Selasa, 26 Agustus 2014

Skripsi Syariah: PENGARUH FAKTOR PERMODALAN, KUALITAS ASET, DAN LIKUIDITAS TERHADAP PROFITABILITAS BANK UMUM SYARIAH

BAB I.
PENDAHULUAN.
1.1  Latar Belakang Masalah.
Dunia perbankan merupakan salah satu lembaga keuangan yang berperan  penting  dalam  perekonomian  suatu  negara.  Bank  sebagai  lembaga  intermediasi  mempunyai tugas utama yaitu menghimpun dana dan menyalurkan kembali  dana  tersebut  kepada  masyarakat  serta  memberikan  jasa  bank  lainnya.

 Bank  mempunyai  kemampuan  untuk  meningkatkan  atau  mengurangi  daya  beli  masyarakat.  Bank  dapat  meningkatkan  daya  beli  masyarakat  dimana,  bank  memeberikan  pinjaman  atau  kredit  kepada  individu  dan  unit-unit  usaha  yang  berasal dari dana yang dihimpun dari masyarakat yang berupa tabungan, giro, dan  deposito  berjangka.  Bank  juga  dapat  mengurangi  daya  beli  masyarakat  yaitu  dengan  meningkatkan  suku  bunga.  Apabila  suku  bunga  meningkat,  mendorong  individu dan unit usaha  untuk menyimpan uangnya di bank,  sehingga uang yang  beredar  di  masyarakat  berkurang  dan  kemampuan  daya  beli  masyarakat  juga  menurun.
 Perbankan nasional belum mampu menjalakan fungsi intermediasi dengan  baik. Kondisi perbankan nasional  berdasarkan data BI, menunjukkan bahwa:  dari  total aset pada akhir 2000 sebesar Rp. 1.030,5 Triliun, penyaluran kredit mencapai  Rp.  320,4  Triliun  sedangkan  total  obligasi  berjumlah  Rp.  658,7  Triliun.
 Kasmir,  Manajemen Perbankan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, h. 11.
 Martono, Bank dan Lambaga Keuangan Lain, Yogyakarta: EKONISIA, 2002, h. 9.
 Komposisi  aset  seperti  pada  data  diatas  menunjukkan  kondisi  aset  yang  kurang  sehat,  karena  kredit  perbankan  hanya  menyumbang  sebanyak  31,1%  dari  total  aset.  Besarnya  Loan  Deposit  Ratio  (LDR)  pada  akhir  2001  sebesar  33,0%    dan  41,2%  pada  akhir  Mei  2003,  rasio  tersebut  jauh  dari  patokan  Bank  Indonesia  sebesar  90%-110%.  Laba  parbankan  berdasarkan  Retruns  On  Asset  (ROA)  sebesar  1,45%  pada  tahun  2001  dan  naik  tipis  pada  bulan  maret  2002  sebesar  1,76%.
 Perkembangan  perbankan  Indonesia  mengalami  pasang  surut.  Krisis  finansial  tahun  1997  merupakan  bukti  merosotnya  kondisi  perbankan  Indonesia  yang  ditandai  dengan  dilikuidasinya  beberapa  bank  konvensional  oleh  Bank  Indonesia (BI). Bunga bank menjadi permasalahan yang pelik, apabila bunga bank  mengalami peningkatan  secara  otomatis bank akan memberikan kenaikan bunga  sebagai balas jasa bagi nasabah yang menyimpan dananya di bank, disisi lain bank  akan  meningkatkan  bunga  kredit  bagi  debitur.  Pembebanan  bunga  yang  tinggi  bagi  debitur  berdampak  pada  berkurangnya  kemampuan  mengembalikan  dana,  karena beban yang  dipikul  semakin bertambah.    Munculnya bank syariah dieluheluhkan  sebagai  bank  yang  tahan  terhadap  terjangan  krisis  karena  bank  syariah  menggunakan sitem bagi hasil yang tidak terpengaruh oleh naik-turunnya tingkat  suku bunga.
Sejarah  perbankan  syariah  di  Indonesia  mengalami  perjalanan  yang  panjang.  Pada  tanggal  27  Oktober  1988  dikeluarkannya  Paket  Kebijaksanaan  Pemerintah  Bulan  Oktober  (PAKTO)  yang  membuka  peluang  bagi  berdirinya   Sawaldjo Puspopranoto, Keuangan Perbankan dan Pasar Keuangan Konsep, Teori Dan  Realita, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2004, h. 113.
 bank-bank  baru  termasuk  bank  syariah  di  Indonesia.  Pemerintah  memandang  perlunya  membuka  peluang  bisnis  perbankan  seluas-luasnya  guna  memobilisasi  dana  masyarakat  untuk  menunjang  pembangunan.
 Setelah  dikeluarkannya  PAKTO  kemudian  diikuti  dengan  diterbitkannya  Undang-undang  No.  7  Tahun  1992. Dalam Undang-undang  No.  7 Tahun 1992 pada pasal  6 (m) dan pasal 13  ayat  (c  )  yang  menyatakan  bahwa  salah  satu  usaha  bank  umum  dan  bank  Bank  Perkreditan  Rakayat  (BPR)  adalah  menyediakan  pembiayaan  bagi  nasabah  berdasarkan prinsip bagi hasil.
 Berdasarkan  Undang-undang  No.  7  Tahun  1992  tentang  perbankan,  dimana  pembinaan  dan  pengawasan  bank  dilakukan  oleh  Bank  Indonesia  (BI).
Undang-undang  tersebut menetapkan bahwa bank dalam memberikan kredit  atau  pembiayaan  berdasarkan  prinsip  syariah  dan  melakukan  kegiatan  usaha  lainnya,  bank  wajib  menempuh  cara-cara  yang  tidak  merugikan  bank  dan  kepentingan  nasabah  yang  mempercayakan  dananya  kepada  bank  serta,  bank  wajib  memelihara  tingkat  kesehatan  bank  sesuai  dengan  ketentuan  kecukupan  modal,  kualitas  aset,  kualitas  manajemen,  likuiditas,  rentabilitas,  solvabilitas,  dan aspek  lainnya  yang  berhubungan  dengan  bank,  dan  wajib  melakukan  kegiatan  usaha  sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
 Bank  Indonesia  (BI)  sebagai  bank  sentral  dapat  melakukan  tindakantindakan  bagi  bank  yang  melakukan  penyimpangan  terhadap  aturan  kesehatan  bank. Tindakan Bank Indonesia (BI) tersebut tertuang dalam Undang-undang No.
 Wirdyaningsih,  Bank Dan Asuransi Islam  di  Indonesia,  Jakarta:  Prenada Media,  2005,  h. 61.
 Ibid, h. 61.
 Totok  Busantoso  dan  Siget  Triandaru  ,  Bank  Dan  Lambaga  Keuangan  Lain,  Jakarta:  Salemba Empat, 2006, h. 52.
 10  Tahun  1998  tentang  perbankan  menyebutkan  bahwa,  apabila  suatu  bank  mengalami  kesulitan  yang  membahayakan  kelangsungan  usahanya,  Bank  Indonesia (BI) dapat melakukan  tindakan dengan upaya:  penambahan  modal oleh  pemegang  saham,  penggatian  dewan  komisaris  dan  direksi  bank,  bank  menghapuskan  kredit  atau  pembiayaan  berdasarkan  prinsip  syariah  yang  macet  dan  memperhitungkan  kerugian  dengan  modal,  bank  melakukan  meager,  penjualan  bank  pada  pihak  lain,  menyerahkan  pengelolaan  kepada  pihak  lain,  sampai  dengan  bank  menjual  sebagian  atau  seluruh  harta  atau  kewajiban  bank  tersebut kepada bank atau pihak lain.
 Tingkat  kesehatan  perbankan  syariah  diatur  dalam  Peraturan  Bank  Indonesia No. 9/1/PBI/2007. Dalam peraturan tersebut dijelaskan secara spesifik  sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum berdasarkan prinsip syariah seperti  yang  tertuang  dalam  pasal  1  angka  6,  8,  dan  9  PBI  No.  9/1/PBI/2007  dimana,  tingkat  kesehatan  bank  didefinisikan  sebagai  hasil  penilaian  kuantitatif  atas  berbagai  aspek  yang  berpengaruh  terhadap  kondisi  atau  kinerja  suatu  bank  atau  Unit Usaha Syariah (UUS) melalui: a. penilaian kuantitatif dan penilaian kualitatif  terhadap  faktor-faktor  permodalan,  kualitas  aset,  likuiditas  dan  sensitivitas  terhadap resiko pasar; dan b. penilaian kualitatif terhadap faktor manajemen.
 Meningkatnya produk jasa perbankan syariah yang semakin beragam akan  meningkatkan  eksposur  risiko  yang  dihadapi  bank  berdasarkan  prinsip  syariah.
Perubahan eksposur risiko dan penerapan manajemen risiko akan mempengaruhi  Ibid, h. 66.
 Zubairi  Hasan,  Undang-Undang  Perbankan  Syariah:  Titik  Temu  Hukum  Islam  dan Hukum Nasional, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, h. 152.
 profit  risiko  yang  selanjutnya  berakibat  pada  kondisi  bank  berdasarkan  prinsip  syariah secara keseluruhan.
 Profitabilitas  harus  dilihat  sebagi  faktor  pendorong  dalam  memantau  seluruh faktor baik kuantitatif maupun kualitaif. Seluruh faktor baik permodalan,  kualitas aset, likuiditas,  sensitivitas terhadap resiko pasar serta faktor manajemen  diformulasikan  dan  dikelola  agar  lebih  efektif  untuk  menghasilkan  profitabilitas  yang  maksimal.  Apabila  bank  mampu  menghasilkan  keuntungan  yang  semakin  meningkat  dan  berkesinambungan  maka  kepercayaan  masyarakat  untuk  menggunakan  jasa  perbankan  akan  meningkat  serta  modal  akan  mudah  didapat  dari para investor karena deviden yang akan diterima investor meningkat seiring  meningkatnya keuntungan bank.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi