BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Di era berlakunya
hukum acara pidana nasional yang bernafaskan per lindungan terhadap hak- hak
asasi manusia sebagaimana diatur dalam KUHAP, di bumi Negara Hukum Republik Indonesia ini
masih saja berlangsung terjadinya tindak
kekerasan dalam proses penanganan perkara pidana terutama pada tahap pemeriksaan penyidikan. Fenom ena kesew enang
- wenangan, arogansi, anarkisme yang
kerapkali dilakukan oleh para penguasa dan aparatpenegak hukum, baik itu Pejabat Polisi Neg a ra Republik Indonesia
(POLRI) atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang - Undang untuk melakukan penyidikan , dalam banyak hal mampu
melahirkan fenomena baru yang berupa tindakan pemaksaan, kekerasan dan main
hakim sendiri . Sala h satu di antaranya yang paling menonjol adalah
terjadinya penyimpangan dalam proses pemeriksaan
perkara tersangka Sengkon dan Kartayang berakibat menimbulkan vonis peradilan sesat ,karena di kemudian hari terbukti bahwa pelaku tindak pidana yang sebenarnya bukan Sengkon dan Karta Kemudian kasus salah vonis yang di
alami pasangan suami - istri,
Risman Lakoro dan Rostin Mahaji, atas tuduhan pembunuhan anak sendiri yang bernama
Alta Lakoro. Atas tuduhan H.M.A. Kuffal,
SH. Penerapan KUHAP Dalam Praktek Hukum, h. 8 .
tersebut pasangan suami - istri (Risman Lakoro
dan Rostin Mahaji) rela mendekam di pe
njara k urang lebih 3,5 tahun, kedua pasangan tersebut terpaksa mengakui kesalahan yang tidak pernah diperbuat lantaran
tidak kuasamenanggung derita yang
dialami, setelah setiap hari disiksa dan dipaksa oleh tim penyidik, sehingga jari - jemarinya dan bagian anggota tubuhnya
terluka Sudah menjadi suatu fenomena
yang tidakasing lagi bagi masyarakat, bahwa
berurusan dengan lembaga hukum, untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi ol eh masyarakat, sering kali
dan bahkan yang ditemukan dan didapat bukan penyelesaian hukum yang baik dan
memenuhi rasa keadilan dan kepastian hu
kum. Akan t etapi ,seringkali masyarakat yang buta akan
hukum semakin terlanggar hak- haknya sebagai warga negara yang harus dilayani
oleh aparat penegak hukum.
Ketidakmengertian masyarakat akan proses hukum yang harus dilakukan jika mengalami persoalan, justru
malah menjadi duri dan rintangan, hak keadilan
dan kepastian hukum yang seharusnya mereka terima justru malah terabaikan,
akibat tangan - tangan yang tak bertanggung jawab Hukum yang semula diharapkan
dapat memecahkan persoalan ini, ternyata sudah mulai kehilangan kapasitas kemampuannya.
Rasanya , kian lama hukum dirasakan tidak mempunyai ketangguhan ,bahkan
seringkali secara sengaja melakukan kolusi dengan kekuasaan melalui aneka
cara. Hukum yang punya sasaran terhadap terciptanya keadilan kini
menyibukk an diri membangun Mahyudin
Mamonto, Harian Jawa Pos, di Dalam Artikel “Risman dan Rostin, Suami- Isteri Salah Vonis Pembunuhan Anak Sendiri”, 25
Agustus 2007, h. 15 persekutuan dengan
para saudagar (pengusaha) dan bangsawan (birokrat). Sudah barang tentu dalam hubungan ini, peranannya
berubah menjadi pengawas dan penghukum
ketimbang pengayom A. Mukti Arto
mengemukakan pandangannya, bahwa hal yang diharapkan oleh para pencari keadilan adalah: 1. Mendapat perlakuan yang adil dan manusiawi 2. Mendapat pelajaran yang simpatik dan bantuan
yang diperlukan 3. Mendapat penyelesaian
atas perkaranya itu secara efektif, efisien, tuntas dan final sehingga memuaskan Harapan pencari
keadilan, sebagaimana digambarkan oleh Mukti Arto tersebut, memang tidak
berlebihan sebab tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum
(kepolisian, kejaksaan , pengadilan dan asosiasi profesi advokat) sudah mencapai titik nadir. Fenomena
main hakim sendiri sebagaimana disinggung
di atas, juga menunjukkan betapa resistensi masyarakat terhadap lembaga hukum
sudah sangat rendah Di dalam al - Qur’an
maupun as- Sunnah berulangkali memerintahkan keadilan dan mengutuk
ketidakadilan. Allah SWT berfirman dalam surah al Maidah ayat “ Janganlah
kebencianmu terhadap suatu kaum , mereka menghalang halangi kamu dari masjidil
haram, mendorong untuk berbuat aniaya (kepada mereka)” Suparman Marzuki, dkk, Penyiksaan Dalam
Anarki Kekuasaan, h v Sidiq Sunaryo,
Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, h Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 107.
Surat al -Maidah ayat 8: “Dan janganlah sekali
-kali kebencianmu terhadap suatu kaum sampai
mempengaruhi dirimu berbuat tidak adil, berlaku adillah kamu karena adil it
mendekatkan dengan taqwa.” Di dalam
peradilan pidana Islam juga terkenal
wilayah mazalim yaitu suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan yang lebih
tinggi daripada kekuasaan hakim dan
kekuasaan muhtasib. Lembaga ini memeriksa perkara- perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim bi asa, dan
lembaga ini juga memeriksa penganiayaan atau pelanggaran yang dilakukan oleh
penguasa - penguasa dan hakim - hakim ataupun anak- anak dari orang yang
berkuasa Hukum pidana Islam telah menyediakan jaminan - jaminan bagi tertuduh, baik pada tahap penyelid ikan atau penyidikan
maupun pada tahap pemeriksaan di pengadilan.
Pada tahap pertama, jaminan untuk kepentingan tertuduh adalah sebagai berikut: 1. Penyelidikan atau penggeledahan terhadap
orang atau tempat tinggal tidak boleh
dilaksanakan tanpa surat peri ntah penyelidikan atau penggeledahan yang
dikeluarkan oleh wali al-mazalim
(kementerian pengaduan) dan bukan dari orang lain 2. Dikeluarkannya surat tersebut di atas tidak
boleh hanya didasarkan pada kecurigaan. Bukti - bukti yang cukup harus menopang
surat perintah itu Ibid., h. 109.
3.
Bukti - bukti yang digunakan untuk menopang surat perintah penyelidikan
atau penggeledahan harus merupakan hasil
dari tindakan - tindakan yang sesuai hukum 4.
Apabila seorang laki - laki
bertugas untuk menggeledah seorang tersangka wanita, dia tidak diizinkan
dalam situasi bagaimanapun untuk menyentuh bagian - bagian yang privat dari
tubuhnya Dengan demikian, keberadaan lembaga semacam ini sangat membantu pemerintah
dalam menanggulangi berba gai pelanggaran yang dilakukan para pejabat Pasal 5 dari universal Declaration of Human
Rights bertujuan menghindarkan perlakuan atau hukuman yang aniaya, k ejam,
tidak manusiawi atau merendahkan. Sejauh
perhatian ditujukan pada masalah perlakuan,
Islam tidak mengenal suatu dasar bagi perlakuan diskriminatif. Semua
orang berhak atas perlakuan yang adil
dan sama. Perilaku dan sikap yang bermartabat serta pengha rgaan terhadap
martabat orang lain menjadi karakter yang terkemuka dari masyarakat Islam Nabi Muhammad SAW melarang kekejaman dan
penyiksaan. “Tidak seorangpun boleh dijatuhi hukuman dengan api”
dan juga memperingatkan agar tidak
memukul siapapun pada waj ahnya Drs. A.
Rahmat Rosyadi, SH., MH., Arbitrase
Dalam Perspektif Islam Dan Hukum Positif, h. 3 9- Topo Santoso, SH., MH., Membumikan Hukum Pidana Islam, h. 73 Artinya:
“Apabila seseorangdi antara kalian memukul, janganlah memukul bagian
muka.(Riwayat Bukhari) Dari penjelasan
hadits di atas tersebut, Islam melarang adanya tindakan tindakan yang
bertentangan dengan nilai - nilai kemanusian yang berhubungan dengan harkat dan
martabat manusia seperti tindakan kekerasan dan pengania yaan Adapun yang
melatar belakangi tindakan pemaksaan dalam proses penyidikan perkara pidana
yang dilakukan segenap aparat penegak hukum, baik POLRI maupun kejaksaan adalah ingin memperoleh
suatu keterangan atau pengakuan dari seorang tersangka atau saksi dalam suatu
perkara pidana, sehingga cara yang dipakai dalam mengusut suatu perkara pidana
bertentangan dengan ketentuan -
ketentuan undang - undang yang berlaku Adapun cara yang dipakai dalam mengusut,
menyidik, atau memeriksa suatu perkara
pidana adalah upaya paksa, yang mana cara- cara tersebut menggunakan kekerasan
untuk memperoleh suatu keterangan dan pengakuan.
es'> � a a > ะก �� mi atau kerabatnya yang
lain.Berdasarkan alasan tersebut pemohon mohon agar menetapkan wali nikah pemohon
adalah wali ad{al.
Fenomena tersebut sangat menarik
untuk dikaji karena selain alasan budaya orang madurayang dikemukaan oleh wali
sebagai alasan yang u tama, ternyata keengganan
wali diperkuat dengan sikap calon suami anaknya/ calon menantunya yang membawa pergi anak perempuan wali
(pemohon) sehingga anggapan wali terhadap
kebiasaan dan watak orang madura ya ng kurang baik itu bertambah kuat, akhirnya mengakibatkan bertambah kuat juga
keengganan wali. Karena upaya untuk
menyadarkan wali yang dilakukan pemohon tidak berhasil, secara otomatis pernikahan pemohon dengan calon suami
pilihannya ditolak oleh Kantor Urusan Agama setempatdisebabkan tidak ada ijin wali.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi