BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH Kejahatan anak
saat ini sudah
sangat mengkhawatirkan dan
sudah mencapai tingkat
di luar batas
kebiasaaan mereka sebagai
anak-anak pada umumnya.
Kejahatan dengan pelaku
anak-anak didominasi oleh
tindak pencurian, Disusul
kemudian kasus penyalahgunaan obat-obatan
terlarang, pencabulan, dan
pembunuhan. Sebagian pihak menudingbahwa penyebab dari kejahatan anak ini adalah kemiskinan dan
kerusakan moral di kalangan anak.
Kasus pembunuhan
oleh anak yang
terjadi di Inggris bahkan sangat mengejutkan public dunia dan dianggap sebagai
kejahatan yang paling kejam dilakukan
oleh anak-anak selama kurun waktu dua setengah abad. Di Indonesia kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak juga
sudahsemakin meningkat, ini berdasarkan
data yang dimiliki KPAI, di Indonesia banyak anak yang dipenjara karena
kasus kejahatan, setiap
tahun rata-rata mencapai
6.000 anak yang masuk
penjara.
Masalah
kenakalan anak dewasa
ini tetap merupakan
persoalan yang aktual,
hampir di semua
negara-negara di dunia
termasuk Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan seorang anak cenderung
berbuat kenakalan yang bila http://metro.vivanews.com/news/read/178954-kpai-desak-pemerintah-hapuspemenjaraan-anak
di posting pada hari rabu, 22 September 2010, jam: 15.59 diklasifikasikan sebagai perbuatan kejahatan
yang dianggap sebagai kenakalan anak (juvenile
delinquency).
Maka tidak
adil rasanya bila
anak yang melakukan
kenakalan dan meresahkan
masyarakat tidak dikenai hukuman, tetapi tidak pantas juga bila anak tersebut
mendapatkan hukuman yang sama dengan
hukuman yang diterima oleh orang dewasa. Sehingga Undang-Undang Negara
No 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan
Anak masih banyak menimbulkan
kontroversi terutama yang
berhubungan dengan pemenjaraan anak. Pemerintah mengacu kepada Undang-undang
No. 3tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
pada pasal 23 ayat 2 yang menyebutkan bahwa sanksi untuk anak nakal ialah pidana pokok yang berupa
pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda,
pidana pengawasan sehingga
memperbolehkan untuk menjatuhkan
hukuman penjara pada
anak berusia 12
tahun ke atas.
Ini berkaitan
dengan sanksi terhadap anak-anak yang melakukan kejahatan masih merujuk pada kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana(KUHAP) warisan Belanda. Sebab
pada kita Undang-undang
Hukum Acara Pidana
(KUHAP) pasal 45 dinyatakan bahwa
tindak pidana yang dilakukan orang dewasa sama dengan
yang dilakukan oleh
anak. Karena itu
penyidikannya mengikuti penyidikan
orang dewasa sebagaimana
yang diatur jika
tersangka khawatir melarikan
melarikan diri, menghilangkan
barang bukti, mengurangi
tindak Redaksi Sinar Grafika,
Undang-Undang Peradilan Anak, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, h. 6 pidana
dan ancaman hukumannya lebih dari lima tahun. Jika kriteria tersebut di penuhi, maka tindakan penahanan dianggap
sah.
Sedangkan
pihak yang menentang,
dimotori oleh KPAI, menggunakan dasar
UU No. 23
Tahun 2009, bahwa
definisi anak pada
Pasal 1 adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.
Artinya, sebelum berusia 18tahun, anak tidak boleh dijatuhi sanksi pidana dengan pemenjaraan.
Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI)
bahkan meminta agar ketentuan
pemenjaraan terhadap anak dihapuskan dalam Rancangan Undangundang (RUU) Peradilan Anak yang
akan segera dibahas Dewan
Perwakilan Rakyat, karena menurut
Ketua KPAI, Hadi Supeno, penjara bukan tempat yang tepat bagi anak karena selain akan mematikan
tumbuhkembang, penjara juga penuh dengan
budaya kekerasan, diskriminatif, serta menstigmasi atau
yang bersifat labelisasi terhadap
anak dengan sebutan mantan narapidana.
Pengamat Pengadilan Anak Adi
Fahrudin menilai selama ini pengadilan anak di
Indonesia sangat bernuansa
pemenjaraan. Selain tidak
manusiawi, model penanganan yang
selama ini berlangsung di Indonesia sudah lama tak dipakai
di banyak negara
di dunia. Adi
mengungkapkan, di banyak
negara, pengadilan dan hukuman
untuk anak lebih mengedepankan aspek Community Service
Order (CSO). Konsep
ini, menurutnya lebih
ampuh dan manusiawi Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Jakarta: Sinar Grafik, 1996. Hal. 21 diterapkan kepada
anak. Dalam konsep
ini, seorang anak
yang divonis bersalah tak dihukum penjara. Tapi diberikan
hukuman untuk kerja sosial bagi masyarakat karena
hukuman ini lebih
ditujukan untuk membina dan memberikan
perawatan sosial bagi anak-anak. Menurutdia, penerapan CSO ini juga
dapat mengurangi efek
stigmatisasi masyarakat pada
anak-anak yang melakukan
kejahatan. Karena dengan
kerja-kerja sosial, masyarakat
akan menghargai keberadaan mereka.
Selain itu,
terjadi perdebatan juga
dalam Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak pada pasal 1 ayat 1 yang menyebutkan bahwa
Anak adalah orang
yang dalam perkara
Anak Nakal telah
mencapai umur 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Mengenai definisi anak, sampai sekarang belum
ada ketentuan pasti. Batasan umur anak
dibawah umur juga berbeda-beda. Pasal 45 KUHAP
menentukan 16 th.
Pasal 283 KUHP
17 t, pasak
287-293 (15 th).
Sedangkan dalam
UU kesejahteraan Anak
no 4 Th
1979, anak-anak adalah mereka yang belum berusia mencapai 21 th.
Batas usia minimum anak dapat dimintai pertanggungjawabannya selama
ini juga belum
ada. Maka wajarlah selama
ini penanganan kejahatan
anak lebih mengandalkan
unsur-unsur subjektivitas aparat
penegek hukum. Padahal tindakan itu telah menimbulkan banyak permasalahan baru bagi masa depan anak.
Redaksi Sinar Grafika, op. cit., h. 3 Permasalah utama yang selalu timbul dalam
masalah pengadilan anak di Indonesia
adalah tentang ukuran seorang anak yang beranjak menjadi dewasa atau dalam fiqh disebut bâligh.
Pendefinisian anak yang tidak tepat memiliki implikasi
terhadap cara pandang
kita kepada anak
yang nantinya ikut
andil juga dalam memunculkan
kejahatan anak-anak.
Islam sebagai agama yang memiliki
kajian hukum fiqhyang begitu luas dan dalam
tentu memiliki sebuah
konsep hukum tentang
anak. Islam mendefinisikan anak adalah mereka yang belum
mencapai masa baligh. Prof.
Dr. Hj.Huzaemah
T.Yanggo, MA dalam
bukunya Fiqih Anak,
mengatakan bahwa al-bulugh adalah habisnya
masa kanak-kanak. Pada
laki-laki, baligh ditandai dengan
bermimpi (al ihtilâm),
dan perempuan ditandai
dengan haid.
Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi