BAB I PENDAHULUAN
A. Latar BelakangMasalah Salah satu unsur
penting dan menentukan dalam pernikahan adalah wali nikah, atau orang yang menikahkan mempelai
wanita. Bahkan menurut Syafi’i tidak sah
nikah tanpa adanya walibagi pihak pengantin perempuan , sedangk an bagi calon pengantin laki - laki tidak
diperlukan wali nik a h untuk sahnya nikah tersebut
. Sebagaimana sabda Nabi SAW: Artinya: “ Diriwayatkan dari Abi Musa, sesungguhnya Nabi SAW
bersabda: tidak ada nikah kecuali
dengan wali” .
Hadis
ini menjadi dasar, bahwa nikah tanpa wali hukumnya tidak sah, dan dalam KHI pasal 19 Wali nikah dalam perkawinan
merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya .
Dalam Undang- Undang No. 1 tahun 1974 pasal 2
disebutkan : 1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing - masing agamanya
dan kepercayaannya itu.
2.
Tiap- tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang - undangan
yang berlaku.
M Idris
Ramulyo, HukumPerkawinan,
Kewarisan, HukumAcara Peradilan Agama
Dan Zakat Menurut Hukum Islam , h .
Abi
>Da>ud Sulay ma>n Bin al-Asy’ast al -Sijista>ny, Sunan
Abi>Da>ud, h .
Tim
Redaksi FOKUSMEDIA , Kompilasi Hukum Islam , h .
Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Sedangkan
dalam Pasal 6dinyatakan sebagai berikut: 1.
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2.
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin
kedua orang tua.
3.
Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2)
pasal ini cukup diperoleh d ari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4.
Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka
izin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih
hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
Berdasarkan hadis dan ketentuan perundangan di
atas dapat diketahui betapa pentingnya
peranan wali dalam perkawinan Islam ,
tanpa wali maka tidak sah perkawinannya.Disamping itu wali mempunyai otoritas terhadap seseorang lantaran
memang mempunyai kompetensi untuk menjadi pelindung orang yang berada dib awah perwaliannya seperti halnya
dalam perkawinan seorang mempelai wanita yang membuuhkan wali, untuk melindungi
kepentingan serta haknya lantaran ia merasa tidak mampu berbuat tanpa adanya pengaruh
orang lain (wali).
Dalam ad{al nya wali disini, karena wal i
mempunyai alasan sendiri sehingga enggan
menikahkan anak gadisnya atau gadis yang dibawah perwaliannya.
Peristiwa seperti ini seringkali terjadi,
padahal seorang gadis meminta dengan baik
supaya legal menurut hukum Islam
(syar’i). Akan tetapi banyak oran g tua yang
memaksa anaknya untuk kawin dengan calon
suami pilihannya. Padahal orang tua tidak diperkenankan untuk
mengawinkan anak gadisdan wanita janda sebelum dia dimintai persetujuan dan
izinnya.Hal ini sesuai dengan hadisNabi SAW: Artinya:
” Abu Hurairah telah menceritakan
kepada kami,sesungguhnya Rasulullah
SAW bersabda: ” janganlah dikawinkan
seorang janda sebelum dia diminta pendapatnya dan jangan dikawinkan seorang gadis sebelum dimintaiizinnya/ persetujuannya.
Mereka bertanya wahai Rasulullah: bagaimana izinnya/ persetujuannya? Rasulullah
Menjawab: Diamnya”.
Hadis di
atas menerangkan tentang larangan
untuk menikahkan seorang wanita tanpa izinnya atau keridhaannya, baik wanita itu masih gadis maupun sudah janda,
meskipun terdapat perbedaan antara gadis
dan janda dalam mengungkapkan keridhaannya. Seorang janda mengatakan terus
terangbahwa diri nya ridha untuk dinikahkan, sedangkan seoran ggadis keridhaannya
dapat dipahami dari sikap diamnya, sebab
dia merasa malu untuk mengatakan secara terus
terang.
Imam
Abi > al- Husain Muslim Bin Hajjaj
al-Ku>syairy a l - Naisabury,
Sha>hih Muslim Jilid II, h . 1036 Di
dalam Al - Qur’an surat An - Nisa>
’ a y at 25dijelaskan: Artinya:
”Karena itu kawinilah mereka
dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin
mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanitawanita yang memelihara diri,
bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang
mengambil laki -laki lain sebagai piaraannya”
.
Sedangkan
mengenai larangan bagi wali menghalangi wanita yang ada dibawah
perwaliannya dengan calon suami pilihannya terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 232,Allah
SWTberfirman : Artinya: ”Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi
mereka kawin lagi dengan bakal suaminya,
apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf” (QS.
AL-Baqarah: 232) .
Terjadinya wali ad{almemang tidak dapat kita pungkiri, hal
itu dikarenakan adanya perselisihan
ataupun perbedaan yang terjadi antara seorang anak perempuan dengan orang tua
(walinya). Baik dari segi pandangan, jalan pikiran maupun kebijaksanaan yang mereka miliki, yang
hal itu memang sulit untuk dipertemukan.
Keadaan semacam itu mungkin saja terjadi kalau
memang ternyata mempelai perempuan tetap
berkeinginan untuk hidup berumah tangga dengan calon suaminya atau karena
adanya sebab- sebab yang bertolak belakang dengan keinginan orang tua (wali).
Departemen
Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahannya,h.
Ibid,
h.56 Seperti perkara yang terjadi di
Pengadilan Agama Nganjuk. Ada seorang wali
tidak mau menjadi wali nikah ,karena
calon suami anaknya berasal dari keturunan
orang Jember yang kebanyakan orang madura dan mereka suka carok dan suka santet. Di khawatirkan bilamana
pemohon menikah dengan calon suaminya tersebut, dikemudian hari bila terjadi
perselisihan akan di aniaya oleh calon
suami atau kerabatnya yang lain.Berdasarkan alasan tersebut pemohon mohon agar menetapkan wali nikah pemohon
adalah wali ad{al.
Fenomena tersebut sangat menarik untuk dikaji
karena selain alasan budaya orang madurayang dikemukaan oleh wali sebagai
alasan yang u tama, ternyata keengganan
wali diperkuat dengan sikap calon suami anaknya/ calon menantunya yang membawa pergi anak perempuan wali
(pemohon) sehingga anggapan wali terhadap
kebiasaan dan watak orang madura ya ng kurang baik itu bertambah kuat, akhirnya mengakibatkan bertambah kuat juga
keengganan wali. Karena upaya untuk
menyadarkan wali yang dilakukan pemohon tidak berhasil, secara otomatis pernikahan pemohon dengan calon suami
pilihannya ditolak oleh Kantor Urusan Agama setempatdisebabkan tidak ada ijin wali.
Tentang pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim dalam perkara
wali ad{altersebut,bahwa keterangan
pemohon yang diperkuat dengan keterangan dua orang saksi yang diajukan oleh pemohon dan
bukti - bukti surat telah diperoleh fakta yang pokoknya sebagai berikut: 1. Bahwa antara pemohon dengan calon suami
pemohon, telah lama menjalin hubungan
cinta dan mereka sepakat untuk melanjutkan kejenjang pernikahan. 2. Bahwa antara pemohon dengan calon suami
pemohon, tidak ada hubungan mahram baik
hubungan nasab maupun susuan atau dalam pinangan orang lain, dan tidak ada halangan menikah antara
pemohon dengan calon suami pemohon.
3.
Bahwa wali pemohon telah menolak lamaran/ pinangan calon suami pemohon saat calon suam i datang untuk melamar pemohon
dengan alasan orang jember kebanyakan
orang madura dan mereka suka carok dan santet.
4.
Bahwa antara pemohon dengan orang tua pemohon (wali nikah) telah terjadi
sengketa mengenai rencana pernikahan
pemohon dengan calon suaminya, dimana
wali nikah pemohon menolak untuk menjadi wali nikah antara pemohon dengan calon
suami pemohon tersebut tanpa alasan yang dapat dibenarkan menurut hukum, sedangkan pemohon
ingin segera menikah dengan calon suaminya untuk menghindari terjadinya pe langgaran
terhadap norma- norma agama maupun norma
susila mengingat antara pemohon dengan calon suami pemohon sudah saling
mencintai dan ingin segara membina rumah tangga.
5.
Bahwa rencana perkawinan pemohon tersebut oleh Pejabat Kantor Urusan Agama setempat ditolak dengan alasan karena
orang tua pemohon tidak bersedia menjadi
wali nikah.
6.
Bahwa pemohon tergolong orang yang telah dewasa dan telah cukup untuk menentukan pilihan jejaka yang akan menjadi
calon suaminya.
Berdasarkan
fakta yuridis tersebut diat as, pengadilan menilai bahwa permohonan pemohon
telah cukup beralasan dan sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang - undangan yang berlaku oleh
karena itu patut untuk dipertimbangkan.
Kemudian hakim menimbang bahwa keengganan wali
pemohon untuk menjadi wali nikah dalam
pernikahan pemohon dengan calon suaminya ternyata tidak berdasarkan alasan yang benar menurut
syara’, sedangkan pemohon tergolong orang yang telah dewasa dan telah cukup
untuk menentukan pilihan mengenai calon
suaminya, oleh karena itu wali pemohon
patut dianggap sebagai wali ad{al.
Terhadap perkara ini dapat diterapkan
ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam
UU No.1/1974 tentang Perkawinan Pasal 21 Ayat (3) jo PP No.
9/1975 Tentang pedoman pelaksanaan UU
Perkawinan, pasal 2 ayat (1) jo Komp ilasi Hukum Islam pasal 23 dan Peraturan Mentri Agama RI
No. 2/1987 Tentang wali hakim, serta
doktrin hukum Islam dalam Kitab Hawa>syi> alSyarwa>ni>wa Ibn
Qa>sim al- Iba>di>Ala> Tuhfah al -Mukhta>j bi Syarhi alMinha>j
Juz VII, hal 251yang berbunyi: Artinya:
” Demikian juga seorang sulthon (hakim) boleh menikahkan seorang perempuan apabila semua walinya baik wali
dekat, wali mu’tik dan wali asabahnya
menolak untuk menikahkan, tetapi setelah ditetapkan adlalnya wali dihadapannya baik dengan cara
menolak atau diam sesudah diperintah, dan pihak pelamar dan yang dilamar
sama-sama hadir, jika adlalnya wali
diulang-ulang (samapai tiga kali), berarti dosa besar dan fasik maka perwaliannya pindah
kewali ab’ad. Dan jika tidak
diulang-ulang maka tidak.” .
Dengan dasar tersebut diatas, hakim Pengadilan
Agama Nganjuk menetapan ad{al nya wali
dan memberikan izan kepada pe mohon untuk menikah dengan calon sua mi pilihannya dengan wali
hakim.
Apabila wali yang dekat enggan mengawinkan
perempuan kepada laki - laki yang
sekufu’ dengan dia, bahkan saling mencintai dan tidak berhalangan, maka yang menjadi wali adalah sulthon atau h akim, bukan wali yang jauh. Sesuai dengan
hadis Nabi SAW: Artinya:
”Diriwayatkan dari Urwah, dari
Aisyah ia berkata: ”telah bersabda Rasulullah
SAW. Setiap perempuan yang melangsungkan pernikahan tanpaseizin walinya, maka
pernikahannya batal, batal, batal. Dan Jika (si laki - laki/ suami) campuri dia, maka
wajib atasnya bayar mahar buat kehormatan
yang ia telah halalkan dari perempuan itu, jika para wali (bertengkar), maka pemerintah (sulthon) adalah
menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali”.
Abdul
Hami>d al -Syarwa>ni> , Hawa>syi> al-Syarwa>ni> wa Ibn
Qa>sim al-Iba>di> Ala> Tuhfah
al-Muhta>j bi Syarhi al-Minha>j Juz VII,h.
Abi>Da>ud
Sula i> ma >n Bin a l -Asy’ast al -Si jista>ny, Sunan Abi>Da>ud,
h .478 Kompilasi Hukum Islam
juga menyebutkan tentang ad{al
nya wali dalam pasal 23: 1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali
nikah apabila wali nasab tidak ada atau
tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib
atau adlalatau enggan.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi