Jumat, 22 Agustus 2014

Skripsi Syariah: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PERUBAHAN HARGA SEPIHAK

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Masalah.
Hubungan sesama manusia merupakan manifestasi dari hubungan dengan  pencipta.  Jika  baik  hubungan  dengan  manusia  lain,  maka  baik  pula  hubungan  dengan penciptanya. Karena itu hukum Islam sangat menekankan kemanusiaan.

 Hukum  Islam  (Syari‟ah)  mempunyai  kemampuan  untuk  berevolusi  dan  berkembang dalam menghadapi soal-soal dunia  Islam  masakini. Semangat dan  prinsip umum hukum  Islam  berlaku di masa lampau, masakini, dan akan tetap  berlaku di masyarakat.
 Setiap  manusia  memerlukan  harta  untuk  mencukupi  segala  kebutuhan  hidupnya. Karenanya, manusia akan selalu berusaha memperoleh harta kekayaan  itu.  Salah  satunya  dengan  bekerja,  sedangkan  salah  satu  dari  ragam  bekerja  adalah  berbisnis.  Dengan  landasan  iman,  bekerja  untuk  mencukupi  kebutuhan  hidup  dalam  pandangan  Islam  dinilai  sebagai  ibadah  yang  di  samping  memberikan  perolehan  material,  juga  insya  Allah  akan  mendatangkan  pahala.
Banyak  sekali  tuntunan  dalam  Al-Qur‟an  yang  mendorong  seorang  muslim  untuk bekerja.
 Rasulullah SAW bersabda :  Faturrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 1997, hal.
 Muhammad  Abdul  Mannan,  Teori  dan  Praktek  Ekonomi  Islam,  PT  Dana  Bhakti  Wakaf,  Yogyakarta: 1995, hal.
 Yusanto, M.I. dan M. K. Widjayakusuma,  Menggagas Bisnis Islami, Cet. I, Gema Insani  Press, Jakarta: 2002, hal. 9   ”Dari  Rifa‟ah  bin  Rafi,  bahwasannya  Rasulullah  SAW  ditanya  salah  seorang  sahabat  mengenai  pekerjaan  (profesi)  apa  yang  paling  baik.
Rasulullah  ketika  itu  menjawab:  usaha  tangan  manusia  dan  setiap  jual  beli yang diberkati”.
 Allah  SWT  menciptakan manusia dengan karakter saling membutuhkan  antara sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Tidak semua orang memiliki  apa  yang  dibutuhkannya,  akan  tetapi  sebagian  orang  memiliki  sesuatu  yang  orang lain tidak memiliki namun membutuhkannya. Sebaliknya, sebagian orang  membutuhkan sesuatu yang orang lain telah memilikinya. Karena itu Allah SWT mengilhamkan mereka untuk saling tukar menukar barang dan berbagai hal yang  berguna, dengan cara jual beli dan semua jenis interaksi, sehingga kehidupanpun  menjadi  tegak  dan  rodanya  dapat  berputar  dengan  limpahan  kebajikan  dan  produktivitasnya.
 Oleh  sebab  itu  Islam  membolehkan  pengembangan  harta  dengan berbisnis,  yang salah satunya  melalui jalur perdagangan.    Sebagaimana  firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa : 29.
 “Hai  orang-orang  yang  beriman,  janganlah  kamu  saling  memakan  harta  sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang  Berlaku  dengan  suka  sama-suka  di  antara  kamu.  dan  janganlah  kamu  membunuh  dirimu.  Sesungguhnya  Allah  adalah  Maha  Penyayang  kepadamu.”   Ibnu  Hajar  „Al-Asqalani,  Tarjamah  Bulughul-Maram,  CV  Diponegoro,  Bandung:  1988,  hal.3  Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, Era Intermedia, Surakarta: 2007, hal.3  Departemen Agama RI,  Al Qur’an dan Terjemahannya,  Toha Putra, Semarang:  1989,  hal.
122   Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-Bai’, al-Tijarah dan  al-Mubadalah,  sebagaimana  Allah  SWT,  berfirman  dalam  Al-Qur‟an  surat  Faathir : 29.
 “Sesungguhnya  orang-orang  yang  selalu  membaca  kitab  Allah  dan  mendirikan  shalat  dan  menafkahkan  seagian  dari  rizki  yang  kami  anugerahkan  kepada  mereka  dengan  diam-diam  dan  terang-terangan.
Mereka itu mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan merugi”  Menurut  istilah  yang  dimaksud  dengan  jual  beli  salah  satunya  adalah:  menukar  barang  dengan  barang  atau  barang  dengan  uang,  dengan  jalan  melepaskan  hak  milik  dari  yang  satu  kepada  yang  lain  atas  dasar  saling  merelakan.
 Jual beli mempunyai 5 unsur, yaitu:  1.  Penjual: pemilik harta yang menjual hartanya atau orang yang diberi kuasa  untuk  menjual  harta  orang  lain.  Penjual  harus  cakap  melakukan  penjualan  (mukallaf).
2.  Pembeli: orang yang cakap yang dapat membelanjakan hartanya (uangnya).
3.  Barang  jualan:  sesuatu  yang  dibolehkan  oleh  syara‟  untuk  dijual  dan  diketahui sifatnya oleh pembeli.
4.  Transaksi jual beli yang berbentuk serah terima: transaksi dimaksud, dapat  berbentuk tertulis, ucapan atau kode yang menunjukkan terjadinya jual beli.
 Ibid, hal. 7  Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2008, hal. 67   Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta: 2006, hal. 143   Sebagai  contoh:  penjual  mengatakan  baju  ini  harganya  Rp  50.000,00  atau  baju itu diberikan perangko oleh penjual dengan harga tersebut. Kemudian  pembeli  menyerahkan  uang  sebagai  harga  baju.  Hal  itulah  yang  di  sebut  serah terima (ijab qobul).
5.  Persetujuan  kedua  belah  pihak:  pihak  penjual  dan  pihak  pembeli  setuju  untuk melakukan transaksi jual beli.
Jual  beli  sesuatu  yang  terdapat  unsur  penipuan  adalah  dilarang  oleh  hukum perdata  Islam.  Dengan demikian, penjual tidak boleh menjual ikan yang  masih  ada  di  dalam  air,  daging  yang  masih  ada  di  dalam  perut  domba,  janin  binatang yang masih ada di dalam perut, air susu yang masih ada di dalam susu  binatang,  buah-buahan  yang  masih  kecil  (belum  matang),  barang  yang  tidak  dapat dilihat atau diterima atau diraba ketika sebenarnya barang dagang tersebut  ada,  dan  bila  barang  dagang  itu  tidak  ada  maka  tidak  boleh  memperjual  belikannya  tanpa  mengetahui  sifat  ataupun  jenis  dan  keberadaannya  (kualitasnya).
 Setiap  transaksi  jual  beli  yang  memberi  peluang  terjadinya  persengketaan,  karena  barang  yang  dijual  tidak  transparan,  atau  ada  unsur  penipuan  yang  dapat  membangkitkan  permusuhan  antara  dua  pihak  yang  bertransaksi, atau salah satu pihak menipu pihak lain,  dilarang  oleh Nabi  SAW.
Sebagai  antisipasi  terhadap  munculnya  kerusakan  yang  lebih  besar  (saddudz  dzari’ah).
 Berdasarkan  prinsip-prinsip  diatas  dapat  dipahami  bahwa  modernisasi,  dalam  arti  meliputi  segala  macam  bentuk  mu’amalat,  diizinkan  oleh  syari‟at   Ibid, hal. 1  Yusuf Qardhawi, Op.Cit, hal.356   Islam,  selama  tidak  bertentangan  dengan  prinsip  dan  jiwa  syari‟at  Islam  itu  sendiri. Menyadari bahwa kehidupan dan kebutuhan manusia selalu berkembang  dan  berubah,  syari‟at  Islam  dalam  bidang  mu‟amalat  pada  umumnya  hanya  mengatur  dan  menetapkan  dasar-dasar  hukum  secara  umum.  Sedangkan  perinciannya  diserahkan  pada  umat  Islam,  dimanapun  mereka  berada.  Tentu  perincian itu tidak menyimpang,  apalagi bertentangan dengan prinsip dan jiwa  syari‟at.
Jual beli merupakan hal yang tidak asing lagi bagi kehidupan masyarakat  karena  itu  sudah  merupakan  salah  satu  dinamika  perekonomian  yang  selalu  berkembang  sesuai  dengan  perkembangan  zaman,  seperti  yang  dilakukan  oleh  masyarakat Desa Tanduk Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali, yang sebagian  masyarakatnya  mencari  nafkah  sebagai  pedagang  daging  sapi.  Dalam  pelaksanaan  jual  beli  itu  terdapat  dua  pihak,  yakni:  supplier  dan  pedagang  pengecer (penjual yang menjual di pasar).
Masyarakat  Desa  Tanduk  Kecamatan  Ampel  Kabupaten  Boyolali mayoritas  beragama  Islam.  Akan  tetapi,  dalam  melakukan  transaksi  jual  beli  daging  sapi  itu  sering  kali  terjadi  praktek   perubahan  kesepakatan  secara  sepihak, yang pada akhirnya merugikan salah satu pihak yang bertransaksi.
Jual  beli  daging  sapi  dilakukan  dengan  sistem  pesanan  (baik  itu  lewat  telefon ataupun sms), yang  dimana barang  (daging sapi) itu ada wujudnya akan  tetapi tidak bisa dihadirkan pada saat akad  itu berlangsung. Hal itu dikarenakan  penyembelehan  sapi  dilakukan  pada  waktu  tengah  malam  sehingga  bisa  di   Akad artinya kesepakatan bersama yang mengikat.
 dapatkan  daging  yang  masih  segar  dan  baru.  Dengan  kata  lain,  terjadinya  jual  beli  daging  itu dilakukan oleh  pihak pedagang pengecer yang memesan daging  sapi pada  supplier  pada malam hari,  dengan  menyebutkan  jenis dan banyaknya  daging  yang  dibutuhkan,  yang  kemudian  dilanjutkan  oleh  pihak  supplier  yang  menyebutkan harga per Kg dari daging sapi tersebut. Sedangkan pembayarannya  diberikan pada  supplier,  sehari setelah daging itu laku / terjual.  Tidak terdapat  ketentuan  lebih  jika  daging  yang  dikirmkan  itu  terdapat  cacat,  akan  tetapi  jika  terjadi  hal  demikian,  maka  pedagang  pengecer  tidak  akan  segan  melakukan  perubahan harga dari jumlah uang yang harus disetorkan.
Ternyata  terdapat  kesenjangan  dalam  transaksi  jual  beli  daging  sapi  tersebut,  yakni  :  pada  saat  pembayaran,  sering  kali  pihak  pengecer  tidak  melakukan  pembayaran  secara  penuh  kepada  pihak  supplier,  dikarenakan  mereka  menganggap  daging  yang  mereka  terima  tidak  sempurna  menurut  perspektif mereka  sendiri. Peristiwa ini sebenarnya sangat mengecewakan pihak   supplier,    karena  hal  tersebut  dilakukan  tanpa  ada  kesepakatan  ulang  dengan  pihak  supplier.  Dan  di  sini  pihak  supplier  sendiri  juga  sudah  mengeluarkan  modal  untuk  biaya  produksi,  yang  di  antaranya  digunakan  untuk  membayar  buruh jagal sapi (orang yang  bertanggung jawab  menyembelih  sapi), buruh titik  balung  sapi  (orang  yang  bertanggung  jawab  memisahkan  daging  dari  tulang sapi)  dan  sebagainya.  Pada  kenyataannya,  jika  daging  dirasa  kurang  baik  oleh  pihak  supplier,  pastinya  pihak  supplier  akan  memberikan  harga  kurang  atau  potongan harga pada pihak pengecer sendiri.
 Menurut ulama‟  Hanafiyah,  hukum jual beli orang terpaksa seperti jual  beli  fudhul  (jual  beli  tanpa  seijin  pemiliknya)  yakni  ditangguhkan  (mauquf).
Oleh karena itu, keabsahannya ditangguhkan sampai rela (hilang rasa terpaksa).
Menurut ulama‟ Malikiyah tidak lazim, baginya ada  khiyar.
 Adapun menurut  fuqaha  Syafi‟iyah  dan  Hanabilah,  jual  beli  tersebut  tidak  sah  sebab  tidak  ada  keridhaan ketika akad.
 Mengenai penetapan harga,  Islam memberikan kebebasan kepada pasar.
Ia  menyerahkannya  kepada  hukum  pasar  untuk  memainkan  peranannya  secara  wajar,  sesuai  dengan  penawaran  dan  permintaan  yang  ada.  Rasulullah  SAW, bersabda : “Dari Anas r.a., ia berkata, pernah terjadi harga  naik di masa Rasulullah  saw.,  kemudian  orang-orang  berkata,  ya  Rasulullah,  alangkah  baiknya  kalau  sekiranya  engkau  menetapkan  harga?  Ia  menjawab:  Sesungguhnya  Allah-lah yang menentukan harga, yang mencabut, yang membentangkan,  dan  yang  memberi  rezeki.  Saya  sungguh  berharap  dapat  bertemu  Allah  dalam  keadaan  tidak  seorangpun  dari  kalian  yang  menuntut  kepadaku  karena kezhaliman dalam masalah darah dan harta”.
  Abdul  Karim  Zaidan,  Pengantar  Study  Syari’at,  Cet.  I,  Robbani  Press,  Jakarta:  2008,  hal.473. yang dimaksud  Khiyar  berarti pihak yang berakad memiliki hak untuk melangsungkan atau  membatalkan akad.
 Rahmat Syafe‟i, Fiqh Muamalah, CV Pustaka Setia, Bandung: 2001, hal.
 Penetapan  harga  (tas’ir)  artinya  menetapkan  harga  barang-barang  yang  hendak  dijualbelikan  tanpa  menzalimi pemilik, tanpa  memberatkan pembeli.  Lihat Sayyid Sabiq,  Tarjamah  Fikih Sunnah 5, Cakrawala Publishing, Jakarta: 2009, hlm.2  Yusuf  Qardhawi,  Op.Cit.,  hal.  357-359.  Baca  juga  dalam  A.  Qadri  Hassan,  dkk,  Terjemahan  Nailul  Authar  (Himpunan  Hadits-Hadits  Hukum),  PT  Bina  Ilmu,  Surabaya:  1983,  hal.
1762   Karena  itu,  bila  penetapan  harga  mengandung  unsur  kezhaliman  dan  pemaksaan  kepada  masyarakat,  sehingga  mereka  terpaksa  membeli  dengan  harga  yang  tidak  mereka  sukai  atau  menghalangi  mereka  dari  hal-hal  yang  diperbolehkan  oleh  Allah  maka  penetapan  harga  seperti  itu  hukumnya  haram.
Akan  tetapi,  bila  ia  mengandung  unsur  keadilan  diantara  sesama  manusia,  seperti memaksa mereka yang melakukan transaksi jual beli dengan harga yang  wajar, melarang mereka dari hal-hal yang diharamkan: semisal mengambil lebih  dari  alat  tukar  yang  wajar,  maka  penetapan  harga  seperti  itu  diperbolehkan,  bahkan menjadi wajib hukumnya.
Jumhur  fuqaha  mensyaratkan agar orang yang melakukan akad memiliki  kebebasan kehendak dalam menjual belikan barangnya. Apabila dia dipaksa agar  menjual  hartanya  tanpa  alasan  yang  hak  maka  jual  beli  tersebut  tidak  sah.
Adapun jika seseorang dipaksa untuk menjual hartanya dengan alasan  yang hak  maka jual beli ini sah. Misalnya, seseorang yang dipaksa agar menjual rumahnya  untuk  perluasan  jalan,  masjid,  atau  kuburan,  atau  dipaksa  agar  menjual  barangnya untuk membayar utangnya atau untuk menafkahi istrinya atau kedua  orang tuanya. Dalam kondisi ini dan sejenisnya, jual beli sah demi menempatkan  ridha dari syariat diatas ridhanya.
 Jual  beli  itu  dihalalkan  dan  dibenarkan  agama,  asal  memenuhi  syaratsyarat  yang diperlukan.  Memang dengan tegas  Al-Qur‟an menerangkan bahwa  “jual  beli  itu  halal,  sedangkan  riba  itu  haram”  { اوَبِرّلا َمَرَّحَو َعْيَبْلْاُ هلَلا َلَّحَأَو}.  Islam menghalalkan  jual  beli  karena  itu  sangat  dibutuhkan  oleh  masyarakat.  Namun   Sayyid Sabiq, Tarjamah  Fiqih Sunnah 4, PT Pena Pundi Aksara, Jakarta Pusat: 2009, hal.
57-58   demikian dalam pelaksanannya sangat diperlukan aturan-aturan yang kuat untuk  menjamin mu‟amalah yang baik.
Berdasarkan itulah  yang melatarbelakangi penulis melakukan penelitian  dengan  judul:  TINJAUAN  HUKUM  ISLAM  TERHADAP  PERUBAHAN  HARGA SEPIHAK (Study Kasus Dalam Jual Beli Daging Sapi Antara Supplier dan  Pedagang  Pengecer  di  Desa  Tanduk  Kecamatan  Ampel  Kabupaten  Boyolali).



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi