BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen,
di dalamnya memiliki keanekaragaman
suku, budaya, adat, dan lain sebagainya, yang terbentang dari sabang sampai merauke. Dalam kehidupan
masyarakat selalu mengalami perubahan
dari masa ke masa, hal ini bisadi lihat dari gaya hidup masyarakatnya sehari-hari. Dalam bidang transportasi
misalnya, dahulu orang memanfaatkan tenaga
hewan sebagai alat transportasi seperti; pedati, andong, gerobak, delman dan lain-lain. Seiring dengan perkembangan
teknologi modern maka terciptalah kendaraan
bermotor, mobil, kereta api, pesawat terbang dan lain-lain yang telah menggunakan tenaga mesin. Semakin pesat
perkembangan teknologi tanpa diikuti
dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat menimbulkan dampak negatif, salah satunya adalah semakin
banyaknya pencurian.
Pencurian merupakan bentuk
kejahatan terhadap benda. Tindak pidana pencurian
telah diatur dalam KUHP pasal 362, di dalamnya dijelaskan bahwa, ”barangsiapa mengambil suatu barang, yang sama
sekali atau sebagian termasuk kepunyaan
orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan 1 hak,
dihukum karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,-”.
Motif yang melatarbelakangi tindak pidana
pencurian lebih banyak adalah karena
faktor ekonomi, sehingga modus operandi yang digunakan juga bermacam-macam mulai dari menggunakan alat
sederhana seperti kunci letter T sampai
dengan menggunakan kekuatan magis dengan cara melakukan gendam, hal ini menuntut peran serta pihak kepolisian
untuk meningkatkan profesionalisme Polri.
Dalam menjalankan tugasnya Polri
dituntut untuk bersikap secara profesional
dalam menangani kejahatan yang terjadi di masyarakat. Tingkat kejahatan antar tiap daerah berbeda, apalagi
di kota besar seperti kota Surabaya tingkat
kejahatan yang ditangani juga besar, keadaan seperti ini membuat barang bukti yang ditemukan juga semakin banyak.
Barang bukti menurut Prof Djoko
Prakoso S.H adalah barang-barang baik yang
berwujud, bergerak atau tidak bergerak yang dapat dijadikan bukti dan fungsinya untuk diperlihatkan kepada terdakwa
maupun kepada saksi dipersidangan guna
mempertebal keyakinan hakim dan menentukan kesalahan terdakwa.
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Politeia Bogor. hal
249 Djoko Prakso. Alat Bukti Dan
Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana. Yogyakarta; Liberty. hal 148 Barang bukti sebagai hasil dari benda sitaan
seringkali membuat repot, apalagi
barang-barang yang cepat rusak, motor misalnya, karena selain membutuhkan tempat yang luas, perawatan
barang-barang sitaan juga perlu diperhatikan.
Untuk menyiasati terjadinya penyimpangan, pemilik barang sitaan (barang bukti) diberi kesempatan untuk
menggunakan barang tersebut, dengan cara
“pinjam pakai”. Fakta dilapangan ditemukan bahwa di Polsek Kecamatan Wonocolo Kota Surabaya terdapat warga yang
melakukan praktek pinjam pakai, seperti
yang dilakukan Bapak Cakiyadin (28) dengan alamat Bendul Merisi IX/17-C. Beliau melakukan pinjam pakai
terhadap sepeda motor merek Yamaha yupiter
Z warna merah hitam, pada tahun 2008. Pada dasarnya prosedur pinjam pakai cukup mudah, yakni dengan mengajukan
permohonan kepada kasat atau kadit
serse, dengan melampirkan bukti kepemilikan barang tersebut. Dengan cara ini, barang-barang sitaan menjadi lebih
terawat dan bermanfaat. Namun, hal ini bukan
berarti melegalisasi bahwa barang tersebut sudah berpindah tangan ke orang tersebut. Itu sebabnya, pemohon pinjam
pakai diwajibkan mengisi surat pernyataan
bahwa mereka bersedia menghadirkan barang bukti tersebut pada saat dibutuhkan untuk bukti di persidangan .
Dalam praktek persidangan
alat-alat bukti yang digunakan menurut pasal 184 KUHAP ialah: a.
Keterangan saksi Http//Www.Sinar
Harapan. Co.Id b. Keterangan ahli c.
Surat d. Petunjuk e.
Keterangan terdakwa.
Praktek pinjam pakai barang bukti ini memang
tidak dibenarkan oleh hukum dan tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan bahkan hal ini juga bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam
pasal 44 ayat (2) KUHAP : “Penyimpanan
benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang
berwenang sesuai dengan tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga ”.
Artinya
barang bukti yang ada baik ditingkat kepolisian, kejaksaan, tidak dapat dipergunakan sebelum mendapatkan putusan
pengadilan dan memiliki kekuatan hukum
yang bersifat tetap. Hal ini dikhawatirkan apabila barang bukti tersebut dipindahtangankan maka bisa merubah
bentuk barang dari saat pertama kali
barang bukti itu ditemukan. Karenadalam proses peradilan fungsi barang bukti ini sangat penting yaitu sebagai sarana
pembuktian untuk memperkuat keyakinan
hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.
KUHAP
tidak mengatur sanksi terhadap pelanggaran ketentuan tersebut karena bukanlah pada tempatnya KUHAP yang
mengatur hukum acara juga mengatur
sanksi. Secara administratif sanksi terhadap pelanggaran Pasal 44 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,
Jakarta; Sinar Grafika, hal. 255 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.Surabaya ;Karya Anda. hal 26 Djoko Prakoso. Alat Bukti dan Kekuatan
Pembuktian di Dalam Proses Pidana. Yogyakarta; Liberty. hal 146 KUHAP diatur oleh instansi penyidik (misalnya
kepolisian) atau instansi penuntut umum
(kejaksaan) dalam bentuk peraturan KaPolri atau peraturan Jaksa Agung. Kalau pelanggaran tersebut
bersifat pidana, seperti penggelapan barang
bukti, sudah tentu berlaku ketentuan pidana seperti diatur pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 44 KUHAP
juga mengatur bahwa benda sitaan
disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara (RUPBASAN).
Lembaga inilah yang memelihara
keutuhan benda sitaan dan barang rampasan baik kualitas maupun kuantitasnya, menjamin
keselamatan dan keamanan benda yang
disita untuk menjadi barang bukti pada proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan.
Pembuktian dalam Islam di kenal dengan istilah
“al-bayyinah Artinya:“Bukti menjadi kewajiban si penggugat, sedang sumpah
menjadi kewajiban si tergugat” Dalil diatas dapat dijadikan dasar bahwa
pembuktian bukan saja bisa dari unsur
manusia sebagai saksi saja, akan tetapi unsur benda pun dapat dijadikan sebagai dasar penuntutan untuk selanjutnya
benda itu diajukan dimuka sidang pengadilan
untuk mendapatkan keterangan yang sebenar-benarnya dari terdakwa atau saksi.
As- Suyut}i, Jami’ S}agir, 220 Barang yang dijadikan sebagai bukti di
pengadilan wajib disimpan dan jaga
sebaik-baiknya, karena mengingat fungsi barang bukti ini sangat penting sebagai hujjah di persidangan nanti. Hal ini
sesuai dengan Al Qur’an Surat AnNisa’ ayat 58 Artinya: “Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat”.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi