Selasa, 19 Agustus 2014

Skripsi Syariah:RELASI AGAMA DAN NEGARA DALAM PERSPEKTIF KH.A.WAHID HASYIMDAN RELEVANSINYA DENGAN KONDISI SEKARANG


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Wacana  tentang  relasi  agama  dan  negara,  seolah  tiada  habisnya.
 Perbincangan tersebut, senantiasa aktual dan faktual seiring dengan berlakunya konsepsi ajaran agama Islam yang multi interpretasi. Oleh karena itu, meskipun sudah  banyak  uraian  yang  diberikan  tentang  konsepsi  relasi  agama  dan  negara, upaya  untuk  mencari  format  yang  memungkinkan  akan  selalu  layak  untuk diperbincangkan  dan  diperdebatkan. Sebab,  meskipun Islam menekankan keselarasan  kehidupan  di  dunia  dan  akhirat,  namun landasan  teks  keagamaan untuk membentuk sebuah negara masih bisa diperdebatkan. Sehingga munculnya beberapa  kelompok  umat Islam dalam  menafsirkan  ajaran  agamanya  berkaitan dengan sistem politik dan pemerintahan merupakan sesuatu yang bisa dimengerti.

 Diskursus relasional itu terus terjadi karena alasan bahwa entitas ini samasama  memiliki  ‘pengikut’  dan  kepentingan  masing-masing.  Kuatnya  arus perdebatan  ini  dikarenakan  agama  memiliki  nilai  sakral,  karena  itu  seringkali diagungkan  dan  diunggulkan  untuk  menjadi  rujukan  bagi  para  pemeluknya.
 Sementara  politik,  di  sisi  lain,  adalah  semacam  kekuatan  pemaksa  yang  sangat berpengaruh  dalam  aktivitas  kenegaraan.  Dengan  politik  orang  dapat  mengatur orang lain, karena dia memiliki kekuasaan. Sedangkan negara, dengan model dan  caranya  sendiri  memiliki  kekuatan yang  cukup  dahsyat  dalam  mengatur masyarakatnya sebagai dasar legitimasi kekuasaan politik yang dimiliki.
  Banyaknya  upaya  yang  telah  dilakukan  para  ulama  dalam  rangka pencarian  format  relasi agama dan negara,  pada  dasarnya  mengandung  dua maksud. Pertama, untuk menemukan idealitas Islamtentang negara (menekankan aspek  teoritis  dan  formal),  yaitu  dengan  menjawab  pertanyaan,  “ Bagaimana bentuk negara dalam Islam?”. Pendekatan ini bertolak pada suatu asumsi bahwa Islam memiliki  konsep  tertentu  tentang  negara. Kedua,  untuk  melakukan idealisasi  dari  perspektif Islam terhadap  proses  penyelenggaraan  negara (menekankan  aspek  praktis  dan  substansial),  yakni  mencoba  menjawab pertanyaan, “Bagaimana isi negara menurut Islam?”.
 Maka  pertanyaan-pertanyaan  di  atas  pada  akhirnya  melahirkan  tiga kategorisasi pemikiran mengenai hubungan agama dan negara. Dalam perspektif Munawir Sjadzali, setidaknya terdapat tiga aliran dalam relasi agama dan negara.
 Pertama, aliran konservatif,  yang tetap mempertahankan integrasi antara agama dan  negara.  Aliran  ini berpendapat  bahwa Islam telah  lengkap  secara  paripurna dalam  mengatur  sistem  kemasyarakatan,  termasuk  di  dalamnya  masalah  politik.
 Dalam  paradigma  integralistik,  agama  dan  negara  menyatu.  Karenanya kepala negara  adalah  pemegang  kekuasaan  agama  dan  kekuasaan  politik.
 Pemerintahannya  diselenggarakan  atas  dasar  "kedaulatan  Ilahi" (divine soveregnity),karena kedaulatan berasal dan berada di "tangan Tuhan".
  Listiono Santoso, Teologi Politik Gus Dur,h.
  Kedua, aliran  modernis,  aliran  ini  berpendapat  bahwa Islam hanya mengatur  masalah  kemasyarakatan  secara  garis  besarnya  saja,  sedangkan  teknis pelaksanaannya  bisa  saja  mengadopsi  sistem  lain. Dengan  kata  lain,  corak pemikiran  yang  juga  disebut  simbiotik  ini,  agama  memerlukan  negara,  karena dengan  negara,  agama  dapat  berkembang.  Sebaliknya,  negara  juga  memerlukan agama,  karena  dengan  agama  negara  dapat  berkembang  dalam  bimbingan  etika dan moral-spiritual.
 Ketiga,  aliran  sekuler,  yang  berusaha  memisahkan  agama  dan  negara.
 Menurut  aliran  ini, Islam sebagaimana  agama-agama  lainnya,  tidak  mengatur masalah  keduniaan,  sebagaimana  yang  terdapat  dalam  masyarakat Barat.
  Paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama.
 Dari aspek sejarah, hubungan agama, terutama Islam di Indonesia, dengan negara pada sebagaian merupakan cerita antagonisme dan kecurigaan satu sama lain.  Hubungan  yang  kurang  harmonis  ini,  terutama,  tetapi  tidak  seluruhnya merupakan akibat dari perbedaan pandangan founding fathers, mengenai bentuk  Ketiga kategori ini mengikuti pola yang dibuat oleh Munawir Sjadzali yang kemudian diikuti oleh Masykuri Abdillah. Ketiga kelompok itu, yang oleh Munawwir tidak dimasukkan ke dalam term politik  tertentu,  menurut  Masykuri  terbagi  menjadi  tiga;  Konservatif, Modernis  dan  Sekuler.
 Sementara Bahtiar Effendi mengelompokkannya dalam dua spektrum pemikiran : formal idealistik dan substansial realistik. Berbeda dengan Munawir, M Din Syamsudin membaginya dalam ke dalam tiga paradigma.  Masing-masing  adalah  integralistik,  simbiotik,  dan  sekularistik.  Baca  Munawir  Sjadzali, Islam  Dan  Tata  Negara;  Ajaran,  Sejarah  Dan  Pemikiran, h.  1-3;  begitu  pula  Masykuri  Abdillah, Demokrasi  di  Persimpangan  Makna: Respon  Intelektual  Muslim  Indonesia  Terhadap  Demokrasi (1966-1993), h. 57; bandingkan dengan Bahtiar Effendi, Islam Dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik di Indonesia, h. 6-15. Bandingkan dengan M. Din Syamsudin, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah pemikiran Politik Islam, dalam Jurnal Ulumul Quran, (Nomor 2, vol IV, th 1992), h 4-7.
  negara Indonesia yang dicita-citakan. Salah satu butir terpenting dalam perbedaan pendapat di atas adalah apakah negara ini bercorak “Islam” atau “nasionalis”.
  Perdebatan  berlangsung  tatkala para founding  fathers yang  tergabung dalam BPUPKI  (Badan Penyelidik Usaha-Usaha  Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Dokuritsu  Zyunbi  Tyoosakai) membahas  bentuk dasar  negara  dan bentuk  pemerintahan.
  Dari  62  anggota  BPUPKI,  terbagi  dua  arus  besar; golongan  nasionalis  sekuler  serta  nasionalis Islami. Namun,  dari  jumlah  itu, hanya 25 % saja yang dianggap mewakili kepentingan Islam, selebihnya mewakili pandangan  nasionalisme  sekuler  yang  dalam  hal  ini  enggan  membawa  agama dalam  masalah  kenegaraan.  Sehingga tampaknya  dukungan  pemerintah pendudukan Jepang kepada Islamtak dapat lagi diharapkan.
  KH.A. Wahid Hasyim salah seorang intelektual muda pesantrendan tokoh NU, termasuk dalam barisan nasionalis Islam dalam BPUPKI bersama Abikusno Tjokrosujoso  (Sarekat Islam),  Kahar  Muzakkir  (Muhammadiyah),  Agus  Salim (PII).  Mereka mempelopori  disahkannya  Piagam Jakarta,  setelah  melalui perdebatan  panjang. Keempat  orang  ini,  secara  ideologis  berseberangan dengan   Kedua  corak  pemikiran  kenegaraan  ini  ini  diungkapkan  oleh  Bahtiar  Effendi.  Lihat  Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h.
   Endang  Saifuddin  Anshari, Piagam  Jakarta  22  Juni  1945 dan  Sejarah  Konsensus Nasional Antara  Nasionalis  Islami  dan  Nasionalis  Sekular  Tentang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia 1945-1959, h.
  ibid, h 26; Lihat pula Prawoto Mangkusasmito, Perumusan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah  Proyeksi,  h.  12.  Sebagai  pembanding  lihat  juga  Harry  J.  Benda, Bulan  Sabit  Dan  Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang,h 222-  kelompok nasionalis sekuler seperti Soekarno, M. Hatta, M Yamin, A Soebardjo, serta AA Maramis.
  Dari  latar  belakang  peristiwa  di  atas,  kita  dapat  melihat apa  yang dilakukan KH.  A.  Wahid  Hasyim sangat  penting  dan  menarik,  sebab di  antara beberapa  usulnya  adalah dicantumkannya Islam secara  formal  sebagai  agama negara  disertai syarat  bahwa  presiden  harus orang Islam. Selain  itu,  upaya formalisasi Islamsebagai agama negara juga tampak dalam proses perumusan dan pengesahan Piagam Jakarta.
 Meski sebelumnya bersikukuh menempatkan Islamsebagai dasar negara, KH.A.  Wahid  Hasyim justru  menyetujui  penghapusan  tujuh  kata  itu  dari  UUD 1945.  Terlepas  dari  polemik  dan  kontroversi  yang  seputar  kehadiran KH.A.
 Wahid  Hasyim pada  18 Agustus itu,  tak  dapat  diragukan  bahwa  peran  dan kontribusi KH.A. Wahid Hasyim dalam perumusan dasar negara menjadi sangat signifikan.
 Selain  dikenal  sebagai agamawan, tokoh  pembaru  pesantren   dan negarawan,   satu  hal  yang  pantas  dikagumi  dari  sosok KH.A.  Wahid  Hasyim adalah produktifitasnya  sebagai  penulis. Tulisannya  padat,  tajam,  dan  kritis.
  B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1972,h.
  Substansi dari ide pembaharuan yang dikemukakan K.H..A. Wahid Hasyim adalah perubahan paradigmatik pesantren sekaligus madrasah saat itu. Achmad Zaini mengklasifikasikan pembaharuan paradigma  tersebut  ke  dalam  tiga  kelompok;  paradigma  teosentris  ke  antroposentris,  paradigma dikotomik ke non dikotomis, dan paradigma teoritis menuju praktis. Selengkapnya baca karya Achmad Zaini, Kyai  Haji  Abdul  Wahid  Hasyim; His  Contribution  To  Moslem  Educational  Reformand Indonesian Nationalism During The Twentith Century. Serta Rochman Basori, The Founding Father Pesantren Modern Indonesia; Jejak Langkah KH. A. Wahid Hasyim  Sutjianingsih, KH.A. Wahid Hasyim,h. 3-  Sebagai  seorang  pemimpin  Islam  yang  produktif  menulis,  ia  mengungkapkan pendapatnya  dalam  berbagai  perspektif; dari  agama,  politik,  masyarakat,  dan berbagai  persoalan  kebangsaan,  terutama  pada  pergerakan  nasional di masa revolusi.  Sebagai  pemikir  berlatar  belakang  keislaman  yang  kuat,  seringkali  ia menyitir ayat  dan  hadith. Acapkali  ia juga  mengggunakan  pendekatan  sosiologi dan  filsafat. Selain  mengunakan  nama  asli,  kadangkala  ia  menulis  dengan menggunakan nama samaran. Berbagai tulisannya telah terangkum dalam Sejarah Hidup KH. KH.A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar,  dan Mengapa Memilih NU: Konsepsi tentang Agama, Pendidikan dan Politik.
  Mengenai tulisan-tulisan KH.A. Wahid Hasyim, Saifullah Ma’shum menilai bahwa : Pertama, betapa Abdul KH.A. Wahid Hasyimmemiliki jiwa toleransi yang tinggi  terhadap  perbedaan  paham  dan  bersikap  proporsional  dalam menyikapi  setiap  persoalan  yang  dihadapi; Kedua,  besarnya  kepedulian terhadap  peningkatan  kualitas  hidup  umat Islam;  dan Ketiga,  adalah sikap kritisnya yang tak pernah padam meskipun menyangkut umat Islam sendiri.  Melalui  tulisannya,  kita  menangkap getaran  keprihatinan  yang sangat  dari KH.A.  Wahid  Hasyim setiap dia  menyaksikan  kondisi  umat Islamketika itu.
  Saifuddin  Zuhri,  salah  satu  kader  didikan KH.A.  Wahid  Hasyim dan Mantan  Menteri  Agama  mengungkapkan  kekagumannya  pada tulisan-tulisan gurunya : “Tulisan-tulisannya itu melukiskan betapa jauh pandangannya ke depan serta  betapa  luas  pengetahuannya.  Ditulis  dengan gaya  populer,  ilmiah   Berbagai  tulisan  KH.A.  Wahid  Hasyim  ini  berhasil  dihimpun  oleh  Aboebakar  Atjeh.  Lihat Aboebakar Atjeh,, Sejarah Hidup K.H.A. Wahid dan Karangan Tersiar  KH.A.  Wahid  Hasyim: Mengapa  Memilih  NU, Konsepsi  tentang  Agama,  Pendidikan  dan Politik,Buntaran Sanusi dkk (Ed.)  Saifullah  Ma’shum (ed), Menapak  Jejak  Mengenal  Watak: Sekilas  Biografi  26  Tokoh Nahdlatul Ulama, h. 310-  dan  dalam  susunan  gaya  bahasa  yang  bagus  sekali.  Dibentangkannya, misalnya, tentang  bagaimana  kedudukan  kita  di  tengah -tengah  kancah perjuangan, ke mana jalan yang hendak kita tuju, manfaat apa yang bakal kita capai, tetapi juga resiko apa yang akan kita hadapi. Uraiannya jelas, mantap, dan sangat mengesankan.”  Sejalan  dengan  apa  yang  diungkapkan  oleh Ma’shum  dan Zuhri, Abdurrahman Mas’ud melihat KH.A. Wahid Hasyim sebagai seorang ulama yang mampu  berpikir  ke  depan  (visioner-futuristik)  dengan  ide-ide  besarnya yang orisinil. Namun, ia menilai mengkaji pemikiran KH.A. Wahid Hasyimtak mudah.
 Sebab, meskipun ia ulama intelektualyang produktif, namun sayang pemikiranpemikirannya banyak yang tak terpublikasikan.
  Dalam konteks perjuangan kebangsaan Indonesia, keberadaan dan peranan yang dimainkan KH.A. Wahid Hasyim begitu signifikan dalam membangun dan membangkitkan  semangat  kebangsaan  dan  pemahaman  yang  utuh  tentang keagamaan pada masyarakat Indonesia. Sehingga masyarakat akan lebih mengerti tentang Islamyang sesungguhnya. Penyikapan inilah yang kemudian melahirkan sikap nasionalisme yang dilandasi nilai-nilai keislaman. Dari berbagai gambaran latar  belakang  tersebut, peneliti  tertarik  melakukan  kajian  terhadap  pemikiran KH.A.  Wahid  Hasyim di  bidang  keagamaan  dan  kenegaraan,  terutama  relasi antara  keduanya,  dan  relevansi  pemikirannya  dengan  kondisi  sekarang,  yang dalam  skripsi  ini  dimulai  sejak  era  reformasi.  Sebab,  meskipun  ia  tokoh  yang  Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang Dari Pesantren, h. 113-   Abdurrahman  Mas’ud,  “Kata  Pengantar” dalam  Rochman  Basori, The  Founding  Father Pesantren Modern Indonesia; Jejak Langkah KH.A. Wahid Hasyim, h. vii  berpengaruh,  namun  hingga  kini  penelitian  yang  mengkaji  pemikiran KH.A.
 Wahid  Hasyim belum  banyak. Padahal,  pemikirannya  yang  cemerlang  masih relevan  dengan  konteks  kekinian.  Itu  artinya,  gagasan-gagasan KH.A.  Wahid Hasyim jauh melampaui zamannya.
 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah : 1. Bagaimanakah pandangan KH.A.  Wahid  Hasyim tentang relasi  agama  dan negara? 2. Bagaimanakah  relevansi  pemikiran KH.A.  Wahid  Hasyim tentang  relasi agama dan negara dengan kondisi Indonesia saat ini? C. Kajian Pustaka Kajian terhadap sosok KH.A. Wahid Hasyimtelah dilakukan oleh peneliti lain.  Penelitian-penelitian  tersebut,  berdasarkan  temanya  dapat  diklasifikasikan sebagai berikut : Pertama, buku yang  menghimpun  tulisan KH.A.  Wahid  Hasyim seperti yang disunting oleh Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan  Tersiar. Buku  setebal  hampir  1000  halaman  ini  diterbitkan  dalam rangka mengenang sosok mantan Menteri Agama itu. Selain mengupas biografi, perjuangan,  dan  pandangan-pandangannya,  buku  ini  juga  memuat  kumpulan tulisan KH.A.  Wahid  Hasyim yang  sebelumnya  tercecer  di  berbagai  media.
  Dengan masih menggunakan ejaan yang belum disempurnakan, buku ini memiliki bobot khusus untuk dijadikan sebagai referensi primer dalam penelitian ini.
 Selain itu, Buntaran Sanusi bersama beberapa kawannya jugamenyunting beberapa tulisan KH.A. Wahid Hasyim pada era 1940-1952 dengan judul KH.A.
 Wahid  Hasyim: Mengapa  Memilih  NU?: Konsepsi  tentang  Agama,  Pendidikan dan Politik.Sebagaiman karyaAtjeh, buku ini juga memuat berbagai karya tulis KH.A. Wahid Hasyim. Hingga beberapa tulisan KH.A. Wahid Hasyimyang telah dimuat dalam buku Sejarah Hidup KH.A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, juga  masuk  dalam  buku  ini. Buku  ini  dijadikan  sebagai  rujukan  utama  karena memuat  pandangan-pandangan KH.A.  Wahid  Hasyim perihal keagamaan  dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi