Selasa, 26 Agustus 2014

Skripsi Syariah:TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP BATAS UMUR DAN PEMENJARAAN ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NO.3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

BAB I  PENDAHULUAN
 A.  LATAR BELAKANG MASALAH  Kejahatan  anak  saat  ini  sudah  sangat  mengkhawatirkan  dan  sudah  mencapai  tingkat  di  luar  batas  kebiasaaan  mereka  sebagai  anak-anak  pada  umumnya.  Kejahatan  dengan  pelaku  anak-anak  didominasi  oleh  tindak  pencurian,  Disusul  kemudian  kasus  penyalahgunaan  obat-obatan  terlarang,  pencabulan, dan pembunuhan. Sebagian pihak menudingbahwa penyebab dari  kejahatan anak ini adalah kemiskinan dan kerusakan  moral di kalangan anak.
Kasus  pembunuhan   oleh  anak  yang  terjadi  di  Inggris bahkan  sangat  mengejutkan public dunia dan dianggap sebagai kejahatan yang paling kejam  dilakukan oleh anak-anak selama kurun waktu dua setengah abad. Di Indonesia  kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak juga sudahsemakin meningkat, ini  berdasarkan data yang dimiliki KPAI, di Indonesia banyak anak yang dipenjara  karena  kasus  kejahatan,  setiap  tahun  rata-rata  mencapai  6.000  anak  yang  masuk penjara.
 Masalah  kenakalan  anak  dewasa  ini  tetap  merupakan  persoalan  yang  aktual,  hampir  di  semua  negara-negara  di  dunia  termasuk  Indonesia.  Banyak  faktor yang menyebabkan seorang anak cenderung berbuat kenakalan yang bila   http://metro.vivanews.com/news/read/178954-kpai-desak-pemerintah-hapuspemenjaraan-anak di posting pada hari rabu, 22 September 2010, jam: 15.59   diklasifikasikan sebagai perbuatan kejahatan yang dianggap sebagai kenakalan  anak  (juvenile  delinquency). 
Maka  tidak  adil  rasanya  bila  anak  yang  melakukan  kenakalan  dan  meresahkan  masyarakat  tidak dikenai  hukuman,  tetapi tidak pantas juga bila anak tersebut mendapatkan hukuman yang sama  dengan hukuman yang diterima oleh orang dewasa. Sehingga Undang-Undang  Negara  No  3  Tahun  1997  tentang  Pengadilan  Anak  masih  banyak  menimbulkan  kontroversi  terutama  yang  berhubungan  dengan  pemenjaraan  anak. Pemerintah mengacu kepada Undang-undang No. 3tahun 1997 tentang  Pengadilan Anak pada pasal 23 ayat 2 yang menyebutkan bahwa sanksi untuk  anak nakal ialah pidana pokok yang berupa pidana penjara, pidana kurungan,  pidana  denda,  pidana  pengawasan  sehingga  memperbolehkan  untuk  menjatuhkan  hukuman  penjara  pada  anak  berusia  12  tahun  ke  atas.
 Ini  berkaitan dengan sanksi terhadap anak-anak yang melakukan kejahatan masih  merujuk pada kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana(KUHAP) warisan  Belanda.  Sebab  pada  kita  Undang-undang  Hukum  Acara  Pidana  (KUHAP)  pasal 45 dinyatakan bahwa tindak pidana yang dilakukan orang dewasa sama  dengan  yang  dilakukan  oleh  anak.  Karena  itu  penyidikannya  mengikuti  penyidikan  orang  dewasa  sebagaimana  yang  diatur  jika  tersangka  khawatir  melarikan  melarikan  diri,  menghilangkan  barang  bukti,  mengurangi  tindak   Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Peradilan Anak, Jakarta: Sinar Grafika, 2000,  h. 6   pidana dan ancaman hukumannya lebih dari lima tahun. Jika kriteria tersebut  di penuhi, maka tindakan penahanan dianggap sah.
 Sedangkan  pihak  yang  menentang,  dimotori  oleh  KPAI, menggunakan  dasar  UU  No.  23  Tahun  2009,  bahwa  definisi  anak  pada  Pasal  1  adalah  seseorang yang belum  berusia 18  (delapan belas)  tahun, termasuk anak yang  masih dalam kandungan. Artinya, sebelum berusia 18tahun, anak tidak boleh  dijatuhi sanksi pidana dengan pemenjaraan.
Komisi  Perlindungan  Anak  Indonesia  (KPAI)  bahkan  meminta   agar  ketentuan pemenjaraan terhadap anak dihapuskan dalam Rancangan Undangundang  (RUU) Peradilan  Anak yang  akan segera  dibahas  Dewan  Perwakilan  Rakyat, karena menurut Ketua KPAI, Hadi Supeno, penjara bukan tempat yang  tepat bagi anak karena selain akan mematikan tumbuhkembang, penjara juga  penuh  dengan  budaya  kekerasan,  diskriminatif,  serta menstigmasi  atau  yang  bersifat labelisasi terhadap anak dengan sebutan mantan narapidana.
Pengamat Pengadilan Anak Adi Fahrudin menilai selama ini pengadilan  anak  di  Indonesia  sangat  bernuansa  pemenjaraan.  Selain  tidak  manusiawi,  model penanganan yang selama ini berlangsung di Indonesia sudah lama tak  dipakai  di  banyak  negara  di  dunia.  Adi  mengungkapkan,  di  banyak  negara,  pengadilan dan hukuman untuk anak lebih mengedepankan aspek Community  Service  Order  (CSO).  Konsep  ini,  menurutnya  lebih  ampuh  dan  manusiawi   Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafik, 1996. Hal. 21   diterapkan  kepada  anak.  Dalam  konsep  ini,  seorang  anak  yang  divonis  bersalah tak dihukum penjara. Tapi diberikan hukuman untuk kerja sosial bagi  masyarakat  karena  hukuman  ini  lebih  ditujukan  untuk membina  dan  memberikan perawatan sosial bagi anak-anak. Menurutdia, penerapan CSO ini  juga  dapat  mengurangi  efek  stigmatisasi  masyarakat  pada  anak-anak  yang  melakukan  kejahatan.  Karena  dengan  kerja-kerja  sosial,  masyarakat  akan  menghargai keberadaan mereka.
Selain  itu,  terjadi  perdebatan  juga  dalam  Undang-Undang  Nomor  3  Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak pada pasal 1 ayat 1 yang menyebutkan  bahwa  Anak  adalah  orang  yang  dalam  perkara  Anak  Nakal  telah  mencapai  umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun  dan belum pernah kawin.
 Mengenai definisi anak, sampai sekarang belum ada  ketentuan pasti. Batasan umur anak dibawah umur juga berbeda-beda. Pasal 45  KUHAP  menentukan  16  th.  Pasal  283  KUHP  17  t,  pasak  287-293  (15  th).
Sedangkan  dalam  UU  kesejahteraan  Anak  no  4  Th  1979, anak-anak  adalah  mereka yang belum berusia mencapai 21 th. Batas usia minimum anak dapat  dimintai  pertanggungjawabannya  selama  ini  juga  belum  ada.  Maka  wajarlah  selama  ini  penanganan  kejahatan  anak  lebih  mengandalkan  unsur-unsur  subjektivitas aparat penegek hukum. Padahal tindakan itu telah menimbulkan  banyak permasalahan baru bagi masa depan anak.
 Redaksi Sinar Grafika, op. cit., h. 3   Permasalah utama yang selalu timbul dalam masalah pengadilan anak di  Indonesia adalah tentang ukuran seorang anak yang beranjak menjadi dewasa  atau dalam fiqh disebut  bâligh.  Pendefinisian anak yang tidak tepat memiliki  implikasi  terhadap  cara  pandang  kita  kepada  anak  yang  nantinya  ikut  andil  juga dalam memunculkan kejahatan anak-anak.
Islam sebagai agama yang memiliki kajian hukum fiqhyang begitu luas  dan  dalam  tentu  memiliki  sebuah  konsep  hukum  tentang  anak.  Islam  mendefinisikan anak adalah mereka yang belum mencapai masa baligh. Prof.

Dr.  Hj.Huzaemah  T.Yanggo,  MA  dalam  bukunya  Fiqih  Anak,  mengatakan  bahwa  al-bulugh adalah  habisnya  masa  kanak-kanak.  Pada  laki-laki, baligh  ditandai  dengan  bermimpi  (al  ihtilâm),  dan  perempuan  ditandai  dengan  haid.

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi