BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan
dianggap sah bila
terpenuhi syarat dan
rukunnya. Rukun nikah merupakan bagian dari segala hal yang
terdapat dalam perkawinan yang wajib dipenuhi.
Kalau tidak terpenuhi
pada saat berlangsung,
perkawinan tersebut dianggap
batal. Dalam Kompilasi
Hukum Islam (pasal 14),
rukun nikah terdiri
atas lima macam,
yaitu adanya: calon suami,
calon istri, wali nikah,
dua orang saksi dan ijab kabul.
Perwalian dalam
perkawinan adalah suatu
kekuasaan atau wewenang syar’i
atas segolongan manusia,
yang dilimpahkan kepada
orang yang sempurna,
karena kekurangan tertentu
pada orang yang
dikuasai itu, demi kemaslahatannya
sendiri.
Wali nikah merupakan hal yang menarik untuk
dijabarkan, yaitu wali nikah yang telah
mewakilkan kepada orang lain dan hadir dalam majelis akad pernikahan.
Untuk selanjutnya wali
nikah asli disebut
muwakkil (yang mewakilkan) dan orang lain yang menerima
perwakilandisebut wakîl.
Pada saat muwakkil turut hadir di
tempat, "menyaksikan" wakîl yang sedang
melakukan akad nikah.
Maka hal itu
dapat mengganggu keabsahan akad nikah. Hadirnya muwakkil menyaksikan akad
nikah yang dilakukan oleh wakîl, dapat
menyebabkan akad nikah menjadi tidak sah. Berlandaskan dalam kitab Kifâyah al Akhyâr : Muhammad
Jawad Mugniyah, Fiqh
Lima Mazhab, Jakarta:
PT. Lentera Basritama, 2001, h. 345 "Apabila
wali dan pengantin
laki-laki atau salah
satunya mewakilkan, kemudian
wali serta wakilnya
hadir, dan wakil melaksanakan
akad, maka pernikahannya
tidak sah, karena
posisi wakil adalah sebagai
pengganti wali".
Dan dari kitab Nihayah al Zayn:
"Apabila Bapak atau seorang Saudara laki-laki mewakilkan akad nikah, dan ia hadir (menjadi saksi) bersama dengan (saksi) yang lain, maka tidak sah. Karena wali yang (berhak) mengakadi tidak dapat sekaligus menjadi saksi".
"Apabila Bapak atau seorang Saudara laki-laki mewakilkan akad nikah, dan ia hadir (menjadi saksi) bersama dengan (saksi) yang lain, maka tidak sah. Karena wali yang (berhak) mengakadi tidak dapat sekaligus menjadi saksi".
Imam Taqiyuddin
Abi Bakar sebagaimana
diketahui adalah sosok pemikir Islam
yang banyak mewarnai khazanah intelektual pemikiran Islam.
Satu hal
yang menarik adalah
walaupun mayoritas masyarakat
Indonesia bermadzhab Syafi’iyah
tetapi dalam prosesi
akad nikah, wali
tetap hadir meskipun sudah diwakilkan.
Di sisi lain, madzhab yang
berkembang di Indonesia adalah madzhab Syafi’i
yang nota bene
menilai hadirnya muwakkil
menyaksikan akad nikah yang
dilakukan oleh wakil dapat menyebabkan akad nikah menjadi tidak sah.
Namun, justru
kehadiran wali yang
sudah mewakilkan tidak
menganggu keabsahan akad nikah.
Imam Taqiyuddin Abi Bakar Ibn Muhammad Al Husaini
Al Hishni Al Dimasyqy Al Syafi’i,
Kifayah Al Akhyar fii Halli Ghayah Al IKhtisar, juz I, edisi revisi, tt,
Kediri: h. 51 Abi
Abdul al Mu’thi
Muhammad bin Umar
Bin Ali , Nihayatul Zain
fii Irsyadu Al Mubdhain,Maktabah
Uluwiyah, Semarang: tt, h.306 Dengan adanya
latar belakang masalah
tersebut, maka mendorong penulis
untuk melakukan penelitian
skripsi, yang berjudul
“STUDI ANALISIS PENDAPAT
IMAM TAQIYUDDIN AL HISHNI ASY SYAFI’I DALAM
KITAB KIFAYAH AL
AKHYAR TENTANG PERWAKILAN PERWALIAN DALAM MAJELIS AKAD NIKAH”
B. Rumusan Masalah Dari
deskripsi latar belakang
di atas, maka
penulis mengungkapkan pokok
permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pendapat
Imam Taqiyuddin Al
Hishni Asy Syafi’i
tentang perwakilan perwalian
dalam majelis akad nikah ? 2. Bagaimana
pendapat Imam Taqiyuddin
Al Hishni Asy
Syafi’i tentang perwakilan perwalian dalam majelis akad nikah
dengan konteks sekarang di Indonesia ? C.
Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak di capai dalam penulisan
skripsiadalah untuk: 1. Untuk
mengetahui pendapat Imam
Taqiyuddin Al Hishni Asy
Syafi’i tentang perwakilan
perwalian dalam majelis akad nikah.
2. Untuk mengetahui pendapat Imam Taqiyuddin Al
HishniAsy Syafi’i tentang perwakilan
perwalian dalam majelis akad nikah dengan konteks sekarang di Indonesia.
D. Telaah Pustaka Dari hasil penelusuran yang
dilakukan penulis terhadap literatur yang membahas
tentang kehadiran wali
nikah yang telah
mewakilkan dalam akad pernikahan,
dapat penulis paparkan sebagai berikut: Skripsi Nur
Shihah Ulya :
“Praktek Perwakilan Perwalian
Dalam Akad Pernikahan
Di Kecamatan Mranggen
Kabupaten Demak” Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dalam skripsi
ini penulis menyimpulkan bahwa
praktek tersebut asalkan
syarat dan rukunnya
sudah terpenuhi dalam arti
terdapat wali, calon mempelai baik suami atau
istri, dan saksi yang terdiri dari dua
orang dan tidak
ada keraguan yang
mempengaruhi pada rukun tersebut
dan pengungkapan lafadz dalam akad nikah telah memenuhi syarat, maka praktek tersebut adalah sah.
Skripsi
Wirdah Rosalin: “Analisis Pendapat
Ahmad Hassan Tentang Bolehnya
Wanita Gadis Menikah
Tanpa Wali ”
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang dalam skripsi ini menerangkan bahwa Ahmad Hassan membolehkan
wanita gadis menikah
tanpa wali. Menurutnya,
keteranganketerangan yang mensyaratkan
adanya wali dalam
pernikahan itu tak
dapat dijadikan alasan
untuk mewajibkan perempuan
menikah harus disertai wali, karena berlawanan
dengan beberapa keterangan
dari al-Qur'an, Hadits
dan riwayatnya yang
sahih dan kuat.
Dengan tertolaknya keterangan-keterangan yang
mewajibkan wali itu,
berarti wali tidak
perlu, artinya tiap-tiap wanita boleh menikah tanpa wali. Jika sekiranya
seorang wanita tidak boleh menikah kecuali
harus ada wali, tentunya al-Qur'an menyebutkan tentang itu. Demikian pendapat A. Hassan.
Skripsi ini
ditulis oleh Nur
Shihah Ulya Lulus
tahun 2005 Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo Semarang Skripsi
ini ditulis oleh
Wirdah Rosalin Lulus
tahun 2005 Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo Semarang Skripsi Nanang Husni Faruk “Analisis Hukum Islam Terhadap Pasal 29
Ayat 2 Kompilasi
Hukum Islam (KHI)
Tentang Qabul Nikah Yang Diwakilkan“ Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang dalam skripsi
ini menjelaskan landasan
teori yang berkaitan
dengan qabul pernikahan
yang diwakilkan dalam pasal 29
KHI menjelaskan bahwa hakuntuk mengucapkan qabul
dalam akad nikah
adalah calon pengantin
pria, namun dalam kondisi tertentu
KHI membolehkan calon
pengantin pria untuk mewakilkan qabul nikah
dalam akad pernikahan dengan ketentuan: a. Memberikan
kuasa kepada seseorang
dengan tegas secara
tertulis bahwa qabul
nikahnya diwakilkan dan penerimaan wakil
atas akad nikah itu adalah
untuk mempelai pria.
b. Adanya
keikhlasan dari pihak
istri atau wali
atas qabul yang
diwakilkan dalam akad nikah
tersebut.
Secara umum dalam mengadakan aqad boleh
diwakilkan,karena hal ini dibutuhkan
oleh manusia dalam bidang hubungan masyarakat. Para ahli fiqh sependapat
bahwa setiap aqad
yang boleh dilakukan
oleh orangnya sendiri, berarti boleh juga diwakilkan kepada orang
lain seperti: akad jual beli, sewa menyewa,
penuntutan hak dan perkara perkawinan, cerai dan akad lain yang memang
boleh diwakilkan. Sebagaimana
bolehnya wali nikah
mewakilkan untuk mengijab nikah
boleh juga bagi pengantin laki-laki mewakilkan orang lain
untuk mengqabulkan nikahnya. Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi