BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Ahlus Sunnah Waljama>h(Aswaja) lahir
mewarnai alur sejarah peradaban dan
pemikiran Islam yang tentunya tidak berangkat dari ruang kosong. Aswaja adalah sebuah stereotipeyang muncul dan
sengajadikembangkan oleh umat Islam
untuk menjadi rujukan personifikasi golongan yang akan mendapat kemulyaan disisi Allah dengan segenap
kepatuhan yang ditujukan pada Rasulallah
SAW.
Lebih tepatnya Aswaja merupakan
istilah paska kenabian. Ia lahir paska era
kenabian yang ditandai dengan tercerai-berai komunitas Islam menjadi skisma aliran (scism) yang tidak tungal.
Masing-masing mengidentifikasikan diri sebagai
pengikut Nabi yang paling tepat dibandingkan dengan lainnya.
Sungguhpun istilah ini lahir
pasca era kenabian, namun, istilah tersebut selalu saja dipautkan pada sebuah tradisi dalam momen
sejarah Islam paling awal yaitu generasi
Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang terpercaya.
Atas dasar inilah definisi Aswaja mengacu dan
diacukan pada “apa yang saya (Nabi) dan
para sahabaku lakukan” (ma> ana ‘alaihi wa as}ha>bi>).
Ini artinya Aswaja diukur dengan sejauh mana tradisi dan
kebiasan Nabi dan para sahabat Tgk. H.
Z. A. Syihab, Akidah Ahlussunnah waljama>h, hal Ibid, hal 12
terpercaya mewarisi dan mewarnai
kerangka berfikir dan bertindak sehingga tindakan dan pemikiran itu ada pada jalur yang
tepat.
Dalam perkembangannya,
identifikasi identitas itupun mengkristal pada dua ujung yang ekstrim: “kelompok yang selamat
(al-firqah an-na>jiyah)dan kelompok
yang sesat (al-firqah al-d}ala>lah)”. Dengan berlandaskan pada hadist tentang perpecahan umat maka Ahlus Sunnah
mendakwah dirinya sebagai firqah yang
tepat dan selamat. Dalam bingkai semacam ini ‘yang lain’ akan mudah di tuduh dan distigma sesat oleh otoritas yang
berkuasa.
Berkembangnya hadist “sataftariqu
ummati> ‘ala s|ala>s|atun wa sab‘i>na firqatun, kulluhum fi an-na>r, illa>
wa>hid” ditengah umat Islam dan memberi rujukan akhir pada tipologi istilah Ahlussunah
wa al-jama>’ah yang dijelaskan dengan
ma> ana ‘alaihi wa as}h}a>bih. Kelompok inilah yang secara ideal akan mampu memberikan jawaban terhadap segala macam
persoalan dunia akhirat dari umat Islam,
alasannya karena golongan ini mengklaim bahwa mereka adalah representasi kaum yang mengadopsi pola pikir
(manha>j al-fikr)dan nilai-nilai dasar
ajaran Islam (ideologi) yang sesuai dengan kaidah perilaku Muhammad SAW beserta sahabatnya.
Pada fase ini beberapa ulama melakukan
pendekatan seksama terhadap beberapa
golongan yang telah ada dan melakukan akomodasi metodologi pemikiran diantara mereka. Imam Abu Hanifah,
Sofyan al-Sauri, Sofyan bin Habib
Mustofa, Alur Sejarah Pemikiran Aswaja, (Makalah Pelatihan Kader Dasar PMII 2005) hal 2 Uyainah dan Muhammad Abu Yusuf adalah
beberapa tokoh yang melakukan akomodasi
pola pikir antara mu’tazilah yang mendewakan akal dengan kaum jabariyah yang menafikan kekuatan akal
manusia. Titik temu akomodasi pemikiran
ini adalah merupakan corak pemikiran ahlussunah wa al-jama>’ah dikemudian
hari yaitu sifat moderatisme. Beberapa tokoh lain juga mempengaruhi perkembangan Aswaja ditengah
harapan umat untuk lepas dari pertentangan
golongan yang terjadi.
Dalam perkembangannya, ahlussunah
wa al-jama>’ah yang lebih dikenal dengan
golongan Sunni mengalami perluasan daerah pengikut sampai Asia, termasuk Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa
Islam tersebar di Indonesia melalui
jalur Gujarat dan Timur Tengah. Terlepas dari versi mana yang benar, namun harus diakui bahwa penyebaran Islam di
Idonesia memiliki nuansa egaliter dan
akulturatif, dalam arti bahwa nilai-nilai Islam diterima oleh penduduk lokal dengan segenap kesadaran budaya
setempat sehingga infiltrasi dua nilai
yang berbeda tersebut membentuk stereotipeterapan praktek Islam yang sarat dengan jiwa ukhuwah.
Tanggal 31 Januari 1926 melalui
proses perenungan panjang dari ulama tradisional,
lahirlah Nahdlatul Ulama yang bertugas melakukan pengawalan terhadap tradisi Islam setempat yang saat itu
banyak ditentang oleh golongan Islam
reformis. Islam reformis berpandangan bahwa praktek ritual Islam yang berbaur dengan adat lokal seperti tahlil,
khaul, mana>qib, dan lain-lain adalah merupakan praktek yang lebih dekat pada
kemusyrikan dan membahayakan iman umat
Islam, hingga akhirnya hal tersebut harus dihilangkan.
Apalagi nabi tidak pernah melakukan hal ini, artinya praktek
tersebut disebut dengan bid’ah dan tidak
layak dipertahankan. Dalam konteks sosio-religius seperti inilah NU lahir dan menunjukkan eksistensinya ditengah umat
Islam.
NU kemudian melakukan penguatan
basis gerakannya dengan melakukan kajian
normatif terhadap nilai-nilai doktrin agama Islam berangkat dari khazanah Islam klasik. Sampailah pengambaraan untuk
menemukan dasar pemikiran dan tindakan
itu pada penilaian Aswaja sebagai ideologi dan metode berfikir gerakan NU. Alasannya adalah karena Aswaja merupakan
performance kelompok Ulama yang mampu
melakukan transformasi pemikiran dan tindakan yang moderat ditengah problem umat yang mejemuk,ini sesuai
dengan konteks Islam Indonesia.
Bentuk pemahaman keagamaan Ahlussunah wa al-jama>’ahyang dikembangkan NU disebutkan secara jelas dan
tegas dalam AD NU Bab II tentang
Aqidah/Asas pasal 3, yakni “Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah Di>niyah Isla>miyyahberaqidah/berasas
Islam menurut faham Ahlussunah wa aljama>’ah dan menganut salah satu dari
maz}hab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali”. Untuk bidang tasawuf yang merupakan dasar pengembangan akhlak atau perilaku kehidupan individu dan
masyarakat, NU menganut paham Martin
Van Bruinessen, NU; Tradisi, Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, hal Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali
Ke Khittah 1926, hal 21 yang
dikembangakan oleh Abdul Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi dan Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali serta imam-imam yang
lain”.
Dari penjelasan itu dapat dipahamai bahwa NU
mengembangkan faham Ahlussunah wa
al-jama>’ahdalam dunia Islam, yaitu: (1) akidah; (2) syariah atau fikih; dan (3) akhlak.
Watak NU dalam pengembangan paham Ahlussunah wa
al-jama>’ah adalah pengambilan jalan
tengah yang berada diantara dua ekstrim. Kalau di lihat kembali ke belakang, sejarah teologi Islam
memang banyak diwarnai oleh berbagai
macam ekstrim, seperti Khawarij dengan teori pengkafirannya terhadap pelaku dosa besar, Qadariyah dengan teori
kebebasan kehendak manusianya, Jabariyah
dengan teori keterpaksaan kehendak dan berbuat, dan Mu’tazilah dengan pendewaannya terhadap kemampuan akal
dalam mencari sumber ajaran Islam. Di
sinilah Asy’ariah dan Maturidiah - dengan mengambil inspirasi berbagai pendapat yang sebelumnya dikembangkan
terutama oleh Ahmad ibn Hanbal -
merumuskan formulasi pemahaman kalamnya tersendiri dan banyak pengikut di seluruh dunia.Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi