Senin, 25 Agustus 2014

Skripsi Syariah:STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG TIDAK SAHNYA AKAD NIKAH DENGAN MENDAHULUKAN QABUL DAN MENGAKHIRKAN IJAB


BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah Perkawinan  adalah  ikatan  lahir  batin  antara  seorang  pria  dengan  seorang  wanita  sebagai  suami  istri  dengan  tujuan  membentuk  keluarga  (rumah  tangga)  yang  bahagia  dan  kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
 Perkawinan adalah salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada  semua  makhluk  Tuhan,  baik  pada  manusia,  hewan  maupun  tumbuh-tumbuhan.  Sebagaimana  firman  All ah  SWT.: “   Dan  segala  sesuatu  kami  ciptakan  berpasang-pasangan  supaya  kamu  mengingat  kebesaran Allah.
 (QS. Adz-Dzariat: 49) Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab  disebut dengan dua  kata,  yaitu  nikah  (حاكن)  dan  zawaj  (جاوز).  Kedua  kata  ini  yang  terpakai  dalam  kehidupan  sehari-hari orang arab dan banyak terdapat dalam Al-Quran dan Hadis Nabi.
 Kata na-ka-ha  banyak terdapat dalam Al-Quran dengan arti kawin, seperti dalam surat An-Nisa ayat 3: “ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan  yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita -wanita (lain)   Zainuddin  Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 7.

 Yayasan  Penyelenggara  Penterjemah  Al-Quran,  Al  Quran  dan  Terjemahnya,  Jakarta:  CV.  Atlas,  1998, hlm. 862.
 Amir  Syarifuddin,  Hukum  Perkawinan  Islam  Di  Indonesia,  Jakarta:  Kencana  Predana  Media  Group,  2009, hlm.35.    yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan  dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.
 (QS. An-Nisa: 3) Demikian  pula  banyak  terdapat  kata  za-wa-ja  dalam  Al-Quran  dalam  arti  kawin,  seperti dalam surat Al-Ahzab ayat 37: Maka tatkala Zaid  telah  mengakhiri keperluan terhadap  istrinya  (menceraikannya),  kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin  untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka.
 (QS. Al-Ahzab: 37) Unsur  pokok  suatu  perkawinan  adalah  laki-laki  dan  perempuan  yang  akan  kawin,  akad perkawinan itu sendiri, wali yang melangsungkan akad dengan si suami, dua orang saksi  yang akan menyaksikan telah berlangsungnya akad perkawinan itu. Berdasarkan pendapat ini rukun perkawinan itu secara lengkap adalah sebagai berikut:  a.  Calon mempelai laki-laki.
b.  Calon mempelai perempuan.
c.  Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan.
d.  Dua orang saksi.
e.  Ijab yang dilakukan oleh wali dan Qabul yang dilakukan oleh suami.
UU  perkawinan  sama  sekali  tidak  berbicara  tentang  rukun  perkawinan.  UU  perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat -syarat tersebut  lebih  banyak  perkenaan  dengan  unsur-unsur  atau  rukun  perkawinan.  KHI  secara  jelas  membicarakan  rukun  perkawinan  sebagaimana  yang  terdapat  dalam  pasal  14,  yang  keseluruhan  rukun  tersebut  mengikuti  fiqh  Syafii  dengan  tidak  memasukkan mahar  dalam  rukun.
 Perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam  bentuk  Ijab  dan  Qabul  disebut  akad  nikah.  Ijab  adalah  penyerahan  dari  pihak  pertama,sedangkan  Qabul  adalah  penerimaan  dari  pihak  kedua.  Ijab  dari  pihak  wali  si   Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, loc.cit., hlm. 115.
 Ibid, hlm. 673.
 Amir Syarifuddin, loc.cit., hlm. 61.
 Ibid.
 perempuan  dengan  ucapannya:  “Saya  kawinkan   anak  saya  yang  bernama  si  A  kepadamu  dengan mahar sebuah kitab Al-Quran”.  Qabul  adalah penerimaan dari pihak suami dengan  ucapannya: “Saya terima mengawini anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah  kitab Al-Quran”.
Dalam hukum Islam sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab fiqh akad perkawinan itu  bukanlah sekedar perjanjian yang bersifat keperdataan. Ia dinyatakan sebagai perjanjian  yang kuat  yang  disebut  dalam  Al-Quran  dengan  ungkapan  Mitsaqon  Ghalizhan  yang  mana  perjanjian  itu  bukan  hanya  disaksikan  oleh  orang  banyak  yang  hadir  pada  waktu  berlangsungnya akad perkawinan, tetapi juga disaksikan oleh Allah SWT.
Para ulama  fiqh telah sepakat bahwa  Ijab  dan  Qabul  merupakan rukun nikah. Tanpa  Ijab dan Qabul tidaklah sah pernikahan antara seseorang perempuan dengan laki-laki.
 Untuk  sahnya suatu akad perkawinan disyaratkan beberapa syarat. Diantara syarat tersebut ada yang  disepakati ulama dan diantaranya diperselisihkan oleh ulama.
Berdasarkan  hukum  asalnya,  Ijab  itu  datangnya  dari  pengantin  wanita,  sedangkan  Qabul  dari  pengantin  laki-laki.  Wali  mengatakan,  “saya  nikahkan  anak  perempuanku  kepadamu”. Lalu pengantin laki-laki menjawab, “saya terima nikah dengannya”. Andaikata  Qabul  didahulukan,  dimana  pengantin  laki-laki  mengatakan  kepada  wali,  ”nikahkan  saya  dengan dia”, lalu wali berkata, ”saya nikahkan kamu dengannya”, timbul pertanyaan: apakah  akad  tersebut  sah  atau  tidak?  Imamiyah  dan  tiga  madzhab  lainnya  mengatakan  sah,  sedangkan Hambali mengatakan tidak sah.
 Penulis  tertarik  untuk  meneliti  pendapat  Ibnu  Qudamah,  salah  satu  pengikut  Madzhab  Hanbali.    Dalam  kitabnya  yang  berjudul  “Al-Kafie  Fi  Fiqh  Al-Iman  Ahmad  Bin  Hanbal”, beliau berpendapat dalam masalah Ijab dan Qabul sebagai berikut:  M. Idris Ramulyo, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam, Jakarta:  IND-HILL, CO, 1985, hlm. 178.
 Muhammad  Jawad  Mughniyah,  Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: PT Lentera Basritama, Cet 2,   1996,  hlm. 313.
“  jika mendahulukan  Qabul atas Ijab, maka tidaklah sah, karena sesungguhnya adanya  Qabul sebab adanya Ijab, maka syaratnya mengakhirkan Qabul dari Ijab.
Berdasar  pada  latar  belakang  diatas,  penulis  ingin  mengangkatnya  dalam  skripsi  dengan  judul:  “STUDI  ANALISIS  PENDAPAT  IBNU  QUDAMAH  TENTANG  TIDAK  SAHNYA  AKAD  NIKAH  DENGAN  MENDAHULUKAN  QABUL  DAN  MENGAKHIRKAN IJAB”.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi