yusanto, M.I. dan M. K. Widjayakusuma, Menggagas Bisnis Islami, Cet. I, Gema Insani Press, Jakarta: 2002, hal. 9 ”Dari
Rifa‟ah bin Rafi,
bahwasannya Rasulullah SAW
ditanya salah seorang
sahabat mengenai pekerjaan
(profesi) apa yang
paling baik.
Rasulullah ketika
itu menjawab: usaha
tangan manusia dan
setiap jual beli yang diberkati”.
Allah
SWT menciptakan manusia dengan
karakter saling membutuhkan antara
sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Tidak semua orang memiliki apa
yang dibutuhkannya, akan
tetapi sebagian orang
memiliki sesuatu yang orang
lain tidak memiliki namun membutuhkannya. Sebaliknya, sebagian orang membutuhkan sesuatu yang orang lain telah
memilikinya. Karena itu Allah SWT mengilhamkan mereka untuk saling tukar
menukar barang dan berbagai hal yang berguna,
dengan cara jual beli dan semua jenis interaksi, sehingga kehidupanpun menjadi
tegak dan rodanya
dapat berputar dengan
limpahan kebajikan dan produktivitasnya.
Oleh
sebab itu Islam
membolehkan pengembangan harta dengan
berbisnis, yang salah satunya melalui jalur perdagangan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa
: 29.
“Hai
orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan
suka sama-suka di
antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh
dirimu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Ibnu Hajar „Al-Asqalani,
Tarjamah Bulughul-Maram, CV
Diponegoro, Bandung: 1988, hal.3 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam,
Era Intermedia, Surakarta: 2007, hal.3 Departemen
Agama RI, Al Qur’an dan
Terjemahannya, Toha Putra,
Semarang: 1989, hal.
122 Perdagangan atau jual beli menurut bahasa
berarti al-Bai’, al-Tijarah dan al-Mubadalah, sebagaimana
Allah SWT, berfirman
dalam Al-Qur‟an surat Faathir
: 29.
“Sesungguhnya
orang-orang yang selalu
membaca kitab Allah
dan mendirikan shalat
dan menafkahkan seagian
dari rizki yang
kami anugerahkan kepada
mereka dengan diam-diam
dan terang-terangan.
Mereka itu mengharapkan tijarah
(perdagangan) yang tidak akan merugi” Menurut istilah
yang dimaksud dengan jual
beli salah satunya
adalah: menukar barang
dengan barang atau
barang dengan uang,
dengan jalan melepaskan
hak milik dari
yang satu kepada
yang lain atas
dasar saling merelakan.
Jual beli mempunyai 5 unsur, yaitu: 1. Penjual:
pemilik harta yang menjual hartanya atau orang yang diberi kuasa untuk
menjual harta orang
lain. Penjual harus
cakap melakukan penjualan (mukallaf).
2. Pembeli: orang yang cakap yang dapat
membelanjakan hartanya (uangnya).
3. Barang
jualan: sesuatu yang
dibolehkan oleh syara‟
untuk dijual dan diketahui
sifatnya oleh pembeli.
4. Transaksi jual beli yang berbentuk serah
terima: transaksi dimaksud, dapat berbentuk
tertulis, ucapan atau kode yang menunjukkan terjadinya jual beli.
Ibid, hal. 7
Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2008,
hal. 67 Zainuddin Ali, Hukum Perdata
Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta: 2006, hal. 143 Sebagai
contoh: penjual mengatakan
baju ini harganya
Rp 50.000,00 atau baju
itu diberikan perangko oleh penjual dengan harga tersebut. Kemudian pembeli
menyerahkan uang sebagai
harga baju. Hal
itulah yang di
sebut serah terima (ijab qobul).
5. Persetujuan
kedua belah pihak:
pihak penjual dan
pihak pembeli setuju untuk melakukan transaksi jual beli.
Jual beli
sesuatu yang terdapat
unsur penipuan adalah
dilarang oleh hukum perdata
Islam. Dengan demikian, penjual
tidak boleh menjual ikan yang masih ada
di dalam air,
daging yang masih
ada di dalam
perut domba, janin binatang
yang masih ada di dalam perut, air susu yang masih ada di dalam susu binatang,
buah-buahan yang masih
kecil (belum matang),
barang yang tidak dapat
dilihat atau diterima atau diraba ketika sebenarnya barang dagang tersebut ada,
dan bila barang
dagang itu tidak
ada maka tidak
boleh memperjual belikannya
tanpa mengetahui sifat
ataupun jenis dan
keberadaannya (kualitasnya).
Setiap
transaksi jual beli
yang memberi peluang
terjadinya persengketaan, karena
barang yang dijual
tidak transparan, atau
ada unsur penipuan
yang dapat membangkitkan
permusuhan antara dua
pihak yang bertransaksi, atau salah satu pihak menipu
pihak lain, dilarang oleh Nabi
SAW.
Sebagai antisipasi
terhadap munculnya kerusakan
yang lebih besar
(saddudz dzari’ah).
Berdasarkan
prinsip-prinsip diatas dapat
dipahami bahwa modernisasi, dalam
arti meliputi segala
macam bentuk mu’amalat,
diizinkan oleh syari‟at Ibid, hal. 1
Yusuf Qardhawi, Op.Cit, hal.356 Islam, selama
tidak bertentangan dengan
prinsip dan jiwa
syari‟at Islam itu sendiri.
Menyadari bahwa kehidupan dan kebutuhan manusia selalu berkembang dan
berubah, syari‟at Islam
dalam bidang mu‟amalat
pada umumnya hanya mengatur dan
menetapkan dasar-dasar hukum
secara umum. Sedangkan perinciannya
diserahkan pada umat
Islam, dimanapun mereka
berada. Tentu perincian itu tidak menyimpang, apalagi bertentangan dengan prinsip dan jiwa syari‟at.
Jual beli merupakan hal yang
tidak asing lagi bagi kehidupan masyarakat karena
itu sudah merupakan
salah satu dinamika
perekonomian yang selalu berkembang
sesuai dengan perkembangan
zaman, seperti yang
dilakukan oleh masyarakat Desa Tanduk Kecamatan Ampel
Kabupaten Boyolali, yang sebagian masyarakatnya mencari
nafkah sebagai pedagang
daging sapi. Dalam pelaksanaan jual
beli itu terdapat
dua pihak, yakni:
supplier dan pedagang pengecer (penjual yang menjual di pasar).
Masyarakat Desa
Tanduk Kecamatan Ampel
Kabupaten Boyolali mayoritas beragama Islam.
Akan tetapi, dalam
melakukan transaksi jual
beli daging sapi
itu sering kali
terjadi praktek perubahan
kesepakatan secara sepihak, yang pada akhirnya merugikan salah
satu pihak yang bertransaksi.
Jual beli
daging sapi dilakukan
dengan sistem pesanan
(baik itu lewat telefon
ataupun sms), yang dimana barang (daging sapi) itu ada wujudnya akan tetapi tidak bisa dihadirkan pada saat akad itu berlangsung. Hal itu dikarenakan penyembelehan
sapi dilakukan pada
waktu tengah malam
sehingga bisa di Akad
artinya kesepakatan bersama yang mengikat.
dapatkan
daging yang masih
segar dan baru.
Dengan kata lain,
terjadinya jual beli
daging itu dilakukan oleh pihak pedagang pengecer yang memesan daging sapi pada
supplier pada malam hari, dengan
menyebutkan jenis dan banyaknya daging
yang dibutuhkan, yang
kemudian dilanjutkan oleh
pihak supplier yang menyebutkan
harga per Kg dari daging sapi tersebut. Sedangkan pembayarannya diberikan pada
supplier, sehari setelah daging
itu laku / terjual. Tidak terdapat ketentuan
lebih jika daging
yang dikirmkan itu
terdapat cacat, akan
tetapi jika terjadi
hal demikian, maka
pedagang pengecer tidak
akan segan melakukan perubahan harga dari jumlah uang yang harus
disetorkan.
Ternyata terdapat
kesenjangan dalam transaksi
jual beli daging
sapi tersebut, yakni
: pada saat
pembayaran, sering kali
pihak pengecer tidak melakukan pembayaran
secara penuh kepada
pihak supplier, dikarenakan mereka
menganggap daging yang
mereka terima tidak
sempurna menurut perspektif mereka sendiri. Peristiwa ini sebenarnya sangat
mengecewakan pihak supplier,
karena hal tersebut
dilakukan tanpa ada
kesepakatan ulang dengan pihak
supplier. Dan di
sini pihak supplier
sendiri juga sudah
mengeluarkan modal untuk
biaya produksi, yang
di antaranya digunakan
untuk membayar buruh jagal sapi (orang yang bertanggung jawab menyembelih
sapi), buruh titik balung sapi
(orang yang bertanggung
jawab memisahkan daging
dari tulang sapi) dan
sebagainya. Pada kenyataannya,
jika daging dirasa
kurang baik oleh pihak supplier,
pastinya pihak supplier
akan memberikan harga
kurang atau potongan harga pada pihak pengecer sendiri.
Menurut ulama‟
Hanafiyah, hukum jual beli orang
terpaksa seperti jual beli fudhul
(jual beli tanpa
seijin pemiliknya) yakni
ditangguhkan (mauquf).
Oleh karena itu, keabsahannya
ditangguhkan sampai rela (hilang rasa terpaksa).
Menurut ulama‟ Malikiyah tidak
lazim, baginya ada khiyar.
Adapun menurut fuqaha
Syafi‟iyah dan Hanabilah,
jual beli tersebut
tidak sah sebab
tidak ada keridhaan ketika akad.
Mengenai penetapan harga, Islam memberikan kebebasan kepada pasar.
Ia menyerahkannya kepada
hukum pasar untuk
memainkan peranannya secara wajar,
sesuai dengan penawaran
dan permintaan yang
ada. Rasulullah SAW, bersabda : “Dari Anas r.a., ia berkata,
pernah terjadi harga naik di masa
Rasulullah saw., kemudian
orang-orang berkata, ya
Rasulullah, alangkah baiknya kalau
sekiranya engkau menetapkan
harga? Ia menjawab:
Sesungguhnya Allah-lah yang
menentukan harga, yang mencabut, yang membentangkan, dan
yang memberi rezeki.
Saya sungguh berharap
dapat bertemu Allah dalam keadaan
tidak seorangpun dari
kalian yang menuntut
kepadaku karena kezhaliman dalam
masalah darah dan harta”.
Abdul Karim Zaidan,
Pengantar Study Syari’at,
Cet. I, Robbani
Press, Jakarta: 2008, hal.473.
yang dimaksud Khiyar berarti pihak yang berakad memiliki hak untuk
melangsungkan atau membatalkan akad.
Rahmat Syafe‟i, Fiqh Muamalah, CV Pustaka
Setia, Bandung: 2001, hal.
Penetapan
harga (tas’ir) artinya
menetapkan harga barang-barang
yang hendak dijualbelikan
tanpa menzalimi pemilik,
tanpa memberatkan pembeli. Lihat Sayyid Sabiq, Tarjamah Fikih Sunnah 5, Cakrawala Publishing, Jakarta:
2009, hlm.2 Yusuf Qardhawi,
Op.Cit., hal. 357-359.
Baca juga dalam
A. Qadri Hassan,
dkk, Terjemahan Nailul
Authar (Himpunan Hadits-Hadits
Hukum), PT Bina
Ilmu, Surabaya: 1983,
hal.
1762 Karena
itu, bila penetapan
harga mengandung unsur
kezhaliman dan pemaksaan
kepada masyarakat, sehingga
mereka terpaksa membeli
dengan harga yang
tidak mereka sukai
atau menghalangi mereka
dari hal-hal yang diperbolehkan oleh
Allah maka penetapan
harga seperti itu
hukumnya haram.
Akan tetapi,
bila ia mengandung
unsur keadilan diantara
sesama manusia, seperti memaksa mereka yang melakukan
transaksi jual beli dengan harga yang wajar,
melarang mereka dari hal-hal yang diharamkan: semisal mengambil lebih dari
alat tukar yang
wajar, maka penetapan
harga seperti itu
diperbolehkan, bahkan menjadi
wajib hukumnya.
Jumhur fuqaha
mensyaratkan agar orang yang melakukan akad memiliki kebebasan kehendak dalam menjual belikan
barangnya. Apabila dia dipaksa agar menjual hartanya
tanpa alasan yang
hak maka jual
beli tersebut tidak
sah.
Adapun jika seseorang dipaksa
untuk menjual hartanya dengan alasan
yang hak maka jual beli ini sah.
Misalnya, seseorang yang dipaksa agar menjual rumahnya untuk
perluasan jalan, masjid,
atau kuburan, atau
dipaksa agar menjual barangnya untuk membayar utangnya atau untuk
menafkahi istrinya atau kedua orang
tuanya. Dalam kondisi ini dan sejenisnya, jual beli sah demi menempatkan ridha dari syariat diatas ridhanya.
Jual
beli itu dihalalkan
dan dibenarkan agama,
asal memenuhi syaratsyarat
yang diperlukan. Memang dengan
tegas Al-Qur‟an menerangkan bahwa “jual
beli itu halal,
sedangkan riba itu
haram” { اوَبِرّلا َمَرَّحَو
َعْيَبْلْاُ هلَلا َلَّحَأَو}.
Islam menghalalkan jual beli
karena itu sangat
dibutuhkan oleh masyarakat.
Namun Sayyid Sabiq,
Tarjamah Fiqih Sunnah 4, PT Pena Pundi
Aksara, Jakarta Pusat: 2009, hal.
57-58 demikian dalam pelaksanannya sangat
diperlukan aturan-aturan yang kuat untuk menjamin mu‟amalah yang baik.
Berdasarkan itulah yang melatarbelakangi penulis melakukan
penelitian dengan judul:
TINJAUAN HUKUM ISLAM
TERHADAP PERUBAHAN HARGA SEPIHAK (Study Kasus Dalam Jual Beli
Daging Sapi Antara Supplier dan
Pedagang Pengecer di
Desa Tanduk Kecamatan
Ampel Kabupaten Boyolali).
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi