BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam
sebagai Rahmatan lil Alamin semakin hari menunjukkan wajah berseri, yaitu
dengan adanya ekonomi syariah lebih menguntungkan, halal dan barokah. Dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat pun mulai sadar akan nilai penting
syariah untuk segera diterapkan. Kegiatan ekonomi merupakan salah satu aspek
yang diatur dalam syariah Islam, yakni bagian muamalah sebagai bagian yang
mengatur hubungan sesama manusia.
Pengaturan kegiatan berekonomi
dalam syariah Islam dilandaskan pada kaidah dalam ushul fiqih yang menyatakan
bahwa ³maa laa yatimm al ±wajib illa bihi
fa huwa wajib ³,yakni sesuatu yang harus
ada untuk menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan.
Praktik ekonomi syariah di
Indonesia mulai berkembang dengan perkembangan keinginan dan harapan umat Islam
yang menjadi sebahagian besar penduduk Indonesia. Keinginan tersebut berkembang
seiring dengan berkembangnya upaya pemahaman terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi
yang berdasarkan syariah Islam pada awal tahun 1990-an, yaitu ditandani dengan dibentuknya
secara kelembagaan Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992.
Pada tahun 2003, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang terkait dengan bunga bank adalah haram,
hal ini kemudian menunjukkan
perkembangan yang cukup signifikan, setiap tahunnya terjadi peningkatan yang
positif. Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya asset industri perbankan
syariah nasional pada per Agustus 2005 sebesar Rp. 18, triliun meningkat pada
per Agustus 2006 menjadi Rp. 23,5 triliun sehingga besar peningkatannya sebesar
Rp. 5,27 triliun atau sebesar 28,91%.
Kemudian semakin marak pertumbuhan
perkembangan keuangan syariah manakala lahir Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
yang merupakan perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
yang menyebutkan secara jelas tentang kedudukan perbankan syariah. Lalu semakin
pasti juga keberadaan keuangan syariah secara hukum ketika Pemerintah sebagai
pemegang kebijakan mensahkan Undang-Undaang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah. Keberadaan Undang-Undang Perbankan Syariah ini tentu saja menjadi
landasan hukum positif yang semakin mempertegas peran dan fungsi perbankan
syariah di Indonesia.
Namun perkembangannya tersebut
tidak hanya dari Industri perbankan saja. Juga dari Asuransi, Pegadaian,
Koperasi, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), lembaga keuangan lainnya
termasuk didalamnya adalah lembaga keuangan non bank atau lembaga pembiayaan
(multifinance) dan Baitul Maal wa Tamwil (BMT).
Sejak awal perkembangannya pada
tahun 1992 lembaga keuangan syariah yang disebut terakhir di atas, Baitul Maal
wa Tamwil (BMT), yaitu Lembaga Keuangan Syariah yang ruang lingkupnya mikro,
pada tahun Republika, 11 Oktober 2006.
saja sudah tercatat sebnayak 3.037 BMT yang
tersebar di 26 propinsi di Indonesia dengan 1.828 BMT yang melaporkan kegiatan
pengelolannya. Total asset BMT telah mencapai Rp. 300 M (tiga ratus milyar
rupiah). Potensi tersebut diperkirakan akan semakin berkembang.
BMT sebagai salah satu Lembaga Keuangan Mikro
Syariah memiliki karakteristik sebagai lembaga keuangan yang memadukan antara fungsi
Baitul Maal (sosial / tabarru¶) dengan kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana
umat Islam seperti zakat, infaq, maupun shadaqah. Selain itu BMT juga berfungsi
sebagai usaha komersil (tamwil) yakni mencari keuntungan dengan menghimpun dan
mengelola dana masyarakat dalam bentuk jasa simpanan dan pembiayaan berdasarkan
konsep syariah. Tidak hanya itu, BMT dapat melakukan fungsi terpisah yakni
berorientasi mencari keuntungan atau lembaga sosial semata.
Dengan adanya fungsi usaha komersil dengan
menghimpun dan mengelola dana masyarakat, maka seperti halnya perbankan
syariah, kegiatan penghimpunan dana BMT menggunakan prinsip wadi¶ah dan mudharabah,
musyarakah sedangkan kegiatan penyaluran dana menggunakan prinsip bagi hasil,
jual beli (murabahah, bai bitsaman ajil, salam, istisna) dan sewa (ijarah dan
ijarah muntahia bittamlik) kepada masyarakat.
Andi Estetiono, Makalah: Strategi Inkopsyah Dalam Pengembangan Lembaga Keuangan
Mikro Syari’ah, disampaikan pada Seminar dan Workshop Nasional di P3EI UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 25 s.d 26 Mei 2005.
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa
Tamwil, Yogyakarta : UII Press, 2004, h. 126.
Hertanto Widodo, Panduan Praktis Operasional
Baitul Maal Wattamwil, Jakarta : Mizan, 1999, h. 35.
Mencermati perkembangan BMT ini, ada suatu hal
yang perlu diperhatikan bahwa, praktek BMT saat ini masih sangat didominasi
oleh produk murabahah sebagai akad
pembiyaan dalam kegiatan penyaluran dana.
BMT pada umumnya, banyak
menerapkan murabahah sebagai metode pembiayaan mereka yang utama, meliputi
kurang lebih tujuh puluh lima persen (75%) dari total kekayaan mereka. Menurut
Choudury, dominannya pembiayaan murabahah terjadi karena pembiayaan ini
cenderung memiliki risiko yang lebih kecil dan lebih mengamankan bagi
shareholder .
Padahal Sesungguhnya BMT memiliki
core productpembiayaan berupa produk bagi hasil, yang dikembangkan dalam produk
pembiayaan musyarakahdan mudharabah. Meski jenis produk pembiyaan dengan akad jual
beli (murabahah, salam dan istishna) dan sewa (ijarah dan ijarah muntahia
bittamlik) juga dapat dioperasionalkan. Namun kenyataannya, BMT dengan produk
pembiayaannya masih didominasi oleh produk pembiayaan dengan akad jual beli
(tijarah) yang berbentuk murabahah .
Murabahah adalah penjualan dengan harga
pembelian barang berikut untung yang diketahui. Lihat, Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah 12, Bandung : PT Al-Ma’Arif, 1988 , h. 82.
Sumiyanto, Problem Transaksi Model Mudarabah
dalam Lembaga Keuangan Syariah Studi Kasus LKS BMT-BMT di Yogjakarta, Tesis MSI
UII, 2004 (tidakdipublikasikan).
Murabahah banyak yang mengatakan tidak
mempunyai rujukan langsung dalam AlQur’an, yang ada hanyalah tentang jual beli
atau Perdagangan yang sering dibahas dalam kitabkitab fiqh. Menurut al-Kaff,
seorang kritikus kontemporer tentang murabahah, bahwa para fuqaha terkemuka
mulai menyatakan pendapat mereka mengenai murabahah pada awal abad ke-2 H.
Download lengkap Versi PDF
sip
BalasHapus