BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan pemerintahan
yang bersih dan
efektif merupakan dambaan
setiap warga negara,
tanpa adanya kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan
kekuasaan oleh penguasa negara. Oleh karena itu dalam setiap negara
menginginkan adanya pembagian
kekuasaan sehingga kesewenangwenangan penguasa dapat
diminimalisir dan ditiadakan.
Masalah pembagian kekuasaan
adalah masalah yang selalu dihubungkan dengan ajaran
Montesquieu yang terkenal
dengan sebutan Trias
Politica.
Menurut Montesquieu
kekuasaan (fungsi) di
dalam negara itu
dibagi ke dalam kekuasaan legislatif
(membuat undang-undang), eksekutif
(melaksanakan undang-undang) dan
yudikatif (mengadili atas
pelanggaran-pelanggaran bagi Undang-undang).
Dalam ketatanegaraan yang lazim melakukan
kekuasaan legislatif adalah parlemen atau
Dewan Perwakilan Rakyat,
sedangkan kekuasaan eksekutif
ada pada Presiden
atau Kabinet yang
dipimpin oleh seorang
Perdana Menteri, dan kekuasaan
Yudikatif dipegang oleh badan-badan kehakiman. Selanjutnya bahwa di dalam ajaran Trias Politica itu terdapat
suasana checks and balances di mana SF Marbun dan Moh.Mahfud MD, Pokok-Pokok
Hukum Administrasi Negara, h.
1 di
dalam hubungan antarlembaga
negara itu terdapat
saling menguji karena masing-masing
lembaga tidak boleh
melampui batas kekuasaan
yang sudah ditentukan
atau masing-masing lembaga
tidak mau dicampuri
kekuasaannya sehingga
antar-lembaga itu terdapat suatu perimbangan kekuasaan.
Negara Indonesia adalah negara yang menganut
konsep welfare state atau negara kesejahteraan, yang
mana tugas pemerintah
bukan lagi sebagai
penjaga malam dan
tidak pasif tetapi
harus berperan aktif
dalam kegiatan masyarakat sehingga
kesejahteraan bagi semua
rakyatnya tetap terjamin,
dengan demikian pemerintah harus memberikan perlindungan bagi warga
negara bukan hanya di bidang
politik tetapi juga
sosial, ekonomi, sehingga
kesewenang-wenangan dengan golongan
tertentu harus dicegah
oleh pemerintah sehingga
tugas pemerintah diperluas
mencakup berbagai aspek
kehidupan masyarakat dengan maksud untuk menjamin kepentingan umum.
Namun
hal tersebut tidak
dapat tercapai karena
sebelum reformasi bergulir kekuasaan lebih dominan dikendalikan
oleh pihak eksekutif (presiden), sehingga peran
legislatif dan yudikatif
termarjinalkan. Peran legislatif
dan yudikatif tidak
dapat berjalan sebagaimana
mestinya karena banyaknya intervensi dan control dari eksekutif sehingga
mau tidak mau menuruti kehendak Moh. Kusnardi
dan Bintan R.
Saragih, Susunan Pembagian
Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, h.
SF Marbun dan Moh.Mahfud MD, Pokok-Pokok, h.
45 eksekutif daripada kehendak rakyat.
Akhirnya hal tersebut menjadikan Indonesia terpuruk dalam krisis multidimensional.
Krisis yang
mendera Indonesia pada
era 1990-an, telah
menimbulkan banyak persoalan pada
berbagai aspek kehidupan baik itu dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum. Masyarakat
menilai berbagai produk hukum, penegakan
dan penerapannya masih sangat jauh dari yang diharapkan. Penilaian demikian
telah mendorong masyarakat
bersikap tidak menghormati,
tidak mempercayai bahkan
mengabaikan hukum dan
lembaga-lembaga hukum yang ada.
Atau dengan kata lain, hukum sudah tidak berwibawa lagi.
Krisis
kepercayaan masyarakat terhadap
hukum ini disebabkan
antara lain karena
masih banyaknya kasus
korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) dan pelanggaran hak
asasi manusia (HAM)
yang belum tuntas
penyelesaiannya secara hukum
dan adanya pengabaian
dan pelecehan terhadap
hukum yang sekaligus
diakibatkan dan mengakibatkan
ketidakpercayaan terhadap hukum.
Peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada masa-masa
terakhir ini sudah
cukup menunjukkan bahwa hukum
dianggap tidak eksis, baik oleh anggota masyarakat (misalnya dengan tingginya jumlah aksi
peradilan rakyat terhadap penjahat kelas teri),
maupun oleh lembaga
hukum sendiri (yang
membiarkan dan adakalanya justru melakukan pelanggaran hukum).
KHN, Kilas Balik 6 Tahun Komisi Hukum
Nasional, Menguak Misi KHN & Kinerjanya, h.1 Akibat
yang ditimbulkan dari
banyaknya persoalan-persoalan yang timbul dalam
berbagai aspek kehidupan
tersebut, timbul keinginan
untuk menegakkan supremasi hukum
di Indonesia, dalam penegakan supremasi hukum dibutuhkan
kemauan yang kuat
untuk mengatasi persoalan-persoalan yang terkait dengan
hukum seperti pelanggaran
hak asasi manusia
(HAM), kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan
ganguan keamanan.
Salah satu
cara yang ditempuh
untuk mewujudkan supremasi
hukum tersebut adalah melakukan
perubahan-perubahan, bahkan pembaharuan terhadap berbagai
aspek hukum. Program
reformasi hukum, tidak
bisa tidak harus digulirkan
secara bersama-sama oleh seluruh anggota masyarakat, dengan beban terbesar
diletakkan pada pundak
para penyelenggara negara.
Hal ini dipandang sebagai konsekuensi logis prinsip negara
hukum. Karena negara Indonesia adalah negara hukum,
maka reformasi hukum
perlu direalisasikan sehingga
semua kekuasaan tunduk pada hukum.
Reformasi di
bidang hukum yang
terjadi sejak tahun
1998 telah dilembagakan melalui pranata perubahan UUD
1945. Semangat perubahan UUD 1945 adalah
mendorong terbangunnya struktur
ketatanegaraan yang lebih demokratis. Perubahan
UUD 1945 sejak
reformasi telah dilakukan
sebanyak empat kali.
Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 pasca amandemen ketiga
Hasil
perubahan UUD 1945
melahirkan bangunan kelembagaan
negara yang satu sama lain dalam
posisi setara dengan saling melakukan kontrol (checks and balances), mewujudkan supremasi hukum dan
keadilan serta menjamin dan melindungi
hak asasi manusia. Kesetaraan dan ketersediaan saling kontrol inilah prinsip dari sebuah negara demokrasi dan
negara hukum.
Pasca
amandemen UUD 1945
menyebabkan berubahnya sistem ketatanegaraan yang berlaku meliputi jenis dan jumlah lembaga
negara, sistem pemerintahan,
sistem peradilan dan
sistem perwakilannya. Sejalan
dengan itu, muncul
lembaga-lembaga dalam bentuk
komisi, untuk menjawab
tuntutan masyarakat. Pembentukan
lembaga-lembaga yang berbentuk
komisi ini sangat pesat perkembangannya sepanjang reformasi.
Banyaknya tumbuh
lembaga-lembaga dan komisi-komisi, ataupun korporasi-korporasi yang
bersifat independen tersebut
menurut Jimly Asshiddiqie
merupakan gejala yang
mendunia, dalam arti
tidak hanya di Indonesia. Seperti
dalam perkembangan di
Inggris dan di
Amerika Serikat, lembaga-lembaga atau
komisi-komisi itu masih
ada yang berada
dalam ranah kekuasaan eksekutif, tetapi ada pula yang
bersifat independen dan berada di luar wilayah kekuasaan
eksekutif, legislatif, ataupun
yudikatif. Pada umumnya, pembentukan
lembaga-lembaga independen ini didorong oleh kenyataan bahwa birokrasi di lingkungan pemerintah dinilai
tidak dapat lagi memenuhi tuntutan Titik
Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, h.1 kebutuhan akan pelayanan umum dengan standar
mutu yang semakin meningkat dan
diharapkan semakin efisien dan efektif.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi