Kamis, 28 Agustus 2014

Skripsi Syariah:ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG KEBOLEHAN HIBAH ‘UMRA


 BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Islam  menganjurkan  untuk  suka  memberi  dan  saling  tolong-menolong dalam hal kebajikan  sebagai makhluk sosial  .  Setiap orang membutuhkan bantuan  satu sama yang lain. Dengan adanya tolong-menolong akan menimbulkan suasana  yang  akrab  dan  kasih  sayang  kepada  semua  orang.  Sebagaimana  firman  Allah  dalam surat Al-Imron, ayat 92 “Kamu  sekali-kali  tidak  sampai  kepada  kebajikan  (yang  sempurna),  sebelum  kamu  menafkahkan  sehahagian  harta  yang  kamu  cintai.  dan  apa  saja  yang  kamu  nafkahkan  Maka  Sesungguhnya  Allah  mengetahuinya.” (QS.Al-Imron,ayat 92).
 Nabi Muhammad  SAW mencontohkan kepada  sahabatnya berupa anjuran  untuk memberikan hadiah barang yang sangat dicintainya kepada orang  lain yang  membutuhkan,  karena  hal  itu  mengandumg  banyak  kebaikan.  Begitu  pula  Nabi  menganjurkan  untuk  menerima  hadiah  yang  telah  diberikan  oleh  orang  lain,  karena menolak suatu pemberian adalah tindakan tidak baik.
 Sebagaimana hadits  Nabi dikatakan :   Satria  Effendi  M.Zaini,  Problematika  Hukum  Keluarga  Islam  Kontemporer,  Jakarta  :  Prenada Media, 2004, Cet. ke-1, hlm.
 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Depok : Cahaya Quran, hlm.

 Saleh Al-Fauzan,Fiqih Sehari-hari, Jakarta : Gema Insani Press, 2005, hlm. 537   “Jabir  r.a.  berkata  :  Nabi  SAW  telah  memutuskan  bagi  perawatan  (penjagaan) bahwa itu hak orang yang diberi. (Bukhari Muslim) Betapa  mulianya Islam menyampaikan pesan melalui hadits tersebut  yang  terkandung di dalamnya sebuah ajaran saling tolong menolong antar sesama akan  meringankan  penderitaan  atau  masalah  yang  dihadapi  orang  tersebut.  Adanya  kesadaran  untuk  berbuat  baik  kepada  orang  lain  akan  melahirkan  sikap  dasar  untuk  mewujudkan  keselarasan,  keserasian  dan  keseimbangan  dalam  hubungannya antara manusia, baik pribadi maupun masyarakat. Pada hakikatnya  orang yang berbuat baik atau berbuat jahat pada orang lain akan kembali kepada  dirinya sendiri,   sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Isra’ ayat 7 : “  Jika kamu berbuat  baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri  dan  jika  kamu  berbuat  jahat,  Maka  (kejahatan)  itu  bagi  dirimu  sendiri,  dan  apabila  datang  saat  hukuman  bagi  (kejahatan)  yang  kedua,  (kami  datangkan  orang-orang  lain)  untuk  menyuramkan  muka-muka  kamu  dan mereka  masuk  ke  dalam  mesjid,  sebagaimana  musuh-musuhmu  memasukinya  pada  kali  pertama  dan  untuk  membinasakan  sehabishabisnya apa saja yang mereka kuasai. (QS. Al-Isra ayat 7)    Imam Muslim, , Shahih Muslim, Juz.2, Beirut, Lubnan : Dar al-fikir, tt, hlm.
 Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, Jakrta  :  CV. Rajawali, 1992, Cet.  ke-1,  hlm.  53-  Departemen Agama RI, Op. Cit., hlm. 282   Dalam  hal  ini  sikap  memberi  adalah  perbuatan  baik,  dikarenakan  membantu dapat  meringankan kesusahan perekonomian orang tersebut atau yang  lain.  Dengan  sikap  memberi  atau  menerima  pemberian  seseorang  akan  tercipta  rasa  persatuan  dan  persaudaraan  dalam  kerangka  kerukunan  hidup  beragama.
 Islam  mengajarkan  memberikan sesuatu kepada  orang lain itu tanpa pamrih atau  tanpa mengharap balasan.
 Dalam hal ini orang tersebut tidak mengharapkan terus  sebuah  pemberian  akan  tetapi  agar  berusaha  menjadi  lebih  baik.  Sebuah  pemberian  tersebut  bukan  bermaksud  untuk  menghina  akan  tetapi  semuanya  itu  merupakan untuk kemaslahatan hidupnya,   sebagaimana hadits Nabi
“Daging  itu  Baginya  (Burairah)  adalah  shodaqoh  dan  bagiku  (Nabi  Saw)  adalah hadiah.”  Dengan  begitu  memberikan  hadiah  adalah  tindakan  baik  karena  menyenangkan  seseorang.  Al-Khaththabi,  mengatakan  bahwa  pemberian  hadiah  kepada orang yang lebih rendah, seperti kepada pembantu semua itu mempunyai  maksud untuk menghormati dan mengasihinya. Pemberian hadiah demikian tidak  menghendaki  suatu  balasan.
 Berbeda  halnya  kalau  hibah  atau  hadiah  tersebut   Suparman  Usman,  Hukum  Islam  Mengenai  Asas-asas  dan  Pengantar  Studi  Hukum  Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002, hlm. 211   Asymuni  A.  Rahman,dkk,  Ilmu  Fiqih  3,  Prtoyek  Pembinaan  Prasarana  dan  Sarana  Perguruan  Tinggi  Agama  Islam/  IAIN  di  Jakarta  Direktorat  Jendral  Pembinaan  Kelembagaan  Agama Islam Departemen Agama, Cet. ke-2, 1986, hlm.
 Ali  Yofie,  Menggagas  Fiqih  Sosial  dari  Soal  Lingkungan  Hidup  Asuransi  hingga  Ukhuwah, Bandung : Mizan 1994, hlm.
 Imam  Bukhari  ,  Shohih  Bukhari,  Jilid.  2,  Beirut,  Lubnan:  Dar  al-Kutub  Ilmiyyah,tt,  hlm.
 As-Sayyid Saabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 14,  Bandung : Percetakan Offset, 1997, Cet.ke-9, hlm. 440   diberikan  dengan  maksud  tertentu  seperti  mengharapkan  agar  dengan  pemberiannya tersebut anaknya dapat diterima di sekolah yang diasuh oleh orang  yang telah diberinya hadiah itu. Atau mengharapkan agar dengan hadiahnya itu ia  dapat diterima sebagai pegawainya, dan sebagainya. Kalau sikap seperti ini yang  menjadi  motif  atau  alasanya,  maka  jelas  hal  itu  tidak  diperkenankan,  dan  lebih  pantas  kalau  hibah  atau  hadiah  tersebut  ditolak,  sebab  pemberian  semacam  itu  sudah termasuk suap, yang hukumnya haram.
 Sedangkan  yang menjadi titik sentral pembahasan dalam skripsi ini yaitu  mengenai pemberian seumur hidup sebagaimana dalam hadits yang di riwayatkan  oleh Abu Hurairah r.a bahwa Nabi SAW telah bersabda :  ”Dari  Abu  Hurairah  r.a.  :  Nabi  SAW  pernah  bersabda:  Umra  itu  dibolehkan”. (HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud, dan Nasai).
Dalam  hal ini  hibah  bertujuan membantu  seseorang untuk  mengentaskan  suatu masalah, sebagaimana firman Allah SWT Mustafa  Kamal  Pasha,  dkk,  Fiqih  Islam  Sesuai  Dengan  Putusan  Majelis  Tarjih, Yogyakarta : Citra Karsa Mandiri, 2009, Cet. ke-4, hlm. 195   Abu Dawud, Sunan Abu Dawud,  Juz. II, Beirut, Lubnan : Dar al-  kutob al-Ilmiyah, tt,  hlm. 500   “  Bukanlah  menghadapkan  wajahmu  ke  arah  timur  dan  barat  itu  suatu  kebajikan,  akan  tetapi  sesungguhnya  kebajikan  itu  ialah  beriman  kepada Allah, hari  kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi  dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,  anak-anak  yatim,  orang-orang  miskin,  musafir  (yang  memerlukan  pertolongan)  dan  orang-orang  yang  meminta-minta;  dan  (memerdekakan)  hamba  sahaya,  mendirikan  shalat,  dan  menunaikan  zakat;  dan  orang-orang  yang  menepati  janjinya  apabila  ia  berjanji,  dan  orang-orang  yang  sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka  itulah  orang-orang  yang  benar  (imannya);  dan  mereka  itulah  orangorang yang bertakwa.  (Al- Baqarah ayat 177).
 Dalam  hal  ini  pemberian  hadiah  tersebut  dilakukan  secara  sukarela  dan  ikhlas  tanpa  mengharap  suatu  imbalan.  Akan  tetapi  pemberian  yang  bersifat  sementara misalnya untuk diambil manfaatnya itu diperbolehkan.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi