BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pada hakekatnya hukum pidana dan kegunaannya
bermaksud agar masyarakat dan setiap
orang anggota masyarakat dapat dilindungi hukum pidana, serta untuk mencapai jalan hidup yang
sejahtera lahir dan batin.
Sehubungan dengan perlindungan hukum pidana
bagi masyarakat dan anggotanya itu perlu
diingatkan tentang perkembangan pandangan hukum pidana yang baru, karena sejak lama dipikirkan
bahwa pada fungsi primer hukum pidana
itu untuk menanggulangi kejahatan, dan fungsi subsidier hukum pidana itu hendaknya mengingat sifat negatifnya
sanksi agar baru ditetapkan apabila upaya
lain sudah tidak memadai lagi. Hukum pidana hanyalah salah satu sarana atau upaya penanggulangan kejahatan.
Hukum
mengatur masayarakat secara patut dan bermanfaat, dengan menetapkan apa yang harus atau yang
diperbolehkan atau yang diajukan. Dengan adanya hukum dapat diketahui adanya garis
pembeda antara apa yang harus dilakukan,
tidak boleh dilakukan dan apa yang bersifat anjuran.
Pidana itu harus diusahakan agar dapat
mengubah pandangan dan sikapsikap penjahat sehingga tidak lagi akan melakukan
kejahatan di masa yang akan Bambang
Purnomo, Kapita Selekta Hukum Pidana, hal.
1 datang.
Dengan adanya itu dicapai jalan menciptakan program-program yang bersifat nasihat-nasihat yang menyembuhkan si
penjahat. Bagi para sosiolog, maksud
tersebut dapat dicapai dengan jalan mengadakan pendidikan dan latihan keja keterampilan. Lebih-lebih di Indonesia di
mana kesulitan-kesulitan hidup seperti
lowongan kerja semakin memperbudak kondisi ekonomi. Bagaimanapun juga, tujuan permasyarakatan sepeti ini
merupakan hal yang paling penting dalam
dunia moderen sekarang ini.
Sedangkan
tujuan dari pidana yang dijatuhkan tersebut adalah di samping untuk memberikan balasan yang setimpal
terhadap pelaku kejahatan, juga
bertujuan mendidik agar pelaku kejahatan yang bersangkutan dapat insaf, dan menjadi baik. Di samping itu pidana
penjara juga bermaksud untuk mendidik dan
menakut-nakuti anggota masyarakat yang lain agar tidak melakukan kejahatan yang sama.
Namun demikian tidaklah berarti, bahwa
terhadap kejahatan tidak perlu dilakukan
usaha-usaha penanggulangan, salah satu cara untuk menaggulangi kejahatan ialah, dengan menerapkan hukum pidana.
Kita
mengetahui bahwa pada masa-masa yang
silam reaksi penghukuman atas kejahatan sangat berat di mana tujuannya adalah menakut-nakuti
masyarakat yang melakukan kejahatan, dan
siksaan sebagai pembalasan.
Andi
Hamzah dan A.Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia, hal.
Ninik
Widiyanti & Yulius Waskita, Kejahatan Dalam Masyarakat Dan Pencegahannya, hal.
Ibid,
hal. 23 Negara Indonesia yang
berdasarkan hukum dan bersumber pada pancasila dan UUD 45 mengartikan pidana penjara sebagai
pidana pemasyarakatan, yakni bahwa
pemberian pidana kepada pelakunya tidak semata-mata memberi nestapa dan pembalasan, akan tetapi pemberian pidana
pemasyarakatan justru dititikberatkan
kepada pendidik serta pemberi bekal kehidupan bagi narapidana, agar setelah selesai menjalani masa pidananya
yang bersangkutan dapat hidup kembali di
tengah-tengah masyarakat serta dapat di terima oleh masyarakat, di mana dia berada, seperti layaknya anggota
masyarakat yang lain.
Upaya pelaksanaan pidana penjara baru yang
didasarkan prikemanusiaan dengan cara
memperluas usaha kelonggaran pidana untuk menjauhkan pengaruh buruk tembok penjara. Berbagai alternatif dari
upaya baru tersebut berupa bentuk pidana
bersyarat, cuti bersyarat,serta peningkatan remisi, dan sosial lainnya sampai bentuk pidana penjara di tempat
terbuka. Perlakuan cara baru terhadap
narapidana dengan pendekatan pembinaan di dalam masyarakat serta lingkungannya. Berbagai usaha pembinaan yang
mengandung unsur bimbingan dan
keterampilan yang bersifat edukatif, korektif, dan defensif serta mencakup aspek individu dan sosial.
Dalam
kasus pembunuhan pun hukum Islam mengenal asas pemaafan sebagaimana yang diperkenankan al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 178, yang berbunyi: Bambang Purnomo, Kapita Selekta Hukum Pidana,
hal. 11 ôyϑsù u’Å∀ãã …ã&s!
ôÏΒ ÏµŠÅzr& Öóx«
7í$t6Ïo?$sù Å∃ρã÷èyϑø9$Î/ Artinya: Maka barang siapa
yang mendapatkan suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah mengikuti dengan cara yang baik.(Q.S
al-Baqarahayat 178) Namun, asas pemaafan
ini tidak dilakukan begitu saja tanpa diimbangi dengan pembinaan keselarasan sosial, terutama
pihak-pihak yang bersangkutan dengan
peristiwa pembunuhan, khususnya pihak-pihak keluarga yang terbunuh dan pembunuh, sehingga tidak terjadi dendam
kesumat serta terjaminnya rasa keadilan
dan ketentraman masyarakat. Dalam hukum pidana hal ini sering kali dijadikan alasan oleh sebagian orang untuk
menolak hukum Islam, serta menilainya
sebagai hukum barbar dan kejam tidak berprikemanusiaan.
Pengampunan
terhadap qis}a>s}dibolehkan menurut kesepakatan para Fuqaha>‘, bahkanlebih utama dibandingkan
pelaksanaannya.
Pernyataan
untuk memberikan pengampunan tersebut
dapat dilakukan secara lisan ataupun secara tertulis. Redaksinya bisa dengan lafaz}(kata) memaafkan, membebaskan, menggugurkan, melepaskan, memberikan, dan
sebagainya.
Orang
yang berhak memiliki dan memberikan pengampunan adalah orang yang memiliki hak qis}a> s}. Menurut jumhur
ulama’ yang terdiri atas Imam Abu H}
anifah, Imam Syafi’i, Imam Ah} mad, pemilik qis}a>s}adalah semua ahli waris.
Akan tetapi, menurut Imam Maliki, hak
qis}a>s}dimiliki oleh as}abahlaki-laki yang Departemen Agama, al-Qur’an Dan Terjemahannya,
hal.
Juhaya
S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, hal. xx
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,hal.
Ibid,
hal. 161 paling dekat derajatnya dengan
korban, dan perempuan yang mewarisi dengan syarat-syarat tertentu.
Alternatif
memberikan ampunan diserahkan pada wali terbunuh. Mereka adalah ahli waris dari si terbunuh, bilamana
mereka menghendaki boleh menuntut hukum
qis}a>s}atau memberi ampun, seandainya ada salah satu di antara mereka memaafkan, maka gugurlah
qis}a>s}itu, sebab ia adalah salah satu dari ahli waris yang tidak terpisah dari anggota lainnya.
Muhammad
Ibnu H}asan, pengikut Imam Abu H}anifah, meriwayatkan bahwa Umar Ibnu al-Khat}t}ab ra. Dihadapkan
seorang laki-laki yang telah melakukan
pembunuhan secara sengaja. Kemudian Umar memerintahkan agar ia dihukum mati, tetapi sebagian dari walisi
terbunuh memaafkannya. Umar tetap memerintahkan
agar ia dihukum mati. Abdullah Ibnu Mas’ud berkata:” jiwa si korban adalah milik mereka bersama;
dikalaorang lain (salah satu dari keluarga korban) memberi maaf, maka berarti ia telah
menghidupkan satu jiwa. Oleh karena itu
haknya untuk menuntut qis} a> s}(yang dimaksud di sini ialah orangorang yang
tidak memberi maaf) tidak akan direalisasikan kecuali hak yang lain dicairkan terlebih dahulu. Lalu sahabat Umar
bertanya kepadanya: “ kalau demikian
bagaimana pendapatmu?” sahabat Abdullah Ibnu Mas’ud berkata: “hendaknya membebankan diyatpada hartanya
(pembunuh), dan anda tidak Ibid, hal.
H.A.Ali,
Terjemahan Fiqh Sunnah, juz 10 hal. 44 memberikan
bagian terhadap (wali) yang memberi maaf “. Umar menyambutnya: “Aku pun berpendapat demikian “ Muhammad (perawi) berkata: “ Saya pun
sependapat”.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi