Selasa, 19 Agustus 2014

Skripsi Syariah:STUDI KASUS OPERASIONALISASI BILYARD DI DESA TERUNG WETAN KECAMATAN KRIAN KABUPATEN SIDOARJO (Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam)


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang Masalah  Allah SWT telah menetapkan hukum-hukum ‘uqubat(pidana, sanksi, dan  pelanggaran) dalam peraturan Islam sebagai “pencegah” dan “penebus”. Sebagai  pencegah, karena ia berfungsi mencegah manusia dari tindakan kriminal; dan  sebagai penebus, karena ia berfungsi menebus dosa seorang muslim dari azab  Allah di hari kiamat. Keberadaan ‘uqubat dalam Islam, yang berfungsi sebagai  pencegah, telah disebutkan dalam Al-Quran surat al-Baqarah: 179 berikut ( Artinya: “Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan)  hidup  bagimu,  hai  orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”  Yang dimaksud dengan “ada jaminan kehidupan” sebagai akibat  pelaksanaan qisas adalah melestarikan kehidupan masyarakat, bukan kehidupan  sang terpidana. Sebab, bagi dia adalah kematian. Sedangkan bagi masyarakat  yang menyaksikan penerapan hukuman  tersebut—bagi orang-orang yang  berakal—tentulah menjadi tidak berani membunuh, sebab konsekuensi   Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 44.

1  2  membunuh adalah dibunuh. Demikian pula halnya dengan hukuman-hukuman  lainnya, sebagai bentuk pencegahan terjadinya kriminalitas yang merajalela.
 Dalam mengatur masalah ini, Islam menempuh dua cara. Pertama,  menetapkan hukuman berdasarkan nas (al-Quran dan hadis). Dalam cara ini,  Islam tidak memberikan kepada penguasa untuk menetapkan hukuman yang  menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan  Sunnah. Hukuman-hukuman untuk tindak pidana, tidak berubah sepanjang masa.
Inilah yang berbeda dengan penafsiran hukum pidana yang berlaku sekarang di  berbagai negara termasuk Indonesia.
Kedua, menyerahkan penetapannya kepada ulul amri (penguasa). Cara ini  dalam Islam memberikan kesempatan yang luas kepada ulul amri untuk  menetapkan macam-macam tindakan pidana dan hukumannya. Al-Quran dan  Sunnah hanya memberikan ketentuan umum yang penjabarannya diserahkan  kepada penguasa. Ketentuan umum tersebutadalah bahwa setiap perbuatan yang  merugikan, baik terhadap individu maupun masyarakat, merupakan tindak  pidana yang harus dikenakan hukuman. Tindak pidana yang termasuk kelompok  ini, oleh fuqaha dinamakan jarimah  takzir dan hukumannnya pun disebut  hukuman takzir.
  Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, h. 14.
 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 12.
3  Dengan demikian, ketaatan kepada pemimpin menjadi ketentuan yang  harus dilakukan oleh setiap warga negara. Sebagaimana firman Allah dalam alQuran surat al-Nisa ayat 59 ( Artinya: “Wahai orang-orang yang berima, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya  dan ulil amri di antara kamu”  Dalam berbagai penafsiran, kata “ulil amri” di antaranya menyebutkan:  1.  Para ulama yang amilin, ulama yang kewibawaannya dihormati orang  banyak.
2.  Ahl al-hall wa al-‘aqd.
3.  Orang-orang yang berkuasa didalam sebuah negeri atau sebuah negara.
4.  Pemimpin-pemimpin jamaah Islam.
Kebanyakan ulama termasuk Imam Ashaari Muhammad Attamimi lebih  banyak yang berpendapat bahwa yang dimaksud ulil amri adalah penguasa di  sebuah negara atau sektor eksekutif. Dalam konteks saat ini, ulil amri bisa  diterjemahkan sebagai Presiden dan perangkatnya termasuk para kepala daerah.
Di sisi lain, pemimpin juga dituntut untuk menerapkan kebijakankebijakan yang berorientasi pada kemaslahatan rakyatnya. Hal ini sebagaimana  kaidah fikih yang berbunyi Departemen Agama, Al-Quran…, h. 128.
 Imam Ashaari Muhammad Attamimi, Meninjau Sistem Pemerintahan Islam, h. 44.
4  Artinya: “Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus dihubungkan dengan  kemaslahatan”  Dengan demikian, setiap kebijakan yang diambil oleh pemimpin (ulul  amri) harus ditujuakn untuk kemaslahatanrakyat, baik itu untuk mendatangkan  kebaikan maupun mencegah atau menghilangkan kerusakan, terutama yang  berkaitan dengan ketentuan syariat Islam.
Terkait dengan ketaatan warga negara kepada pemerintah daerah dan  kebijakan yang dilakukan pemerintah, ada fenomena di Kabupaten Sidoarjo yang  patut diperhatikan, tepatnya di Desa Terung Wetan Kecamatan Krian. Sejak  sekitar tahun 1997, masyarakat di lokasi tersebut banyak yang membuka arena  permainan bilyard yang disinyalir bertentangan dengan Peraturan Daerah (Perda)  Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo No. 10 Tahun 2008 tentang  Kepariwisataan. Sebab, dalam pasal 4 disebutkan tentang Usaha Objek dan Daya  Tarik Wisata, No. D 17 adalah Bola Sodok / Bilyard  . Perijinannya kemudian  diatur dalam aturan tambahan yang dibuat oleh Dinas Pemuda, Olahraga dan  Pariwisata Kabupaten Sidoarjo, bahwa pendirian arena bilyard dengan 3 meja  harus mendapatkan perijinan dari Kantor Kecamatan masing-masing dan bilyard  4 meja lebih harus mendapatkan perijinan dari Dinas Pariwisata Pemkab  Sidoarjo.
  Imam Musbihin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, h. 124.
 Pasal 4 No. D 17 Perda Kabupaten Sidoarjo No. 10 Tahun 2008 tentang Kepariwisataan  http://sidoarjo.sytes.net/p3msda, Kode Pengaduan 02009010034 yang dijawab pada 23  Januari 2009  5  Namun kenyataannya, beberapa pengusaha yang membuka arena bilyard  di Kabupaten Sidoarjo banyak yang tidak memiliki ijin sesuai dengan ketentuan  Perda tersebut. Dinas Pariwisata Kabuaten Sidoarjo menerangkan, saat  melakukan sidak pada Sabtu tanggal 31 Januari 2009 pukul 23.00 WIB,  setidaknya ada lima dari sejumlah usaha Bilyard yang ada di wilayah Kota  Sidoarjo tidak ada ijin. Bahkan ditengarai arena bilyard di Desa terung Wetan  Kecamatan Krian operasinya sampai larut malam, sehingga perlu menjadi target  operasi dengan sasaran penyalahgunaan minuman keras, narkoba, traficking, dan  penyimpangan lainnya.
 Menurut Perda Pemkab Sidoarjo No. 10 Tahun 2008 Pasal 118, mestinya  pelanggaran terhadap ketentuan Perda akan dikenakan sanksi pidana kurungan  paling lama 6 bulan atau denda Rp. 50.000.000,-. Masalahnya, hingga saat ini  penerapan sanksi tersebut tidak terlaksana. Padahal Pemkab Sidoarjo, dalam hal  ini Dinas Pariwisata dan Bakesbanglinmas, secara jelas mengetahui pelanggaran  tersebut.
Sejauh pengamatan penulis, arena bilyard di Desa Terung Wetan  Kecamatan Krian tetap beroperasi seperti biasa tanpa mengantongi perijinan  sesuai ketentuan Perda tersebut dan pihak pemerintah daerah yang diberi  wewenang untuk mengaturnya juga bergeming meskipun mengetahui  pelanggaran yang terjadi.
 Dinas Pariwisata, www.dinaspariwisatasidoarjo.go.id  6  Dalam konteks itulah penelitian ini dilakukan. Dengan menentukan judul  “Studi Kasus Operasionalisasi Bilyard di Desa Terung Wetan Kecamatan Krian  Kabupaten Sidoarjo (Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam)”, penelitian ini  bertujuan untuk menemukan jawaban-jawaban atas fenomena yang tidak sesuai  dengan Perda Pemerintah Kabupaten Sidoarjo No. 10 Tahun 2008, baik yang  dilakukan oleh pelaku usaha maupun Pemerintah Daerah yang berwenang  ditinjau dari perspektif hukum pidana Islam.
B.  Rumusan Masalah  Dari latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang menjadi  fokus penelitian ini adalah:  1.  Mengapa sebagian besar masyarakat Terung Wetan melanggar  operasionalisasi yang telah ditentukan dalam Perda No. 10 Tahun 2008  tentang Kepariwisataan?  2.  Mengapa tidak ada optimalisasi sanksi terhadap pelanggaran ijin  operasionalisasi arena bilyard dari Pemerintah Kabupaten Sidoarjo?  3.  Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap ketentuan  operasionalisasi bilyard dan pelaksanaan sanksi sebagaimana diatur dalam  Perda Kabupaten Sidoarjo No. 10 Tahun 2008 tentang Kepariwisataan?  7  C.  Kajian Pustaka  Pembahasan tentang tinjauan hukum Islam terhadap penerapan sanksi  pidana yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya sudah ada yang meneliti di  antaranya skripsi berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Sanksi  Hukum bagi Pengusaha Perdagangan yang Tidak Memiliki Surat Izin Usaha  Perdagangan” oleh Nurul Hakim. Fokus penelitiannya ada pada analisis hukum  Islam terhadap ketentuan sanksi yang ditetapkan undang-undang bagi pengusaha  yang melanggar peraturan perijinan usaha atau SIUP.
Terdapat pula skripsi berjudul “Dakwah Islam dalam Mengantisipasi  Dampak Negatif Permainan Bilyard di Kalangan Remaja di Desa Kamal Kec.
Kamal Kab. Bangkalan” yang ditulis oleh Muhammad Nur Abidin, mahasiswa  Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel pada 1997. dalam sekripsi tersebut, penulis  mengukur keberhasilan dakwah untuk mengantisipasi dampak negatif permainan  bilyard terhadap remaja di lokasi penelitian.
Penelitian lain ditulis oleh Nur Hanijo, mahasiswa Fakultas Syariah IAIN  Sunan Ampel pada 2005 dengan judul “Penutupan Hiburan Umum selama Bulan  Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri dalam Perspektif Hukum Islam (Studi atas  Pasal 60 ayat 2 Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 6 Tahun 2003)”. Inti  penelitian ini adalah meninjau tindakan Pemerintah Surabaya yang menutup  tempat hiburan umum berdasarkan Perda, termasuk arena bilyard, selama bulan  Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri dalam perspektif hukum Islam.
8  Sedangkan penelitian yang akan dilakukan ini lebih terfokus pada analisis  hukum pidana Islam terhadap pelanggaranketentuan perijinan arena pariwisata  (bilyard) dan tidak optimalnya penerapan sanksi yang telah ditetapkan dalam  Perda Pemkab Siidoarjo.
D. Tujuan Penelitian  Dalam pelaksanaan penelitian ini tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh  penulis adalah:  1.  Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan sebagian besar  masyarakat Terung Wetan melanggar operasionalisasi yang telah ditentukan  dalam Perda No. 10 Tahun 2008 tentang Kepariwisataan.
2.  Untuk mencari jawaban penyebab tidak adanya optimalisasi sanksi terhadap  pelanggaran ijin operasionalisasi arena bilyard dari Pemerintah Kabupaten  Sidoarjo.
3.  Untuk mendeskripsikan relevansi ketentuan operasionalisasi bilyard dalam  Perda Kabupaten Sidoarjo No. 10 Tahun 2008 tentang Kepariwisataan  dengan hukum pidana Islam dan menghasilkan analisa yang detail dalam  pelaksanaan sanksi pelanggaran operasional arena bilyard di Desa Terung  9  Kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjodalam perspektif hukum pidana  Islam.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi