BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah Permasalahan menghadap
arah kiblat (Ka‟bah) bermula ketika turun firman Artinya:
“Kami melihat wajahmu (Muhammad)
sering menengadah ke langit, maka akan kami
palingkan engkau ke
kiblat yang engkau
senangi. Maka hadapkanlah
wajahmu ke arah
Masjidilharam. Dan di
mana saja kamu berada, hadapkanlah
wajahmu ke arah
itu. Dan sesungguhnya
orangorang yang diberi
kitab (Taurat dan
Injil) tahu, bahwa
(pemindahan kiblat) itu adalah
kebenaran dari Tuhan Mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan”. (Q.S.
Al-Baqarah [2]: 144) Sebelum
turunnya ayat ini
Rasulullah pernah shalat
menghadap Bait alMaqdis. Namun Rasulullah lebih cenderung
untuk menghadap ke Ka‟bah daripada ke Bait
al-Maqdis, tapi karena belum ada perintah dari Allah SWT
maka beliau belum bisa melaksanakan
keinginannya. Menariknya ketika
itu Ka‟bah berada
searah dengan Bait
al-Maqdis dari tempat
Rasulullah melaksanakan shalat,
sehingga meskipun secara
formal Rasulullah menghadap
ke Bait al-Maqdis
ketika shalat Departemen Agama
RI, AL-Qur‟an dan
Terjemahnya, Bandung: PT.
Sygma Examedia Arkanleema, 2009, hlm. 22 namun secara
tidak langsung beliau
juga menghadap ke
Ka‟bah. Tetapi ketika peristiwa
hijrah ke Madinah,
Rasulullah tidak bisa
lagi menggabung kedua
tempat mulia (Ka‟bah
dan bait al-Maqdis)
tersebut sebagai kiblat
shalat karena letaknya tidak satu arah lagi sebagaimana halnya ketika
di Makkah. Pada saat inilah keinginan beliau untuk
berpidah arah kiblat
dari Bait al-Maqdis
ke Ka‟bah semakin
besar.
Beliau
senantiasa berdo‟a kepada
Allah SWT agar
keinginan beliau dikabulkan.
Sehingga turunlah firman Allah SWT dalam Q.S.
al-Baqarah [2]: 144 di atas.
Meskipun
demikian pada dasarnya
Bait al-Maqdis dan
Ka‟bah sama mulianya
di sisi Allah
SWT. Dengan demikian
pemindahan arah kiblat
tersebut hanya sebagai ujian bagi
manusia apakah ia benar-benar beriman kepada
Allah SWT atau tidak. Karena
hal yang paling
penting dilakukan dalam
ibadah shalat adalah ketulusan
dalam menjalankan perintah-Nya,
disertai dengan kerendahan
hati untuk memohon petunjuk jalan yang lurus kepada-Nya.
Jadi hakikat dari pemaknaan arah kiblat bukanlah
dari kecendrungan fisik
menghadap ke bangunannya
melainkan kecendrungan hati
disertai dengan ketulusan dan keikhlasan dalam menyembah-Nya.
Akhir-akhir ini permasalahan arah kiblat mulai
ramai dibicarakan masyarakat di
Indonesia. Hal ini bermula dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli falak terhadap masjid-masjid yang ada di
Indonesia sehingga mereka berkesimpulan bahwa
kebanyakan masjid di Indonesia tidak tepat arah kiblatnnya, oleh karena itu perlu dilakukan pengecekan dan pelurusan
kembali. Namun terjadi pro dan kontra di masyarakat mengenai hal ini. Sebagian
masyarakat yang kurang antusias mengatakan bahwa tidak mungkin untuk dilakukan perubahan
terhadap arah kiblat masjid-masjid Jalaluddin
Abdurrahman bin Abu
Bakar Assuyuthi, Al-Durru
al-Mantsur fi Tafsir
alMa‟tsur, Juz I., Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1990, hlm.
268-269. yang sudah
ada, karena menurut
mereka masjid merupakan
warisan leluhur yang memiliki
keramat sehingga harus selalu dijaga dan dipelihara keasliannya.
Pro dan kontra semakin membesar ketika pada
tanggal 1 Februari 2010, MUI pusat
mengeluarkan fatwa no. 3 tahun 2010 tentang arah kiblat di Indonesia. Fatwa tersebut meliputi tiga hal yaitu: 1. Kiblat
bagi orang yang
shalat dan dapat melihat Ka‟bah adalah
menghadap ke bangunan Ka‟bah.
2.
Kiblat bagi orang
yang shalat dan
tidak dapat melihat
Ka‟bah adalah ke
arah Ka‟bah.
3.
Letak gografis Indonesia yang berada di
bagian timur Ka‟bah, maka bagi orang Indonesia adalah menghadap ke arah barat.
Selain
menetapkan fatwa tersebut
MUI juga merekomendasikan agar
bangunan masjid dan mushalla yang
ada di Indonesia, sepanjang kiblatnya masih menghadap ke arah barat maka tidak perlu dilakukan
perubahan, pembongkaran dan lain-lain.
Dari fatwa tersebut muncullah beberapa
komentar oleh sebagian masyarakat terutama
dari kalangan akademisi. Menurut mereka apa yang telah difatwakan oleh MUI tersebut sangat tidak relevan dengan era
yang sudah modern seperti sekarang ini.
Di mana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah sangat maju sehingga
metode-metode yang dapat
digunakan untuk menentukan
arah kiblat dengan tepat dan akurat sudah sangat mudah
diperoleh. Menurut mereka fatwa MUI tidak
menyelesaikan masalah yang ada, tetapi justru menimbulkan masalah baru.
Untuk menetralisir keadaan maka pihak
akademisi dari IAIN walisongo yang sedang melakukan
studi di bidang
Ilmu Falak, sebagai
kepedulian dan keharusan untuk berkontribusi
dalam masalah ini
mencoba mengadakan seminar
yang membahas tentang
fatwa MUI no. 3
tahun 2010 tersebut.
Akhirnya dalam seminar tersebut
narasumber yang berasal
dari MUI mengakui
keteledorannya dan menyatakan
bahwa akan merekomendasikan kepada
MUI untuk melakukan
revisi terhadap fatwa no. 3 tahun
2010 tersebut.
Berdasarkan
buku-buku sejarah yang
bekaitan dengan masalah
arah kiblat ditemukan bahwa
pembahasan mengenai arah
kiblat, sejak dahulu
sudah terjadi perdebatan
di kalangan para
ulama dan itu
berlanjut hingga sekarang.
Namun, meskipun terjadi
perdebatan tentang masalah tersebut
toleransi tetap terjadi di antara dan mereka masih dalam satu kesimpulan yang
sama bahwasanya menghadap kiblat adalah
syarat sah shalat.
Sehingga shalat seseorang dinyatakan tidak sah
jika tidak menghadap ke kiblat kecuali
pada kasus-kasus tertentu.
Oleh karena itu sebelum seseorang melakukan
shalat, terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syaratnya. Baik
syarat wajib maupun
syarat sah. Salah
satunya adalah harus yakin dan
sadar bahwa arah kiblatnya sudah benar.
Dari
beberapa keterangan di
atas maka muncul
pertanyaan “Apakah yang dimaksud
arah kiblat tersebut harus menghadap persis ke ka‟bah atau hanya dengan memprediksi arahnya saja”.
Berangkat dari permasalahan terebut muncullah
jawaban-jawaban dari para ulama tentang
masalah arah kiblat ini. Pertama,
golongan Hanafiyah, Hanabilah dan Malikiyah serta
sebagian dari kelompok
Syi‟ah Imamiyah berpendapat
bahwa Ibn
Rusyd, Bidayah al-Mujtahdi
wa Nihayah al-Muqtashid,
Juz I., Beirut:
Dar Ibnu „Ashshashah, 2005, hlm. 92.
Kasus-kasus tertentu tersebut adalah seperti
shalat dalam keadaan takut, terpaksa, sakit berat dan shalat sunnah di atas kendaraan. Lihat
Q.S. al-Baqarah [2]: 115 dan 239 kiblatnya orang yang jauh dari Ka‟bah adalah
arah letak di mana Ka‟bah, bukan letak ka‟bah itu
sendiri. Kedua, menurut
golongan Syafi‟iyah dan
sebagian dari Syi‟ah Imamiyah wajib menghadap Ka‟bah itu sendiri, baik bagi orang yang
dekat maupun bagi orang yang jauh. Kalau dapat mengetahui letak Ka‟bah itu
sendiri secara pasti maka ia
harus menghadap ke
letak tersebut. Tapi
bila tidak maka
cukup dengan perkiraan saja.
Beberapa alternatif jawaban dari para ulama di
atas cukup memberikan titik terang bahwa
orang yang akan melakukan shalat wajib menghadap ke arah Ka‟bah bagi yang dapat melihatnya dan wajib menghadap
ke arah koordinat Ka‟bah tersebut bagi
yang tidak dapat melihatnya. Namun apakah ketentuan seperti ini masih tetap berlaku
di zaman ilmu
penegetahuan dan teknologi sudah demikian
maju, metodemetode dan
alat-alat yang dapat
digunakan untuk menentukan
arah kiblat dengan akurat
sangat mudah ditemukan
seperti sekarang ini.
Tentunya ini membutuhkan pengkajian ulang lagi. Menurut penulis sendiri
jika solusi terhadap sebuah kesulitan yang
dapat dijadikan uzur syar‟i sebuah ibadah maka solusi itu dapat menggugurkan uzut syar‟I tersebut.
Meskipun
metode-metode dan alat-alat
yang dapat digunakan
untuk menentukan arah
kiblat dengan tingkat
akurasi yang cukup
tinggi sudah sangat mudah dijumpai, namun sejauh ini masih sangat
minim orang yang dapat mengetahui tata cara
dalam menghadap kiblat
yang benar. Akibatnya
menghadap kiblat ketika shalat
terkesan asal-asalan. Di
samping itu juga
banyak orang yang
salah dalam memahami
dan menetapkan arah
kiblat, apakah itu
kerena ketidak tahuan
mereka Muhammad
Jawad Mughniyyah, Fiqh
Lima Madzhab, diterjemahkan
oleh Masykur A.B., dkk.
Dari “Fiqh Ala Madzahib al-Khamsah”, Jakarta: Lentera, Cet. XXI., 2008, hlm.
77 atau
mungkin karena tidak menggunakan metode yang telah ada sehingga labih suka mengambil
gampangnya saja. Padahal
itu dapat berdampak
fatal seperti kesalahan dalam mendefinisikan arah kiblat sebagaimana
yang lazim ada di Indonesia di mana arah
kiblat dominan diartikan sebagai arah barat.
Kasus
yang terjadi di
Suriname merupakan
salah satu contoh
efek dari pemahaman mengenai arah kiblat sebagian orang
Indonesia yang keliru. Tentunya ini terjadi karena
kurangnya pengetahuan dan
pemahaman sebagaian masyarakat Indonesia
mengenai masalah arah
kiblat. Sehingga ini
berakibat fatal. mereka menganggap
bahwa arah Kiblat
adalah arah barat
karena sudah termindset
dengan pndangan-pandangan yang
sudah mengakar di
Indonesia. Ini jelas
merupakan pemahaman yang
keliru dan menyesatkan
karena arah Kiblat
Suriname yang sebenarnya adalah menghadap ke timur, sebab
secara geografis Suriname berada di sebelah
barat Ka‟bah.
Berangkat
dari permasalahan tersebut,
penulis merasa perlu
untuk ikut berpartisipasi dalam pengecekan arah Kiblat
masjid-masjid se Indonesia yang mana menurut
laporan dari beberapa pihak banyak yang tidak tepat arah kiblatnya.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi