BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia pada
umumnya dilahirkan seorang
diri, namun demikian
hidupnya harus bermasyarakat, dalam hal ini Allah SWT telah menjadikan
manusia yang saling berhajat kepada orang lain, agar mereka tolong menolong,
tukar menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing,
baik dengan jual beli, sewa menyewa,
bercocok tanam, dalam
urusan diri sendiri
maupun untuk kemaslahatan umum. Keterangan
di atas menjadi
indikator bahwa manusia
untuk memenuhi kebutuhannya
memerlukan orang lain sebagai wakilnya . Salah satu kebutuhan yang memerlukan
interaksi dengan orang lain adalah akad Wakalah. Peristiwa ini terjadi dalam kehidupan
sehari-hari yang menimbulkan
akibat hukum yaitu
akibat sesuatu tindakan hukum.
Dalam urusan bermuamalah dilarang
apabilah terdapat unsur yang mengandung penindasan, pemerasan atau
penganiyaan terhadap orang
lain, semisal jual beli tersebut mengandung
unsur penipuan dan merugikan
orang lain karena
pada dasaranya, dalam permasalahan muamalah banyak terjadi spekulasi
transaksi dimana hal tersebut bertujuan
mengambil manfaat dari
transaksi dengan cara
yang tidak dibenarkan didalam
Islam.
Abdul
Rahman Rhazaly, Fiqh Muamalah, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group,T.th), 188.
Pengertian Muamalah
menurut Idris Muhammad adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya
dengan cara yang baik.
Dalam kehidupan
masarakat manusia tidak
dapat hidup sendiri
pastilah membutuhkan bantuan orang
lain oleh karena
itu didalam Islam
jual beli yang dilakukan dengan
perantara orang lain
diatur oleh Islam
melalui metode wakalah yaitu
menyerahkan pekerjaan yang
dikerjakan kepada orang
lain agar ia
kerjakan, tolong
menolong atara sesama manusia tersebut
tidak jarang terdapat
perselisihan.
Kita sering sekali berselisih
dengan orang lain dalam berbagai masalah. Perselisihan tersebut bisa
bersifat kecil dan
bahkan bisa membesar.
Namun Islam telah mengajarkan kita
untuk mengadakan sebuah
perjanjian atau penyelesaian
masalah tersebut dengan mengadakan perdamaian. Sulhu atau perdamaian
sangatlah penting agar manusia dapat
berdampingan secara
harmonis, Adapun wakalah dalam pelaksanaannya terdapat landasan hukum,
syarat maupun rukun
dalam pelaksanaannya agar sempurna.
Dari dahulu
hingga sekarang, masyarakat
membutuhkan akad wakalah
untuk menyelesaikan segala persoalan
hidup mereka. Hal
ini terjadi karena
unsur keterbatasan yang senantiasa
melingkupi kehidupan manusia.
Untuk itu, syariah memberikan legalitas atas keabsahan
akad tersebut.
Rachmat
Syafei, Fiqih Muamalah,(Bandung : CV Pustaka Setia, 2001), 15.
Sulaiman
Rasjid, fiqih islam, (Bandung : Sinar baru Algresindo, 1994), 320.
Hal ini
bisa dilihat dari firman Allah dalam surat ( Al-Maidah : 23 ) Artinya: “Berkatalah
dua orang diantara orang-orang
yang takut (kepada
Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: "Serbulah
mereka dengan melalui pintu gerbang
(kota) itu, maka
bila kamu memasukinya
niscaya kamu akan menang. dan hanya kepada Allah hendaknya kamu
bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman".
Artinya: “Dan memberinya
rezki dari arah
yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah
niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya
Allah melaksanakan urusan yang
(dikehendaki)Nya.
Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”.
(
Q.S.Al-Thalaq : 3 ) Umat Islam
melakukan jenis muamalah
dalam bentuk wakalah
tidaklah sekedar suatu kebiasaan. Melainkan merupakan perbuatan yang dilandaskan kepada dasar yang kuat,
antara lain: Artinya: Dan demikianlah kami bangunkan mereka agar mereka saling
bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka:
sudah berapa lamakah kamu berada
(disini?)". mereka menjawab: "Kita berada Departemen
Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, (Bandung : CV Penerbit Diponegoro, 2009),
111.
Ibid,
558.
(disini)
sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui
berapa lamanya kamu
berada (di sini).
Maka suruhlah salah seorang di
antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini,
dan hendaklah dia
lihat manakah makanan
yang lebih baik, Maka
hendaklah ia membawa
makanan itu untukmu,
dan hendaklah ia berlaku
lemah-lembut dan janganlah
sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.
(
Q.S.Al-Kahfi : 19 ) Dalam banyak riwayat
yang tepercaya, diceritakan
bahwa Rasulullah mewakilkan
pembayaran utang, mewakilkan
penetapan budud dan
pembayarannya, mewakilkan pemeliharaan unta, kandang dan kulitnya, serta
mewakilkan hal-hal lain.
Umat Islam telah
bersepakat tentang diperbolehkannya wakalah,
bahkan mereka menganjurkannya
karena itu termasuk bagian dari ta’awun ( tolong menolong ) atas dasar kebaikan
dan taqwa, sebagaimana terdapat dalam Al – Qur’an dan disunnahkan oleh
Rasulullah berdasarkan firman Allah surat ( Al-Maidah : 2 ) Artinya: Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran.
dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah
Amat berat siksaNya.
Menurut Ibnu Hanifah
seorang wakil boleh
menjual sebagaimana yang
dia kehendaki, kontan ataupun
angsuran dengan ataupun
tampa harga seimbang
dan dengan barang yang tidak mungkin ada ghubunnya ( tidak dapat
dicurangi ), baik itu dengan uang setempat atau uang selainnya itu secara
mutlaknya.
Ibid,
295.
Ibid,
106.
Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 4, (Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2006), 235-236.
Jika seorang
wakil terikat maka
si wakil berkewajiban
mengikuti apa saja yang telah
ditentukan oleh orang yang mewakilkan, ia tidak boleh menyalahi, kecuali kepada
yang lebih baik buat orang yang mewakilkan, jika ia ditentukan dengan harga tertentu, kemudian
ia menjual dengan
harga yang lebih
tinggi makah penjualan tersebut sah karena memberikan
kebaikan bagi orang yang mewakilkan.
Pada dewasa
ini kegiatan jual
beli sering kali
dilakukan akan tetapi
proses tersebut jarang sekali kita perhatikan karena kita sudah
terlanjur percaya pada orang yang
kita suruh tersebut,
seperti dalam jual
beli ikan yang
terjadi di Desa
Dinoyo antara pemilik ikan
dengan tengkulak ikan,
bahwa dalam sistem
wakalah tersebut sudah lama
terjadi dan sudah
menjadi kebiasaan pemilik
tambak tidak melakukan penjualan langsung
ke pasar karena
mereka sebagai manusia
biasa tidak mungkin bisa menyelesaikan urusan mereka
sendiri tampa membutuhkan bantuan orang lain, maka dari itu pemilik tambak
mempercayakan hasil tambak mereka kepada tengkulak ketika ada
seorang pemilik lahan
sawah memanen ikan
yang ada di
lahan yang mereka miliki langsung
didatangi oleh seorang tengkulak atau dihubungi oleh pemilik tambak tersebut
dan tengkulak langsung membawa hasil panen ikan tersebut tampa melalui proses
yang jelas seperti menimbang berapa banyak hasil panen yang mereka dapat dan
harga umum ikan
yang terdapat dipasaran
setelah ikan yang
laku dijual oleh tengkulak
tersebut pemilik ikan hanya mendapatkan nota dari tengkulak dengan Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 13, (Bandung : Al ma’arif, 1998), 64.
tambahan biaya
operasional yang dikeluarkan
oleh tengkulak tersebut
dan pemilik ikan tidak mengetahui
hasil penjualan asli yang didapat dari penjualan di pasar ikan.
Pada awalnya jual beli yang
terjadi di Desa Dinoyo biasa saja masih terdapat tawar menawar antara pemilik
barang dengan tengkulak tersebut akan tetapi karena tengkulak cenderung
merugi dengan metode
jual beli tersebut
tengkulak tidak lagi membeli hasil tambak dari petambak
tersebut melainkan para tengkulak menjualkan hasil tambak
ke pasar kemudian
memberikan hasil penjualan
tengkulak tersebut ke pemilik
tambak dan pihak
pemilik tambak memberikan
upah atas bantuan menjualkan ikan
tersebut ke pasar,
akan tetapi dikarenakan
tengkulak merasa upah yang didapat
tidak sepadan dengan
usaha yang mereka
keluarkan maka tengkulak membuat sistem baru yang kurang
terbuka dengan pemilik ikan.
Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi