BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Allah SWT telah menetapkan hukum-hukum
‘uqubat(pidana, sanksi, dan pelanggaran)
dalam peraturan Islam sebagai “pencegah” dan “penebus”. Sebagai pencegah, karena ia berfungsi mencegah manusia
dari tindakan kriminal; dan sebagai
penebus, karena ia berfungsi menebus dosa seorang muslim dari azab Allah di hari kiamat. Keberadaan ‘uqubat dalam
Islam, yang berfungsi sebagai pencegah,
telah disebutkan dalam Al-Quran surat al-Baqarah: 179 berikut ( Artinya: “Dan
dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan)
hidup bagimu, hai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertakwa” Yang
dimaksud dengan “ada jaminan kehidupan” sebagai akibat pelaksanaan qisas adalah melestarikan
kehidupan masyarakat, bukan kehidupan sang
terpidana. Sebab, bagi dia adalah kematian. Sedangkan bagi masyarakat yang menyaksikan penerapan hukuman tersebut—bagi orang-orang yang berakal—tentulah menjadi tidak berani
membunuh, sebab konsekuensi Departemen
Agama, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 44.
1 2 membunuh
adalah dibunuh. Demikian pula halnya dengan hukuman-hukuman lainnya, sebagai bentuk pencegahan terjadinya
kriminalitas yang merajalela.
Dalam mengatur masalah ini, Islam menempuh dua
cara. Pertama, menetapkan hukuman berdasarkan
nas (al-Quran dan hadis). Dalam cara ini, Islam tidak memberikan kepada penguasa untuk
menetapkan hukuman yang menyimpang dari
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan Sunnah. Hukuman-hukuman untuk tindak pidana,
tidak berubah sepanjang masa.
Inilah yang berbeda dengan
penafsiran hukum pidana yang berlaku sekarang di berbagai negara termasuk Indonesia.
Kedua, menyerahkan penetapannya
kepada ulul amri (penguasa). Cara ini dalam
Islam memberikan kesempatan yang luas kepada ulul amri untuk menetapkan macam-macam tindakan pidana dan
hukumannya. Al-Quran dan Sunnah hanya
memberikan ketentuan umum yang penjabarannya diserahkan kepada penguasa. Ketentuan umum tersebutadalah
bahwa setiap perbuatan yang merugikan,
baik terhadap individu maupun masyarakat, merupakan tindak pidana yang harus dikenakan hukuman. Tindak
pidana yang termasuk kelompok ini, oleh
fuqaha dinamakan jarimah takzir dan
hukumannnya pun disebut hukuman takzir.
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, h. 14.
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 12.
3 Dengan demikian, ketaatan kepada pemimpin
menjadi ketentuan yang harus dilakukan
oleh setiap warga negara. Sebagaimana firman Allah dalam alQuran surat al-Nisa
ayat 59 ( Artinya: “Wahai orang-orang yang berima, taatilah Allah dan taatilah
rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu” Dalam berbagai penafsiran, kata “ulil amri”
di antaranya menyebutkan: 1. Para ulama yang amilin, ulama yang
kewibawaannya dihormati orang banyak.
2. Ahl al-hall wa al-‘aqd.
3. Orang-orang yang berkuasa didalam sebuah
negeri atau sebuah negara.
4. Pemimpin-pemimpin jamaah Islam.
Kebanyakan ulama termasuk Imam
Ashaari Muhammad Attamimi lebih banyak
yang berpendapat bahwa yang dimaksud ulil amri adalah penguasa di sebuah negara atau sektor eksekutif. Dalam
konteks saat ini, ulil amri bisa diterjemahkan
sebagai Presiden dan perangkatnya termasuk para kepala daerah.
Di sisi lain, pemimpin juga
dituntut untuk menerapkan kebijakankebijakan yang berorientasi pada
kemaslahatan rakyatnya. Hal ini sebagaimana kaidah fikih yang berbunyi Departemen Agama,
Al-Quran…, h. 128.
Imam Ashaari Muhammad Attamimi, Meninjau
Sistem Pemerintahan Islam, h. 44.
4 Artinya: “Kebijakan pemimpin terhadap
rakyatnya harus dihubungkan dengan kemaslahatan” Dengan demikian, setiap kebijakan yang
diambil oleh pemimpin (ulul amri) harus
ditujuakn untuk kemaslahatanrakyat, baik itu untuk mendatangkan kebaikan maupun mencegah atau menghilangkan
kerusakan, terutama yang berkaitan
dengan ketentuan syariat Islam.
Terkait dengan ketaatan warga
negara kepada pemerintah daerah dan kebijakan
yang dilakukan pemerintah, ada fenomena di Kabupaten Sidoarjo yang patut diperhatikan, tepatnya di Desa Terung
Wetan Kecamatan Krian. Sejak sekitar
tahun 1997, masyarakat di lokasi tersebut banyak yang membuka arena permainan bilyard yang disinyalir bertentangan
dengan Peraturan Daerah (Perda) Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) Sidoarjo No. 10 Tahun 2008 tentang Kepariwisataan. Sebab, dalam pasal 4
disebutkan tentang Usaha Objek dan Daya Tarik
Wisata, No. D 17 adalah Bola Sodok / Bilyard
. Perijinannya kemudian diatur
dalam aturan tambahan yang dibuat oleh Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Sidoarjo, bahwa pendirian
arena bilyard dengan 3 meja harus
mendapatkan perijinan dari Kantor Kecamatan masing-masing dan bilyard 4 meja lebih harus mendapatkan perijinan dari
Dinas Pariwisata Pemkab Sidoarjo.
Imam Musbihin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, h. 124.
Pasal 4 No. D 17 Perda Kabupaten Sidoarjo No.
10 Tahun 2008 tentang Kepariwisataan http://sidoarjo.sytes.net/p3msda,
Kode Pengaduan 02009010034 yang dijawab pada 23 Januari 2009 5 Namun
kenyataannya, beberapa pengusaha yang membuka arena bilyard di Kabupaten Sidoarjo banyak yang tidak
memiliki ijin sesuai dengan ketentuan Perda
tersebut. Dinas Pariwisata Kabuaten Sidoarjo menerangkan, saat melakukan sidak pada Sabtu tanggal 31 Januari
2009 pukul 23.00 WIB, setidaknya ada
lima dari sejumlah usaha Bilyard yang ada di wilayah Kota Sidoarjo tidak ada ijin. Bahkan ditengarai
arena bilyard di Desa terung Wetan Kecamatan
Krian operasinya sampai larut malam, sehingga perlu menjadi target operasi dengan sasaran penyalahgunaan minuman
keras, narkoba, traficking, dan penyimpangan
lainnya.
Menurut Perda Pemkab Sidoarjo No. 10 Tahun
2008 Pasal 118, mestinya pelanggaran
terhadap ketentuan Perda akan dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda Rp.
50.000.000,-. Masalahnya, hingga saat ini penerapan sanksi tersebut tidak terlaksana.
Padahal Pemkab Sidoarjo, dalam hal ini
Dinas Pariwisata dan Bakesbanglinmas, secara jelas mengetahui pelanggaran tersebut.
Sejauh pengamatan penulis, arena
bilyard di Desa Terung Wetan Kecamatan
Krian tetap beroperasi seperti biasa tanpa mengantongi perijinan sesuai ketentuan Perda tersebut dan pihak
pemerintah daerah yang diberi wewenang
untuk mengaturnya juga bergeming meskipun mengetahui pelanggaran yang terjadi.
Dinas Pariwisata,
www.dinaspariwisatasidoarjo.go.id 6 Dalam konteks itulah penelitian ini dilakukan.
Dengan menentukan judul “Studi Kasus
Operasionalisasi Bilyard di Desa Terung Wetan Kecamatan Krian Kabupaten Sidoarjo (Dalam Perspektif Hukum
Pidana Islam)”, penelitian ini bertujuan
untuk menemukan jawaban-jawaban atas fenomena yang tidak sesuai dengan Perda Pemerintah Kabupaten Sidoarjo No.
10 Tahun 2008, baik yang dilakukan oleh
pelaku usaha maupun Pemerintah Daerah yang berwenang ditinjau dari perspektif hukum pidana Islam.
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas, rumusan
masalah yang menjadi fokus penelitian
ini adalah: 1. Mengapa sebagian besar masyarakat Terung
Wetan melanggar operasionalisasi yang
telah ditentukan dalam Perda No. 10 Tahun 2008 tentang Kepariwisataan? 2.
Mengapa tidak ada optimalisasi sanksi terhadap pelanggaran ijin operasionalisasi arena bilyard dari Pemerintah
Kabupaten Sidoarjo? 3. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam
terhadap ketentuan operasionalisasi
bilyard dan pelaksanaan sanksi sebagaimana diatur dalam Perda Kabupaten Sidoarjo No. 10 Tahun 2008
tentang Kepariwisataan? 7 C.
Kajian Pustaka Pembahasan tentang
tinjauan hukum Islam terhadap penerapan sanksi pidana yang dilakukan oleh pemerintah
sebelumnya sudah ada yang meneliti di antaranya
skripsi berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Sanksi Hukum bagi Pengusaha Perdagangan yang Tidak
Memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan”
oleh Nurul Hakim. Fokus penelitiannya ada pada analisis hukum Islam terhadap ketentuan sanksi yang
ditetapkan undang-undang bagi pengusaha yang
melanggar peraturan perijinan usaha atau SIUP.
Terdapat pula skripsi berjudul
“Dakwah Islam dalam Mengantisipasi Dampak
Negatif Permainan Bilyard di Kalangan Remaja di Desa Kamal Kec.
Kamal Kab. Bangkalan” yang
ditulis oleh Muhammad Nur Abidin, mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel pada 1997.
dalam sekripsi tersebut, penulis mengukur
keberhasilan dakwah untuk mengantisipasi dampak negatif permainan bilyard terhadap remaja di lokasi penelitian.
Penelitian lain ditulis oleh Nur
Hanijo, mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Sunan
Ampel pada 2005 dengan judul “Penutupan Hiburan Umum selama Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri dalam
Perspektif Hukum Islam (Studi atas Pasal
60 ayat 2 Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 6 Tahun 2003)”. Inti penelitian ini adalah meninjau tindakan
Pemerintah Surabaya yang menutup tempat
hiburan umum berdasarkan Perda, termasuk arena bilyard, selama bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri dalam
perspektif hukum Islam.
8 Sedangkan penelitian yang akan dilakukan ini
lebih terfokus pada analisis hukum
pidana Islam terhadap pelanggaranketentuan perijinan arena pariwisata (bilyard) dan tidak optimalnya penerapan
sanksi yang telah ditetapkan dalam Perda
Pemkab Siidoarjo.
D. Tujuan Penelitian Dalam pelaksanaan penelitian ini tujuan-tujuan
yang ingin dicapai oleh penulis adalah: 1.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan sebagian besar masyarakat Terung Wetan melanggar
operasionalisasi yang telah ditentukan dalam
Perda No. 10 Tahun 2008 tentang Kepariwisataan.
2. Untuk mencari jawaban penyebab tidak adanya
optimalisasi sanksi terhadap pelanggaran
ijin operasionalisasi arena bilyard dari Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.
3. Untuk mendeskripsikan relevansi ketentuan
operasionalisasi bilyard dalam Perda
Kabupaten Sidoarjo No. 10 Tahun 2008 tentang Kepariwisataan dengan hukum pidana Islam dan menghasilkan
analisa yang detail dalam pelaksanaan
sanksi pelanggaran operasional arena bilyard di Desa Terung 9 Kecamatan
Krian Kabupaten Sidoarjodalam perspektif hukum pidana Islam.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi