Kamis, 28 Agustus 2014

Skripsi Syariah:STUDI ANALISIS ARAH KIBLAT MASJID AL-IJABAH GUNUNG PATI SEMARANG


 BAB I PENDAHULUAN
1.  Latar Belakang Masalah Permasalahan menghadap arah kiblat (Kabah) bermula ketika turun firman  Allah SWT dalam al-Quran surah al-Baqarah [2]: 144: “Kami  melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka  akan  kami  palingkan  engkau  ke  kiblat  yang  engkau  senangi.  Maka  hadapkanlah  wajahmu  ke  arah  Masjidilharam.  Dan  di  mana  saja  kamu  berada,  hadapkanlah  wajahmu  ke  arah  itu.  Dan  sesungguhnya  orangorang  yang  diberi  kitab  (Taurat  dan  Injil)  tahu,  bahwa  (pemindahan  kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan Mereka. Dan Allah tidak lengah  terhadap apa yang mereka kerjakan”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 144)  Sebelum  turunnya  ayat  ini  Rasulullah  pernah  shalat  menghadap  Bait  alMaqdis. Namun Rasulullah lebih cenderung untuk menghadap ke Kabah daripada ke  Bait al-Maqdis, tapi karena belum ada perintah dari Allah  SWT  maka beliau belum  bisa  melaksanakan  keinginannya.  Menariknya  ketika  itu  Kabah  berada  searah  dengan  Bait  al-Maqdis  dari  tempat  Rasulullah  melaksanakan  shalat,  sehingga  meskipun  secara  formal  Rasulullah  menghadap  ke  Bait  al-Maqdis  ketika  shalat   Departemen  Agama  RI,  AL-Quran  dan  Terjemahnya,  Bandung:  PT.  Sygma  Examedia  Arkanleema, 2009, hlm. 22   namun  secara  tidak  langsung  beliau  juga  menghadap  ke  Kabah.  Tetapi  ketika  peristiwa  hijrah  ke  Madinah,  Rasulullah  tidak  bisa  lagi  menggabung  kedua  tempat  mulia  (Kabah  dan  bait  al-Maqdis)  tersebut  sebagai  kiblat  shalat  karena  letaknya  tidak satu arah lagi sebagaimana halnya ketika di Makkah. Pada saat inilah keinginan  beliau  untuk  berpidah  arah  kiblat  dari  Bait  al-Maqdis  ke  Kabah  semakin  besar.

Beliau  senantiasa  berdoa  kepada  Allah   SWT  agar  keinginan  beliau  dikabulkan.
Sehingga turunlah firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 144 di atas.
 Meskipun  demikian  pada  dasarnya  Bait  al-Maqdis  dan  Kabah  sama  mulianya  di  sisi  Allah  SWT.  Dengan  demikian  pemindahan  arah  kiblat  tersebut  hanya sebagai ujian bagi manusia apakah ia benar-benar beriman kepada  Allah SWT atau  tidak.  Karena  hal  yang  paling  penting  dilakukan  dalam  ibadah  shalat  adalah  ketulusan  dalam  menjalankan  perintah-Nya,  disertai  dengan  kerendahan  hati  untuk  memohon petunjuk jalan yang lurus kepada-Nya. Jadi hakikat dari pemaknaan arah  kiblat  bukanlah  dari  kecendrungan  fisik  menghadap  ke  bangunannya  melainkan  kecendrungan hati disertai dengan ketulusan dan keikhlasan dalam menyembah-Nya.
Akhir-akhir ini permasalahan arah kiblat mulai ramai dibicarakan masyarakat  di Indonesia. Hal ini bermula  dari hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli  falak terhadap masjid-masjid yang ada di Indonesia sehingga mereka berkesimpulan  bahwa kebanyakan masjid di Indonesia tidak tepat arah kiblatnnya, oleh karena itu  perlu dilakukan pengecekan dan pelurusan kembali. Namun terjadi pro dan kontra di  masyarakat mengenai hal ini. Sebagian masyarakat yang kurang antusias mengatakan  bahwa tidak mungkin untuk dilakukan perubahan terhadap arah kiblat masjid-masjid  Jalaluddin  Abdurrahman  bin  Abu  Bakar  Assuyuthi,  Al-Durru  al-Mantsur  fi  Tafsir  alMatsur, Juz I., Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1990, hlm. 268-269.    yang  sudah  ada,  karena  menurut  mereka  masjid  merupakan  warisan  leluhur  yang  memiliki keramat sehingga harus selalu dijaga dan dipelihara keasliannya.
Pro dan kontra semakin membesar ketika pada tanggal 1 Februari 2010, MUI  pusat mengeluarkan fatwa no. 3 tahun 2010 tentang arah kiblat di Indonesia. Fatwa  tersebut meliputi tiga hal yaitu: 1.  Kiblat  bagi  orang  yang  shalat  dan dapat  melihat Kabah  adalah  menghadap  ke  bangunan Kabah.
2.  Kiblat  bagi  orang  yang  shalat  dan  tidak  dapat  melihat  Kabah  adalah  ke  arah  Kabah.
3.  Letak gografis Indonesia yang berada di  bagian timur Kabah, maka bagi orang  Indonesia adalah menghadap ke arah barat.
Selain  menetapkan  fatwa  tersebut  MUI  juga  merekomendasikan  agar  bangunan  masjid dan mushalla yang ada di Indonesia, sepanjang kiblatnya masih menghadap  ke arah barat maka tidak perlu dilakukan perubahan, pembongkaran dan lain-lain.
Dari fatwa tersebut muncullah beberapa komentar oleh sebagian masyarakat  terutama dari kalangan akademisi. Menurut mereka apa yang telah difatwakan oleh  MUI tersebut sangat tidak relevan dengan era yang sudah modern seperti sekarang  ini. Di mana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah sangat maju  sehingga  metode-metode  yang  dapat  digunakan  untuk  menentukan  arah  kiblat  dengan tepat dan akurat sudah sangat mudah diperoleh. Menurut mereka fatwa MUI  tidak menyelesaikan masalah yang ada, tetapi justru menimbulkan masalah baru.
Untuk menetralisir keadaan maka pihak akademisi dari IAIN walisongo yang  sedang  melakukan  studi  di  bidang  Ilmu  Falak,  sebagai  kepedulian  dan  keharusan   untuk  berkontribusi  dalam  masalah  ini  mencoba  mengadakan  seminar  yang  membahas  tentang  fatwa MUI  no.  3  tahun  2010  tersebut.  Akhirnya  dalam  seminar  tersebut  narasumber  yang  berasal  dari  MUI  mengakui  keteledorannya  dan  menyatakan  bahwa  akan  merekomendasikan  kepada  MUI  untuk  melakukan  revisi  terhadap fatwa no. 3 tahun 2010 tersebut.
Berdasarkan  buku-buku  sejarah  yang  bekaitan  dengan  masalah  arah  kiblat ditemukan  bahwa  pembahasan  mengenai  arah  kiblat,  sejak  dahulu  sudah  terjadi  perdebatan  di  kalangan  para  ulama  dan  itu  berlanjut  hingga  sekarang.  Namun,  meskipun terjadi perdebatan tentang masalah tersebut  toleransi tetap terjadi di antara  dan mereka masih dalam satu kesimpulan yang sama bahwasanya menghadap kiblat  adalah syarat sah shalat.
 Sehingga shalat seseorang dinyatakan tidak sah jika tidak  menghadap ke kiblat kecuali pada kasus-kasus tertentu.
 Oleh karena itu sebelum seseorang melakukan shalat, terlebih dahulu harus  memenuhi  syarat-syaratnya.  Baik  syarat  wajib  maupun  syarat  sah.  Salah  satunya  adalah harus yakin dan sadar bahwa arah kiblatnya sudah benar.
Dari  beberapa  keterangan  di  atas  maka  muncul  pertanyaan  “Apakah  yang  dimaksud arah kiblat tersebut harus menghadap persis ke kabah atau hanya dengan  memprediksi arahnya saja”.
Berangkat dari permasalahan terebut muncullah jawaban-jawaban dari para  ulama tentang masalah arah kiblat ini.  Pertama, golongan Hanafiyah, Hanabilah dan  Malikiyah  serta  sebagian  dari  kelompok  Syiah  Imamiyah  berpendapat  bahwa   Ibn  Rusyd,  Bidayah  al-Mujtahdi  wa  Nihayah  al-Muqtashid,  Juz  I.,  Beirut:  Dar  Ibnu  „Ashshashah, 2005, hlm. 92.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi