BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah
ikatan lahir batin
antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan adalah salah satu sunnatullah yang
umum berlaku pada semua makhluk Tuhan,
baik pada manusia,
hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Sebagaimana
firman All ah SWT.: “ Dan
segala sesuatu kami
ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat kebesaran Allah.
(QS. Adz-Dzariat: 49) Perkawinan atau
pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab
disebut dengan dua kata, yaitu
nikah (حاكن)
dan zawaj (جاوز). Kedua
kata ini yang
terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang arab dan banyak terdapat
dalam Al-Quran dan Hadis Nabi.
Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Quran dengan arti
kawin, seperti dalam surat An-Nisa‟ ayat 3:
“ Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita -wanita (lain) Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 7.
Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al Qur‟an dan Terjemahnya,
Jakarta: CV. Atlas, 1998, hlm. 862.
Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan
Islam Di Indonesia,
Jakarta: Kencana Predana
Media Group, 2009, hlm.35.
yang kamu senangi : dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja.
(QS. An-Nisa‟: 3)
Demikian pula banyak
terdapat kata za-wa-ja
dalam Al-Quran dalam
arti kawin, seperti dalam surat Al-Ahzab ayat 37: “ Maka tatkala Zaid telah
mengakhiri keperluan terhadap
istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk
(mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka.
(QS. Al-Ahzab: 37) Unsur pokok
suatu perkawinan adalah
laki-laki dan perempuan
yang akan kawin, akad perkawinan itu sendiri, wali yang
melangsungkan akad dengan si suami, dua orang saksi yang akan menyaksikan telah berlangsungnya
akad perkawinan itu. Berdasarkan pendapat ini rukun perkawinan itu secara
lengkap adalah sebagai berikut: a. Calon mempelai laki-laki.
b. Calon mempelai perempuan.
c. Wali dari mempelai perempuan yang akan
mengakadkan perkawinan.
d. Dua orang saksi.
e. Ijab yang dilakukan oleh wali dan Qabul yang
dilakukan oleh suami.
UU perkawinan
sama sekali tidak
berbicara tentang rukun
perkawinan. UU perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat
perkawinan, yang mana syarat -syarat tersebut lebih
banyak perkenaan dengan
unsur-unsur atau rukun
perkawinan. KHI secara
jelas membicarakan rukun
perkawinan sebagaimana yang
terdapat dalam pasal
14, yang keseluruhan
rukun tersebut mengikuti
fiqh Syafi‟i dengan
tidak memasukkan mahar dalam rukun.
Perjanjian yang berlangsung antara dua pihak
yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk Ijab
dan Qabul disebut
akad nikah. Ijab
adalah penyerahan dari
pihak pertama,sedangkan Qabul
adalah penerimaan dari
pihak kedua. Ijab
dari pihak wali
si Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Al-Qur’an, loc.cit., hlm. 115.
Ibid, hlm. 673.
Amir Syarifuddin, loc.cit., hlm. 61.
Ibid.
perempuan
dengan ucapannya: “Saya
kawinkan anak saya
yang bernama si
A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Al-Qur‟an”. Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya: “Saya terima mengawini anak Bapak
yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab
Al-Qur‟an”.
Dalam hukum Islam sebagaimana
terdapat dalam kitab-kitab fiqh akad perkawinan itu bukanlah sekedar perjanjian yang bersifat
keperdataan. Ia dinyatakan sebagai perjanjian
yang kuat yang disebut
dalam Al-Qur‟an dengan ungkapan
Mitsaqon Ghalizhan yang
mana perjanjian itu
bukan hanya disaksikan
oleh orang banyak
yang hadir pada
waktu berlangsungnya akad
perkawinan, tetapi juga disaksikan oleh Allah SWT.
Para ulama fiqh telah sepakat bahwa Ijab
dan Qabul merupakan rukun nikah. Tanpa Ijab dan Qabul tidaklah sah pernikahan antara
seseorang perempuan dengan laki-laki.
Untuk sahnya
suatu akad perkawinan disyaratkan beberapa syarat. Diantara syarat tersebut ada
yang disepakati ulama dan diantaranya
diperselisihkan oleh ulama.
Berdasarkan hukum
asalnya, Ijab itu
datangnya dari pengantin
wanita, sedangkan Qabul
dari pengantin laki-laki.
Wali mengatakan, “saya
nikahkan anak perempuanku kepadamu”. Lalu pengantin laki-laki menjawab,
“saya terima nikah dengannya”. Andaikata Qabul
didahulukan, dimana pengantin
laki-laki mengatakan kepada
wali, ”nikahkan saya dengan
dia”, lalu wali berkata, ”saya nikahkan kamu dengannya”, timbul pertanyaan:
apakah akad tersebut
sah atau tidak?
Imamiyah dan tiga
madzhab lainnya mengatakan
sah, sedangkan Hambali mengatakan
tidak sah.
Penulis
tertarik untuk meneliti
pendapat Ibnu Qudamah,
salah satu pengikut Madzhab
Hanbali. Dalam kitabnya
yang berjudul “Al-Kafie
Fi Fiqh Al-Iman
Ahmad Bin Hanbal”, beliau berpendapat dalam masalah Ijab
dan Qabul sebagai berikut: M. Idris
Ramulyo, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam,
Jakarta: IND-HILL, CO, 1985, hlm. 178.
Muhammad
Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: PT Lentera
Basritama, Cet 2, 1996, hlm. 313.
“
jika mendahulukan Qabul atas
Ijab, maka tidaklah sah, karena sesungguhnya adanya Qabul sebab adanya Ijab, maka syaratnya
mengakhirkan Qabul dari Ijab.
Berdasar pada
latar belakang diatas,
penulis ingin mengangkatnya
dalam skripsi dengan
judul: “STUDI ANALISIS
PENDAPAT IBNU QUDAMAH
TENTANG TIDAK SAHNYA
AKAD NIKAH DENGAN
MENDAHULUKAN QABUL DAN MENGAKHIRKAN
IJAB”.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi