BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam
kehidupan modern sekarang ini, umat Islam dalam segala aspek kehidupannya
hampir tidak dapat menghindarkan diri dari bermuamalah dengan lembaga keuangan
konvensional yang memakai sistem bunga, termasuk kehidupan ritual keagamaannya.
Misalnya ibadah haji di Indonesia, umat Islam
harus memakai jasa bank, apalagi dalam kegiatan ekonomi jelas dari jasa bank.
Padahal dengan memakai jasa bank konvensional berarti telah menumbuhkan dan
menyuburkan riba.
Adapun larangan riba dalam ajaran Islam
terdapat dalam firman Allah SWT.
Hai orang-orang yang beriman
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.¶(Ali Imran: 130).
Secara historis dan sosiologis, ada beberapa
pendapat yang berkembang mengenai eksistensi lembaga keuangan terutama bila
dikaitkan dengan riba atau bunga bank: M.
Nadratuzzaman Hosen, dkk, Materi Dakwah Ekonomi Syariah, Jakarta: PKES (Pusat Komunikasi
Ekonomi Syariah), 2008, hlm.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari¶ah Dari
Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, hlm.
Departemen Agama Republik Indonesia,al-Qur¶an
dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1997, hlm.
1. Majelis Tarjih Muhammadiyah Majelis Tarjih
Muhammadiyah di Sidoarjo tahun 1968 memutuskan bahwa riba hukumnya haram sesuai
dengan nash al-Qur’an dan as-Sunnah, dan bank dengan sistem riba hukumnya haram
dan bank tanpa riba hukumnya halal, sedangkan bunga yang diberikan oleh
bank-bank milik negara kepada nasabah atau sebaliknya, termasuk perkara
mutasyabihat.
2. Lajnah Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama’ Menurut
lajnah, hukum bank dan hukum bunganya sama seperti hukum gadai. Ada tiga
pendapat ulama’ sehubungan dengan masalah ini: a. Haram, sebab termasuk utang
yang dipungut rente.
b. Halal, sebab tidak ada syarat
pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan
syarat.
c. Syubhat, sebab para ahli hukum
berselisih pendapat tentangnya.
Meskipun ada perbedaan pandangan,
lajnahmemutuskan bahwa yang lebih berhati-hati ialah pendapat pertama, yakni
menyebutkan bunga bank adalah haram.
3. Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) Semua
peserta sidang OKI kedua yang berlangsung di Karachi, Pakistan, Desember 1970
telah menyepakati bahwa praktek bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai
dengan syari’ah Islam dan menganjurkan Muhammad
Syafi’i Antonio, Op.Cit, hlm.
Ibid.
segera didirikan bank-bank alternatif yang
menjalankan operasinya dengan prinsip syari’ah.
Penghindaran bunga (riba) merupakan salah satu
tantangan yang dihadapi dunia Islam dewasa ini. Suatu hal yang sangat
menggembirakan bahwa beberapa tahun belakangan ini para ekonom telah
mencurahkan perhatian besar guna menemukan cara menggantikan sistem bunga dalam
transaksi perbankan dengan sistem yang lebih sesuai dengan etika Islam,
menghindari riba dalam kegiatan muamalah. Inilah kemudian yang melatarbelakangi
berdirinya bank Islam.
Sejak beroperasinya lembaga keuangan Islam di
Indonesia pada tahun 1992 yang ditandai dengan berdirinya Bank Muamalah
Indonesia (BMI) berarti bangsa Indonesia telah mempunyai sistem keuangan baru yang
bebas dari unsur riba (bunga bank) yakni menggunakan sistem bagi hasil.
Berdirinya Bank Muamalah
Indonesia diikuti oleh bank-bank perkreditan rakyat Syari'ah (BPRS), dimana
pada saat krisis ekonomi dan moneter melanda Indonesia pada tahun 1997
perbankan Syari'ah telah mampu bertahan dan berkembang dengan baik. Akan tetapi
kehadiran BMI dan BPRS belum mampu menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah.
Seiring dengan cepatnya akselerasi wacana
ekonomi Islam atau Syariah di tengah-tengah masyarakat, Perbankan Syariah
sebagai salah satu Ibid, hlm.
Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i
Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1992, hlm.
5- Zaenul Arifin, Memahami Bank
Syari¶ah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, Jakarta: AlvaBet, 1999, hlm.
lembaga yang mempraktekkan Ekonomi Syariah,
menunjukan pertumbuhan yang luar biasa di negara yang kita cintai ini.
Perbankan konvensional seolah berlomba untuk segera melahirkan Unit Usaha
Syariah. Dan yang telah memiliki Unit Usaha Syariah juga telah bersiap
melepasnya menjadi entitas tersendiri, terpisah dari bank induknya melalui spin
off dan menyuntik permodalannya agar
mampu tumbuh berkembang menjadi besar.
Bank-bank umum Syariah yang telah
eksis juga tak mau kalah agresif melakukan ekspansi dan memperluas jaringan.
Kondisi tersebut juga tidak terlepas dari dukungan pemerintah dengan
diterbitkannya UndangUndang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Perbankan adalah salah satu
lembaga keuangan yang memberikan jasa layanan keuangan dan berfungsi menjadi
mediator antara masyarakat yang kelebihan dana dan masyarakat yang kekurangan
dana. Dalam fungsinya sebagai mediator, bank bertugas mengelola dana yang
dititipkan oleh masyarakat untuk disalurkan kembali ke masyarakat yang membutuhkan
pendanaan.
Terlepas dari itu juga peranan
penting pembiayaan di Bank Syariah memiliki peran yang unik dalam tugasnya
sebagai pengelola dana nasabah.
Masyarakat penyimpan dana
(penabung/deposan) akan diperlakukan sebagai investor di bank Syariah,
berikutnya bank Syariah sebagai pengelola dana akan berupaya untuk dapat
memberikan keuntungan yang menarik dan aman bagi para investornya.
Merupakan perusahaan yang berasal dari sebuah
perusahaan yang tak bersangkutan.
Lihat John M. Echols dan Hasan Shadiliy, Kamus
Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cet. XXV, 2003, Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi