BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pernikahan yang
merupakan akad antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan, mempunyai tujuan untuk
mengikatkan dan menyalurkan nafsunya, sehingga
akan menyebabkan halalnya
hubungan suami isteri
yang sebelumnya diharamkan. Disamping itu pernikahan juga
harus bisa membuat ketentraman kebahagiaan
hidup dalam suasana
yang damai serta keharmonisan dalam
keluarga. Jika dengan
adanya pernikahan itu menyebabkan
timbulnya akibat-akibat yang tidak baik, misalnya pertengkaran, perselisihan maka
hal inilah yng
tidak dikehendaki dalam
pernikahan dan sangat bertentangan dengan syari’at Islam yang
bertujuan suci dan mulia.
Pernikahan juga
merupakan wujud realisasi
janji Allah menjadikan kaum
perempuan sebagai istri
dari jenis (tubuh)
laki-laki, agar nyatalah kecocokan
dan sempurnalah kemanusiaan.
Dia juga menjadikan
rasa mawaddah dan
ar-rahmah antara keduanya supanya
saling membantu dalam melengkapi
kehidupan.
Ayat tersebut juga dipertegas oleh sabda Rasulullah
Saw.:
Wahbah Az-Zuhaily, Tafsr Al- Munir, juz 21, Beirut-Libanon : Dar
al-Fakir Al-Mu’asir, Cet. Ke-1, 1991,
hlm. 69.
Artinya :
“Rasulullah telah bersabda
kepada kita :
“ Hai para
pemuda, barangsiapa diantaramu
mampu untuk kawin
maka kawinlah, karena
sesungguhnya perkawinan itu
akan menjauhkan mata (terhadap
zina) dan dapat terpelihara dari nafsu kelamin yang jelek, dan barang siapa yang tidak mampu kawin maka
hendaklah puasa untuk mengurangi hawa
nafsu terhadap wanita.” (H.R. Bukhori).
Dari hadits tersebut di atas
dapat diketahui juga bahwa perkawinan itu mempunyai
tujuan yang suci
dan tinggi. Oleh
karena itu, bagi
orang yang akan
menikah harus mempunyai
kesanggupan dalam arti
yang sebenarbenarnya, bukan hanya
semata-mata untuk memuaskan nafsu saja. Sebab salah satu
faktor yang banyak
menjerumuskan manusia kedalam
kejahatan adalah pengaruh
nafsu seksual yang
tidak terkendalikan, dan
untuk menyalurkan nafsu
tersebut hendaknya dengan
melalui jalan yang
paling baik dan
tepat menurut ajaran
Islam atau pandangan
Allah SWT, yaitu
melalui jalan perkawinan.
Dengan demikian, apabila
ada orang yang
tidak mampu untuk menikah,
hendaknya mereka itu berpuasa agar nafsunya dapat terkendali.
Berdasarkan al-Qur’an dan
al-Hadits tersebut diatas, maka pernikahan adalah salah satu asas pokok hidup, yang
penting dalam bermasyarakat karena pernikahan itu
adalah jalan untuk
mengatur kehidupan rumah
tangga, keturunan.
Imam Abi Husein Muslim Minal Hajaj, Shahih Muslim, Juz I, Bandung: al-Ma’arif,
t.t., hlm. 583.
Pengertian
perkawinan, menurut Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974 pasal 1 : “ Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Pengertian
perkawinan tersebut dipertegas
dalam pasal 2
Kompilasi Hukum Islam (KHI) : “
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan
ibadah ”.
Ada
juga yang mendefinisikan
bahwa nikah dalah
ijab qobul (aqad)
yang membolehkan/ menghalalkan bercampur dengan mengucapkan
kata-kata nikah.
Bertitik
tolak dari pengertian
pernikahan tersebut diatas,
dapat diketahui, bahwa
pernikahan adalah sesuatu
yang diperintahkan oleh
Allah dan Rasul-Nya,
karena pernikahan tersebut
banyak mengandung hikmah, antara
lain untuk kemakmuran,
untuk menjalin persaudaraan,
memperteguh kelanggengan rasa
cinta antar keluarga
dan memperkuat hubungan kemasyarakatan
yang diberkahi oleh
Islam. Karena masyarakat
yang saling berhubungan dan menyayangi adalah masyarakat
yang kuat dan bahagia.
Oleh
karena itu, pernikahan
dipandang sebagai sesuatu
yang sakral, tetapi persoalannya akan menjadi lain bilamana
orang yang menikah itu telah Departemen Agama
RI Perwakilan Jawa
Tengah, Undang-Undang Perkawinan, Semarang : CV. Al Alawiyah, 1974, hlm.
Departemen
Agama RI Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam,2000, hlm.
Idris Ahmad, Fiqh Menurut Madzhab Syafi’i,
Jakarta : Wijaya, 1969, hlm.
Syeikh
Ali Ahmad Al
Jurjawi, Hikmah At
Tasyri’ Wa Falsafatuhu,
Juz 1, Beirut
: Libanon : Dar al-Fikr, hlm. 15.
Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Jilid 2, Beirut
: Libanon : Dar Al-Fikr, 1992, hlm. 12.
hamil
sebelum menikah. Tidak
jarang wanita hamil
tanpa suami yang
sah.
Baru beberapa bulan melaksanakan
pernikahan sudah melahirkan, karena pada waktu
akad nikah itu
berlangsung mempelai wanita
telah hamil terlebih dahulu.
Namun demikian, dalam
keadaan tersebut, Islam
– khususnya di Indonesia –
telah memberikan kemudahan dengan keberadaan Pasal 53 KHI yang
memperbolehkan perkawinan wanita
hamil. Keberadaan pasal
tersebut dipandang sebagai
suatu pembuka bagi
kemaslahatan kehidupan manusia terkait dengan kehormatan dan nasab anak.
Pasal 53 KHI merupakan bentuk
dari ijtihad yang dilakukan oleh para ulama. Meski
demikian, pada kenyataan
hasil ijtihad tersebut
masih terkandung “madlarat”
berupa peluang adanya
praktek perzinaan yang semakin luas
yang dilakukan oleh
umat Islam Indonesia.
Secara tidak langsung, kehadiran Pasal 53 KHI sama saja
membuka suatu jalan “legalitas” perzinaan
sebagai imbas dari adanya pemberian izin perkawinan bagi wanita hamil. Dapat dikatakan demikian karena dalam
ketentuan pasal tersebut tidak terdapat batasan
sebab-sebab kehamilan. Oleh
karena itu, bukan
tidak mungkin kehamilan
wanita yang akan
dikawinkan berdasar Pasal
53 KHI dapat
disebabkan oleh adanya
perzinaan yang disengaja
oleh wanita dan pasangan
lelakinya.
Di sisi
lain, keberadaan pengembangan
hukum dalam Islam
(ijtihad) tidak lain
adalah bertujuan untuk
menghilangkan madlarat yang
akan atau bahkan
telah mengancam kehidupan
umat Islam. Salah
satu kaidah yang sangat menjaga
kemashlahatan umat Islam
adalah kaidah saddu
al-dzari’at.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi