Jumat, 22 Agustus 2014

Skripsi Syariah: SODOMI SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Masalah.
Perilaku seksual merupakan bagian dari keseluruhan perilaku individu  yang bersumber dari insting atau naluri seksual.  Naluri seksual berakar pada  kebutuhan  dasar  bagi  pengembangan  keturunan  dalam  memperoleh  kelangsungan  hidup.  Perilaku  seksual  merupakan  perilaku  bawaan  artinya  telah  ada  dan  dibawa  sejak  lahir  dalam  bentuk-bentuk  yang  naluriah  dan  alamiah.  Dalam  proses  perkembangan  individu,  melalui  interaksi  dengan  lingkungan,  perilaku  seksual  akan  dimanifestasikan  dalam  berbagai  bentuk  baik  yang  bersifat  pengenalan  atau  penalaran,  perasaan,  dorongan,  maupun  gerakan fisik.

 Melalui  interaksi  dengan  lingkungan  perilaku  seksual  berkembang  menjadi  perangkat  perilaku  yang  dikendalikan  oleh  norma-norma.  Perilaku  seksual  dianggap  normal  dan  baik  apabila  serasi,  selaras,  dan  seimbang  dengan  tuntutan-tuntutan  kaidah  norma  dan  nilai  yang  berlaku  yaitu  norma  agama,  sosial,  budaya,  hukum,  dan  sebagainya.  Dan  sebaliknya  perilaku  seksual  dipandang  menyimpang  apabila  terdapat  ketidaksesuaian  dengan  tuntutan norma atau nilai yang ada.
 Perilaku seksual disini diartikan : Tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan  berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.
 Mohammad Surya, Bina Keluarga, Semarang : CV. Aneka Ilmu, 2003, hal. 180.
 Penyimpangan  itu  dapat  berupa  penyimpangan  terhadap  obyek  seksualnya  (misalnya  mencintai  orang  lain  jenis,  kepuasan  seksual  terhadap  binatang  atau  benda-benda  tertentu)  atau  penyimpangan  bentuk  perilakunya  seperti dengan sikap yang aneh, perilaku agresif, pasif, apatis, takut terhadap  lawan jenis, penyalahgunaan obat -obatan, dan sebagainya.
 Seks  merupakan  salah  satu  faktor  penting  dalam  kehidupan  manusia  dan makhluk hidup lainnya. Suatu ketika seks akan membawa manusia kepada  kebahagiaan dan kedamain, namun disaat yang lain ia juga mampu mendorong  manusia  kepada  titik  terendah  nafsu  kebinatangan,  lalu  ia  memenuhi  nafsu  seksnya  tanpa  batas,  tanpa  mengenal  norma,  dan  bahkan  tanpa  disertai  tanggung jawab.
 Hubungan  seks  manusia  merupakan  pencetusan  dari  cinta  antarindividu,  dimana  daya  tarik  dan  pancaindera  ikut  berperan.  Oleh  karena  itu  dalam  hubungan  seks  bukan  hanya  alat  kelamin  dan  daerah  erogen  (mudah  terangsang) yang ikut berperan tetapi juga psikologis dan emosi.
 Allah telah menjadikan dengan dua alat kelamin berbeda yaitu laki-laki  dan  perempuan.  Ia  juga  telah  menetapkan  bahwa  cara  yang  benar  dan  tepat dalam melakukan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan hanyalah  setelah terikat dalam perkawinan.
  Ibid, hlm. 181.
 Ahsin W dan Alhafidz, Fikih Kesehatan, Jakarta : Amzah, 2007, hlm. 234.
 Ida  Bagus  Gde  Manuaba,  Memahami  Kesehatan Reproduksi  Wanita,  Jakarta :  Arcan,  1999, hlm.13.
 Muhammad Thalib, Manajemen Keluarga Sakinah, Yogyakarta : Pro-u, 2007, hlm. 129.
 Islam telah menyerukan, menganjurkan, dan memudahkan pernikahan  dan telah menetapkan hukum untuk mengaturnya. Tidak ada yang meragukan  bahwa pernikahan adalah bentuk terbaik untuk menyalurkan naluri antara lakilaki dan perempuan. Allah telah menganjurkan untuk menikah.
 Dalam berapa  ayat Al-Qur‟an, diantaranya : Artinya:  ”  Dan  sesungguhnya  Kami  telah  mengutus  beberapa  Rasul  sebelum  kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.
Dan  tidak  ada  hak  bagi  seorang  Rasul  mendatangkan  sesuatu  ayat  (mukjizat)  melainkan  dengan  izin  Allah.  Bagi  tiap-tiap  masa  ada  Kitab (yang tertentu)”. (Q.S. Ar-Ra‟d : 38).
 Artinya :  ” Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan  menjadikan  bagimu  dari  istri-istri  kamu  itu,  anak  anak  dan  cucucucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah  mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?".
(Q.S. An-Nahl : 72).
 Sebagaimana dalam hadis shahih yang diriwayatkan dari Ibnu Mas‟ud  bahwa Raulullah Saw bersabda :  Thariq Kamal An-Nu‟aimi, Psikologi Suami-Istri, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005, hal.
13-14.
 Departemen  Agama  Republik  Indonesia,  Al-Qur’an  Dan  Terjemah,  Semarang  :  CV.
Asy-Syifa‟, 1992, hlm. 376.
 Ibid, hlm. 412.
 Artinya :  “Dari Ibnu Mas‟ud  dia  berkata  “Rasulullah  saw.  bersabda: “Wahai  para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu biaya nikah,  menikahlah! Sesungguhnya  ia  lebih  memejamkan pandangan  mata  dan  lebih  memelihara  faraj  (alat  kelamin)  barang  siapa  yang  tidak  mampu,  hedaklah  ia  berpuasa.  Sesungguhnya  ia  sebagai  perisai  baginya”. ( H.R. Al-Jama‟ah ).
Perkawinan  yang  dianjurkan  oleh  Islam  dimaksudkan  pertama-tama  sebagai cara yang sehat dan bertanggung jawab dalam mewujudkan cinta dan  kasih antara laki-laki dan perempuan.
 Ini secara jelas dinyatakan didalam AlQur‟an surat Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi : Artinya :  ” Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya  ialah  Dia  menciptakan  untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan  merasa  tenteram  kepadanya,  dan  dijadikan-Nya  di  antaramu  rasa  kasih  dan  sayang.  Sesungguhnya  pada  yang  demikian  itu  benarbenar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.  (Q.S. Ar-Rum  : 21).
 Tujuan  pernikahan  dalam  Islam  tidak  hanya  sekadar  pada  batas  pemenuhan  nafsu  biologis  atau  pelampiasan  nafsu  seksual,  tetapi  memiliki  tujuan-tujuan  penting  yang  berkaitan  dengan  sosial,  psikologi,  dan  agama.
 Muhammad Ismail Bin Ibrahim,  Sakheh Bukhari Jilid 6,  Beirut Lebanon: Dar al-Fikr,  1981, hlm. 17.
 Husein Muhammad,  Fiqih Perempuan Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender,  Yogyakarta : LKiS, 2001, hal.97.
 Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit, hlm. 644.
 Diantara  tujuan tersebut adalah untuk  memelihara  gen manusia.  Sebagaimana  hadis yang diriwayatkan Ma‟kil bin Yasar bahwa Rasulullah Saw bersabda : Artinya  :  ”Telah  bercerita  kepadaku  Ahmab  Ibnu  Ibrahim,  telah  bercerita  Yazid  bin  Harun,  telah  mengkhabarkan  kepada  kami  Mustalim Ibnu  Sa‟id  (putra  saudara  perempuan  Mansur  Ibnu  Zadhan)  dari  Mansur  –  yaitu  Ibnu  Zadhan  –  dari  Mu‟awiyah  Ibnu  Kurroh  dari  Ma‟kil  Ibnu  Yasar  dia  berkata  :  ”Seorang  lelaki  datang  kepada  Nabi  saw.,  lalu  berkata  :  ”Saya  memperoleh  wanita  yang  berketurunan  baik  dan  cantik  tetapi  tidak  dapat  melahirkan  anak,  maka apakah saya mengawininya? Nabi saw.menjawab : ”Jangan”.
Kemudian  dia  datang  lagi  pada  kali  kedua  dan  Nabi  saw.
Melarangnya. Kemudian dia datang lagi pada kali yang ketiga, lalu  berkatalah  Nabi  saw.:  ”Kawinilah  wanita  yang  penyayang,  yang  banyak anak (yang dapat melahirkan banyak anak) karena aku akan  melebihi Nabi-nabi  yang  lain dalam  banyak  bilangan ummatnya”.
(H.R. Abu Daud dan An-Nasa‟i).
Karena  rahasia  pernikahan  yang  tinggi  inilah  Islam  menganjurkan  menikah  dan  mendorong  para  pemuda  agar  menikah.
 Apabila  akad  nikah  telah berlangsung dan memenuhi syarat rukunnya, maka menimbulkan akibat  hukum.  Dengan  demikian,  akad  tersebut  menimbulkan  juga  hak  serta  kewajibannya selaku suami istri dalam keluarga.
 Sulaiman Ibnu Al-Asyt‟ats, Sunan Abu Dawud Juz 2, Beirut Libanon : Darul Kutub AlIlmiah, 1996, hlm. 86.
 Abdul Aziz Muhammad Azzam  dan  Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat  (Khitbah, Nikah, Dan Talak), Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2009, hal.39-42.
 Dengan  adanya  akad  nikah,  maka  antara  suami  dan  istri  mempunyai  hak dan tanggung jawab secara bersama, diantaranya sebagai berikut : 1.  Suami  dan  istri  dihalalkan  mengadakan  hubungan  seksual.  Perbuatan  ini  merupakan  kebutuhan  suami  istri  yang  dihalalkan  secara  timbal  balik.
Suami istri halal melakukan apa saja terhadap istrinya, demikian pula bagi  istri  terhadap  suaminya.  Mengadakan  kenikmatan  hubungan  me rupakan  hak bagi suami istri yang dilakukan secara bersama.
2.  Kedua  pihak  wajib  bertingkah  laku  dengan  baik  sehingga  dapat  melahirkan kemesraan dalam kedamaian hidup.
 Hal  ini  berdasarkan  firman  Allah  Swt  dalam  surat  Al-Nisa‟  ayat  19  yang  berbunyi : Artinya :  “. . . dan bergaullah dengan mereka (istri) secara patut. . . .”.  (Q.S.
Al-Nisa‟ : 19).
 Dalam  Kompilasi  Hukum  Islam  disebutkan  bahwa,  kewajiban  suami  istri, secara rinci, adalah sebagai berikut : 1)  Suami  istri  memikul  kewajiban  yang  luhur  untuk  menegakkan  rumah  tangga  yang  sakinan,  mawadah,  dan  rahmah  yang  menjadi  sendi  dasar  dari susunan masyarakat.
2)  Suami  istri  wajib  saling  mencintai,  menghormati,  setia,  dan  member i bantuan lahir batin.
 Tihami  dan  Sohari Sahrani,  Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap), Jakarta :  PT Rajagrafindo Persada, 2009, hal. 153-154.
 Departemen Agama Republik Indonesia, op. cit, hlm. 119.
 3)  Suami  istri  memikul  kewajiban  untuk  mengasuh  dan  memelihara  anakanak  mereka,  baik  mengenai  pertumbuhan  jasmani,  rohani,  maupun  kecerdasannya, serta pendidikan agamanya.
4)  Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
5)  Jika  suami  atau  istri  melalaikan  kewajibannya,  masing-masing  dapat  mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.
 Dalam  kehidupan  berumah  tangga,  seorang  suami  istri  harus  saling  hormat-  menghormati  dan  saling  mengasihi.  Saling  bantu-membantu,  saling  memberi  dan  menerima,  saling  pengertian  dan  tidak  boleh  egois  atau  mau  menang  sendiri.
 Namun  dalam  realitanya  hal  itu  tidaklah  mudah  untuk  dipraktekkan,  seperti  permasalahan  yang  terjadi  dalam  keluarga  Siti  Mu‟arofah binti Kalijo dan Eko Wahyudi bin Jumadi.
Bahwa sejak awal perkawinannya  rumah tangga antara Siti Mu‟arofah  dan  Eko  Wahyudi  tidak  harmonis.  Siti  Mu‟arofah  dan  Eko  Wahyudi  sering  terjadi perselisihan dan pertengkaran disebabkan oleh  masalah Eko Wahyudi  kalau  berhubungan  badan  selalu  minta  sodomi.
 Sedangkan  Siti  Mu‟arofah  selalu  menolak  tetapi  akhirnya  dipaksa  sehingga  mengakibatkan  perselisihan  yang  akhirnya  Eko  Wahyudi  tanpa  pamit  Siti  Mu‟arofah  pulang  ke  rumah  orang tua Eko Wahyudi.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi