BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan
oleh Allah swt sebagai
makhluk sosial, dalam kehidupannya sehari-hari tidak akan
mampu hidup sendiri tanpa kehadiran orang lain.
Kehidupan semacam ini
kemudian dikenal dengan
istilah kehidupan bermasyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat
kepentingan seseorang dengan yang lainnya tidak
mesti sama, maka
sering terjadi benturan-benturan yang menyebabkan berkurangnya
keharmonisan dalam hubungan
masyarakat, bahkan tidak jarang
terjadi perselisihan satu sama lain. Dengan adanya benturan semacam itulah, maka
dimungkinkan timbul
kejahatan-kejahatan yang dampaknya tidak hanya merugikan diri-sendiri atau pelaku,
tetapi juga merugikan masyarakat luas, karena kejahatan bisa saja terjadi di
setiap ruang, tempat, dan waktu.
Kejahatan sangat berkaitan dengan
pemidanaan, sebab mereka yang telah melakukan kejahatan dalam masyarakat akan
diajukan ke Pengadilan dan dijatuhi pidana
yang setimpal. Terpidana
kemudian hidup di
belakang tembok rumah tahanan
atau yang sama
sekali asing baginya. Mereka
bercampur dan bergaul dengan penjahat-penjahat berbagai
bentuk, manusia yang bertabiat dan kebiasaan yang berbeda, begitu pula bahasa,
stratifikasi sosial dan asal-usul yang beraneka ragam. Perlakuan
dengan memenjarakan pelanggar hukum itu
ternyata banyak penyimpangan-penyimpangan di
dalam praktek. Bahkan
penjahat yang kecil
setelah keluar dari
rumah penjara melakukan
perbuatan jahat yang
lebih besar.
Jadi seolah-olah
penjara itu merupakan
sekolah kejahatan. Oleh
karena itu, timbullah gagasan
baru perhatian terhadap
diri pelanggar hukum itu
perlu diadakan usaha-usaha perbaikan
ke arah segi sosial
berupa pembinaan terhadap narapidana, berupa kecakapan,
keterampilan, semangat kepribadiannya, kekuatan mentalnya guna penyadaran dan
penginsafan atas kesalahannya, sehingga mereka akan merubah
sikapnya dan tidak
sampai mengulangi perbuatan melanggar hukum lagi. Tujuan
pembinaan di sini agar dapat membangkitkan rasa harga diri, mengembangkan rasa
tanggung jawab, dapat
menyesuaikan diri, hidup
tentram dalam masyarakat berguna sebagai warga negara dan menjadi
manusia berpribadi dan bermoral tinggi.
Sistem pembinaan narapidana yang dikenal
dengan nama pemasyarakatan, mulai
dikenal pada tahun
1964 ketika dalam
Konferensi Dinas Kepenjaraan
di Lembang, tanggal 27
April 1964, Dr.
Sahardjo, S.H. Melontarkan
gagasan perubahan tujuan pembinaan
narapidana dari sistem
kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan. Sebelumnya, Dr. Sahardjo,
S.H. telah terlebih
dahulu mengemukakan gagasan perubahan
tujuan pembinaan narapidana
itu, dalam pidato pengukuhannya
sebagai Dr. H. C. di Istana Negara tanggal 15 Juli 1963.
Menurut Sahardjo untuk
memperlakukan narapidana diperlukan landasan sistem pemasyarakatan. Sebagaimana
beliau mengatakan : Undang-Undang No. 12
Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, h.
“bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap
diulangi perbuatan jahat oleh terpidana,
melainkan juga orang
yang telah tersesat
diayomi dengan memberikan kepadanya
bekal hidup sebagai
warga yang berguna
di dalam masyarakat. Dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana
bukanlah tindakan balas dendam dari Negara..
Jadi
titik tolak pemikiran
Sahardjo, bahwa bukan
saja masyarakat yang diayomi
dengan adanya tindak pidana,
tetapi juga pelaku
tindak pidana perlu diayomi
dan diberikan bimbingan
sebagai bekal hidupnya
kelak setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, agar
berguna bagi dan di dalam masyarakat.
Adapundalam hukum pidana Islam,
pemidanaan yang ditegakkan dalam syariat
Islam mempunyai dua aspek,
yaitu: preventif (pencegahan)
dan represif (pendidikan). Pencegahan
adalah menahan pembuatnya
agar tidak mengulangi perbuatan pidananya,
atau agar ia
tidak terus-menerus melakukannya.
Dengan kata lain bahwa
selain mencegah dan
menakut-nakuti, syariat Islam
juga memberikan perhatian terhadap
diri pelaku pidana,
yakni memberikan pelajaran serta mengusahakan
kebaikan bagi pelakunya
merupakan tujuan yang
utama.
Sehingga seseorang
menjauhkan diri dari
kejahatan serta menginsyafinya bukan semata-mata karena
takut akan pidana
yang diterimanya, melainkan
betul-betul karena kesadarannya untuk
tidak melakukan perbuatan
yang melanggar hukum.
Dengan diterapkan
kedua aspek tersebut
akan dihasilkan satu
aspek kemaslahatan, yakni terbentuknya
moral yang baik,
maka akan menjadikan
Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana,h.
masyarakat
menjadi aman, tenteram,
damai dan penuh
dengan keadilan, karena moral
yang dilandasi agama
akan membawa perilaku
manusia sesuai dengan tuntunan agama.
Pembinaan
narapidana yang dilaksanakan
berdasarkan sistem pemasyarakatan bertujuan
untuk mempersiapkan narapidana
agar dapat berintegrasi secara sehat
dengan masyarakat sehingga
berperan kembali sebagai anggota masyarakat
yang bebas dan
bertanggung jawab. Guna
mewujudkan tujuan pembinaan terhadap
narapidana, upaya yang
dapat ditempuh antara
lain dengan melalui pelaksanaan
asimilasi, pembebasan bersyarat,
cuti menjelang bebas, dan
cuti bersyarat. Dimana upaya-upaya tersebut
telah diatur dalam Peraturan Menteri
Hukum Dan Hak
Asasi Manusia RI
No. M. 2.
PK. 04- Tahun 2007, dan Peraturan
Pemerintah RI No. 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.
32 Tahun 1999
Tentang Syarat dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan, yang
disesuaikan dengan Undang-Undang No. 12
Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan. Maksud dari asimilasi yakni
proses pembinaan narapidana
dan anak didik
pemasyarakatan yang
dilaksanakan dengan membaurkan
narapidana dan anak
didik pemasyarakatan di
dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan maksud dari pembebasan bersyarat
dan cuti menjelang
bebas yakni proses
pembinaan narapidana dan anak
pidana di luar
Lembaga Pemasyarakatan setelah
menjalani Makhrus munajat,
Dekontruksi Hukum Pidana Islam,h.
sekurang-kurangnya dua
pertiga masa pidananya
minimal sekurang-kurangnya sembilan
bulan berkelakuan baik.
Dengan
upaya-upaya melalui pelaksanaan
asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti
menjelang bebas, dan
cuti bersyarat dapat
berguna untuk menghindari over
kapasitas di dalam penjara. Di samping itu juga, berguna untuk mengakhiri prinsip
memelihara narapidana selama
mungkin di penjara,
karena semakin lama seseorang tinggal di penjara, semakin menambah
jumlah penghuni penjara dan semakin
pula menambah beban
anggaran pemerintah. Oleh
karena itu, penulis di sini
akan mencoba membahas
salah satu dari
upaya-upaya yang dilakukan yakni
tentang cuti bersyarat,
dimana upaya-upaya lainnya
seperti asimilasi,
pembebasan bersyarat, dan
cuti menjelang bebas
merupakan pembahasan
tersendiri yang apabila
dijelaskan akan menghabiskan waktu yang cukup lama. Penulis
lebih memfokuskan terhadap pelaksanaan cuti bersyarat, agar pembahasan dalam
skripsi ini tidak
terlalu melebar dan
mudah dipahami oleh pembaca pada umumnya, dan khususnya bagi
penulis pribadi.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan
uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah pokok dalam
penelitian ini, antara lain : Peraturan
Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, h.
1. Bagaimana prosedur pelaksanaan
cuti bersyarat bagi narapidana menurut PP No. 32 Tahun 1999 jo PP No. 28
Tahun 2006? 2. Bagaimana
pelaksanaan cuti bersyarat
terhadap pembinaan narapidana
di Rumah Tahanan Medaeng? 3. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam
terhadap pelaksanaan cuti bersyarat di Rumah Tahanan Medaeng Sidoarjo? C.
Kajian Pustaka Pembahasan Masalah mengenai
narapidana telah banyak
dibahas dan ditulis dalam
karya ilmiah sebelumnya
yang dijadikan sebagai
gambaran penulisan sehingga tidak
ada pengulangan permasalahan
yang sama. Namun upaya untuk membahas narapidana sudah
pernah dilakukan oleh para mahasiswa diantaranya adalah
penelitian yang pernah
dilakukan oleh Sjaichul
Ghulam dengan judul Tinjauan Hukum Islam Tentang Remisi Terhadap
Narapidana, yang menyatakan bahwa remisi
merupakan pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada
narapidana yang memenuhi
syarat berkelakuan baik
selama menjalani pidana. Dengan kata lain hal ini bagi narapidana yang
memenuhi syarat berkelakuan baik selama menjalani pidana maka dia berhak
mendapatkan remisi atau pengurangan hukuman.
Sjaichul Ghulam, Tinjauan Hukum Islam Tentang Remisi Terhadap Narapidana
Jurusan Muamalah Jinayah Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Selanjutnya penelitian yang pernah dilakukan
oleh Ali dengan judul Tinjauan Hukum Islam Tentang Efektifitas Sistem
Pemasyarakatan Dalam Pidana Penjara Di
lembaga Pemasyarakatan Kelas
II B Bojonegoro,
memberi penjelasan dan gambaran
mengenai sistem pemasyarakatan di
Lembaga Pemasyarakatan Bojonegoro. Dimana
realisasi yang terjadi
di Lembaga Pemasyarakatan Bojonegoro adalah dengan
diberikannya berbagai macam pembinaan, pengajaran, pendidikan, dan
keterampilan terhadap narapidana
yang bertujuan untuk memberikan bekal bagi narapidana untuk
kembali kepada masyarakat secara baikbaik dan tidak mengulangi lagi
kejahatannya.
Adapun masalah yang akan dibahas dalam skripsi
ini yaitu mengenai pelaksanaan cuti bersyarat.
Dimana cuti bersyarat
ini merupakan proses pembinaan narapidana di luar Lembaga
Pemasyarakatan yang dipidana satu tahun ke bawah minimal telah menjalani dua
pertiga masa pidana, adapun besarnya cuti maksimal tiga
bulan. Dalam skripsi ini
lebih memfokuskan pada
cuti bersyarat yang hanya
diperuntukkan bagi narapidana
dan anak pidana
yang mendapatkan hukuman di
bawah satu tahun,
adapun bagi narapidana
dan anak pidana yang mendapatkan hukuman lebih dari
satu tahun tidak berhak untuk mendapatkan cuti bersyarat.
D. Tujuan Penelitian Ali, Tinjau an Hukum Islam
Tentang Efektifitas Sistem
Pemasyarakatan Dalam Pidana Penjara Di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas
II B Bojonegoro Jurusan Muamalah
Jinayah Fakultas Syariah IAIN
Sunan Ampel Surabaya, Adapun tujuan
penelitian ini sebagai berikut: 1. Mengetahui dan memahami pelaksanaan cuti
bersyarat menurut PP Nomor Tahun 1999 Jo
PP Nomor 28 Tahun 2006.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi