Senin, 25 Agustus 2014

Skripsi Syariah:ANALISIS KAWIN HAMIL (STUDI PASAL 53 KHI DALAM PERSPEKTIF SADD AL-DZARI’AH)


 BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah Pernikahan  yang  merupakan  akad  antara  seorang  laki-laki  dengan  seorang perempuan, mempunyai tujuan untuk mengikatkan dan menyalurkan  nafsunya,  sehingga  akan  menyebabkan  halalnya  hubungan  suami  isteri  yang  sebelumnya  diharamkan. Disamping itu pernikahan juga harus bisa membuat  ketentraman  kebahagiaan  hidup  dalam  suasana  yang  damai  serta  keharmonisan  dalam  keluarga.  Jika  dengan  adanya  pernikahan  itu  menyebabkan timbulnya akibat-akibat yang tidak baik, misalnya pertengkaran,  perselisihan  maka  hal  inilah  yng  tidak  dikehendaki  dalam  pernikahan  dan  sangat bertentangan dengan syari’at Islam yang bertujuan suci dan mulia.
Pernikahan  juga  merupakan  wujud  realisasi  janji  Allah  menjadikan  kaum  perempuan  sebagai  istri  dari  jenis  (tubuh)  laki-laki,  agar  nyatalah  kecocokan  dan  sempurnalah  kemanusiaan.  Dia  juga  menjadikan  rasa  mawaddah  dan  ar-rahmah  antara keduanya supanya saling membantu dalam  melengkapi kehidupan.
 Ayat tersebut juga dipertegas oleh sabda Rasulullah  Saw.:  Wahbah Az-Zuhaily, Tafsr Al- Munir, juz 21, Beirut-Libanon : Dar al-Fakir Al-Mu’asir,  Cet. Ke-1, 1991, hlm. 69.

 Artinya :  “Rasulullah  telah  bersabda  kepada  kita  :  “  Hai  para  pemuda,  barangsiapa  diantaramu  mampu  untuk  kawin  maka  kawinlah,  karena  sesungguhnya  perkawinan  itu  akan  menjauhkan  mata  (terhadap zina) dan dapat terpelihara dari nafsu kelamin yang jelek,  dan barang siapa yang tidak mampu kawin maka hendaklah puasa  untuk mengurangi hawa nafsu terhadap wanita.” (H.R. Bukhori).
Dari hadits tersebut di atas dapat diketahui juga bahwa perkawinan itu  mempunyai  tujuan  yang  suci  dan  tinggi.  Oleh  karena  itu,   bagi  orang  yang  akan  menikah  harus  mempunyai  kesanggupan  dalam  arti  yang  sebenarbenarnya, bukan hanya semata-mata untuk memuaskan nafsu saja. Sebab salah  satu  faktor  yang  banyak  menjerumuskan  manusia  kedalam  kejahatan  adalah  pengaruh  nafsu  seksual  yang  tidak  terkendalikan,  dan  untuk  menyalurkan  nafsu  tersebut  hendaknya  dengan  melalui  jalan  yang  paling  baik  dan  tepat  menurut  ajaran  Islam  atau  pandangan  Allah  SWT,  yaitu  melalui   jalan  perkawinan.  Dengan  demikian,  apabila  ada  orang  yang  tidak  mampu  untuk  menikah, hendaknya mereka itu berpuasa agar nafsunya dapat terkendali.
Berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits tersebut diatas, maka pernikahan  adalah salah satu asas pokok hidup, yang penting dalam bermasyarakat karena  pernikahan  itu  adalah  jalan  untuk  mengatur  kehidupan  rumah  tangga,  keturunan.
 Imam Abi Husein Muslim Minal Hajaj,  Shahih Muslim, Juz I, Bandung: al-Ma’arif, t.t., hlm. 583.
 Pengertian  perkawinan,  menurut   Undang-Undang  Nomor  1  tahun  1974 pasal 1 : “ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan  seorang  wanita  sebagai  suami  isteri  dengan  tujuan  membentuk  keluarga  (rumah  tangga)  yang  bahagia  dan  kekal  berdasarkan  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa”.
 Pengertian  perkawinan  tersebut  dipertegas  dalam  pasal  2  Kompilasi  Hukum Islam (KHI) : “ Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,  yaitu akad yang sangat kuat atau  mitsaqan ghalidzan  untuk mentaati perintah  Allah  dan  melaksanakannya  merupakan  ibadah  ”.
 Ada  juga  yang  mendefinisikan  bahwa  nikah  dalah  ijab  qobul  (aqad)  yang  membolehkan/  menghalalkan bercampur dengan mengucapkan kata-kata nikah.
 Bertitik  tolak  dari  pengertian  pernikahan  tersebut  diatas,  dapat  diketahui,  bahwa  pernikahan  adalah  sesuatu  yang  diperintahkan  oleh  Allah  dan  Rasul-Nya,  karena  pernikahan  tersebut  banyak  mengandung  hikmah,  antara  lain  untuk  kemakmuran,  untuk  menjalin  persaudaraan,  memperteguh  kelanggengan  rasa  cinta  antar  keluarga  dan  memperkuat  hubungan  kemasyarakatan  yang  diberkahi  oleh  Islam.  Karena  masyarakat  yang  saling  berhubungan dan menyayangi adalah masyarakat yang kuat dan bahagia.
 Oleh  karena  itu,  pernikahan  dipandang  sebagai  sesuatu  yang  sakral,  tetapi persoalannya akan menjadi lain bilamana orang yang menikah itu telah   Departemen  Agama  RI  Perwakilan  Jawa  Tengah,  Undang-Undang  Perkawinan,  Semarang : CV. Al Alawiyah, 1974, hlm.
 Departemen  Agama  RI  Direktorat  Jenderal  Pembinaan  Kelembagaan  Agama  Islam,  Kompilasi Hukum Islam,2000, hlm.
 Idris Ahmad, Fiqh Menurut Madzhab Syafi’i, Jakarta : Wijaya, 1969, hlm.
 Syeikh  Ali  Ahmad  Al  Jurjawi,  Hikmah  At  Tasyri’  Wa  Falsafatuhu,  Juz  1,  Beirut  :  Libanon : Dar al-Fikr, hlm. 15.
 Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Jilid 2, Beirut : Libanon : Dar Al-Fikr, 1992, hlm. 12.
 hamil  sebelum  menikah.  Tidak  jarang  wanita  hamil  tanpa  suami  yang  sah.
Baru beberapa bulan melaksanakan pernikahan sudah melahirkan, karena pada  waktu  akad  nikah  itu  berlangsung  mempelai  wanita  telah  hamil  terlebih  dahulu.  Namun  demikian,  dalam  keadaan  tersebut,  Islam  –  khususnya  di  Indonesia  –  telah memberikan kemudahan dengan keberadaan Pasal 53 KHI  yang  memperbolehkan  perkawinan  wanita  hamil.  Keberadaan  pasal  tersebut  dipandang  sebagai  suatu  pembuka  bagi  kemaslahatan  kehidupan  manusia  terkait dengan kehormatan dan nasab anak.
Pasal 53 KHI merupakan bentuk dari ijtihad yang dilakukan oleh para  ulama.  Meski  demikian,  pada  kenyataan  hasil  ijtihad  tersebut  masih  terkandung  “madlarat”  berupa  peluang  adanya  praktek  perzinaan  yang  semakin  luas  yang  dilakukan  oleh  umat  Islam  Indonesia.  Secara  tidak  langsung, kehadiran Pasal 53 KHI sama saja membuka suatu jalan “legalitas”  perzinaan sebagai imbas dari adanya pemberian izin perkawinan bagi wanita  hamil. Dapat dikatakan demikian karena dalam ketentuan pasal tersebut tidak  terdapat  batasan  sebab-sebab  kehamilan.  Oleh  karena  itu,  bukan  tidak  mungkin  kehamilan  wanita  yang  akan  dikawinkan  berdasar  Pasal  53  KHI  dapat  disebabkan  oleh  adanya  perzinaan  yang  disengaja  oleh  wanita  dan  pasangan lelakinya.
Di  sisi  lain,  keberadaan  pengembangan  hukum  dalam  Islam  (ijtihad)  tidak  lain  adalah  bertujuan  untuk  menghilangkan  madlarat  yang  akan  atau  bahkan  telah  mengancam  kehidupan  umat  Islam.  Salah  satu  kaidah  yang  sangat  menjaga  kemashlahatan  umat  Islam  adalah  kaidah  saddu  al-dzari’at.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi