BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Islam menganjurkan
untuk suka memberi
dan saling tolong-menolong dalam hal kebajikan sebagai makhluk sosial .
Setiap orang membutuhkan bantuan satu
sama yang lain. Dengan adanya tolong-menolong akan menimbulkan suasana yang
akrab dan kasih
sayang kepada semua
orang. Sebagaimana firman
Allah dalam surat Al-Imron, ayat
92 “Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan
(yang sempurna), sebelum
kamu menafkahkan sehahagian
harta yang kamu
cintai. dan apa
saja yang kamu
nafkahkan Maka Sesungguhnya
Allah mengetahuinya.”
(QS.Al-Imron,ayat 92).
Nabi Muhammad
SAW mencontohkan kepada
sahabatnya berupa anjuran untuk memberikan
hadiah barang yang sangat dicintainya kepada orang lain yang membutuhkan,
karena hal itu
mengandumg banyak kebaikan.
Begitu pula Nabi menganjurkan untuk
menerima hadiah yang
telah diberikan oleh
orang lain, karena menolak suatu pemberian adalah tindakan
tidak baik.
Sebagaimana hadits Nabi dikatakan : Satria
Effendi M.Zaini, Problematika
Hukum Keluarga Islam
Kontemporer, Jakarta : Prenada
Media, 2004, Cet. ke-1, hlm.
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Depok : Cahaya Quran, hlm.
Saleh Al-Fauzan,Fiqih Sehari-hari, Jakarta :
Gema Insani Press, 2005, hlm. 537 “Jabir r.a.
berkata : Nabi
SAW telah memutuskan
bagi perawatan (penjagaan) bahwa itu hak orang yang diberi.
(Bukhari Muslim) Betapa mulianya Islam
menyampaikan pesan melalui hadits tersebut
yang terkandung di dalamnya
sebuah ajaran saling tolong menolong antar sesama akan meringankan
penderitaan atau masalah
yang dihadapi orang
tersebut. Adanya kesadaran
untuk berbuat baik
kepada orang lain
akan melahirkan sikap
dasar untuk mewujudkan
keselarasan, keserasian dan
keseimbangan dalam hubungannya antara manusia, baik pribadi
maupun masyarakat. Pada hakikatnya orang
yang berbuat baik atau berbuat jahat pada orang lain akan kembali kepada dirinya sendiri, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat
Al-Isra’ ayat 7 : “
Jika kamu berbuat baik (berarti)
kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika
kamu berbuat jahat,
Maka (kejahatan) itu
bagi dirimu sendiri, dan
apabila datang saat
hukuman bagi (kejahatan)
yang kedua, (kami datangkan orang-orang
lain) untuk menyuramkan
muka-muka kamu dan mereka
masuk ke dalam
mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya
pada kali pertama
dan untuk membinasakan
sehabishabisnya apa saja yang mereka kuasai. (QS. Al-Isra‟ ayat 7) Imam Muslim,
, Shahih Muslim, Juz.2, Beirut, Lubnan : Dar al-fikir, tt, hlm.
Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak,
Jakrta :
CV. Rajawali, 1992, Cet.
ke-1, hlm. 53- Departemen
Agama RI, Op. Cit., hlm. 282 Dalam hal
ini sikap memberi
adalah perbuatan baik,
dikarenakan membantu dapat meringankan kesusahan perekonomian orang
tersebut atau yang lain. Dengan
sikap memberi atau
menerima pemberian seseorang
akan tercipta rasa
persatuan dan persaudaraan
dalam kerangka kerukunan
hidup beragama.
Islam
mengajarkan memberikan sesuatu
kepada orang lain itu tanpa pamrih atau tanpa mengharap balasan.
Dalam hal ini orang tersebut tidak
mengharapkan terus sebuah pemberian
akan tetapi agar
berusaha menjadi lebih
baik. Sebuah pemberian
tersebut bukan bermaksud
untuk menghina akan
tetapi semuanya itu merupakan
untuk kemaslahatan hidupnya, sebagaimana
hadits Nabi
“Daging itu
Baginya (Burairah) adalah
shodaqoh dan bagiku
(Nabi Saw) adalah hadiah.” Dengan
begitu memberikan hadiah
adalah tindakan baik
karena menyenangkan seseorang.
Al-Khaththabi, mengatakan bahwa
pemberian hadiah kepada orang yang lebih rendah, seperti kepada
pembantu semua itu mempunyai maksud
untuk menghormati dan mengasihinya. Pemberian hadiah demikian tidak menghendaki
suatu balasan.
Berbeda
halnya kalau hibah
atau hadiah tersebut Suparman
Usman, Hukum Islam
Mengenai Asas-asas dan
Pengantar Studi Hukum Islam
dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002, hlm. 211 Asymuni
A. Rahman,dkk, Ilmu
Fiqih 3, Prtoyek
Pembinaan Prasarana dan
Sarana Perguruan Tinggi
Agama Islam/ IAIN
di Jakarta Direktorat
Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Cet. ke-2, 1986,
hlm.
Ali
Yofie, Menggagas Fiqih
Sosial dari Soal
Lingkungan Hidup Asuransi
hingga Ukhuwah, Bandung : Mizan
1994, hlm.
Imam
Bukhari , Shohih
Bukhari, Jilid. 2,
Beirut, Lubnan: Dar
al-Kutub Ilmiyyah,tt, hlm.
As-Sayyid Saabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 14, Bandung : Percetakan Offset, 1997, Cet.ke-9,
hlm. 440 diberikan dengan
maksud tertentu seperti
mengharapkan agar dengan pemberiannya tersebut anaknya dapat diterima
di sekolah yang diasuh oleh orang yang
telah diberinya hadiah itu. Atau mengharapkan agar dengan hadiahnya itu ia dapat diterima sebagai pegawainya, dan
sebagainya. Kalau sikap seperti ini yang menjadi
motif atau alasanya,
maka jelas hal
itu tidak diperkenankan, dan
lebih pantas kalau
hibah atau hadiah
tersebut ditolak, sebab
pemberian semacam itu sudah
termasuk suap, yang hukumnya haram.
Sedangkan
yang menjadi titik sentral pembahasan dalam skripsi ini yaitu mengenai pemberian seumur hidup sebagaimana
dalam hadits yang di riwayatkan oleh Abu
Hurairah r.a bahwa Nabi SAW telah bersabda : ”Dari
Abu Hurairah r.a.
: Nabi SAW
pernah bersabda: Umra‟ itu dibolehkan”. (HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud,
dan Nasa‟i).
Dalam hal ini
hibah bertujuan membantu seseorang untuk mengentaskan suatu masalah, sebagaimana firman Allah SWT Mustafa Kamal
Pasha, dkk, Fiqih
Islam Sesuai Dengan
Putusan Majelis Tarjih, Yogyakarta : Citra Karsa Mandiri,
2009, Cet. ke-4, hlm. 195 Abu Dawud,
Sunan Abu Dawud, Juz. II, Beirut, Lubnan
: Dar al- kutob al-Ilmiyah, tt, hlm. 500 “ Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke
arah timur dan
barat itu suatu kebajikan, akan
tetapi sesungguhnya kebajikan
itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim,
orang-orang miskin, musafir
(yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang
yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. mereka itulah
orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka
itulah orangorang yang
bertakwa. (Al- Baqarah ayat 177).
Dalam
hal ini pemberian
hadiah tersebut dilakukan
secara sukarela dan ikhlas tanpa
mengharap suatu imbalan.
Akan tetapi pemberian
yang bersifat sementara misalnya untuk diambil manfaatnya
itu diperbolehkan.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi