Rabu, 27 Agustus 2014

Skripsi Syariah:STUDI ANALISIS JAM BENCET KARYA KIAI MISHBACHUL MUNIR MAGELANG DALAM PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT


 BAB I PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG MASALAH Semua benda langit bergerak dalam lintasannya (orbit) secara rapi dan  teratur.  Benda  langit  yang  dijadikan  objek  kajian  di  kalangan  umat  Islam  adalah  Matahari,  Bumi,  dan  Bulan  yang  terbatas  pada  posisi.
 Hal  ini  disebabkan  karena  perintah  pelaksanaan  ibadah  baik  waktu  maupun  cara  dikaitkan  langsung  dengan  posisi  benda  langit  tersebut.  Dalam  ibadah  salat misalnya, yang menjadi acuan penentuan waktu adalah gerak semu  Matahari setiap harinya.
Perjalanan  Matahari  menurut  arah  dari  timur  ke  barat  yang  menyebabkan pergantian siang dan malam bukanlah perjalanan  yang hakiki.
Namun disebabkan adanya rotasi bumi dari arah barat ke timur selama ± 24  jam  untuk  sehari  semalam.  Hal  tersebut  mengakibatkan  semua  benda  langit  yang berada di sekitar  Bumi tampak berjalan dari timur ke barat tegak lurus  dengan  poros  bumi.  Keteraturan  lintasan  dan  pergerakan  Matahari  dapat  dipelajari  oleh  manusia  sehingga  dapat  dimanfaatkan  untuk  keperluan  manusia sehari-hari. Keteraturan ini menjadi suatu patokan dalam menentukan  waktu-waktu salat setiap hari dengan melihat bayang-bayang Matahari.

 Maskufa, Ilmu Falaq, Jakarta: GP Press, 2009, hlm.89.    Salat  menempati  posisi  yang  sangat  urgen  dalam  Islam,  sebagai  perjalanan spiritual menghadap Allah SWT yang dilakukan pada waktu-waktu  tertentu  dalam  setiap  harinya.  Salat  merupakan  rukun  Islam  yang  kedua,  di mana dalam pelaksanaanya diwajibkan bagi seluruh umat muslim  yang telah  memenuhi syarat. Dalam menunaikan kewajiban ini, mutlak diperlukan  suatu  metode  penentuan  waktu  salat.  Namun,  di  dalam  al-Qur’an  maupun  asSunnah  tidak  dijelaskan  secara  eksplisit  tentang  waktu-waktu  salat  sehingga  dalam pelaksanaannya muncul beberapa versi mengenai waktu salat.
Sepanjang  penelusuran  penulis,  teks-teks  yang  dijadikan  landasan  dalam  menentukan  waktu  salat  bersifat  interpretatif.  Sebagai  implikasinya  muncul  perbedaan  dalam  menetapkan  waktu  salat.  Umat  Islam  diwajibkan  salat sehari semalam lima waktu. Di mana pelaksanaanya harus sesuai dengan  ketentuan waktunya. Hal ini berdasarkan firman Allah sebagai berikut “…..Sesungguhnya  salat  itu  adalah  fardlu  yang  ditentukan  waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’:103).
 Ketentuan  tentang  adanya  pembagian-pembagian  untuk  waktu  salat sebenarnya  sudah  dijelaskan  dalam  al-Qur’an  tetapi  hanya  secara  global.
Sebagaimana firman Allah berikut ini:  Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2004, hlm.76.
 “Dirikanlah  salat  dari  sesudah  Matahari  tergelincir  sampai  gelap  malam  dan  (dirikanlah  pula  salat)  Subuh.  Sesungguhnya  salat  Subuh  itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isra’:78)  Sedangkan  untuk  mengetahui  dalil  tentang  waktu-waktu  salat  secara  lebih  spesifik bisa merujuk kepada hadis-hadis  Rasululah SAW  Salah satunya  adalah hadis berikut (   Departemen Agama, op cit. hlm.231.
 Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, hlm.405.
Lihat Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Nail  al Authar, Jilid 1, Beirut:  Dar al-Kitab,  hlm.435   Artinya:  Dari Jabir bin Abdullah R.A  berkata,  Jibril A.S  telah datang kepada  Nabi  SAW.  lalu  berkata  kepadanya:  “Bangunlah  lalu  salatlah!”.
Kemudian Nabi salat Zuhur di kala Matahari tergelincir. Kemudian ia  datang lagi kepadanya di waktu  Asar  lalu berkata,  “Bangunlah lalu  salatlah!”. Kemudian Nabi salat  Asar  di kala bayang-bayang sesuatu  sama  dengannya.  Kemudian  ia  datang  lagi  kepadanya  di  waktu  Magrib  lalu berkata: “Bangunlah!”. Kemudian Nabi  salat  Magrib  di kala  Matahari  terbenam. Kemudian datang lagi kepadanya di waktu  Isya’ lalu berkata :  “Bangunlah dan salatlah!”. Kemudian Nabi salat  Isya’  di  kala  mega  merah  telah  terbenam.  Kemudian  ia  datang  lagi  kepadanya  di  waktu  fajar  lalu  berkata  :  “Bangun  dan  salatlah!”.
Kemudian  Nabi  salat  fajar  di  kala  fajar  menyingsing,  dan  berkata bahwa laut telah terang. Kemudian ia datang pula esok harinya pada  waktu  Zuhur  kemudian  ia  berkata  padanya:  “Bangunlah  lalu  salatlah!”.  Kemudian Nabi salat  Zuhur  di  kala bayang-bayang suatu  sama  dengannya.  Kemudian  datang  lagi  kepadanya  di  waktu  Asar  dan ia berkata: “Bangunlah dan salatlah!”.  Kemudian Nabi salat  Asar di  kala  bayang-bayang  Matahari  dua  kali  sesuatu  itu.  Kemudian  ia  datang  lagi  kepadanya  di  waktu  Magrib  dalam  waktu  yang  sama,  tidak  bergeser  dari  waktu  yang  sudah.  Kemudian  ia  datang  lagi  di  waktu  Isya’  di  kala  separuh  malam  telah  berlalu  atau  telah  hilang  sepertiga  malam,  lalu  Nabi  salat  Isya’.  Kemudian  ia  datang  lagi  kepadanya di kala telah bercahaya benar dan ia berkata:  “Bangunlah  lalu  salatlah!”.  Kemudian  Nabi  salat  fajar,  kemudian  Jibril  berkata  saat dua waktu itu adalah waktu  salat.  (HR. Imam Ahmad, Nasai, dan  Tirmidzi) Berdasarkan dalil-dalil di atas dapat dipahami bahwa penentuan waktu  salat  didasarkan  pada  fenomena  Matahari,  kemudian  diterjemahkan  melalui  kedudukan  atau  posisi  Matahari  pada  saat  membuat  atau  mewujudkan  keadaan-keadaan yang merupakan pertanda bagi awal  atau akhir waktu salat  ,  di antara tanda-tanda itu adalah:   Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Beirut: Dar al-Fikr, Juz 1, t.th, hlm.67.
 a.  Waktu  Zuhur  dimulai  saat  Matahari  terlepas  dari  titik  kulminasi  atas  (culmination)  atau  ketika  Matahari  terlepas  dari  meridian  langit  .  Waktu  tersebut dimulai sejak  Matahari  tergelincir  (zawal)  sesaat setelah  Matahari mencapai titik kulminasi  .
b.  Waktu  Asar  dimulai  pada  saat  bayang-bayang  suatu  benda  sama  panjang  dengan  bendanya  sendiri  ditambah  dengan  bayang-bayang  zawal  sampai  tibanya waktu Magrib.
c.  Waktu  Magrib  adalah  waktu  Matahari  terbenam  (ghurub).  Dikatakan  Matahari terbenam apabila menurut pandangan mata piringan atas Matahari bersinggungan dengan ufuk.
d.  Waktu  Isya’  dimulai  jika  warna  merah  (Syafaq)  di  langit  bagian  barat  tempat  Matahari  terbenam, sudah hilang sama sekali. Ketinggian  Matahari  saat itu - 0  dihitung dari ufuk.
e.  Waktu terbit ditandai dengan piringan atas Matahari bersinggungan dengan  ufuk  sebelah  timur,  sehingga  ketentuan-ketentuan  yang  berlaku  untuk  waktu  Magrib  berlaku  pula  untuk  waktu  Matahari  terbit  (waktu  Syuruq).
Oleh karena itu tinggi Matahari pada waktu terbit adalah -  .
 Meridian  langit  suatu  tempat  adalah  lingkaran  besar  pada  bola  langit  yang  melalui  titik  zenith, nadhir, utara, dan selatan. Lingkaran ini seolah-olah membagi langit menjadi dua bagian barat  dan timur yang sama besarnya. Lihat Muchtar Salimi, op cit. hlm.16.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi