Senin, 18 Agustus 2014

Skripsi Syariah:TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEPRES NO. 174/TAHUN 1999 TENTANG REMISI DALAM KASUS PEMBUNUHAN


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang  Pada hakekatnya hukum pidana dan kegunaannya bermaksud agar  masyarakat dan setiap orang anggota masyarakat dapat dilindungi hukum  pidana, serta untuk mencapai jalan hidup yang sejahtera lahir dan batin.
 Sehubungan dengan perlindungan hukum pidana bagi masyarakat dan  anggotanya itu perlu diingatkan tentang perkembangan pandangan hukum  pidana yang baru, karena sejak lama dipikirkan bahwa pada fungsi primer hukum  pidana itu untuk menanggulangi kejahatan, dan fungsi subsidier hukum pidana  itu hendaknya mengingat sifat negatifnya sanksi agar baru ditetapkan apabila  upaya lain sudah tidak memadai lagi. Hukum pidana hanyalah salah satu sarana  atau upaya penanggulangan kejahatan.
  Hukum mengatur masayarakat secara patut dan bermanfaat, dengan  menetapkan apa yang harus atau yang diperbolehkan atau yang diajukan. Dengan  adanya hukum dapat diketahui adanya garis pembeda antara apa yang harus  dilakukan, tidak boleh dilakukan dan apa yang bersifat anjuran.

 Pidana itu harus diusahakan agar dapat mengubah pandangan dan sikapsikap penjahat sehingga tidak lagi akan melakukan kejahatan di masa yang akan   Bambang Purnomo, Kapita Selekta Hukum Pidana, hal.
 1   datang. Dengan adanya itu dicapai jalan menciptakan program-program yang  bersifat nasihat-nasihat yang menyembuhkan si penjahat. Bagi para sosiolog,  maksud tersebut dapat dicapai dengan jalan mengadakan pendidikan dan latihan  keja keterampilan. Lebih-lebih di Indonesia di mana kesulitan-kesulitan hidup  seperti lowongan kerja semakin memperbudak kondisi ekonomi. Bagaimanapun  juga, tujuan permasyarakatan sepeti ini merupakan hal yang paling penting  dalam dunia moderen sekarang ini.
  Sedangkan tujuan dari pidana yang dijatuhkan tersebut adalah di  samping untuk memberikan balasan yang setimpal terhadap pelaku kejahatan,  juga bertujuan mendidik agar pelaku kejahatan yang bersangkutan dapat insaf,  dan menjadi baik. Di samping itu pidana penjara juga bermaksud untuk mendidik  dan menakut-nakuti anggota masyarakat yang lain agar tidak melakukan  kejahatan yang sama.
 Namun demikian tidaklah berarti, bahwa terhadap kejahatan tidak perlu  dilakukan usaha-usaha penanggulangan, salah satu cara untuk menaggulangi  kejahatan ialah, dengan menerapkan hukum pidana.
  Kita mengetahui bahwa  pada masa-masa yang silam reaksi penghukuman atas kejahatan sangat berat di  mana tujuannya adalah menakut-nakuti masyarakat yang melakukan kejahatan,  dan siksaan sebagai pembalasan.
   Andi Hamzah dan A.Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia, hal.
  Ninik Widiyanti & Yulius Waskita, Kejahatan Dalam Masyarakat Dan Pencegahannya, hal.
  Ibid, hal. 23   Negara Indonesia yang berdasarkan hukum dan bersumber pada pancasila  dan UUD 45 mengartikan pidana penjara sebagai pidana pemasyarakatan, yakni  bahwa pemberian pidana kepada pelakunya tidak semata-mata memberi nestapa  dan pembalasan, akan tetapi pemberian pidana pemasyarakatan justru  dititikberatkan kepada pendidik serta pemberi bekal kehidupan bagi narapidana,  agar setelah selesai menjalani masa pidananya yang bersangkutan dapat hidup  kembali di tengah-tengah masyarakat serta dapat di terima oleh masyarakat, di  mana dia berada, seperti layaknya anggota masyarakat yang lain.
 Upaya pelaksanaan pidana penjara baru yang didasarkan prikemanusiaan  dengan cara memperluas usaha kelonggaran pidana untuk menjauhkan pengaruh  buruk tembok penjara. Berbagai alternatif dari upaya baru tersebut berupa  bentuk pidana bersyarat, cuti bersyarat,serta peningkatan remisi, dan sosial  lainnya sampai bentuk pidana penjara di tempat terbuka. Perlakuan cara baru  terhadap narapidana dengan pendekatan pembinaan di dalam masyarakat serta  lingkungannya. Berbagai usaha pembinaan yang mengandung unsur bimbingan  dan keterampilan yang bersifat edukatif, korektif, dan defensif serta mencakup  aspek individu dan sosial.
  Dalam kasus pembunuhan pun hukum Islam mengenal asas pemaafan  sebagaimana yang diperkenankan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 178, yang  berbunyi:   Bambang Purnomo, Kapita Selekta Hukum Pidana, hal. 11   ôyϑsù   u’Åãã   …ã&s!   ôÏΒ   ϵŠÅzr&   Öóx«   7í$t6Ïo?$sù   Åρã÷èyϑø9$Î/ Artinya: Maka barang siapa yang mendapatkan suatu pemaafan dari saudaranya,  hendaklah mengikuti dengan cara yang baik.(Q.S al-Baqarahayat 178)  Namun, asas pemaafan ini tidak dilakukan begitu saja tanpa diimbangi  dengan pembinaan keselarasan sosial, terutama pihak-pihak yang bersangkutan  dengan peristiwa pembunuhan, khususnya pihak-pihak keluarga yang terbunuh  dan pembunuh, sehingga tidak terjadi dendam kesumat serta terjaminnya rasa  keadilan dan ketentraman masyarakat. Dalam hukum pidana hal ini sering kali  dijadikan alasan oleh sebagian orang untuk menolak hukum Islam, serta  menilainya sebagai hukum barbar dan kejam tidak berprikemanusiaan.
  Pengampunan terhadap qis}a>s}dibolehkan menurut kesepakatan para  Fuqaha>‘, bahkanlebih utama dibandingkan pelaksanaannya.
  Pernyataan untuk  memberikan pengampunan tersebut dapat dilakukan secara lisan ataupun secara  tertulis. Redaksinya bisa dengan  lafaz}(kata) memaafkan, membebaskan,  menggugurkan, melepaskan, memberikan, dan sebagainya.
  Orang yang berhak memiliki dan memberikan pengampunan adalah orang  yang memiliki hak qis}a> s}. Menurut jumhur ulama’ yang terdiri atas Imam Abu  H} anifah, Imam Syafi’i, Imam Ah} mad, pemilik qis}a>s}adalah semua ahli waris.
 Akan tetapi, menurut Imam Maliki, hak qis}a>s}dimiliki oleh as}abahlaki-laki yang   Departemen Agama, al-Qur’an Dan Terjemahannya, hal.
  Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, hal. xx  Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam,hal.
  Ibid, hal. 161   paling dekat derajatnya dengan korban, dan perempuan yang mewarisi dengan  syarat-syarat tertentu.
  Alternatif memberikan ampunan diserahkan pada wali terbunuh. Mereka  adalah ahli waris dari si terbunuh, bilamana mereka menghendaki boleh  menuntut hukum qis}a>s}atau memberi ampun, seandainya ada salah satu di antara  mereka memaafkan, maka gugurlah qis}a>s}itu, sebab ia adalah salah satu dari ahli  waris yang tidak terpisah dari anggota lainnya.
  Muhammad Ibnu H}asan, pengikut Imam Abu H}anifah, meriwayatkan  bahwa Umar Ibnu al-Khat}t}ab ra. Dihadapkan seorang laki-laki yang telah  melakukan pembunuhan secara sengaja. Kemudian Umar memerintahkan agar ia  dihukum mati, tetapi sebagian dari walisi terbunuh memaafkannya. Umar tetap  memerintahkan agar ia dihukum mati. Abdullah Ibnu Mas’ud berkata:” jiwa si  korban adalah milik mereka bersama; dikalaorang lain (salah satu dari keluarga  korban) memberi maaf, maka berarti ia telah menghidupkan satu jiwa. Oleh  karena itu haknya untuk menuntut qis} a> s}(yang dimaksud di sini ialah orangorang yang tidak memberi maaf) tidak akan direalisasikan kecuali hak yang lain  dicairkan terlebih dahulu. Lalu sahabat Umar bertanya kepadanya: “ kalau  demikian bagaimana pendapatmu?” sahabat Abdullah Ibnu Mas’ud berkata:  “hendaknya membebankan diyatpada hartanya (pembunuh), dan anda tidak   Ibid, hal.
  H.A.Ali, Terjemahan Fiqh Sunnah, juz 10 hal. 44   memberikan bagian terhadap (wali) yang memberi maaf “. Umar menyambutnya:  “Aku pun berpendapat demikian “  Muhammad (perawi) berkata: “ Saya pun sependapat”.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi