BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sebelum turunnya
perintah Allah untuk
menghadap ke arah
kiblat dalam melaksanakan salat, Nabi Muhammad Saw sesuai
ijtihadnya, setiap melaksanakan salat
selalu menghadapkan wajahnya ke Bait
al-Maqdis atau Masjid al-Aqsa di Palestina.
Pada masa
itu, Ka‟bah merupakan sebuah
bangunan yang dikelilingi
oleh berhala. Tak
ada sedikit pun
syi‟ar Islam di
sekitarnya. Nabi memilih menghadapkan wajahnya ke Bait al-Maqdis karena dianggap tempat yang paling suci
pada saat itu.
Dalam satu riwayat
dinyatakan bahwa meskipun
dalam melaksanakan salat Nabi
Muhammad Saw selalu menghadap ke Bait
al-Maqdis, ketika berada
di Makkah beliau
selalu menghadap ke
Baitullah atau Masjid
alHaram dengan cara menghimpun
kedua kiblat tersebut saat salat dan
mengambil posisi di
sebelah selatan Ka‟bah, dan
hatinya selalu memiliki
kecenderungan menghadap ke Ka‟bah, mengingat Ka‟bah adalah
kiblat nenek moyangnya, Ibrahim, dan Ka‟bah sebagai
kiblat tertua di dunia.
Sebuah nama yang diberikan oleh Al-Quran
terhadap sebuah monumen di Jerussalem dan terhadap patung Sulaiman (Solomon), juga
dinamakan Bait al-Maqdis (bangunan suci). Tempat suci yang
bersejarah ini juga
dikenal sebagai qubbat
al-Shahra (kubah batu),
terkadang juga disebut sebagai Masjid Umar. Masjid ini di bangun pada
akhir abad VII M, dan merupakan masjid terbesar di Jerussalem.
Lihat Cyril Glasse,
The Consice Encyclopaedia
of Islam, Terj.
Ghufron A. Mas‟adi, Ensiklopedi Islam (Ringkas), Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, Cet. II, 1996, hlm. 34.
Muhammad Rasyid Ridlo, Tafsir al-Qur’an
al-Karim (al-Syahir bi Tafsir al Manaar),
Juz.
II, Beirut : Daarul Ma‟rifat, 1367 H, hlm. 2.
Selama
kurang lebih 16
atau 17 bulan
Nabi Muhammad Saw
selalu menghadapkan wajahnya
ke Bait al-Maqdis
dalam melaksanakan salat.
Diterangkan dalam sebuah hadis: “Bercerita
Muhammad bin Musanna dan Abu Bakar bin Khallad, dari Yahya,
Ibnu Musanna berkata:
Yahya bin Sa‟id bercerita
kepadaku, dari Shofyan,
Abu Ishak bercerita
kepadaku, berkata: “Saya mendengar dari
Bara‟ berkata: Kita
shalat bersama Rasulullah
SAW dengan menghadap
Bait al-Maqdis selama
16 bulan atau
17 bulan, kemudian kita dipalingkan ke arah Ka‟bah” (HR. Muslim).
Allah
Swt memerintahkan umat
Islam untuk menghadap
Ka‟bah ketika melaksanakan salat. Firman Allah dalam surat
al-Baqarah 144: ِ
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh
Kami akan memalingkan
kamu ke kiblat
yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu
ke arah Masjid
al-Haram. Dan di
mana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke
arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang
(Yahudi dan Nasrani)
yang di beri
al-Kitab (Taurat dan Injil)
memang mengetahui, bahwa berpaling ke
Masjid al-Haram itu adalah
benar dari Tuhannya;
dan Allah sekali-kali
tidak lengah dari apa
yang mereka kerjakan” (QS. Al-Baqarah : 144).
Lihat dalam Muslim, Shahih
Muslim, Juz. II, Beirut : Daarul Kutubil „Ilmiyyah, t.t.,
hlm.
422.
Departemen
Agama Republik Indonesia,
Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Semarang: Kumudasmoro Grafindo,
1994, hlm. 37.
Perpindahan
kiblat ini bertujuan
untuk memberikan pengertian
dan kejelasan bagi kaum
musyrikin, kaum Yahudi dan kaum Nasara bahwa menurut umat
Islam, dalam mengerjakan
ibadah salat itu
bukanlah arah Bait
al-Maqdis atau Ka‟bah yang menjadi
tujuan, melainkan semata-mata
menghadapkan diri kepada Allah Swt. Dengan menghadapkan wajah ke
kiblat, bisa mengikat kaum muslimin agar
mereka mempunyai satu
tujuan dan cita-cita
dalam perjuangannya.
Sampai
sekarang, permasalahan kiblat
pun masih selalu
jadi perbincangan para ahli falak, terutama di Indonesia. Begitu
juga sejak keluarnya fatwa Majelis Ulama Indoneisa
(MUI) No. 03
tahun 2010 tentang
arah kiblat.
Fatwa
yang dikeluarkan tersebut
mengundang kontroversi dalam
masyarakat. Akhirnya Majelis
Ulama Indonesia (MUI)
meralat fatwa yang
juga sempat menjadi pembicaraan dalam Seminar Nasional yang diadakan oleh Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Walisongo Semarang pada
tanggal 27 Mei
2010, dengan tema “Menggugat Fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tentang Arah
Kiblat”. Ketua MUI Bidang
Fatwa, Ma'ruf Amin
berkata: "Untuk Indonesia
secara umum kiblat menghadap
ke barat laut,
bukan barat, ini
sekaligus merevisi fatwa
kita yang Departemen
Agama Republik Indonesia,
Ensiklopedi Islam, Jakarta:
Direktorat Jenderal Pimpinan
Kelembagaan Agama Islam
Proyek Peningkatan Prasarana
dan Sarana Perguruan
Tinggi Agama / IAIN Jakarta, 1992/1993,
hlm. 629.
Adapun
diktum fatwa MUI
No. 03 Tahun
2010 tentang Kiblat
disebutkan: 1. Kiblat bagi orang shalat dan dapat melihat Ka‟bah adalah menghadap ke bangunan Ka‟bah (ain
alka’bah). 2. Kiblat bagi orang yang salat dan tidak dapat melihat Ka ‟bah adalah arah Ka‟bah (jihat
alKa’bah). 3. Letak georafis Indonesia yang berada di bagian timur Ka‟bah/Mekkah, maka kiblat umat Islam
Indonesia adalah menghadap
ke arah barat.
Sumber: http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=147:fatwa-tentang-arahkiblat&catid=1:berita-singkat&Itemid=50,
diunduh pada tanggal 25 Juli 2010.
tempo hari.
Indonesia itu letaknya tidak di timur pas Kabah tapi agak ke selatan, jadi arah kiblat kita juga tidak barat pas
tapi agak miring yaitu arah barat laut ." MUI pun menghimbau agar semua
wilayah di Indonesia harus menyesuaikan arah kiblat sesuai dengan ralat dari fatwa
sebelumnya.
Meskipun telah meralat fatwa tersebut, MUI tidak menyarankan mengubah arah
mesjid, hanya perlu mengubah safnya saja.
Dalam fakta sejarah, ulama-ulama
Islam di Indonesia khususnya Sumatera Barat,
mempunyai tradisi berangkat ke Makkah untuk menuntut ilmu.
Sebagian dari mereka ada yang pulang kembali ke kampung
halamannya, namun ada juga yang menetap
bertahun-tahun lamanya dan bahkan ada yang tidak kembali lagi ke Indonesia dan mengabdikan ilmunya di sana.
Dari perjalanan
ulama-ulama Indonesia ke
Negeri Arab, banyak
sekali transfer keilmuan
yang masuk ke
nusantara ini, mulai
dari fiqh, tauhid,
ilmu hadis, dan berbagai ilmu
keagamaan lainnya, termasuk ilmu falak.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi