BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Perilaku seksual merupakan bagian
dari keseluruhan perilaku individu yang
bersumber dari insting atau naluri seksual. Naluri seksual berakar pada kebutuhan
dasar bagi pengembangan
keturunan dalam memperoleh kelangsungan
hidup. Perilaku seksual
merupakan perilaku bawaan
artinya telah ada
dan dibawa sejak
lahir dalam bentuk-bentuk
yang naluriah dan alamiah. Dalam
proses perkembangan individu,
melalui interaksi dengan lingkungan,
perilaku seksual akan
dimanifestasikan dalam berbagai
bentuk baik yang
bersifat pengenalan atau
penalaran, perasaan, dorongan,
maupun gerakan fisik.
Melalui
interaksi dengan lingkungan
perilaku seksual berkembang menjadi
perangkat perilaku yang
dikendalikan oleh norma-norma.
Perilaku seksual dianggap
normal dan baik
apabila serasi, selaras,
dan seimbang dengan
tuntutan-tuntutan kaidah norma
dan nilai yang
berlaku yaitu norma agama, sosial,
budaya, hukum, dan
sebagainya. Dan sebaliknya
perilaku seksual dipandang
menyimpang apabila terdapat
ketidaksesuaian dengan tuntutan norma atau nilai yang ada.
Perilaku seksual disini diartikan : Tanggapan
atau reaksi individu terhadap rangsangan berkenaan dengan perkara persetubuhan antara
laki-laki dan perempuan.
Mohammad Surya, Bina Keluarga, Semarang : CV.
Aneka Ilmu, 2003, hal. 180.
Penyimpangan
itu dapat berupa
penyimpangan terhadap obyek seksualnya (misalnya
mencintai orang lain
jenis, kepuasan seksual
terhadap binatang atau
benda-benda tertentu) atau
penyimpangan bentuk perilakunya seperti dengan sikap yang aneh, perilaku
agresif, pasif, apatis, takut terhadap lawan
jenis, penyalahgunaan obat -obatan, dan sebagainya.
Seks
merupakan salah satu
faktor penting dalam
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Suatu ketika seks
akan membawa manusia kepada kebahagiaan
dan kedamain, namun disaat yang lain ia juga mampu mendorong manusia
kepada titik terendah
nafsu kebinatangan, lalu
ia memenuhi nafsu seksnya tanpa
batas, tanpa mengenal
norma, dan bahkan
tanpa disertai tanggung jawab.
Hubungan
seks manusia merupakan
pencetusan dari cinta
antarindividu, dimana daya
tarik dan pancaindera
ikut berperan. Oleh
karena itu dalam
hubungan seks bukan
hanya alat kelamin
dan daerah erogen
(mudah terangsang) yang ikut berperan
tetapi juga psikologis dan emosi.
Allah telah menjadikan dengan dua alat kelamin
berbeda yaitu laki-laki dan perempuan.
Ia juga telah
menetapkan bahwa cara
yang benar dan
tepat dalam melakukan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan
hanyalah setelah terikat dalam
perkawinan.
Ibid, hlm. 181.
Ahsin W dan Alhafidz, Fikih Kesehatan, Jakarta
: Amzah, 2007, hlm. 234.
Ida
Bagus Gde Manuaba,
Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita,
Jakarta : Arcan, 1999, hlm.13.
Muhammad Thalib, Manajemen Keluarga Sakinah,
Yogyakarta : Pro-u, 2007, hlm. 129.
Islam telah menyerukan, menganjurkan, dan
memudahkan pernikahan dan telah
menetapkan hukum untuk mengaturnya. Tidak ada yang meragukan bahwa pernikahan adalah bentuk terbaik untuk
menyalurkan naluri antara lakilaki dan perempuan. Allah telah menganjurkan
untuk menikah.
Dalam berapa ayat Al-Qur‟an, diantaranya : Artinya: ”
Dan sesungguhnya Kami
telah mengutus beberapa
Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka
istri-istri dan keturunan.
Dan tidak
ada hak bagi
seorang Rasul mendatangkan
sesuatu ayat (mukjizat)
melainkan dengan izin
Allah. Bagi tiap-tiap
masa ada Kitab (yang tertentu)”. (Q.S. Ar-Ra‟d : 38).
Artinya :
” Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dari istri-istri
kamu itu, anak
anak dan cucucucu, dan memberimu rezeki dari yang
baik-baik. Maka mengapakah mereka
beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?".
(Q.S. An-Nahl : 72).
Sebagaimana dalam hadis shahih yang
diriwayatkan dari Ibnu Mas‟ud bahwa
Raulullah Saw bersabda : Thariq Kamal
An-Nu‟aimi, Psikologi Suami-Istri, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005, hal.
13-14.
Departemen
Agama Republik Indonesia,
Al-Qur’an Dan Terjemah,
Semarang : CV.
Asy-Syifa‟, 1992, hlm. 376.
Ibid, hlm. 412.
Artinya :
“Dari Ibnu Mas‟ud dia berkata
“Rasulullah saw. bersabda: “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang
mampu biaya nikah, menikahlah!
Sesungguhnya ia lebih
memejamkan pandangan mata dan
lebih memelihara faraj
(alat kelamin) barang
siapa yang tidak mampu, hedaklah
ia berpuasa. Sesungguhnya
ia sebagai perisai baginya”. ( H.R. Al-Jama‟ah ).
Perkawinan yang
dianjurkan oleh Islam
dimaksudkan pertama-tama sebagai cara yang sehat dan bertanggung jawab
dalam mewujudkan cinta dan kasih antara
laki-laki dan perempuan.
Ini secara jelas dinyatakan didalam AlQur‟an
surat Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi : Artinya :
” Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya
di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu
benarbenar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (Q.S. Ar-Rum : 21).
Tujuan
pernikahan dalam Islam
tidak hanya sekadar
pada batas pemenuhan
nafsu biologis atau
pelampiasan nafsu seksual,
tetapi memiliki tujuan-tujuan
penting yang berkaitan
dengan sosial, psikologi,
dan agama.
Muhammad Ismail Bin Ibrahim, Sakheh Bukhari Jilid 6, Beirut Lebanon: Dar al-Fikr, 1981, hlm. 17.
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan Refleksi Kiai Atas Wacana
Agama dan Gender, Yogyakarta : LKiS,
2001, hal.97.
Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit,
hlm. 644.
Diantara
tujuan tersebut adalah untuk
memelihara gen manusia. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Ma‟kil bin Yasar bahwa
Rasulullah Saw bersabda : Artinya : ”Telah
bercerita kepadaku Ahmab
Ibnu Ibrahim, telah
bercerita Yazid bin
Harun, telah mengkhabarkan
kepada kami Mustalim Ibnu
Sa‟id (putra saudara
perempuan Mansur Ibnu
Zadhan) dari Mansur
– yaitu Ibnu
Zadhan – dari
Mu‟awiyah Ibnu Kurroh
dari Ma‟kil Ibnu
Yasar dia berkata
: ”Seorang lelaki
datang kepada Nabi
saw., lalu berkata
: ”Saya memperoleh
wanita yang berketurunan
baik dan cantik
tetapi tidak dapat
melahirkan anak, maka apakah saya mengawininya? Nabi
saw.menjawab : ”Jangan”.
Kemudian dia
datang lagi pada
kali kedua dan
Nabi saw.
Melarangnya. Kemudian dia datang
lagi pada kali yang ketiga, lalu berkatalah Nabi
saw.: ”Kawinilah wanita
yang penyayang, yang banyak
anak (yang dapat melahirkan banyak anak) karena aku akan melebihi Nabi-nabi yang
lain dalam banyak bilangan ummatnya”.
(H.R. Abu Daud dan An-Nasa‟i).
Karena rahasia
pernikahan yang tinggi
inilah Islam menganjurkan menikah
dan mendorong para
pemuda agar menikah.
Apabila
akad nikah telah berlangsung dan memenuhi syarat
rukunnya, maka menimbulkan akibat hukum. Dengan
demikian, akad tersebut
menimbulkan juga hak
serta kewajibannya selaku suami
istri dalam keluarga.
Sulaiman Ibnu Al-Asyt‟ats, Sunan Abu Dawud Juz
2, Beirut Libanon : Darul Kutub AlIlmiah, 1996, hlm. 86.
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan
Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat (Khitbah, Nikah, Dan Talak), Jakarta : Sinar
Grafika Offset, 2009, hal.39-42.
Dengan
adanya akad nikah,
maka antara suami
dan istri mempunyai hak dan tanggung jawab secara bersama,
diantaranya sebagai berikut : 1.
Suami dan istri
dihalalkan mengadakan hubungan
seksual. Perbuatan ini merupakan kebutuhan
suami istri yang
dihalalkan secara timbal
balik.
Suami istri halal melakukan apa
saja terhadap istrinya, demikian pula bagi istri
terhadap suaminya. Mengadakan
kenikmatan hubungan me rupakan hak bagi suami istri yang dilakukan secara
bersama.
2. Kedua
pihak wajib bertingkah
laku dengan baik
sehingga dapat melahirkan kemesraan dalam kedamaian hidup.
Hal
ini berdasarkan firman
Allah Swt dalam
surat Al-Nisa‟ ayat
19 yang berbunyi : Artinya : “. . . dan bergaullah dengan mereka (istri)
secara patut. . . .”. (Q.S.
Al-Nisa‟ : 19).
Dalam
Kompilasi Hukum Islam
disebutkan bahwa, kewajiban
suami istri, secara rinci, adalah
sebagai berikut : 1) Suami istri
memikul kewajiban yang
luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang
sakinan, mawadah, dan
rahmah yang menjadi
sendi dasar dari susunan masyarakat.
2) Suami
istri wajib saling
mencintai, menghormati, setia,
dan member i bantuan lahir batin.
Tihami
dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap),
Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2009,
hal. 153-154.
Departemen Agama Republik Indonesia, op. cit,
hlm. 119.
3)
Suami istri memikul
kewajiban untuk mengasuh
dan memelihara anakanak
mereka, baik mengenai
pertumbuhan jasmani, rohani,
maupun kecerdasannya, serta
pendidikan agamanya.
4) Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
5) Jika
suami atau istri
melalaikan kewajibannya, masing-masing
dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Agama.
Dalam
kehidupan berumah tangga,
seorang suami istri
harus saling hormat-
menghormati dan saling
mengasihi. Saling bantu-membantu, saling memberi
dan menerima, saling
pengertian dan tidak
boleh egois atau
mau menang sendiri.
Namun
dalam realitanya hal
itu tidaklah mudah
untuk dipraktekkan, seperti
permasalahan yang terjadi
dalam keluarga Siti Mu‟arofah
binti Kalijo dan Eko Wahyudi bin Jumadi.
Bahwa sejak awal
perkawinannya rumah tangga antara Siti
Mu‟arofah dan Eko
Wahyudi tidak harmonis.
Siti Mu‟arofah dan
Eko Wahyudi sering terjadi perselisihan dan pertengkaran
disebabkan oleh masalah Eko Wahyudi kalau
berhubungan badan selalu
minta sodomi.
Sedangkan
Siti Mu‟arofah selalu
menolak tetapi akhirnya
dipaksa sehingga mengakibatkan
perselisihan yang akhirnya
Eko Wahyudi tanpa
pamit Siti Mu‟arofah
pulang ke rumah orang
tua Eko Wahyudi.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi