Kamis, 21 Agustus 2014

Skripsi Syariah:ANALISISHUKUM ISLAM TERHADAP FATWA YUSUF QARDAWI TENTANG KAWIN MISYAR


BAB I PENDAHULUAN
 A.   Latar Belakang  Manusia secara alami senantiasa membutuhkan pendamping hidupnya, ketika perasaan ini tercapai dan menemukan pasangannya maka tumbuhlah rasa  cinta diantara keduanya, karena manusia mempunyai naluri yaitu menginginkan  kebahagiaan  , ketenangan dan ketentram an baik wanita maupun laki - laki , dia  menyukai kekekalan hidup walaupun pada hakekatnya telah menyadari bahwa itu  tidaklah mungkin, sebab itu ia me ngharapkan generasi penerusnya setelah ia menunggal, hal tersebut dapat dilakukan dengan  perkawinan , sebagaimana dalam  firman Allah surat a l - Hujara>t   [49] ayat 13.
’’Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki - laki  dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling  mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara  kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.’’  Dalam ayat tersebut Allah menciptakan laki - laki dan perempuan berbangsa dan bersuku - suku supaya saling mengenal, maksudnya diciptakan laki laki dan perempuan agar mereka mengenal, tum buh perasaan cinta dan kasih   Ali Yafie,  Menggagas Fiqih Sosial, dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah, h.

  Depag RI, Al- Qur'an dan Terje mahnya, h. 845   sayang untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan sesuai dengan aturan yang  ada dalam syari’at dan m embangun rumah tangga yang sakinah, perkawinan atau  tepatnya berpasangan merupakan ketetapan ilahi atas segala makhluk  ,  dalam  buku  “ Outlines of Muhammad  Law”  (Pokok- pokok  Hukum   Islam ), Asaf A.A Fiyzee menerangkan bahwa  perkawinan  dalam pandangan  Islam mengandung diantaranya adalah mengandung Segi hukum,  yaitu  perkawinan itu merupakan  suatu perjanjian.
  Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat a n - Nisa >’[4] ayat 21.
 “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah  bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami ist ri. Dan mereka (istriistrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.
  Dalam pengertian tersebut, mengandung tiga karakter: a)  Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa adanya suka rela dari kedua pihak  (sesuai dengan KHI pasal 16 ayat 1 “perkawinan dilaksanakan atas persetujuan calon mempelai” dan undang - undang No 1 Tahun 1974 pasal 6  ayat 1 perkawinan harus didasarkan  atas persetu juan kedua mempelai).
  M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, h.
  Soemati, Hukum perkawinan Islam dan UUP; no 1 tahun 1974, Jogjakarta, h.
  Idris Ramulyo,  Hukum Perkawinan Islam, ( Suatu analisia dan undang -undang No I tahun  1974 dan Kompilasi Hukum Islamh  ) h.
  Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, h.120   b)  Kedua belah pihak yang mengikat persetujuan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada  hukumnya  c)  Persetujuan perkawinan itu mengatur batas- batas  Hukummengenai hak dan  kewajiban masing - masing kedua belah pihak dan ikatan perkawinan adalah  “mi>s\a>qan ghali>z }a”.
 Dari tiga karakter tersebut, senada dikemukakan dalam Kompilasi  Hukum  Islam (KHI) pasal 2 dan 3, perkawinan adalah  mi>s\a>qan  (perikatan).  Menurut  hukum  Islam adalah  perkawinan merupakan akad yang sangatkuat atau ghali>z}a   untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah  dan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan   kehidupan rumah tangga yang saki >nah mawaddah wa rahmah.
  Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat  Ar- ruum [30]ayat 21.
 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri- istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
 Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi  kaum yang berpikir.”  Ada beberapa definisi  kawinyang dikemukakan ulama fikih, teteapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya   UU Perkawinan dilengkapi KHI h.,   Depag RI, Al- Qur'an dan Terjemahnya, h. 644    berbeda. Ulama Maz\ h ab Syafi’i mendefinisikan dengan “akad yang mengandung  kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawi n atau yang  semakna dengan itu”. Ulama  Maz\ hab Hanafimendefinisikannya dengan “akad  yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang laki - laki dan seorang perempuan  selama tidak ada halangan  syara’”.
 Imam Muhammad  Abu >Zahrah (w.1394/H 1974M), ahli  hu kum  Islam dari universitas al - Azha>r, berpendapat bahwa perbedaan kedua definisi diatas  tidaklah bersifat prinsip. Prinsip dalam definisi tersebut adalah nikah itu membuat  seorang lelaki dan seorang wanita halal melakukan hubungan seksual. Untuk mengompromikan kedua definisi, Abu >Zahra mengemukakan definisi nikah, yaitu “akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang laki - laki  dan seorang wanita, saling tolong menolong diantara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya”. Hak dan kewajiban yang datangnya dari asy- sya>ri’(Allah SWT dan Rasulnnya).
  Menurut  Ahmad  Sya> fi’i  al - Ma> libari  al - Fanani berpendapat “nikah adalah suatu akad yang mengandung bolehnya bersetubuh dengan lafal  inka >h atau tazwi<j ".
  Seperti kita ketahui keterkaitan seorang terhadap lawan jenisnya oleh syari'at diarahkan kepada sebuah lembaga yang disebut perkawinan .  Pada  awalnya  kawin hanya merupakan konsep sederhana yaitu konsep  Abdul Aziz Dahlan… et al, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2 h.
  Zainuddin bin Abdul Aziz al -Malibary, Fath al-Mu'i<n, h. 99   menyatukan ????? .
  Yaitu menyatukan dua orang berlainan jenis dengan satu ikatan tertentu dan dengan rukun dan syarat tertentu pula jika kemudian muncul  model  syiga>r, mut'ah  ataupun  muh}allil, dikarenakan adanya perkembangan permasalahan yang berdampak pada perkembangan pe mikiran.
 Seperti halnya  dengan praktek kawin  misya>r,secara prinsipil menurut  Yu>suf Qard}a>wi tidak jauh berbeda dengan kawinbiasa, artinya segala sesuatu  yang menjadi syarat dan rukun dari  perkawinan bisa terdapat pula pada perkawinan  misya>r, da n juga seorang laki - laki pergi ke pihak wanita dan wanita  tidak pindah atau bersama laki - laki dirumahnya (laki - laki).
  Biasanya kawin semacam ini terjadi pada istri kedua dan laki - laki yang melaksanakan kawin semacam ini sudah mempunyai istri yang lebih dulu tinggal bersama dirumahnya.
 Sebagaimana yang dikatakannya :
 "Yaitu  perkawinandimana seorang laki - laki (suami) mendatangi kediaman wanita (istri), dan wanita ini tidak pindah kediaman laki- laki tersebut.Biasanya,  hal ini terjadi pada istri kedua, sedang laki -laki ini memiliki istrilain di rumah  yang dinafkahinya."   Al- Syarbini, Al- Iqna', h.
  Yu>suf Qard{awi,  Hadyul Isla>m Fatawi Mu’a>shirah,  terj. Abdul Hayyie al - Kattani,  dkk, h.
  Yu>suf Qard{a>wi>,  Zawa>jul Misya>r Haqi>qotuhu wa Hukmuhu …, h. 9    Tujuan kawin semacam ini adalah agar suami dapat bebas dari kewajiban  terhadap istri keduanya untuk memberikan tempat tinggal, memberikan nafkah memberikan hak yang sama dibanding istri yang lain (istri pertama). “Diskon”  itu  hanya diperoleh oleh seorang laki - laki dan seorang wanita yang sangat membutuhkan peran seorang suami dalam mengayomi dan melindunginya (meskipun dalam bidang materi sang suami tidak dapat diharapkan).
 .Padahal kewajiban yang paling pokok bagi seorang suami adalah memberikan nafkah kepada istrinya, sedangkan bagi istri, pemberian itu adalah  hak yang mesti harus diterima.
  Karena dalam ikatan perkawinan akan menimbulkan status dan peranan, sehingga akan menimbulkan hak dan  kewajiban  yang berupa nafkah.
  Apabila nafkah diberikan sebagaimana  mestinya, tidak dikurangi maka akan dapat mendat angkan keharmonisan dan kebahagiaan dalam  rumah tangga. Melihat betapa pentingnya arti nafkah,   maka dalam al - Qur'an  disebutkan dalam surat al - Baqarah ayat 233 :   “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara  yang ma`ruf”.(QS. al - Baqarah, 2: 233).
  Maksud  al-mawlu>d  dalam ayat di atas ialah ayah,  ar -rizq  maksudnya makanan secukupnya,  kiswah  artinya pakaian, sedangkan kata  al-ma'ru>f  artinya   Mudjab Mahalli, Menikahlah Engkau Menjadi Kaya, h. 259.
  Moh Rifa’i, Ilmu Fiqh Islam, h.
  Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, h. 57   yang dikenal menurut pengertian  syara ’  : tidak terlampau kikir dan tidak berlebihan - lebihan.
  Sedangkan menurut  hadismuttafaqun'alaih :   Dari Aisyah r.a ia berkata: “Hindun binti Utbah isteri Abu Sufyan datang  menghadap Rasulullah SAW dan berkata: “ Y a Rasulullah, sesungguhnya Abu  Sufyan lelaki yang kikir, tidak memberi aku nafkah yang cukup untukaku dan  anak -anakku kecuali aku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya, apakah  demikian aku mendapatkan dosa? Rasulullah  bersabda: Ambillah hartanya denganbaik yang cukup untukmu dan anak -anakmu.”(Hadis Muttafaq alaihi).
  Hadi s ini menerangkan suami wajib memberikan nafkah isteri dan anakanaknya dengan cukup, walaupun anak itu sudah besar.  Beberapa kenyataan penting tentang kelebihan laki - laki di banding perempuan, yakni laki - laki  bertanggung jawab, atas seluruh kehidupan perempuan.  Pertama,hingga mencapai usia dewasa, perempuan menjadi tanggung jawab ayahnya, atau orang  lain yang bertindak sebagai walinya.
 Jika setelah dewasa ia dapat memperoleh penghasilan sendiri, barulah ia  membiayai dirinya sendiri. Tetapi jika tidak, maka ayah dan walinya yang wajib  menanggung kehidupannya.  Kedua, dalam  perkawinan seorang wanita sama sekali tidak dibebani kewajiban memberi mas kawin.  Ketiga,seorang wanita apabila   telah bersuami, seluruh kebutuhan hidupnya menjadi tanggungan  H.S.A al - Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), h.
  Al-H{a>fiz} Zaki al- Di>n Abd al-Az}i>m al-Mundiriy , Mukhtas}ar S{ah}i>h} Muslim, h.
 486     suaminya, walaupun ia seorang wanita kaya. Keempat,prialah yang berkewaji ban  menanggung seluruh kebutuhan keluarga, prialah yang dituntut untuk menyediakan tempat tinggal dan memikul seluruh biaya yang dibutuhkan oleh anak- anaknya.
  Pemberian nafkah adalah kewajiban suami, misalnya menyediakan tempat tinggal terpisah.
 Para ulama  madz|habsepakat bahwa nafkah untuk isteri itu wajib, yang  meliputi tiga hal yaitu pangan, sandang dan papan. Mereka juga sepakat besar  kecilnya nafkah tergan tung pada keadaan kedua   belah pihak.
  Karena itu, suami  yang baik terten tu akan selalu berupaya memenuhi kewajibannya, sebab dapat  menambah rasa cinta kasih, melahirkan kebahagiaan, menegakkan ketaatan, dan  menaburkan kesetiaan terhadap isteri.   Tentu saja dia akan lebih mengutamakan  nafkah keluarga sebelum memenuhi kebutuhan - kebutuhan yang lain. Bahkan sebagai suami tidak akan merasa keberatan memberikan hadiah, baik berupa barang maupun tambahan nafkah,  kepada istrinya.
  Sehingga sebagai orang memprotes bahwa  perkawinan   model ini bertentangan dengan apa yang telah diterapkan oleh Allah SWT, sesuai dengan  ketetapan - Nya. Kaum laki - laki mempunyai hak untuk mengawasi wanita dan bertanggung jawab atas diri wanita beserta seluruh anggota keluarga. Dalam pelaksanaan model ini,  Seorang  laki - laki tidak dituntut memberikan nafkah  Shalah Abdul Qadir al - Bakriy, Al-Qur'an dan Pembinaan Insan, h. 305.
  Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Maz\hab, terj. Afif muhammad h.
  Mudjab Mahalli, Menikahlah Engkau Menjadi Kaya, h. 263   kepada wanita dan tidak pula berkewajiban menyediakan tempat tinggal bagi para  istrinya.
  Seperti pendapatnya Ibnu H{azm, apabila terjadi perkawinan,   maka wajib  nafkah, suami berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya semenjak adanya  akad, baik ia berniat akan membentuk rumah tangga ataupun tidak,  meskipun  isteri masih kanak- kanak, baik peremp uan itu  nusyu> z  kepada suaminya ataupun  tidak, baik si isteri itu miskin atau kaya, masih punya ayah maupun yatim, merdeka ataupun budak, menurut kemampuannya.
  Berangkat dari pemahaman di atas menarik untuk mengkaji pemikiran seorang tokoh yang berkompeten terhadap pemikiran hukum  Islam , yaitu   Yu>suf Qard}a>wi >  yang merupakan salah satu tokoh fiqih yang mempunyai pemikiran pemikiran tentang masalah kawin misya>r.
 Pemikiran yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah “ Analisis Hukum  Islam Terhadap Fatwa  Yu>suf Qard}a>wi >  TentangHal Kawin  Misya>r ” Yang  mana ia memfatwakan bahwa seorang suami dapat bebas dari kewajiban   terhadap isteri nya untuk memberikan hak yang sama dibanding isteri  yang lain  (isteri pertama).


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi