BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
MASALAH Semua benda langit bergerak dalam lintasannya (orbit) secara rapi dan teratur.
Benda langit yang
dijadikan objek kajian
di kalangan umat
Islam adalah Matahari,
Bumi, dan Bulan
yang terbatas pada
posisi.
Hal ini disebabkan karena
perintah pelaksanaan ibadah
baik waktu maupun
cara dikaitkan langsung
dengan posisi benda
langit tersebut. Dalam
ibadah salat misalnya, yang
menjadi acuan penentuan waktu adalah gerak semu
Matahari setiap harinya.
Perjalanan
Matahari menurut arah
dari timur ke
barat yang menyebabkan pergantian siang dan malam
bukanlah perjalanan yang hakiki.
Namun disebabkan adanya rotasi bumi dari arah barat ke timur
selama ± 24 jam untuk
sehari semalam. Hal
tersebut mengakibatkan semua
benda langit yang berada di sekitar Bumi tampak berjalan dari timur ke barat
tegak lurus dengan poros
bumi. Keteraturan lintasan
dan pergerakan Matahari
dapat dipelajari oleh
manusia sehingga dapat
dimanfaatkan untuk keperluan manusia sehari-hari. Keteraturan ini menjadi
suatu patokan dalam menentukan waktu-waktu
salat setiap hari dengan melihat bayang-bayang Matahari.
Maskufa, Ilmu Falaq,
Jakarta: GP Press, 2009, hlm.89. Salat
menempati posisi yang
sangat urgen dalam
Islam, sebagai perjalanan spiritual menghadap Allah SWT yang
dilakukan pada waktu-waktu tertentu dalam
setiap harinya. Salat
merupakan rukun Islam
yang kedua, di mana dalam pelaksanaanya diwajibkan bagi
seluruh umat muslim yang telah memenuhi syarat. Dalam menunaikan kewajiban
ini, mutlak diperlukan suatu metode
penentuan waktu salat.
Namun, di dalam
al-Qur’an maupun asSunnah
tidak dijelaskan secara
eksplisit tentang waktu-waktu
salat sehingga dalam pelaksanaannya muncul beberapa versi
mengenai waktu salat.
Sepanjang
penelusuran penulis, teks-teks
yang dijadikan landasan dalam
menentukan waktu salat
bersifat interpretatif. Sebagai
implikasinya muncul perbedaan
dalam menetapkan waktu
salat. Umat Islam
diwajibkan salat sehari semalam
lima waktu. Di mana pelaksanaanya harus sesuai dengan ketentuan waktunya. Hal ini berdasarkan firman
Allah sebagai berikut “…..Sesungguhnya
salat itu adalah
fardlu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS.
An-Nisa’:103).
Ketentuan tentang
adanya pembagian-pembagian untuk
waktu salat sebenarnya sudah
dijelaskan dalam al-Qur’an
tetapi hanya secara
global.
Sebagaimana firman Allah berikut ini: Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2004, hlm.76.
“Dirikanlah salat
dari sesudah Matahari
tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula salat)
Subuh. Sesungguhnya salat
Subuh itu disaksikan (oleh
malaikat).” (QS. Al-Isra’:78) Sedangkan untuk
mengetahui dalil tentang
waktu-waktu salat secara lebih
spesifik bisa merujuk kepada hadis-hadis
Rasululah SAW Salah satunya adalah hadis berikut ( Departemen Agama, op cit. hlm.231.
Ahmad bin Hambal,
Musnad Ahmad bin Hambal, Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, hlm.405.
Lihat Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Nail al Authar, Jilid 1, Beirut: Dar al-Kitab, hlm.435 Artinya:
Dari Jabir bin Abdullah R.A
berkata, Jibril A.S telah datang kepada Nabi
SAW. lalu berkata
kepadanya: “Bangunlah lalu
salatlah!”.
Kemudian Nabi salat Zuhur di kala Matahari tergelincir.
Kemudian ia datang lagi kepadanya di
waktu Asar lalu berkata,
“Bangunlah lalu salatlah!”.
Kemudian Nabi salat Asar di kala bayang-bayang sesuatu sama
dengannya. Kemudian ia
datang lagi kepadanya
di waktu Magrib
lalu berkata: “Bangunlah!”. Kemudian Nabi salat
Magrib di kala Matahari
terbenam. Kemudian datang lagi kepadanya di waktu Isya’ lalu berkata : “Bangunlah dan salatlah!”. Kemudian Nabi
salat Isya’ di
kala mega merah
telah terbenam. Kemudian
ia datang lagi kepadanya di
waktu fajar lalu
berkata : “Bangun
dan salatlah!”.
Kemudian Nabi salat
fajar di kala
fajar menyingsing, dan
berkata bahwa laut telah terang. Kemudian ia datang pula esok harinya
pada waktu Zuhur
kemudian ia berkata
padanya: “Bangunlah lalu salatlah!”. Kemudian Nabi salat Zuhur
di kala bayang-bayang suatu sama
dengannya. Kemudian datang
lagi kepadanya di
waktu Asar dan ia berkata: “Bangunlah dan
salatlah!”. Kemudian Nabi salat Asar di
kala bayang-bayang Matahari
dua kali sesuatu
itu. Kemudian ia datang lagi
kepadanya di waktu
Magrib dalam waktu
yang sama, tidak
bergeser dari waktu
yang sudah. Kemudian
ia datang lagi
di waktu Isya’
di kala separuh
malam telah berlalu
atau telah hilang sepertiga
malam, lalu Nabi
salat Isya’. Kemudian
ia datang lagi kepadanya
di kala telah bercahaya benar dan ia berkata:
“Bangunlah lalu salatlah!”.
Kemudian Nabi salat
fajar, kemudian Jibril
berkata saat dua waktu itu adalah
waktu salat. (HR. Imam Ahmad, Nasai, dan Tirmidzi) Berdasarkan dalil-dalil di atas
dapat dipahami bahwa penentuan waktu salat didasarkan
pada fenomena Matahari,
kemudian diterjemahkan melalui kedudukan
atau posisi Matahari
pada saat membuat
atau mewujudkan keadaan-keadaan yang merupakan pertanda bagi
awal atau akhir waktu salat , di
antara tanda-tanda itu adalah: Ibnu
Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Beirut: Dar al-Fikr, Juz 1, t.th, hlm.67.
a. Waktu
Zuhur dimulai saat
Matahari terlepas dari
titik kulminasi atas (culmination) atau
ketika Matahari terlepas
dari meridian langit
. Waktu tersebut dimulai sejak Matahari
tergelincir (zawal) sesaat setelah Matahari mencapai titik kulminasi .
b. Waktu Asar
dimulai pada saat
bayang-bayang suatu benda
sama panjang dengan
bendanya sendiri ditambah
dengan bayang-bayang zawal
sampai tibanya waktu Magrib.
c. Waktu Magrib
adalah waktu Matahari
terbenam (ghurub). Dikatakan Matahari terbenam apabila menurut pandangan
mata piringan atas Matahari bersinggungan dengan ufuk.
d. Waktu Isya’
dimulai jika warna
merah (Syafaq) di
langit bagian barat tempat Matahari
terbenam, sudah hilang sama sekali. Ketinggian Matahari saat itu - 0 dihitung dari ufuk.
e. Waktu terbit
ditandai dengan piringan atas Matahari bersinggungan dengan ufuk
sebelah timur, sehingga
ketentuan-ketentuan yang berlaku
untuk waktu Magrib
berlaku pula untuk
waktu Matahari terbit
(waktu Syuruq).
Oleh karena itu tinggi Matahari pada waktu terbit adalah - .
Meridian langit
suatu tempat adalah
lingkaran besar pada bola
langit yang melalui
titik zenith, nadhir, utara, dan
selatan. Lingkaran ini seolah-olah membagi langit menjadi dua bagian barat dan timur yang sama besarnya. Lihat Muchtar
Salimi, op cit. hlm.16.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi