BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Semua orang,
mengharapkan kehidupan dunia
dan akhirat yang bahagia.
Di dunia, mereka mendambakan hidup yang layak dan berkecukupan. Kebutuhan
primer seperti pangan, pakaian dan tempat tinggal dapat terpenuhi. Namun, dalam
kenyataannya, karena berbagai
hal, banyak dari
kita belum mampu
merealisasikan hal di
atas. Hal ini
bisa terjadi karena
lapangan pekerjaan yang
tersedia, lebih sedikit
dari pada stok
tenaga kerja aktif, kurangnya
skill (ketrampilan) dan bisa juga
system yang kurang mendukung masyarakat kebanyakan.
Kebahagiaan akhirat jauh
lebih mahal dan
sulit.
Kegagalan mendapatkannya membuat
kita sengsara selamanya.
Ia tidak bisa diraih dengan
harta dan tahta.
Ia hanya bisa
diraih dengan menggapai
ridha Allah SWT; dengan bertakwa kepada-Nya.
Dalam Islam, ada solusi untuk
mendapatkan kemenangan di dunia dan kebahagiaan di
akhirat. Salah satu
solusi tersebut adalah
zakat. Karenanya, kesadaran
berzakat hendaklah ditanamkan
kepada setiap pribadi
muslim, sehingga pada
suatu saat, ketika
seorang muslim hidup
berkecukupan dan telah
mencapai nishab, jiwanya
tergerak dan terpanggil
untuk menunaikan ibadah
zakat.
Zakat
dipercaya mampu menjadi
instumen untuk meraih . Abdul Rosyad Shiddiq, Syaikh Hasan Ayyub ;
Fiqh Ibadah, terj, Fiqh Ibadah, Sebuah Pengantar, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2004,
hal. Vii.
.
M. Ali Hasan,
Zakat dan Infak;
Salah Satu Solusi
Mengatasi Problem Sosial
di Indonesia, Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, Cet. Ke-2, 2006, hal. 3 – 4.
keberhasilan
dunia dan kebahagiaan
di akhirat.
Karena
zakat memiliki hikmah
yang dapat dikategorikan
dalam dua dimensi;
dimensi vertikal dan dimensi horizontal.
Satu
sisi, zakat menjadi
perwujudan ibadah seseorang kepada
Allah SWT, sisi
lain, juga sebagai
bentuk perwujudan dari
rasa kepedulian sosial.
Bisa dikata, seseorang
yang menunaikan ibadah
zakat, dapat mempererat
hubungannya kepada Allah
(hablun min Allah)
dan hubungan dengan
sesama manusia (hamblun
min annas). Dengan
demikian, inti zakat adalah
pengabdian kepada Allah SWT dan juga pengabdian sosial.
Sebenarnya,
zakat, dengan berbagai
nama dan variannya,
telah berkembang jauh
sebelum Islam ada.
Terutama, di kalangan
suku yang beragama.
Dalam Syari‟atnya Nabi Musa misalnya, meski
belum lengkap dan hanya dikenakan
pada kekayaan yang
berupa hewan ternak,
zakat sudah dikenal
dan diwajibkan. Hewan
peliharaan seperti unta,
kambing dan sapi wajib
dizakati sebesar 10 % dari nishab yang telah ditentukan, Bangsa
Arab Pra Islam (Jahiliyah)
menamakan zakat dengan
system shadaqah khusus.
Sebagaimana
yang termaktub dalam
al-Quran, Surat AlAn‟am ayat 136: . Abdul Rosyad Shiddiq, Opcit., . Asnaini, Zakat Produktif; dalam Perspektif
Hukum Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008, hal. 1.
. Ibid.
. Ahmad
Azhar Basyir, Hukum Zakat, Yogyakarta,
Majlis Pustaka PP Muhammadiyah, Cet.
Ke-1, 1997, hal.
. Ibid.
. Ibid, hal. 3 “Dan mereka
memperuntukkan bagi Allah
satu bagian dari
tanaman dan ternak
yang telah diciptakan
Allah, lalu mereka
berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan
ini untuk berhala-berhala kami." Maka saji-sajian
yang diperuntukkan bagi
berhala-berhala mereka tidak sampai kepada
Allah; dan saji-sajian
yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian
itu sampai kepada berhala-berhala mereka
. Amat buruklah ketetapan mereka
itu.” Shadaqah yang
melatarbelakangi kemusyrikan di
kalangan Bangsa Arab Jahiliyah tersebut, setelah Islam datang,
diubah menjadi shadaqah yang kemudian berubah
lagi menjadi zakat.
Seperti yang kita
ketahui, zakat kemudian diangkat derajatnya oleh Allah SWT
menjadi salah satu dari Rukun Islam.
Zakat adalah Rukun Islam yang
bercorak kemasyarakatan. Yang tujuan akhirnya adalah
keadilan dan atau
kesejahteraan Sosial. Dalam
al-Qur‟an, banyak ayat
yang menyebutkan perihal
zakat dengan ungkapan
yang beranekaragam, yang tak
jarang, disertai juga dengan ancaman bagi kita yang mengabaikan
kewajiban membayar zakat.
Penggalan Surat al-Baqarah
Ayat . Menurut
yang diriwayatkan bahwa
hasil tanaman dan
binatang ternak yang
mereka peruntukkan bagi
Allah, mereka pergunakan
untuk memberi makanan
orang-orang fakir, orangorang
miskin, dan berbagai
amal sosial, dan
yang diperuntukkan bagi
berhala-berhala diberikan kepada
penjaga berhala itu.
Apa yang disediakan
untuk berhala-berhala tidak
dapat diberikan kepada fakir miskin, dan amal sosial sedang
sebagian yang disediakan untuk Allah (fakir miskin dan
amal sosial) dapat
diberikan kepada berhala-berhala itu.
Kebiasaan yang seperti
ini amat dikutuk Allah.
.
Departemen Agama Republik
Indonesia, Al-Qur’an dan
Terjemahannya, Jakarta, Departemen Agama RI, 2002. hal.147 110
misalnya, menyertakan kewajiban
zakat sesudah kewajiban
mendirikan Shalat: “Dan dirikanlah Shalat serta tunaikanlah
Zakat… Surat al-Mu‟minun Ayat 1 – 4
mengajarkan: “Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman,
(yaitu) orangorang yang khusyuk
dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari
(perbuatan dan perkataan)
yang tiada berguna,
dan orang-orang yang menunaikan
zakat,” Surat Maryam Ayat 31
menceritakan tentang jawaban Nabi Isa kepada orang – orang Yahudi: “Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati
di mana saja aku berada, dan Dia
memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup” Demikian
juga, Surat Maryam
Ayat 55 yang
memuji Nabi Ismail, Surat al-Anbiya‟ Ayat 73 menceritakan perihal
anak keturunan Nabi Ishaq dan Nabi Ya‟qub
AS, Surat al-Hajj
Ayat 41 yang
memperingatkan pengusiran orang
kafir terhadap mukmin
dari kampung halaman
mereka, padahal jika .
Ibid., hal.
. Ibid., hal. 3 . Ibid., hal. 308 mereka diberi kekuasaan, akan menegakkan
shalat, menunaikan zakat dan lain sebagainya.
Surat al-Maidah Ayat 12 dan masih banyak ayat –
ayat lain yang menerangkan tentang
segala sesuatu yang
berkenaan dengan zakat.
Dengan demikian, bisa diambil kesimpulan, bahwa dalam Islam, zakat
sangat penting dan mempunyai strata
kelas yang cukup tinggi. Ia masuk dalam Rukun Islam yang selalu disebutkan sejajar dengan shalat.
Bahkan, dalam beberapa riwayat disebutkan
bahwa mukmin yang mengingkari menunaikan zakat, “dicap” kafir dan
yang menentangnya halal
darahnya (dibunuh) hingga
dia menunaikan kewajiban zakat.
Salah
satu dari lima
pondasi yang sangat
menentukan kokoh dan tegaknya Agama
Islam, zakat belum
dilaksanakan dengan baik
dan benar, sebagaimana
Rukun Islam yang
lain, terutama di
Negara kita tercinta
ini.
Padahal, dalam
zakat terkandung banyak
nilai sosial yang
luar biasa, selain juga mampu mensucikan harta kita, zakat mampu
membawa kita untuk saling menolong,
gotong royong dan
menjalin persaudaraan dengan
sesama. Zakat mampu
menjadi instrumen paling
efektif untuk menyatukan
umat manusia dalam naungan kecintaan dan kedamaian hidupnya
di dunia untuk menggapai kabaikan di
akhirat.
Setiap
muslim mempunyai kaitan,
ikatan dan hubungan
serta kekerabatan dengan
saudara–saudaranya. Semua itu
menuntut adanya kejujuran, keikhlasan dan pengorbanan. Dengan
menunaikan zakat, kita baik langsung maupun
tidak, telah membangun
tatanan sosial yang
baik, . Fiqh al-Sunnah Li
al-Syaikh Sayyid Sabiq, Jilid I, hal. 2 . Hikmat
Kurnia, Panduan Pintar
Zakat; Harta Berkah,
Pahala Bertambah, Jakarta, QultumMedia, 2008, hal.viii memberikan
hak – hak
saudara kita yang
selama ini tertahan,
menegakkan Agama Islam dan
menolong saudara kita yang lemah dan membutuhkan.
Secara garis besar, zakat dibagi
atas dua macam; zakat mal atau zakat harta
dan zakat fitrah atau zakat diri. Zakat harta ditunaikan setelah harta yang dimiliki
memenuhi syarat yang
ditentukan (nishab). Sedang
zakat fitrah ditunaikan saat bulan ramadhan, terutama saat
akhir bulan.
Nishab bisa dikata sebagai sebuah standar yang
ditetapkan dan dipakai oleh Islam (hukum
syara’) untuk menentukan batas minimal dari sebuah harta yang
wajib dizakati. Jika
harta tersebut kurang
dari nishab yang
ditentukan, maka tidak
diwajibkan untuk dizakati.
Dalam
Islam, Nishab suatu
harta bermacam –
macam, satu harta dengan harta lain, kali sering berbeda jumlah dan aturan nishab-nya.
Selain telah sampai nishab, Islam juga menentukan macam –
macam harta yang
wajib dizakati. Zakat
Harta – harta
tersebut dimasukkan dalam katagori
zakat mal. Salah satu jenis zakat mal tersebut adalah zakat tumbuh – tumbuhan. Zakat tumbuh –
tumbuhan dibagi menjadi dua; buah
– buahan dan biji
– bijian (bahan makanan). Dalam
hal ini, semua bahan makanan pokok, menginduk
(di-qiyas -kan dengan) gandum. Karena
gandum adalah salah satu . Hasbi
ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, Semarang, Pustaka Rizki Putra, Cet. Ke -2, Edisi Ke-3, 2010, hal. 33.
. Qiyas adalah menganalogikan suatu ketentuan
hukum dari suatu kasus yang belum ada ketentuan hukumnya
kepada suatu hukum
yang ditegaskan dalam
nash karena ada
persamaan „illat. Lebih
jelas lihat Ahmad
Rofiq, Fiqh Kontekstual;
dari Normatif ke
Pemaknaan Sosial , Yogyakarta, kerja sama Pustaka Pelajar dan LSM
DAMAR Semarang, 2004, hal. 265. Lihat juga Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in, Juz 1, Beirut, Dar al-Fikr, Hal. 86. Lihat juga Abdul
al-Wahab Khallaf, I’lm
Ushul al-Fiqh, Jakarta,
Maktabah Dar al-Da‟wah
al-Islamiyah Syabab al-Azhar,
1990, hal. 52.
bahan makanan pokok Bangsa Arab; bangsa di
mana Islam lahir dan tumbuh berkembang
hingga ke seluruh pelosok dunia.
Masyarakat Indonesia tidak
menjadikan gandum sebagai bahan makan pokok, karena
gandum jarang ditanam
di negeri “zamrud
khatulistiwa” ini.
Negara dengan berpenduduk muslim
terbesar di dunia ini lebih memilih padi (beras),
jagung, ketela dan
sagu sebagai makanan
pokok, karena tanaman
– tanaman di atas,
mudah ditanam di
Indonesia dan telah
menjadi bahan makanan pokok sejak dahulu kala.
Karenannya, zakat
tanaman jagung, padi,
sagu dan ketela
(terutama tanaman padi)
disamakan dengan gandum;
jika penanamannya memakai sistim
pengairan atau irigasi,
dimana petani dikenakan
biaya tambahan penggunaan air, zakatnya 5 %. Sedang yang tidak diairi (tadah hujan); tidak dikenai biaya penggunaan air, zakatnya sebesar
10%. Sementara untuk nishab, tanaman
jagung, padi, sagu dan ketela dizakati jika lebih dari lima (5) sha’.
. Satuan Sha’ Nabawi adalah timbangan resmi yang dipakai
Nabi saw. Menurut Imam Syafi‟i dan Ulama
Hijaz, satu sha’ sama dengan 4
mud (= 51/3 liter) atau hafanah
besar (=2,75 liter atau 2.176 gram).
Dengan keyakinan bahwa satu mud = 1 1/3
liter (Iraqi), satu hafanah adalah satu
tadah dengan dua tangan. Menurut Abu Hanifah dan Ulama Ira k, = 8 liter dengan
anggapan bahwa satu mud = 2 liter,
berarti setara dengan 3.800 gram. Sumber lain mengatakan bahwa 1 sha’ = 2.751
gram. Sedang menurut Imam Nawawi = 658 Dirham, untuk 1 liter = 128 dan 4 ½
dirham.
Menurut Husein Sahata, pasar
menganggap bahwa 60 Sha’ =50 Kailah
Mesir = 4 Aradib = 1.440 liter =
653 kg. lebih
jelas lihat Arif
Mufraini, Akuntanasi dan
Menajemen Zakat; Mengkomunikasikan Kesadaran dan Membangun
Jaringan, Jakarta, Prenada Media Agroup, 2006, Hal.
81. Hal ini
sedikit berbeda dari
yang dinyatakan oleh
Asnaini dalam bukunya:
Zakat Produktif; dalam
Perspektif Hukum Islam,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar
bekerja sama dengan STAIN Bengkulu, 2008, hal. 38 – 41.
Di situ, Asnaini menampilkan tabel yang
bersumber Dari Departemen Agama RI
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan, Pengelolaan Zakat, Jakarta, 1999, yang menyatakan
bahwa nishab tanaman padi adalah 1.350 Kg saat masih berbentuk gabah, dan 750 Kg ketika sudah
menjadi beras. Namun, Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari‟ah (KHES) menyatakan bahwa nishab
zakat tanaman padi adalah 1.481 kg gabah atau 815 kg beras. Lebih jelas lihat: Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES),
Jakarta, PPHIMM, Edisi Revisi; XXII,
2009, hal 209.
Dan diantara tanaman makanan pokok yang ada,
tanaman padi lebih diminati oleh
masyarakat Indonesia ketimbang lainnya.
Untuk itulah, sebagai makanan
pokok, maka jagung, ketela, sagu dan (terutama)
padi wajib dizakati. Namun, yang menjadi kendala adalah bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia
bukanlah sebuah Negara
Islam.
Karenannya, dalam
undang – undang
yang berlaku, zakat
bukanlah suatu kewajiban. Meski demikian, jika petani yang
menanam bahan makanan pokok tersebut adalah
seorang muslim, maka
dia wajib menunaikan
zakat tanaman makanan pokok (tanaman yang mengenyangkan),
sesuai yang ditentukan oleh hukum syara’
tentunya.
Dengan alasan
apapun, di mana
pun dia tinggal,
zakat tanaman makanan
pokok yang telah
mencapai nishab adalah
wajib. Hal ini
harus dimengerti dan disadari
oleh setiap muslim. Pertanyaannya adalah, selama ini, apakah
setiap muslim (khususnya
petani) tahu dan
melaksanakan kewajiban zakat
tersebut? Jikalau mereka
menunaikan zakat tanaman
padi, apakah volume atau jumlah zakat yang mereka tunaikan
sesuai dengan ketentuan? Berdasarkan
hal di atas
itulah, penulis tertarik
dan bermaksud untuk meneliti penunaian
sebuah Sub Zakat
Mal / Harta
pada sebuah komunitas (desa) yang 100 % warganya beragama Islam.
Selama ini, apakah penunaian zakat yang
dilakukan oleh komunitas tersebut telah sesuai dengan nishab
dan aturan –
aturan lain yang
telah ditetapkan oleh
Syara’ atau belum.
Untuk menspesifikasikan permasalahan
dan tempat penelitian,
penulis mengambil sub
zakat tentang penunaian
zakat tanaman padi
di Desa Kedungwungu Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan Provinsi
Jawa Tengah.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi