BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pada hakekatnya,
kewajiban menghadap dalam
ibadah shalat adalah kewajiban
menghadapkan jiwa raga
dengan sungguh-sungguh dan
ikhlas kepada Allah Swt. Untuk
itu, menghadapkan wajah ke tempat tersuci dengan akurat adalah salah satu cara untuk
mendapatkan ketenangan hati dan pikiran sehingga
dapat merasakan kehadiran Allah Swt.
Awal 2010, arah kiblat menjadi salah satu hal yang dipermasalahkan dan selalu
diperbincangkan oleh masyarakat
maupun ulama. Menurut
penelitian para ahli,
kebanyakan masjid di
Indonesia tidak memiliki
arah kiblat yang lurus ke
Ka‟bah. Sehingga perlu
adanya pelurusan kembali
terhadap arah kiblat
masjid-masjid tersebut. Sedangkan
sebagian masyarakat mengatakan bahwa
tidak mungkin mereka
merubah arah kiblat
masjid yang sudah
ada.
Menurut keyakinan mereka, masjid merupakan
warisan leluhur yang memiliki kekeramatan,
sehingga mereka harus selalu menjaga dan memelihara keaslian masjid tersebut.
Pada 1
Februari 2010, MUI
pusat mengeluarkan fatwa
nomor 3 tahun 2010
tentang arah kiblat di Indonesia. Fatwa tersebut meliputi tiga hal yaitu: Pertama,
kiblat bagi orang
yang shalat dan
dapat melihat Ka‟bah
adalah menghadap ke
bangunan Ka‟bah. Kedua,
kiblat bagi orang
yang shalat dan Ali
Mustafa Yaqub, Kiblat Antara Bangunan dan Arah Ka‟bah, Jakarta: Pustaka Darus Sunah, 2010, hlm. 9.
tidak dapat
melihat Ka‟bah adalah
ke arah Ka‟bah.
Ketiga, letak geografis Indonesia
yang berada di
bagian Timur Ka‟bah,
maka kiblat bagi
orang Indonesia adalah menghadap
ke arah Barat. Selain menetapkan fatwa tersebut, MUI
juga merekomendasikan agar
bangunan masjid/mushala di
Indonesia sepanjang kiblatnya
menghadap ke arah Barat tidak perlu dirubah, dibongkar dan sebagainya.
Menurut
akademisi ilmu falak, Ahmad Izzuddin mengatakan bahwa fatwa MUI dinilai kurang relevan dengan perkembangan disiplin
ilmu sekarang ini.
Berbagai
metode dan alat
yang dapat membantu
dalam menentukan arah kiblat secara
akurat sangat mudah
didapatkan. Sehinga Fatwa
MUI tidak menyelesaikan permasalahan yang ada, tetapi
justru menambah permasalahan baru.
Pada bulan Juli 2010, MUI memfatwakan kembali
tentang arah kiblat di Indonesia. Dalam
fatwa kedua ini,
MUI menegaskan bahwa
arah kiblat di Indonesia
telah mengalami pergeseran, yaitu yang semula menghadap ke arah Barat
bergeser ke arah
Barat Laut. Masyarakat
menilai bahwa fatwa
kedua MUI ini masih global sehingga MUI perlu mengeluarkan surat resmi kepada seluruh
takmir masjid tentang
pergeseran arah kiblat di
Indonesia beserta Slamet
Hambali, Arah Kiblat
dalam Perspektif Nahdlatul
Ulama. Makalah yang disampaikan
dalam acara “Seminar Nasional Menggugat Fatwa MUI No 03 Tahun 2010 Tentang Arah Kiblat”, Semarng, 27 Mei 2010.
Ahmad
Izzuddin, Menyoal Fatwa MUI tentang Arah Kiblat, Makalah yang disampaikan dalam acara “Seminar
Nasional Menggugat Fatwa MUI No 03 Tahun 2010 Tentang Arah Kiblat”, Semarng, 27 Mei 2010. penjelasanya. Hal tersebut bertujuan agar para takmir
memiliki panduan jika kiblat masjid mereka perlu dirubah.
Ada fenomena
unik di Dukuh
Girikusuma Desa Banyumeneng Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak. Di daerah
ini, masyarakat memiliki kepercayaan
terhadap kekeramatan sebuah
masjid yaitu Masjid
Baitussalam.
Secara sekilas masjid ini seperti halnya
masjid-masjid tua lainya. Yaitu masjid berbahan
kayu jati dan didirikan oleh seorang wali. Tetapi ada hal unik dalam pembangunan masjid tersebut. Menurut prasasti
yang ada, Masjid Baitussalam hanya
didirikan dalam waktu 4 jam yaitu dari pukul 21.00 WIB sampai pukul 01.00 WIB.
Masjid tersebut
didirikan lansung oleh
KH. Hadi Siraj.
Ia merupakan pemimpin pesantren “Girikesumo” yang menjadi
cikal bakal lahirnya thariqah di
Jawa Tengah. Thariqah
tersebut bernama “Naqsabandiyah Khalidiyah”.
Thariqah
ini diyakini oleh
masyarakat Girikusuma Desa
Banyumeneng Kabupaten Demak sebagai
thariqah yang relevan dengan kondisi
masyarakat.
Ciri
khusus thariqah ini
yaitu mengikuti syari‟at
secara ketat, keseriusan dalam beribadah dan mengutamakan berdzikir
dalam hati dan menolak musik dan
tari.
Masjid Baitussalam
terletak di area
pesantren salafiyah yang
bernama Pesantren Girikesumo.
Pesantren ini didirikan pada masa
penjajahan Belanda http://digilib.sunan-ampel.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptiain-gdl-res
1994-drshsymsu-439. Diakses pada tanggal
7 juni 2010 pukul 11.48 WIB.
Keterangan
pada prasasti yang ada di atas pintu tengah ruang asli masjid. Prasasti tersebut di tulis langsung oleh KH. Hadi
menggunakan tulisan pegon.
Wiwit, Pondok
Pesantren Girikusumo (Cikal
Bakal Thariqah di
Indonesia). Tabloid Pondok
Pesantren untuk Kemaslahatan
Umat, edisi IV.
Jakarta: Lembag Kajian
Pendidikan Keislaman dan Sosial
(LeKDIS) Nusantara, 2009, hlm. 10-11 yaitu pada
bulan Rabiul akhir
1228 H atau
April 1813 M.
Sehingga, umur masjid sekarang ini sekitar 197 tahun. Hampir dua abad, masyarakat setempat hanya melakukan perluasan dan penambahan
fasititas masjid seperti AC, kipas angin, pengeras
suara, jam dan
lain-lain. Sedangkan bentuk,
bangunan dan arah
kiblat masjid tersebut
tidak pernah dilakukan
perubahan sedikit pun.
Menurut
Hj Aisyah, seseorang
akan mendapat musibah
jika berani merubah masjid
tersebut. Karena, musibah
besar pernah dialami
oleh para pekerja bangunan,
yaitu ketika pemindahan bangunan pesantren yang
dulunya terletak dibelakang
masjid kemudian dipindah
di Utara masjid.
Setelah selesai pemindahan
tersebut, para pekerja
mengalami sakit-sakitan dan
akhirnya meningal dunia.
Peristiwa ini dijadikan contoh oleh masyarakat sekitar ketika hendak
melakukan perubahan peninggalan
KH. Hadi Siraj.
Oleh karena itu, sampai sekarang
ini belum pernah
ada orang yang
berani merubah masjid tersebut.
Masjid
Baitussalam merupakan masjid yang sangat berpengaruh di Dukuh Girikusuma dan sekitarnya. Selain sebagai
panduan waktu shalat dan kegiatan keagaman seperti
thariqah dan sima‟atul
Quran, masjid tersebut
juga dijadikan acuan pengukuran arah kiblat masjid-masjid
sekitarnya. Selain itu, masjid
tersebut juga pernah
dijadikan tempat muktamar
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ke-2 pada tanggal 15-18 April
2005.
Hasil
wawancara dengan Hj. Aisyah pada tanggal 7 September 2010 pukul 09.45-11.09 WIB
di rumahnya. Hj.
Aisyah merupakan cucu
KH. Hadi Siraj.
Ia sekarang ini
berumur + 75 tahun.
Hasil
wawancara dengan KH. Rofi‟I pada tanggal 5 September 2010 pukul 20.10-21.30 WIB di rumahnya. Ia merupakan salah satu ahli
fikih Masjid Baitussalam. Sedangkan bagi masyarakat Banyumeneng, Masjid
Baitussalam memiliki arti tersendiri.
Masjid tersebut merupakan
satu-satunya masjid di
Desa Banyumeneng yang dijadikan
tempat shalat Jumat oleh enam dukuh di Desa Banyumeneng
yaitu Girikusuma, Kalitengah,
Katonsari, Kedung Dolok, Mbarang dan Karanglo. Ukuran masjid yang tidak terlalu luas menyebabkan jamaah melebihi kapasitas masjid. Melihat
kondisi seperti ini, KH. Zahid yang merupakan putra
KH. Hadi Siraj
melakukan penambahan ruangan
depan Masjid Baitussalam.
Ruangan ini berukuran
hampir sama dengan
ukuran ruang masjid yang asli.
Kemudian pada masa cucu KH. Hadi yaitu KH. Nadif Zuhri, Masjid Baitussalam dilengkapi dengan
penambahan teras dan pendapa.
Selain
untuk memperindah penampilan
masjid juga dikarenakan
semakin banyaknya masyarakat yang
melaksanakan jamaah shalat Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha di masjid tersebut. Penambahan
ruangan-ruangan tersebut ternyata masih belum
cukup untuk menampung
seluruh jamaah, sehingga
teras-teras rumah masyarakat
di sebelah Timur
masjid terpaksa dijadikan
tempat shalat oleh para jamaah.
Jika melihat syarat dan rukun shalat Jum‟at,
maka di setiap dukuh tersebut diperbolehkan melaksanakan
shalat jumat secara
tersendiri. Selain jumlah penduduk yang cukup, keberadaan masjid dan kemungkinan pendirian masjid di
dukuh mereka juga
menjadi alasanya. Tetapi,
adanya tabarukan yang diyakini oleh masyarakat menyebabkan
mereka enggan melaksanakan ibadah
shalat
jumat selain di
Masjid Baitusssalam, meskipun
jarak yang harus ditempuh
hingga 1 km.
Secara Astronomi,
Masjid Baitussalam terletak
di koordinat o 5‟ 23,3” Lintang Selatan dan o 30‟ 03,6” Bujur Timur.
Sedangkan
Ka‟bah terletak pada koordinat o 25‟ 21,04” Lintang Utara dan o 49‟ 34,3” Bujur Timur.
Menurut perhitungan
astronomis, arah kiblat
Masjid Baitussalam adalah
o 30‟ 26,32” dari arah Barat ke Utara, o 29‟
33,68” dari arah Utara ke Barat atau o 30‟
26,32” dari arah Utara menuju Ka‟bah searah jarum jam.
Salah satu santri KH. Munif Zuhri, Nur Rahim
mengatakan bahwa pernah ada orang dari
Timur Tengah yang melakukan pengecekan arah kiblat Masjid Baitussalam
menggunakan kompas. Menurut
orang Timur Tengah
tersebut, arah kiblat
Masjid Baitussalam kurang
condong ke Utara.
Kemudian ia memberitahukan
kepada sebagian santri
dan hendak mengatakanya
kepada KH. Munif. Tetapi sampai
sekarang keterangan orang Timur Tengah tersebut tidak pernah dibahas dan ditindak lanjuti oleh
siapa pun.
Sedangkah menurut
salah satu tokoh
masyarakat setempat, KH
Rofi‟i mengatakan bahwa
arah kiblat Masjid
Baitussalam sudah lurus
ke Ka‟bah.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi